Buku ini
hadir, sebenarnya berawal dari upaya
penulis dalam membangun paradigma kritis bagi pendidikan Islam. Tujuannya adalah
agar peserta didik sebagai manusia yang bercirikan manusia khalifatullah (khalifah Allah) yang siap menghadapi segala
tantangan kehidupan. Manusia dengan kategori tersebut harus dibekali dengan
daya kreatif, etis, dan kritis. Tidak hanya secara normatif-teologis, tetapi
juga pada tahap empiris. Untuk itu, pendidikan Islam harus menyentuh
persoalan-persoalan kemanusiaan dan persoalan social, sehingga pendidikan Islam
tidak kaku dan beku atau bahkan ekslusif dalam menghadapi problematika sosial
hari ini.
Pendidikan Islam seharusnya menjadi garda terdepan dalam menampilkan
kritik yang sangat mendasar terhadap paradigma pendidikan konservatif dan
liberal yang telah dianggap gagal menjalankan visi dan misi pendidikan sebagai
proses humanisasi. Implikasi yang dihasilkan oleh paradigma pendidikan yang
dominan tersebut adalah out put pendidikan yang dihasilkan tidak mampu
membawa ke arah perubahan konstruktif bagi realitas kemanusiaan. Karena pendidikan
Islam terkait erat dengan dimensi praksis-sosial yang senantiasa memiliki
dampak sosial. Sehingga pendidikan Islam dituntut untuk responsif terhadap
realitas sosial, sehingga ia tidak terbatas pada lingkup pemikiran
teoretis-konseptual seperti yang dipahami selama ini. Formulasi pendidikan
Islam kritis digagas adalah sebagai upaya untuk membangun peserta didiknya menuju
kearah pemikiran dan kesadaran kritis. Dengan konsepsi tersebut, sehingga menuntut
para pelaku pendidikan Islam agar mengubah paradigma pendidikannya menuju
paradigma kritis dan relevan dengan perubahan zaman, serta mampu menatap masa
depan tanpa meninggalkan nilai-nilai dasar Islam itu sendiri.
Selain dari pada itu, Penulis menyadari bahwa maraknya benturan
dan konflik kekerasan, mulai dari antar individu, antar elit, antar kelompok,
antar kampung hingga antar suku di tanah air yang disebabkan oleh persoalan
tidak adanya pemahaman yang inklusif dalam memandang kelompok, suku hingga antar
maupun intern umat beragama. Konflik yang terjadi di Indonesia menunjukan bahwa
bangsa ini belum mampu memahami arti keragaman dan perbedaan. Tidak sedikit
diantara manusia yang hendak meniadakan kebhinekaan (plutality) dan
menggantinya dengan ketunggalan dan keseragaman (uniformity). Ironisnya,
para teroris dan kaum radikalis mengklaim bahwa semua itu dilakukan karena
perintah agama (Islam). Fenomena konflik agama tersebut selain buah dari
hilangnya semangat Bhineka Tunggal Ika juga merupakan anak biologis dari
kecenderungan paradigma beragama masyarakat yang eksklusif dan superior. Sikap dilematis
tersebut jelas-jelas menjadi faktor pendorong munculnya konflik yang tidak saja
menodai agama itu sendiri, tapi juga telah menodai persaudaraan antar manusia. Peningkatan
konstelasi kekerasan tersebut menimbulkan tanda tanya besar tentang efektifitas
pendidikan selama ini dalam menanamkan budaya toleransi dan saling menghargai
satu sama lain dalam kerangka Indonesia yang plural dan multikultur.
Realitas tersebut menunjukan bahwa pendidikan agama—baik di sekolah
umum maupun sekolah agama—lebih bercorak eksklusif, yaitu agama diajarkan
dengan cara menafikkan hak hidup agama lain, dan seakan-akan hanya agama
sendiri yang paling benar dan mempunyai hak hidup, sementara agama lain salah,
tersesat dan terancam hak hidupnya baik dikalangan mayoritas maupun minoritas.
Seharusnya pendidikan agama (Islam) dapat dijadikan sebagai wahana untuk
mengembangkan moralitas universal yang ada dalam agama-agama, dan sekaligus
mengembangkan teologi inklusif dan pluralis.
