Beberapa bulan terakhir sebagian umat Islam di Indonesia menggelar
aksi demonstrasi besar-besaran. ‘Aksi Bela Islam’ yang
belakangan populer dengan sebutan aksi 411 dan 212 ini dengan menamakan dirinya sebagai Gerakan
Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF-MUI) yang menuntut penangkapan
Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang konon dianggap telah menghina ayat
suci Al Quran.[2]
Kasus penistaan agama
maupun aksi Bela Islam tersebut, benar-benar menyita perhatian publik, baik di
tingkat akar rumput maupun di kalangan elite. Di tingkat masyarakat awam,
perbincangan terkait hal ini begitu merasuk dan hampir selalu muncul dalam
obrolan tiap hari, entah dalam pertemuan langsung, apalagi dalam WAG (WhatsApp
Group) maupun grup chat lainnya. Tidak sekadar menjadi
pembicaraan massa awam, di tingkat elit bahwa isu ini juga mendorong manuver-manuver
para aktor politik, baik yang bertujuan memolitisir isu ini dan menungganginya
untuk kepentingan politik pribadi dan kelompoknya.[3]
Kegamangan massa gerakan
Islam (Aksi Bela Islam) dalam menemukan sasaran tembak, lebih dalam ketimbang
permukaan atas persoalan yang dialami umat awam ditengah ketimpangan ekonomi
dan kemiskinan mereka yang makin diperparah oleh semaraknya cara pandang dan
perilaku individualistik atas konsep ibadah di kalangan kelas menengah Muslim.
Ini semua menunjukkan betapa dangkalnya pemahaman para penyeru gerakan Islam
akan akar persoalan yang ada dibalik segala tampakan data statistik dan hiruk-pikuk
konsumsi.
‘Aksi Bela Islam’, selain
mengagetkan banyak pihak dengan massa yang demikian besar dan menyeret hampir
sebagian besar umat Islam pada perdebatan yang sejak semula tidak produktif dan
tidak menyentuh pokok persoalan yang dihadapi umat Islam Indonesia hari ini,
yaitu mengenai absennya redistribusi keadilan dan minusnya pelayanan sosial
bagi rakyat.
Mungkin bagi kita, apa
yang sedang diperjuangkan dalam ‘Aksi Bela Islam’ tidak lah substansial, bahkan
berpotensi besar mereduksi ajaran Islam mengenai kemanusiaan yang bernilai universal. Jika pesan Allah dalam al-Qur’an
dan pesan Nabi dalam hadits dimaknai secara substantif (tidak tekstualistik-skripturalistik)
pengertian membela Islam sesungguhnya bukanlah pada seberapa ngotot
kita bisa memenjarakan mereka yang tidak percaya pada
firman Allah, melainkan pada perjuangan membela kaum yang dilemahkan, baik
secara struktural maupun kultural.
Kenyataan diatas agaknya
cukup menggelitik umat Islam Indonesia untuk melakukan muraqabah secara jujur. Masalahnya sekarang adalah, sudahkah
dinamika ajaran Islam berperan sebagai prime
mover (penggerak utama) bagi bangsa yang sedang membangun sebagaimana peran
penting diatas. Adakah Islam telah melaksanakan misi utamanya, yakni rahmatan lil ‘alamin dalam arti berperan
sebagai Teologi Pembebasan dari keterbelakangan, kebodohan, ketidakadilan dan
penciptaan masyarakat yang demokratis?.
Pergolakan dari
pergumulan sejarah kehidupan sosial empiris, baik berupa pertentangan politik,
dominasi kekuatan sosial tertentu, dominasi mainstream
pemikiran keagamaan, keinginan untuk menjaga status-quo maupun perlindungan golongan masyarakat tertentu,
ditambah dengan kelengkapan laboratorium ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh
generasi peradaban manusia tertentu ikut menentukan pola pikir, kebijakan dan mode of thought suatu generasi yang
hidup pada periode sejarah tertentu.
Demikian pula teologi,
yang selama ini dikenal sebagai keilmuan yang hanya berhubungan dengan sesuatu
yang bersifat dogmatis atau institusi-institusi keagamaan tertentu, kini telah
dihubungkan dengan kata “Pembebasan” yang kemudian dikenal dengan istilah
“Teologi Pembebasan”.[4]
Pada akhir-akhir ini—baik secara sadar maupun tidak sadar—gagasan pembebasan
tersebut mulai dikembanggkan dalam tradisi pemikiran keislaman, baik menggunakan
istilah, corak pemikiran dengan seperangkat metode analisis maupun pemecahan masalah
yang sama dengan semangat persamaan dan pembebasan yang dimiliki oleh umat
Islam perlu dikedepankan kembali, serta bagaimana cara pemahaman Islam yang membebaskan adalah langkah kerja yang
menarik.
Tegaslah kini bahwa
dalam konteks teologi pembebasan, umat Islam Indonesia yang terkenal religius
memiliki beban yang tidak ringan. Disamping taqarrub
ilallah yang harus ditingkatkan, rekayasa sosial dalam arti luas juga
merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Rekayasa mulia ini diantaranya adalah
peningkatan kadar kebebasan individu dan masyarakat, mengurangi eksploitasi
ekonomi, mengusahakan jihad langgeng
terhadap segala bentuk vest interest,
mengupayakan partisipasi keadilan sosial, memerangi kebodohan serta menangkal
kekuatan-kekuatan imperialis modern.
