Monday, August 29, 2016

PENDIDIKAN ISLAM KRITIS, PLURALIS DAN KONTEKSTUAL

Buku ini hadir, sebenarnya berawal dari upaya penulis dalam membangun paradigma kritis bagi pendidikan Islam. Tujuannya adalah agar peserta didik sebagai manusia yang bercirikan manusia khalifatullah (khalifah Allah) yang siap menghadapi segala tantangan kehidupan. Manusia dengan kategori tersebut harus dibekali dengan daya kreatif, etis, dan kritis. Tidak hanya secara normatif-teologis, tetapi juga pada tahap empiris. Untuk itu, pendidikan Islam harus menyentuh persoalan-persoalan kemanusiaan dan persoalan social, sehingga pendidikan Islam tidak kaku dan beku atau bahkan ekslusif dalam menghadapi problematika sosial hari ini.
Pendidikan Islam seharusnya menjadi garda terdepan dalam menampilkan kritik yang sangat mendasar terhadap paradigma pendidikan konservatif dan liberal yang telah dianggap gagal menjalankan visi dan misi pendidikan sebagai proses humanisasi. Implikasi yang dihasilkan oleh paradigma pendidikan yang dominan tersebut adalah out put pendidikan yang dihasilkan tidak mampu membawa ke arah perubahan konstruktif bagi realitas kemanusiaan. Karena pendidikan Islam terkait erat dengan dimensi praksis-sosial yang senantiasa memiliki dampak sosial. Sehingga pendidikan Islam dituntut untuk responsif terhadap realitas sosial, sehingga ia tidak terbatas pada lingkup pemikiran teoretis-konseptual seperti yang dipahami selama ini. Formulasi pendidikan Islam kritis digagas adalah sebagai upaya untuk membangun peserta didiknya menuju kearah pemikiran dan kesadaran kritis. Dengan konsepsi tersebut, sehingga menuntut para pelaku pendidikan Islam agar mengubah paradigma pendidikannya menuju paradigma kritis dan relevan dengan perubahan zaman, serta mampu menatap masa depan tanpa meninggalkan nilai-nilai dasar Islam itu sendiri.
Selain dari pada itu, Penulis menyadari bahwa maraknya benturan dan konflik kekerasan, mulai dari antar individu, antar elit, antar kelompok, antar kampung hingga antar suku di tanah air yang disebabkan oleh persoalan tidak adanya pemahaman yang inklusif dalam memandang kelompok, suku hingga antar maupun intern umat beragama. Konflik yang terjadi di Indonesia menunjukan bahwa bangsa ini belum mampu memahami arti keragaman dan perbedaan. Tidak sedikit diantara manusia yang hendak meniadakan kebhinekaan (plutality) dan menggantinya dengan ketunggalan dan keseragaman (uniformity). Ironisnya, para teroris dan kaum radikalis mengklaim bahwa semua itu dilakukan karena perintah agama (Islam). Fenomena konflik agama tersebut selain buah dari hilangnya semangat Bhineka Tunggal Ika juga merupakan anak biologis dari kecenderungan paradigma beragama masyarakat yang eksklusif dan superior. Sikap dilematis tersebut jelas-jelas menjadi faktor pendorong munculnya konflik yang tidak saja menodai agama itu sendiri, tapi juga telah menodai persaudaraan antar manusia. Peningkatan konstelasi kekerasan tersebut menimbulkan tanda tanya besar tentang efektifitas pendidikan selama ini dalam menanamkan budaya toleransi dan saling menghargai satu sama lain dalam kerangka Indonesia yang plural dan multikultur.
Realitas tersebut menunjukan bahwa pendidikan agama—baik di sekolah umum maupun sekolah agama—lebih bercorak eksklusif, yaitu agama diajarkan dengan cara menafikkan hak hidup agama lain, dan seakan-akan hanya agama sendiri yang paling benar dan mempunyai hak hidup, sementara agama lain salah, tersesat dan terancam hak hidupnya baik dikalangan mayoritas maupun minoritas. Seharusnya pendidikan agama (Islam) dapat dijadikan sebagai wahana untuk mengembangkan moralitas universal yang ada dalam agama-agama, dan sekaligus mengembangkan teologi inklusif dan pluralis.
Selanjutnya, bahwa masyarakat saat ini sudah mulai tersadarkan dengan ketidakpuasannya terhadap dunia pendidikan karena ketidakmampuannya dalam mengantisipasi berbagai masalah yang muncul di era globalisasi saat ini, yang tidak lain karena paradigma pendidikannya yang sudah tidak relevan dengan realitas dan konteks zaman yang sedang berkembang. Persoalan sederhana bahwa pendidikan saat ini tidak mampu menjawab berbagai macam persoalan kemanusiaan, disamping karena tidak relevan tersebut, juga derasnya penetrasi arus globalisasi sehingga interest terhadap persoalan kemanusiaan yang diharapkan dapat terselesaikan oleh pendidikan, namun nyatanya tenggelam dan terseret oleh arus globalisasi yang semakin hari semakin derasnya dalam iklim dunia pendidikan kita saat ini.
