Saturday, December 29, 2018

TEOLOGI PEMBEBASAN

TEOLOGI PEMBEBASAN

Prawacana[1]
Berbicara teologi pembebasan dalam diskusi-diskusi resmi atau bahkan diskusi kultural mahasiswa memang terkesan problematik. Seringkali diskusi seperti ini dicurigai sebagai gerakan pemikiran kekiri-kirian yang diasosiasikan pendukung komunisme dan bahkan dianggap menyebarkan pemikiran subversif. Rupanya persepsi itu disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, adanya kesalahpahaman mengenai term teologi pembebasan (liberation theology) itu sendiri. Kedua, teologi pembebasan adalah terminologi yang lahir dari tradisi Kristiani, khususnya di Amerika Latin dan tidak pernah dikenal secara eksplisit dalam khazanah pemikiran Islam. Ketiga, teologi pembebasan sedikit banyak diinspirasikan oleh ideologi kiri dari pemikiran Marxisme yang dalam sejarah perpolitikan Indonesia dianggap memiliki cacat yang tak termaafkan.
Kenyataan diatas agaknya cukup menggelitik umat Islam—Indonesia khususnya—sehingga perlunya bagi kaum intelektual untuk melakukan interpretasi secara jujur. Masalahnya sekarang adalah, sudahkah dinamika ajaran Islam berperan sebagai prime mover (penggerak utama) bagi bangsa yang sedang membangun sebagaimana peran penting diatas. Adakah Islam telah melaksanakan misi utamanya, yakni rahmatan lil ‘alamin dalam arti berperan sebagai teologi pembebasan dari keterbelakangan, kebodohan, ketidakadilan dan penciptaan masyarakat yang demokratis?
Pergolakan dari pergumulan sejarah kehidupan sosial empiris, baik berupa pertentangan politik, dominasi kekuatan sosial tertentu, dominasi mainstream pemikiran keagamaan, keinginan untuk menjaga status-quo maupun perlindungan golongan masyarakat tertentu, ditambah dengan kelengkapan laboratorium ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh generasi peradaban manusia tertentu ikut menentukan pola pikir, kebijakan dan mode of thought suatu generasi yang hidup pada periode sejarah tertentu.
Demikian pula teologi, yang selama ini dikenal sebagai keilmuan yang hanya berhubungan dengan sesuatu yang bersifat dogmatis atau institusi-institusi keagamaan tertentu, kini telah dihubungkan dengan kata “Pembebasan” yang kemudian dikenal dengan istilah “Teologi Pembebasan”.[2] Pada akhir-akhir ini—baik secara sadar maupun tidak sadar—gagasan pembebasan tersebut mulai dikembangkan dalam tradisi pemikiran keislaman, baik menggunakan istilah dan corak pemikiran dengan seperangkat metode analisis maupun pemecahan masalah yang sama dengan semangat persamaan dan pembebasan yang dimiliki oleh umat Islam perlu dikedepankan kembali, serta bagaimana cara pemahaman Islam  yang membebaskan adalah langkah kerja yang menarik.
Tegaslah kini bahwa dalam konteks teologi pembebasan, umat Islam Indonesia yang terkenal religius memiliki beban yang tidak ringan. Disamping taqarrub ilallah yang harus ditingkatkan, rekayasa sosial dalam arti luas juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Rekayasa mulia ini diantaranya adalah peningkatan kadar kebebasan individu dan masyarakat, mengurangi eksploitasi ekonomi, mengusahakan jihad langgeng terhadap segala bentuk vest interest, mengupayakan partisipasi keadilan sosial, memerangi kebodohan serta menangkal kekuatan-kekuatan imperialis modern.
Tulisan makalah reflektif ini dimaksudkan untuk sedikitnya mengklarifikasikan asumsi-asumsi yang menjadi keberatan berbagai kalangan terhadap wacana teologi pembebasan. Dan untuk tujuan ini pula penulis berusaha menyelami sejarah sekaligus menemukan makna dan signifikansi teologi pembebasan bagi pemahaman keagamaan kita ke arah pengertian yang lebih transformatif, rasional dan fungsional.
A.      Makna Term Pembebasan
Perkataan “bebas” dapat menunjukkan bermacam-macam kenyataan. Sebagai contoh, pemakaian istilah ‘kebebasan’ oleh Lord Acton, melukiskan sejarah manusia dari sudut perjuangan untuk memperoleh kebebasan.[3] Dalam pandangan ini bahwa kebebasan adalah bukan sesuatu yang dimiliki oleh manusia demi kodrat, melainkan sesuatu yang perlu diperjuangkan.