Dengan penjelasan tersebut
diatas, idealnya gerakan Islam masa kini adalah gerakan yang mengusung
perjuangan kelas dengan menyerukan tatanan baru yang lebih berkeadilan,
egaliter dan manusiawi, bukan gerakan reaksioner yang terkesan berbau politik oligarki
dalam menyambut Pilkada di Jakarta. Karena gerakan Islam baru-baru ini tidak
mampu menawarkan alternatif apapun selain debat moral yang tidak menyentuh
pokok persoalan yang dihadapi umat. Jadi pendeknya bahwa gerakan Islam di
Indonesia (yang konon sebagai Aksi Bela Islam) hanyalah bidak politik oligarki,
karena mereka hanya saling beradu dalil dan beradu pukul sejatinya tengah
berjuang membela kepentingan politik oligarki, bukan membela agama, apalagi
untuk nasib umat Islam Indonesia.
B.
Makna
Terma Pembebasan
Perkataan “bebas” dapat menunjukkan bermacam-macam
kenyataan. Sebagai contoh, pemakaian istilah ‘kebebasan’ oleh Lord Acton, melukiskan sejarah manusia dari sudut
perjuangan untuk memperoleh kebebasan.[5]
Dalam pandangan ini bahwa kebebasan adalah bukan sesuatu yang dimiliki oleh
manusia demi kodrat, melainkan sesuatu yang perlu diperjuangkan.
Selanjutnya, ‘kebebasan’ menurut Acton diperjuangkan
bangsa manusia ialah kebebasan dari belenggu alam. Bangsa manusia sekarang
(jauh lebih) bebas dari penyakit, kelaparan, ketidakamanan dan sebagainya.
Bentuk kebebasan ini disebut citra progresif. Sedangkan ‘kebebasan’ menurut Roussean adalah
kebebasan dari belenggu institusi-institusi politik yang telah maju. Dengan
kembali kepada cara-cara hidup yang lebih primitif dan alamiah orang
mengharapkan dapat dibebaskan dari belenggu-belenggu ini. Bentuk kebebasan ini
disebut citra romantis.[6]
Dari penjelasan tersebut
bahwa arti kata ‘bebas’, ‘kebebasan’ dan ‘pembebasan’ baru menjadi jelas kalau dikatakan dari apa seseorang
telah dibebaskan. Oleh sebab itu, maka kebebasan
disini adalah tidak adanya penghalang atau pembatas, paksaan, halangan, bebas
atau kewajiban seseorang untuk memperoleh hak-hak asasinya yang luhur dan
manusiawi.
Kemudian istilah ‘pembebasan’ yang dipakai untuk spektrum
agama, pertama kali muncul pada Gereja Kristen di Amerika Latin, baik oleh
Pastor ataupun para aktivis muda yang menyadari bahwa kondisi sosial politik di
Amerika Latin sangat buruk, dan Gereja terlibat dalam perkara ini. Karena
Gereja tetap menerima bantuan dari rezim diktator, mengakui dan menyokongnya. Gustavo
Gutierrez seorang juru bicara kelompok ini mengecam situasi tersebut dengan
menerbitkan bukunya “Teologia de Liberation”
atau Teologi Pembebasan.[7]
Seperti yang pernah dinyatakan
oleh Leonardo Boff, Teologi Pembebasan adalah pantulan pemikiran dan sekaligus
cerminan dari keadaan nyata, suatu praxis yang sudah ada sebelumnya. Lebih
tepatnya, ini adalah pengungkapan atau pengabsahan suatu gerakan sosial yang
amat luas yang muncul pada awal tahun 1960-an. Gerakan ini melibatkan sektor-sektor
penting dari Gereja (para Romo, para pengamal tarekat-tarekat atau ordo-ordo
keagamaan dan para uskup), gerakan-gerakan keagamaan orang awam (Aksi Katolik,
Pemuda Perguruan Tinggi Katolik, Pemuda Buruh Kristen), keterlibatan pastoral
yang merakyat serta kelompok-kelopok basis masyarakat gereja.[8]
Gerakan mereka diawali
dengan menghimpun diri dan menentang sebab-sebab penghisapan atas dasar nalar
moral dan kerohanian yang di ilhami oleh budaya keagamaan mereka, yaitu iman
Kristen dan tradisi Katolik. Lebih jauh lagi, matra keagamaan dan moral inilah
yang merupakan faktor hakiki yang menggerakkan semangat ribuan aktivis Kristen
dalam serikat-serikat buruh, kerukunan-kerukunan tetangga, front-front
kerakyatan dan revolusioner. Kemiskinanlah yang menjadikan mereka sadar akan
keadaan mereka sendiri dan mengorganisir diri untuk berjuang sebagai orang Kristen
dan sebagai anggota Gereja yang di ilhami oleh suatu iman.