Secara spesifik, pendidikan agama yang seharusnya dapat difungsikan sebagai salah satu terapi bagi the future shock dan persoalan kemanusiaan, kini tidak mampu lagi mewujudkan hasil yang memuaskan setelah lebih dari tiga abad lamanya dipercaya untuk mendukung ketercapaian pendidikan agama yang ideal. Maka dari itu, sudah saatnya bagi dunia pendidikan Islam untuk menimbang bagaimana reposisi pendidikan Islam saat ini, baik ditengah iklim kehidupan sosial keagamaan di Indonesia yang selalu saja diwarnai dengan bentrokan, kekerasan yang berujung pada konflik, serta dalam konteks era globalisasi saat ini yang semakin hari semakin menimbulkan keresahan, penderitaan dan penyesatan.
Dengan situasi dan kondisi tersebut di atas, maka perlunya bagi dunia pendidikan Islam saat ini untuk merefleksikan dan mereformulasikan baik paradigma pendidikannya, sistem, materi, metode dan orientasi pendidikan yang acceptable dan kontekstual yang dapat teraplikasi tidak hanya pada tingkat dasar, namun juga dapat diteruskan pada tingkat pendidikan tinggi.
Memang tidaklah mudah untuk mewujudkan cita-cita tersebut, namun berbagai langkah awal nampaknya sangat perlu bagi kita untuk memahami konteks dan suasana yang berkembang ditengah masyarakat. Perkembangan yang terjadi di masyarakat tentunya memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi dan tidak mudah untuk kita cari solusinya. Akan tetapi, dengan mengamati berbagai wacana dan diskursus yang berkembang nampaknya dapat dijadikan pijakan utama dalam melakukan reformulasi solusi bagi kebuntuan, kebekuan, dan kemandegan intelektual yang disebabkan oleh praktik pendidikan yang kurang melakukan langkah-langkah penyadaran. Inilah mengapa buku ini begitu penting untuk dihadirkan dan dibaca oleh masyarakat umumnya, khususnya bagi para penggiat pendidikan Islam, guru, dosen, dan pejuang pendidikan Islam serta pemerhati masalah-masalah kependidikan di Indonesia.
Kehadiran buku ini merupakan upaya untuk mereformulasi kajian tentang ilmu pendidikan Islam teoretis dan praktisnya, memotret berbagai persoalan pendidikan Islam dari konsepnya, ideologi dan paradigma yang berkembang hingga menelisik pendidikan Islam di Pesantren. Kehadiran buku ini juga merupakan ikhtiar penulis dalam membangun paradigma kritis dalam dunia pendidikan Islam, mulai dari kajian teori kritis, ide dasar pendidikan kritis, paradigm kritis dalam epistemologi Islam, hingga membangun pendidikan Islam kritis.
Selain daripada itu, buku ini adalah upaya dalam membangun kerukunan antar maupun intern umat beragama pada tataran wacana dan teori yang dikemas menjadi konsep pendidikan pluralis, serta upaya penulis untuk melihat tantangan dan peluang yang dihadapi pendidikan Islam ditengah arus globalisasi dunia, hingga langkah-langkah preventif-strategis yang perlu diformulasi bagi pendidikan Islam, khususnya formulasi tujuan pendidikan menuju reorientasi pendidikan Islam yang capable dan kontekstual yang mampu membekali peserta didiknya menyangkut tiga aspek sekaligus, yakni aspek dzikir (afektif) yang di imbangi dengan fikir (kognitif) dan amal shaleh (psikomotorik) sehingga timbul dorongan yang sangat kuat bagi dirinya (peserta didik) untuk mengamalkan dan mentaati ajaran dasar dan nilai-nilai Islam, serta mendorong aspek-aspek tersebut (dzikir, fikir, amal shaleh) kearah kebaikan dan pencapaian kesempurnaan hidup.
Dari berbagai penjelasan dan uraian sebagaimana dijelaskan di atas, maka tema yang dituangkan dan disuguhkan dalam buku ini adalah menelisik dan mengungkap tentang: Pendidikan Islam Kritis, Pluralis dan Kontekstual.

Previous Post
Next Post

Penulis yang mengabdikan tulisannya bagi amal jariyah pemikiran. Tokoh favorit sekaligus panutannya adalah Gus Dur