Selanjutnya, ‘kebebasan’ menurut Acton diperjuangkan bangsa manusia ialah kebebasan dari belenggu alam. Bangsa manusia sekarang (jauh lebih) bebas dari penyakit, kelaparan, ketidakamanan dan sebagainya. Bentuk kebebasan ini disebut citra progresif. Sedangkan ‘kebebasan’ menurut Roussean adalah kebebasan dari belenggu institusi-institusi politik yang telah maju. Dengan kembali kepada cara-cara hidup yang lebih primitif dan alamiah orang mengharapkan dapat dibebaskan dari belenggu-belenggu ini. Bentuk kebebasan ini disebut citra romantis.[4]
Dari penjelasan tersebut bahwa arti kata ‘bebas’, ‘kebebasan’ dan ‘pembebasan’ baru menjadi jelas kalau dikatakan dari apa seseorang telah dibebaskan.  Oleh sebab itu, maka kebebasan disini adalah tidak adanya penghalang atau pembatas, paksaan, halangan, bebas atau kewajiban seseorang untuk memperoleh hak-hak asasinya yang luhur dan manusiawi.
Kemudian istilah ‘pembebasan’ yang dipakai untuk spektrum agama, pertama kali muncul pada Gereja Kristen di Amerika Latin, baik oleh Pastor ataupun para aktivis muda yang menyadari bahwa kondisi sosial politik di Amerika Latin sangat buruk, dan Gereja terlibat dalam perkara ini. Karena Gereja tetap menerima bantuan dari rezim diktator, mengakui dan menyokongnya. Gustavo Gutierrez seorang juru bicara kelompok ini mengecam situasi tersebut dengan menerbitkan bukunya “Teologia de Liberation” atau Teologi Pembebasan.[5]
Seperti yang pernah dinyatakan oleh Leonardo Boff, Teologi Pembebasan adalah pantulan pemikiran dan sekaligus cerminan dari keadaan nyata, suatu praxis yang sudah ada sebelumnya. Lebih tepatnya, ini adalah pengungkapan atau pengabsahan suatu gerakan sosial yang amat luas yang muncul pada awal tahun 1960-an. Gerakan ini melibatkan sektor-sektor penting dari Gereja (para Romo, para pengamal tarekat-tarekat atau ordo-ordo keagamaan dan para uskup), gerakan-gerakan keagamaan orang awam (Aksi Katolik, Pemuda Perguruan Tinggi Katolik, Pemuda Buruh Kristen), keterlibatan pastoral yang merakyat serta kelompok-kelopok basis masyarakat gereja.[6]
Gerakan mereka diawali dengan menghimpun diri dan menentang sebab-sebab penghisapan atas dasar nalar moral dan kerohanian yang di ilhami oleh budaya keagamaan mereka, yaitu iman Kristen dan tradisi Katolik. Lebih jauh lagi, matra keagamaan dan moral inilah yang merupakan faktor hakiki yang menggerakkan semangat ribuan aktivis Kristen dalam serikat-serikat buruh, kerukunan-kerukunan tetangga, front-front kerakyatan dan revolusioner. Kemiskinanlah yang menjadikan mereka sadar akan keadaan mereka sendiri dan mengorganisir diri untuk berjuang sebagai orang Kristen dan sebagai anggota Gereja yang di ilhami oleh suatu iman.
Selanjutnya, Teologi Pembebasan adalah sebagai batang tubuh dari karya-karya tulis yang dihasilkan sejak tahun 1970-an oleh tokoh-tokoh seperti Gustavo Gutierrez (Peru), Rubem Alves, Carlos Masters, Hugo Assmann, Leonardo dan Clodovis Boff (Brazilia), Jon Sobrino, Ignacio Ellacuria (El Salvador), Segundo Galilea, Ronaldo Munoz (Chili), Jose Miguel Bonino, Juan Carlos Scannone (Argentina), Juan-Luis Segundo (Uruguay) adalah produk kerohanian (istilah ini, sebagaimana yang sudah kita ketahui berasal dari buku German Ideology-nya Marx) dari gerakan sosial ini.[7]
Karena teologi menurut pengikutnya tidak hanya bersifat spekulatif dan tidak boleh hanya dimaksudkan memberikan kepuasan emosionaal kepada manusia, tetapi harus memberikan pedoman untuk mewujudkan suatu masyarakat yang lebih adil. Walaupun untuk maksud tersebut harus menggunakan analisis Marxis untuk mengerti lebih baik sistem sosial politik. Namun harus diakui bahwa dengan menyertakan didalamnya suatu doktrin keagamaan yang benar-benar masuk akal (rasional), dan teologi pembebasan telah memberikan sumbangsih yang sangat besar terhadap peluasan dan penguatan gerakan-gerakan tersebut.
Meskipun ada perbedaan-perbedaan penting antara para teolog tersebut, namun dari beberapa ajaran dasar terdapat beberapa kesamaan dalam banyak karya tulis yang telah mereka hasilkan dan telah membentuk suatu pergeseran radikal dari ajaran tradisional mapan Gereja Katolik maupun Protestan. Dari beberapa ajarannnya yang terpenting adalah sebagai berikut:[8]
1.          Gugatan moral dan sosial yang amat keras terhadap ketergantungan kepada kapitalisme sebagai suatu sistem yang tidak adil dan tidak beradab, dan sebagai suatu bentuk dosa struktural.