Selanjutnya, Teologi Pembebasan
adalah sebagai batang tubuh dari karya-karya tulis yang dihasilkan sejak tahun
1970-an oleh tokoh-tokoh seperti Gustavo Gutierrez (Peru), Rubem Alves, Carlos Masters,
Hugo Assmann, Leonardo dan Clodovis Boff (Brazilia), Jon Sobrino, Ignacio Ellacuria
(El Salvador), Segundo Galilea, Ronaldo Munoz (Chili), Jose Miguel Bonino, Juan
Carlos Scannone (Argentina), Juan-Luis Segundo (Uruguay) adalah produk
kerohanian (istilah ini, sebagaimana yang sudah kita ketahui berasal dari buku German Ideology-nya Marx) dari gerakan sosial ini.[9]
Karena teologi menurut
pengikutnya tidak hanya bersifat spekulatif dan tidak boleh hanya dimaksudkan
memberikan kepuasan emosionaal kepada manusia, tetapi harus memberikan pedoman
untuk mewujudkan suatu masyarakat yang lebih adil. Walaupun untuk maksud tersebut
harus menggunakan analisis Marxis untuk mengerti lebih baik sistem sosial
politik. Namun harus diakui bahwa dengan menyertakan didalamnya suatu doktrin
keagamaan yang benar-benar masuk akal (rasional), dan teologi pembebasan telah
memberikan sumbangsih yang sangat besar terhadap peluasan dan penguatan
gerakan-gerakan tersebut.
Meskipun ada
perbedaan-perbedaan penting antara para teolog tersebut, namun dari beberapa
ajaran dasar terdapat beberapa kesamaan dalam banyak karya tulis yang telah mereka
hasilkan dan telah membentuk suatu pergeseran radikal dari ajaran tradisional
mapan Gereja Katolik maupun Protestan. Dari beberapa ajarannnya yang terpenting
adalah sebagai berikut:[10]
1. Gugatan moral dan sosial yang amat keras terhadap
ketergantungan kepada kapitalisme sebagai suatu sistem yang tidak adil dan
tidak beradab, dan sebagai suatu bentuk dosa struktural.
2. Penggunaan alat analisis Marxisme dalam rangka memahami
sebab-musabab kemiskinan, pertentangan-pertentangan dalam tubuh kapitalisme dan
bentuk-bentuk perjuangan kelas.
3. Pilihan khusus bagi kaum miskin dan kesetiakawanan
terhadap perjuangan mereka menuntut kebebasan.
4.
Pengembangan basis kelompok-kelompok masyarakat Kristen
dikalangan orang miskin sebagai suatu bentuk baru Gereja dan sebagai suatu
alternatif terhadap cara hidup individualis yang dipaksakan oleh kaum
kapitalis.
5. Suatu pembacaan baru pada al-Kitab yang meberikan
perhatian penting pada bagian-bagian Kitab keluaran sebagai paradigma
perjuangan pembebasan rakyat yang diperbudak.
6.
Perlawanan menentang pemberhalaan (jadi bukan atheisme)
sebagai musuh utama agama, yakni menentang berhala-berhala baru yang disembah
oleh Fir’aun-Fir’aun baru, Caesar-Caesar baru dan Herodes-herodes baru: uang,
kekayaan, kekuasaan, keamanan nasional, negara, pasukan militer dan peradaban
Kristen Barat.
7. Sejarah pembebasan manusia adalah antisipasi akhir dari
penyelamatan Kristen dan Kerajaan Tuhan.
8. Kecaman terhadap teologi tradisonal yang bermuka ganda
sebagai hasil dari filsafat Yunani Platonis, bukan dari tradisi murni Injil.
C.
Dasar
Pembebasan dan Gerakan Sosial dalam Islam
Sebenarnya akar pokok
agama Islam adalah tauhid, atau
pernyataan monoteistik bahwa Allah itu Esa. Pengertian tersebut oleh Ali
Syariati tidaklah cukup, tauhid juga
menurut Syariati merupakan pandangan dunia (world
view) yang melihat seluruh dunia
merupakan sistem yang utuh-komprehensif, harmonis, hidup dan sadar diri yang
melampui segala dikotomi, dibimbing oleh tujuan ilahi yang sama.[11]
Pernyataan tersebut, kata al-Faruqi, mengandung makna yang paling agung dan
paling kaya dalam seluruh khasanah Islam. Kadang seluruh kebudayaan dan seluruh
peradaban atau seluruh sejarah dipasalkan dalam satu kalimat. Inilah pastinya
kalimat syahadat Islam. Segala keragaman,
kekayaan dan sejarah, kebudayaan dan pengetahuan, kebijaksanaan dan peradaban
Islam diringkas dalam kalimat lâ ilâha
illallâh.[12]
Teologi dalam terma
pandangan dunia ini berbeda dengan teologi spekulatif-sistematis abad
pertengahan. Bentuk teologi ini, menurut Iqbal, dapat meluaskan
intelektualisme, namun telah mengaburkan visi mereka tentang semangat
al-Qur’an.[13]
Kalimat tauhid, yaitu “tidak ada tuhan kecuali Allah”, dalam
gramatika bahasa Arab mengisyaratkan spesifikasi, yakni hanya Allah yang ada (real) dan dilaur dirinya pada hakikatnya
tidak ada (fana’).