Selanjutnya, bahwa masyarakat saat ini sudah mulai
tersadarkan dengan ketidakpuasannya terhadap dunia pendidikan karena ketidakmampuannya
dalam mengantisipasi berbagai masalah yang muncul di era globalisasi saat ini,
yang tidak lain karena paradigma pendidikannya yang sudah tidak relevan dengan realitas
dan konteks zaman yang sedang berkembang. Persoalan sederhana bahwa pendidikan saat
ini tidak mampu menjawab berbagai macam persoalan kemanusiaan, disamping karena
tidak relevan tersebut, juga derasnya penetrasi arus globalisasi sehingga interest
terhadap persoalan kemanusiaan yang diharapkan dapat terselesaikan oleh pendidikan,
namun nyatanya tenggelam dan terseret oleh arus globalisasi yang semakin hari
semakin derasnya dalam iklim dunia pendidikan kita saat ini.
Secara spesifik, pendidikan agama yang seharusnya dapat
difungsikan sebagai salah satu terapi bagi the future shock dan persoalan
kemanusiaan, kini tidak mampu lagi mewujudkan hasil yang memuaskan setelah
lebih dari tiga abad lamanya dipercaya untuk mendukung ketercapaian pendidikan
agama yang ideal. Maka dari itu, sudah saatnya bagi dunia pendidikan Islam
untuk menimbang bagaimana reposisi pendidikan Islam saat ini, baik ditengah
iklim kehidupan sosial keagamaan di Indonesia yang selalu saja diwarnai dengan
bentrokan, kekerasan yang berujung pada konflik, serta dalam konteks era
globalisasi saat ini yang semakin hari semakin menimbulkan keresahan,
penderitaan dan penyesatan.
Dengan situasi dan kondisi tersebut di atas, maka perlunya
bagi dunia pendidikan Islam saat ini untuk merefleksikan dan mereformulasikan baik
paradigma pendidikannya, sistem, materi, metode dan orientasi pendidikan yang acceptable
dan kontekstual yang dapat teraplikasi tidak hanya pada tingkat dasar, namun juga
dapat diteruskan pada tingkat pendidikan tinggi.
Memang tidaklah mudah untuk mewujudkan cita-cita tersebut, namun
berbagai langkah awal nampaknya sangat perlu bagi kita untuk memahami konteks
dan suasana yang berkembang ditengah masyarakat. Perkembangan yang terjadi di
masyarakat tentunya memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi dan tidak mudah
untuk kita cari solusinya. Akan tetapi, dengan mengamati berbagai wacana dan
diskursus yang berkembang nampaknya dapat dijadikan pijakan utama dalam
melakukan reformulasi solusi bagi kebuntuan, kebekuan, dan kemandegan intelektual
yang disebabkan oleh praktik pendidikan yang kurang melakukan langkah-langkah
penyadaran. Inilah mengapa buku ini begitu penting untuk dihadirkan dan dibaca
oleh masyarakat umumnya, khususnya bagi para penggiat pendidikan Islam, guru,
dosen, dan pejuang pendidikan Islam serta pemerhati masalah-masalah
kependidikan di Indonesia.
Kehadiran buku ini merupakan upaya untuk mereformulasi kajian
tentang ilmu pendidikan Islam teoretis dan praktisnya, memotret berbagai
persoalan pendidikan Islam dari konsepnya, ideologi dan paradigma yang
berkembang hingga menelisik pendidikan Islam di Pesantren. Kehadiran buku ini
juga merupakan ikhtiar penulis dalam membangun paradigma kritis dalam dunia
pendidikan Islam, mulai dari kajian teori kritis, ide dasar pendidikan kritis, paradigm
kritis dalam epistemologi Islam, hingga membangun pendidikan Islam kritis.
Selain daripada itu, buku ini adalah upaya dalam membangun kerukunan
antar maupun intern umat beragama pada tataran wacana dan teori yang dikemas menjadi
konsep pendidikan pluralis, serta upaya penulis untuk melihat tantangan dan
peluang yang dihadapi pendidikan Islam ditengah arus globalisasi dunia, hingga
langkah-langkah preventif-strategis yang perlu diformulasi bagi
pendidikan Islam, khususnya formulasi tujuan pendidikan menuju reorientasi
pendidikan Islam yang capable dan kontekstual yang mampu membekali
peserta didiknya menyangkut tiga aspek sekaligus, yakni aspek dzikir
(afektif) yang di imbangi dengan fikir (kognitif) dan amal shaleh
(psikomotorik) sehingga timbul dorongan yang sangat kuat bagi dirinya (peserta
didik) untuk mengamalkan dan mentaati ajaran dasar dan nilai-nilai Islam, serta
mendorong aspek-aspek tersebut (dzikir, fikir, amal shaleh) kearah
kebaikan dan pencapaian kesempurnaan hidup.
Dari berbagai penjelasan dan uraian sebagaimana dijelaskan di
atas, maka tema yang dituangkan dan disuguhkan dalam buku ini adalah menelisik
dan mengungkap tentang: Pendidikan Islam Kritis, Pluralis dan Kontekstual.