Tauhid bertentangan
dengan syirik, yaitu menempatkan sesuatu disamping Allah sebagai objek
penyembahan dan itu menunjukkan penyembahan berhala. Namun dasar-dasar ini oleh
Syariati diberi muatan sosiologis, yakni bahwa pada awalnya masyarakat itu
bersifat egaliter dan adil. Ketika kesatuan masyarakat ini terpecah-belah
menjadi kelas-kelas dan kelompok-kelompok yang berbeda-beda, sehingga
syirikisme muncul didalam lingkup agama. Berjuang melawan ketiadaan, persamaan
dan keadilan di dunia adalah kewajiban yang suci.[14]
Meminjam pisau analisis
materialisme historis Karl Marx, tokoh-tokoh berkuasa dalam al-Qur’an, seperti
Fir’aun, Bal’am dan Saman yang senantiasa bekerjasama menghadapi massa yang
dianggap tidak sederajat dan harus ditindas. Ketimpangan hubungan antara
penindas dan yang di tindas memang merupakan struktur pokok masyarakat manusia
dalam segala zaman, meskipun sarana dan ungkapan hubungan kekuasaan ini dapat
berbeda-beda dari zaman ke zaman. Sebagai wakil Tuhan dimuka bumi seorang harus
tampil mengadakan pembebasan karena adanya peminggiran sebagai akibat strategi
tidak adanya persamaan yang dicanangkan oleh segelintir orang yang berkuasa.
Dalam sejarahnya bahwa
gerakan sosial Islam yang digerakkan oleh Nabi Muhammad Saw., memang bukan
sekedar norma, tetapi masih merupakan gerakan sosial agama yang membawa kepada
kebahagiaan umat manusia. Makkah merupakan pusat perdagangan internasional pada
saat munculnya Islam. Disini tumbuh masyarakat ekonomi Makkah kelas kakap yang
mengkhususkan diri dalam operasi finansial secara internasional. Barangkali
bisnis semacam ini tidak jauh berbeda dengan korporasi saat ini yang disebut Multi Nasional Corporation (MNC). Free fight
liberalism yang menjajah atau konglomeratisme yang merampas hak kaum lemah.
Sesuai dengan trend
bisnis diatas, hak milik pribadi yang semula tidak ada dalam masyarakat
kesukuan Makkah, kemudian mulai tampak menguat. Saudagar-saudagar mulai
membentuk korporasi antar suku, sehingga monopoli perdagangan didaerah-daerah
dan dibawah kekuasaan Romawi Timur serta mengakumulasi keuntungan besar tanpa
membagi sedikitpun kepada fuqara-masakin.
Ini berlangsung secara drastis dan melanggar norma-norma kesukuan, sehingga
menyebabkan labilnya kehidupan masyarakat Makkah pada masa itu.
Nabi Muhammad Saw.,
merasakan ketegangan akut yang berkembang dalam masyarakat Makkah yang
diakibatkan adanya gap tajam antara
si kaya dan si miskin, serta konflik serius yang tentunya bisa menyebabkan
ketegangan tersebut tidak terkendali. Nabi mengajak hartawan-hartawan Makkah
untuk tidak menimbun kekayaan dan sebaliknya mengasihi fakir miskin dan yatim
piatu. Namun ajakan Nabi tersebut ditentang keras oleh pemimpin-pemimpin Arab
karena menyangkut status quo dan vested interest.[15] Disamping
itu juga, karena Islam membawa ajaran tauhid
sehingga membuat para pemimpin Quraisy menentang Nabi. Sebab dampak
ajaran-ajaran tauhid akan
menghilangkan previlage atau
keistimewaan-keistimewaan yang diperolehnya selama ini, termasuk penghapusan
kesenjangan ekonomi.
Dengan integritas
diniyah yang tertinggi, Nabi pun menolak segala bentuk rayuan, sehingga
terciptalah masyarakat egaliter yang diperjuangkan oleh Nabi. Adakah
keberhasilan perjuangan Nabi tersebut adalah hak monopoli Nabi. Disamping
pesona dan kapabilitas sosok Nabi, tentunya kita mencatat terdapat
faktor-faktor lain yang mendukungnya. Diantaranya adalah bantuan Allah dan
ajaran-ajarannya yang dialogis dan mendorong untuk dilaksanakan. Larangan
menimbun harta secara berlebih-lebihan dan konsumerisme menghadapkan Nabi
secara frontal dengan tokoh-tokoh Arab. Faktor lain adalah potensi bangsa Arab yang
sementara terpendam, kemudian teraktualisasi bersama Nabi. Bangsa Arab
dibimbing Nabi dan Khulafaurrasyidin
berhasil membumikan ajaran Islam yang komprehensif dan aplikatif.
Begitu pula segi yang
paling gamblang bahwa ajaran al-Qur’an
ialah sikapnya yang memihak kaum tertindas. Al-Qur’an menjanjikan sesuai
dengan ramalan materialisme-historis atas dasar logika dialektis, bahwa dalam
perjuangan antara kaum tertindas dan penindas, kemenangan terakhir berada
dipihak kaum tertindas. Firman Allah: “dan
Kami hendak menunjukkan karunia kepada orang-orang tertindas di bumi, dan
hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka sebagai para pewaris”.[16]
(Q.S. al-Qashash: 5)
D.
Islam
dan Teologi Pembebasan
Sebagaimana Marx, para
tokoh-tokoh pembebasan baik dalam Islam maupun diluar Islam, teori Hegel (bahwa
sejarah berkembang mirip dengan organisme, seperti biji mangga yang berproses
menjadi buah mangga) ini dibawa kedalam analisis materialisme sehingga
pendekatan ini menjadi materialisme historis.[17]
Pertanyaan yang penting dan sederhana, mengapa sebuah ide bisa sukses
dibandingkan dengan ide yang lain? Mengapa sebuah ide memiliki kaki di masyarakat?
Kondisi sosial apa yang memungkinkan ide tersebut didukung oleh orang banyak?
Nabi Saw., di Makkah
sebagai contoh, melalui perubahan besar didalam masyarakat Arab hingga akhirnya
merontokkan kelompok-kelompok kepentingan yang kuat yang telah muncul
dilingkungan Makkah. Nabi dengan serius memperhatikan nasib orang-orang
tertindas yang ingin keluar dari sistem yang tidak manusiawi (dehumanisasi). Dari
penjelasan tersebut, dapat dikatakan disini bahwa perubahan itu akan sukses
apabila terdapat kesesuaian antara ajaran yang dibawa dengan kondisi sosial
yang mendukung.
Sejak wafatnya
Rasulullah hingga kini pasti ditemukan pembaharu-pembaharu muslim pada setiap
abad. Semua pembaharu, disamping selalu memperkenalkan gagasan-gagasan segar
dalam memahami agama, juga mempunyai misi membebaskan umatnya dari segala
belenggu. Iqbal misalnya yang sangat dikenal membenci kelemahan dan kejumudan
serta menganjurkan kekerasan dan keberanian adalah tokoh pembebas. Sikapnya
merupakan refleksi struggle terhadap
supremasi kecongkakan Barat. Sebagaimana diketahui bahwa pada abad ke-19 hampir
seluruh negeri Islam berada dalam cengkraman koloni atau setengah jajahan Barat
kecuali Turki. Khususnya di Asia dikuasai oleh Inggris, Perancis, belanda dan
Amerika.
Iqbal dengan
antropologinya yang tajam menyatakan dengan resepnya The Reconstruction of Religious in Islam. Iqbal mengingatkan bahwa
pemikiran Islam selama ini lebih banyak theosentris
dengan sangat memperkecil kepedulian terhadap aspek-aspek antropologis. Sebagai akibatnya lahirlah ego fatalis dan statis (hanya
asyik pada Tuhan dan melupakan tugas keduniawian), dan tidak mampu menjadi khalifatullah fil ardl. Inilah salah
satu kunci kemunduran dalam Islam menurut Iqbal. Sebagai terapinya dia
mengupayakan lahirnya manusia luhur dinamis yang berfikiran cerdas, orisinal,
kreatif, berhati ikhlas, toleran, cinta dan bernyali.[18]
Islam sebenarnya tidak
hanya bersifat spiritualistik, melainkan juga memperhatikan kehidupan duniawi.
Oleh sebab itu maka mau tidak mau Teologi Pembebasan tidak bisa membatasi
istilah-istilah, seperti kafir, mustad
‘afin, Fir’aun dan lain-lain, haruslah ditafsirkan kembali untuk memperoleh
signifikansi sosial ekonominya. Sebab Islam memberikan konsep masyarakat yang
bebas dari eksploitasi, penindasan, dominasi dan ketidakadilan dalam bentuk
apapun.
Istilah kafir
sebenaarnya tidak hanya bermakna ketidakpercayaan religius, seperti yang
diyakini teologi-teologi tradisional. Tetapi secara tidak langsung juga
menyatakan pertentangan terhadap masyarakat yang adil dan egalitarian serta
bebas dari segala bentuk eksploitasi dan penindasan. Jadi orang kafir adalah orang
yang tidak percaya kepada Allah dan secara aktif menentang usaha-usaha yang
ingin dan untuk membentuk kembali masyarakat, penghapusan penumpukan kekayaan,
penindasan, eksploitasi dan segala bentuk ketidakadilan.[19]
Atau dengan kata lain bahwa kafir adalah orang yang terkena kutukan dari Allah
yang mencakup orang yang secara verbal beriman, melakukan shalat, namun
menumpuk kekayaan terus-menerus dengan mengeksploitasi orang lain dan
bermewah-mewahan, sementara kelaparan berada disekelilingnya.
Sebenarnya Teologi Pembebasan
mempunyai banyak sumber teladan. Nabi Muhammad Saw., sebagaimana dituturkan
diatas adalah tokoh liberator yang
tidak ada duanya. Musa adalah pembebas kaum Israil yang ditekan Fir’aun. Jelas
diungkapkan dalam al-Qur’an bahwa para anbiya
hadir dari kalangan rakyat yang mereka memperjuangkan keadilan bersama-sama
melawan penindasan dan eksploitasi (Q.S: al-Jumu’ah: 2). Hadits Nabi menegaskan
bahwa sebaik-baik jihad adalah
berkata benar dihadapan tirani.
E.
Konsep
Teologi Pembebasan dalam Islam
Teologi pembebasan
muncul karena dilatarbelakangi oleh ketidakpuasannya terhadap rumusan teologi
Islam yang berkembang selama ini. Selama ini, teologi Islam diwarnai dengan
ketidakjelasan metafisis, bersifat spekulatif, pro status quo[20]
dan bersifat elitis. Teologi telah
kehilangan relevansinya dengan konteks sosial yang ada dan telah mengalami demistified dari apa yang sebenarnya
dimaksudkan oleh Islam. Demikian pula teologi rasional modern telah memandang
ajaran dan institusi keagamaan dalam perspektif rasio, yang lebih menarik
elit-modern karena seringkali melayani tujuan dari elit tersebut. Pendekatan
rasional ini tidak menarik rakyat karena mereka tidak merasa perlu. Struktur sosial
sekarang yang deterministik pada
kemajuan ekonomi dan intelektual telah membuat mereka tetap terbelakang,
sehingga yang tetap menarik bagi mereka adalah agama rakyat disertai dengan
ritual-ritualnya.
Untuk itu, perlu
dirumuskan kembali sebuah teologi baru yang bersifat revolusioner, dengan
tujuan untuk mengembalikan komitmen Islam terhadap keadilan sosial ekonomi dan
masyarakat yang bebas dari eksploitasi, penindasan, dominasi dan ketidakadilan
dalam bentuk apapun. Teologi tersebut yang sering dikenal dengan istilah
“Teologi pembebasan”.
Menurut Asghar Ali
Engineer, teologi pembebasan adalah suatu teologi yang meletakkan tekanan berat
kepada kebebasan, persamaan dan keadilan distribusi, menolak distribusi dan
menolak kekerasan, penindasan, penganiayaan dan eksploitasi manusia oleh
manusia. Teologi pembebasan bukanlah pelipur lara dan pembenaran atas
penderitaan dan kesengsaraan dengan menganggapnya sebagai suatu keniscayaan
(takdir), namun teologi pembebasan adalah perjuangan.[21]
Sedangkan ciri utama dari
Teologi Pembebasan adalah pengakuan terhadap perlunya memperjuangkan secara
serius problem bipolaritas spiritual-material kehidupan manusia dengan menyusun
kembali tatanan sosial sekarang menjadi tatanan yang adil, egaliter dan tidak
eksploitatif. Teologi Pembebasan harus mendorong sikap kritis terhadap sesuatu
yang sudah baku dan harus terus berusaha secara konstan untuk menjelajahi
kemungkinan yang baru. Kehidupan dengan suatu kekayaan spiritual tidak bisa
hidup dalam masyarakat satu dimensi (spiritual semata) yang menolak usaha
apapun untuk keluar dan merealisasikan kemungkinan baru tersebut untuk menambah
dimensi baru.
Konsep kebebasan adalah unsur
dasar Teologi Pembebasan. Kebebaasan untuk memilih dan kebebasan untuk keluar
(transendensi diri) menuju kehidupan yang lebih baik, dan juga untuk
menghubungkan diri dengan kondisi yang berubah-ubah secara berarti. Teologi
Pembebasan memberi manusia kebebasan untuk melampui situasi kekinian dalam
rangka mengaktualisasikan kehidupan yang baru kedalam kertas kerja sejarah.
Teologi pembebasan tidak
mencari Tuhan dalam keterbatasan manusia, tetapi pada kreativitas dan
kematangannya. Teologi Pembebasan tidak membatasi diri pada arena pemikiran
yang spekulatif, tetapi memperluas ruang lingkupnya untuk menjadi instrumen
yang paling kuat untuk membebaskan umat dari cengkraman para penindas dan mengilhami
mereka untuk bertindak dengan semangat revolusioner dalam berjuang menghadapi
tirani, eksploitasi dan penganiayaan.
Teologi Pembebasan
dimulai dengan melihat kehidupan manusia di dunia dan akherat. Teologi pembebasan
tidak menginginkan status quo yang melindungi golongan kaya yang
berhadapan dengan golongan miskin, anti kemapanan baik religius maupun politik.
Kemudian, memainkan peranan dalam membela kelompok tertidas dan tercabut hak
miliknya, memperjuangkan kelompok ini dan membekalinya dengan senjata ideologi
yang kuat untuk melawan golongan yang menindasnya. Hal yang substansial bahwa Teologi
Pembebasan tidak hanya mengakui satu konsep metafisika tentang takdir dalam
rentan sejarah umat Islam, tetapi juga mengakui konsep bahwa manusia itu bebas
menentukan nasibnya sendiri. Dalam pandangan Teologi Pembebaasan, keduanya
sebagai pelengkap dan bukan sebagai konsep yang berlawanan.
Sebagai konsekuensinya
bahwa teologi Pembebasan tidak memberlakukan institusi sebagai sesuatu yang
suci—tidak dapat diganggu gugat—karena yang suci adalah nilai-nilainya dan instrumen
yang muncul sebagai hasil proses sejarah yang secara konstan membutuhkan
pembaruan untuk mencapai tujuan yang bersifat ilahiyah. Pada intinya bahwa Teologi Pembebasan lebih menekankan pada
praktik dari pada teoretik-metafisis yang mencakup hal-hal yang bersifat
abstrak dan konsep-konsep yang ambigu. Praktik yang dimaksud adalah sifat libaratif
yang menyangkut interaksi dialektis antara apa yang ada (is) dengan apa yang seharusnya (ought).[22]
Sebenarnya rumusan
Teologi Pembebasan tersebut diatas, tidak lain dibangun atas dasar pemahaman
terhadap potensi revolusioner yang terdapat dalam asal-usul historis Islam.
Realitas sosio-ekonomi dan sosio-kultural yang berkembang di Makkah pada masa
awal perkembangan Islam, dimana Islam merupakan agama (dalam pengertian teknis
maupun revolusi-sosial) yang menghadapi tantangan strutur penindasan didalam
dan diluar masyarakat Arab pada masa itu.
Dengan uraian tentang Teologi
Pembebasan ini, tentu sebuah pembacaan baru atas teologi Islam yang berkembang
selama ini, dengan memasukkan unsur manusia (dengan relitas empirisnya)
disamping Tuhan (dengan relitas metafisis-Nya), sehingga pembahasan tentang
teologi menjadi lebih reflektif-sosiologis dan tidak lagi terlalu transendental-spekulatif.
Dengan pemahaman seperti ini, secara tidak langsung memunculkan kesadaran
progresif akan perlunya penggunaan pendekatan-pendekatan keilmuan sosial
didalam pengembangan pemikiran keagamaan dalam Islam. Sehingga berteologi bukan
lagi merupakan kegiatan dari para elit ulama, tetapi merupakan kegiatan semua
orang. Berteologi bukan merupakan kegiatan untuk merumuskan ajaran tentang iman
secara spekulatif, tetapi juga praktik atas iman itu sendiri.
F.
Epilog
Kehadiran teologi
spekulatif-sistematis ternyata tidak mampu mewakili aspirasi transformasi sosial
umat Islam dalam koteks berbangsa dan bermasyarakat masa kini. Hal ini ditandai
misalnya dengan berlangsungnya kesewenang-wenangan, penindasan dan laku
ketidakadilan pada bangsa-bangsa di dunia ketiga dimana umat Islam berada
didalamnya.
Beralaskan pendekatan
strukturalistik pada pelopor Teologi Pembebasan merekonstruksi perjalanan
sejarah nabi-nabi hingga kesuksesan Nabi Muhammad Saw., yang tidak lain ingin
menunjukkan bahwa Islam mempunyai perhatian sentral pada keadilan sosial untuk
membebaskan kaum lemah dan tertindas, baik dalam hubungannya dengan rakyat dan
pemerintah maupun dalam hubungan-hubungan internaasional melalui
program-program bantuan yang distrategikan oleh semangat kapitalistik negara-negara
industri. Semangat pembebasan ini bertujuan membentuk masyarakat yang sejahtera
dan egalitarian.
Daftar
Pustaka
Abdurrahman Mas’ud. (2004). Antologi
Studi Agama dan Pendidikan. Semarang: Aneka Ilmu.
Adnan Mahmud, dkk. (Eds). (2012). Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Dede Mulanto dan Coen
Husen Pontoh (ed.). (2017). Bela Islam
atau Bela Oligarki? Pertalian Agama, Politik dan Kapitalisme di Indonesia.
Edisi Digital. Jakarta: Pustaka IndoPROGRESS.
Departemen Agama RI. (1989). Al-Qur’an
dan Terjemahnya. Semarang: Toha Putra.
Franz Magnis-Suseno. (2001). Pemikiran
Karl Marx; Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. (2001). Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Maftukhin. (2010). Nuansa
Studi Islam; Sebuah Pergulatan Pemikiran. Yogyakarta: Teras.
Michael Lowy. (2003). Teologi
Pembebasan, Penj. Roem Topatimasang. Yogyakarta: INSIST Press dan Pustaka
Pelajar.
[1] Disampaikan dalam acara: Pelatihan Basis
PMII Komisariat Joko Sangkrip IAINU Kebumen pada Sabtu, 4 Maret 2017. Penulis (Mizanul Akrom) adalah Alumnus (S.1) IAINU Kebumen dan
Wisuda pada 2013, sedang menempuh studi Pascasarjana/S.2 di UNU Surakarta
hingga sekarang. Saat menjadi Mahasiswa aktif di Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII) Cabang Kebumen. Penulis sekarang tinggal di Kauman RT. 002/RW.
005 Desa Ambarwinangun Kecamatan Ambal Kabupaten Kebumen-Jawa Tengah. Penulis
bisa dihubungi melalui nomor HP/WA: 089
609 738 495/E-mail: akrom.mizan@yahoo.com/FB: Mizanul Akrom/PIN BBM:
D4115827/Blog: http://akrommizan.blogspot.com/.
[2] Satu-satunya hal dalam Aksi Bela Islam bahwa mereka
bergerak hanyalah ketika identitas agama mereka terusik. Umat hanya mudah
terbakar emosi ketika seorang non-Muslim menghina ayat Al-Quran dan akan merasa
paling beriman ketika menuntut keadilannya dengan turun ke jalan bersama ribuan
sesamanya. Tapi, mereka tidak terluka imannya sama sekali ketika para petani
(yang juga Muslim) berjuang melawan keserakahan korporasi yang hendak mengambil
petak-petak tanah pertanian tempat mereka menggantungkan hidup hanya karena
dianggapnya tak ada ayat yang dihinakan. Padahal, bukankah korporasi telah
mendustakan firman Allah SWT dengan berbuat kerusakan di muka bumi (QS Al-A’raf
56) sambil memakan harta orang lain dengan cara yang dzalim (QS Al-Baqarah
188)?
[3] Kalau boleh jujur, pemicu (push
factor)
dari semua kegaduhan ini, sesungguhnya bukan terletak pada mulut Ahok,
melainkan Undang- Undang No 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama dan pasal 156a
dalam KUHP, yang dengan mudah bisa dipolitisasi sebagai alat untuk menjatuhkan
seorang lawan politik. Padahal UU penyalahgunaan atau penodaan agama ini
diterbitkan oleh pemerintah untuk menangani aliran-aliran kebatinan yang muncul
pada masa Orde Baru. Artinya UU produk Orba ini dipakai sebagai legitimasi
untuk melakukan penertiban ala militer pada semua hal yang dianggap berpotensi
merongrong wibaba pemerintah dan kedaulatan negara. Lihat: Dede Mulanto dan
Coen Husen Pontoh (ed.), Bela Islam atau
Bela Oligarki? Pertalian Agama, Politik dan Kapitalisme di Indonesia, Edisi
Digital, (Jakarta: Pustaka IndoPROGRESS, 2017), hal. 61.
[4] Istilah pembebasan muncul dari gerakan
sosial Kristen-Pembebasan pada era 1960-an yang timbul sebagai bentuk
penghayatan teologis atas iman Kristiani sebagai bentuk perlawanan terhadap
kemapanan politik dan lembaga Pastoral-Gereja yang pro status-quo. Gerakan ini timbul pada suasana social politik era
1950-an di Amerika Latin yang telah melahirkan struktur social-ekonomi yang
eksploitatif terhadap kaum miskin dan lemah. Kondisi ini menimbulkan komitmen
dikalangan agamawan Kristen yang berpihak kepada kaum miskin dan tertindas
serta mengambil langkah praktis untuk melakukan pembelaan terhadap hak-hak
mereka. Pemahaman inilah yang kemudian dikenal dengan istilah Teologi
Pembebasan. Lihat: Maftukhin, Nuansa
Studi Islam; Sebuah Pergulatan Pemikiran, Cet. I, (Yogyakarta: Teras,
2010), hal. 244.
[5] Adnan Mahmud, dkk. (Eds), Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia,
Cet. II, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hal. 126.
[6] Ibid.,
hal. 127.
[7] Ibid.,
hal. 127-128.
[8] Michael Lowy, Teologi Pembebasan, Penj. Roem Topatimasang, Cet. III, (Yogyakarta:
INSIST Press dan Pustaka Pelajar, 2003), hal. 26.
[9] Ibid.,
hal. 28.
[10] Ibid.,
hal. 29-30.
[11] Adnan Mahmud, dkk. (Eds), Op.
Cit., hal. 128.
[12] Ibid.
[13] Ibid.,
hal. 128-129.
[14] Ibid.,
hal. 129.
[15] Abdurrahman Mas’ud, Antologi Studi Agama dan Pendidikan, Cet. I, (Semarang: Aneka Ilmu,
2004), hal. 167-168.
[16] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1989), hal. 609.
[17] Pandangan materialisme historis adalah
pandangan tentang faktor-faktor pokok yang menentukan perkembangan sejarah.
Pandangan ini bersamaan dengan teorinya tentang revolusi merupakan bagian dari
konsep Marx yang paling berpengaruh dan tetap merupakan inti dari segala macam
Marxisme. “Materialisme” dalam marx berarti bahwa kegiatan dasar manusia adalah
kerja sosial. Disini dia menerima pengandaian Feurbach bahwa kenyataan akhir
adalah objek indrawi itu harus dipahami sebagai kerja atau produksi. Istilah
“sejarah” mengacu pada Hegel yang pengandaian-pengandaiannya tentang sejarah
diterima Marx. Tetapi, sejarah disini bukan menyangkut perwujudan diri Roh,
melainkan perjuangan kelas-kelas untuk mewujudkan dirinya mencapai kebebasan
(emansipasi). Lihat: Franz Magnis-Suseno, Pemikiran
Karl Marx; Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Cet. V,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal. 135-136.
[18] Abdurrahman Mas’ud, Op. Cit., hal. 170.
[19] Adnan Mahmud, dkk. (Eds), Op.
Cit., hal. 132.
[20] Tidak mengembangkan seruan kepada massa, dan
hampir setiap gagasannya mengidentifikasikan diri dengan rezim penguasa.
[21] Maftukhin, Op. Cit., hal. 249.
[22] Ibid.,
hal. 250-251.