2.         Penggunaan alat analisis Marxisme dalam rangka memahami sebab-musabab kemiskinan, pertentangan-pertentangan dalam tubuh kapitalisme dan bentuk-bentuk perjuangan kelas.
3.         Pilihan khusus bagi kaum miskin dan kesetiakawanan terhadap perjuangan mereka menuntut kebebasan.
4.        Pengembangan basis kelompok-kelompok masyarakat Kristen dikalangan orang miskin sebagai suatu bentuk baru Gereja dan sebagai suatu alternatif terhadap cara hidup individualis yang dipaksakan oleh kaum kapitalis.
5.         Suatu pembacaan baru pada al-Kitab yang meberikan perhatian penting pada bagian-bagian Kitab keluaran sebagai paradigma perjuangan pembebasan rakyat yang diperbudak.
6.        Perlawanan menentang pemberhalaan (jadi bukan atheisme) sebagai musuh utama agama, yakni menentang berhala-berhala baru yang disembah oleh Fir’aun-Fir’aun baru, Caesar-Caesar baru dan Herodes-herodes baru: uang, kekayaan, kekuasaan, keamanan nasional, negara, pasukan militer dan peradaban Kristen Barat.
7.         Sejarah pembebasan manusia adalah antisipasi akhir dari penyelamatan Kristen dan Kerajaan Tuhan.
8.        Kecaman terhadap teologi tradisonal yang bermuka ganda sebagai hasil dari filsafat Yunani Platonis, bukan dari tradisi murni Injil.
B.      Dasar Pembebasan dan Gerakan Sosial dalam Islam
Sebenarnya akar pokok agama Islam adalah tauhid, atau pernyataan monoteistik bahwa Allah itu Esa. Pengertian tersebut oleh Ali Syariati tidaklah cukup, tauhid juga menurut Syariati merupakan pandangan dunia (world view) yang melihat seluruh dunia merupakan sistem yang utuh-komprehensif, harmonis, hidup dan sadar diri yang melampui segala dikotomi, dibimbing oleh tujuan ilahi yang sama.[9] Pernyataan tersebut, kata al-Faruqi, mengandung makna yang paling agung dan paling kaya dalam seluruh khasanah Islam. Kadang seluruh kebudayaan dan seluruh peradaban atau seluruh sejarah dipasalkan dalam satu kalimat. Inilah pastinya kalimat syahadat Islam. Segala keragaman, kekayaan dan sejarah, kebudayaan dan pengetahuan, kebijaksanaan dan peradaban Islam diringkas dalam kalimat lâ ilâha illallâh.[10]
Teologi dalam terma pandangan dunia ini berbeda dengan teologi spekulatif-sistematis abad pertengahan. Bentuk teologi ini, menurut Iqbal, dapat meluaskan intelektualisme, namun telah mengaburkan visi mereka tentang semangat al-Qur’an.[11] Kalimat tauhid, yaitu “tidak ada tuhan kecuali Allah”, dalam gramatika bahasa Arab mengisyaratkan spesifikasi, yakni hanya Allah yang ada (real) dan dilaur dirinya pada hakikatnya tidak ada (fana’).
Tauhid bertentangan dengan syirik, yaitu menempatkan sesuatu disamping Allah sebagai objek penyembahan dan itu menunjukkan penyembahan berhala. Namun dasar-dasar ini oleh Syariati diberi muatan sosiologis, yakni bahwa pada awalnya masyarakat itu bersifat egaliter dan adil. Ketika kesatuan masyarakat ini terpecah-belah menjadi kelas-kelas dan kelompok-kelompok yang berbeda-beda, sehingga syirikisme muncul didalam lingkup agama. Berjuang melawan ketiadaan, persamaan dan keadilan di dunia adalah kewajiban yang suci.[12]
Meminjam pisau analisis materialisme historis Karl Marx, tokoh-tokoh berkuasa dalam al-Qur’an, seperti Fir’aun, Bal’am dan Saman yang senantiasa bekerjasama menghadapi massa yang dianggap tidak sederajat dan harus ditindas. Ketimpangan hubungan antara penindas dan yang di tindas memang merupakan struktur pokok masyarakat manusia dalam segala zaman, meskipun sarana dan ungkapan hubungan kekuasaan ini dapat berbeda-beda dari zaman ke zaman. Sebagai wakil Tuhan dimuka bumi seorang harus tampil mengadakan pembebasan karena adanya peminggiran sebagai akibat strategi tidak adanya persamaan yang dicanangkan oleh segelintir orang yang berkuasa.
Dalam sejarahnya bahwa gerakan sosial Islam yang digerakkan oleh Nabi Muhammad Saw., memang bukan sekedar norma, tetapi masih merupakan gerakan sosial agama yang membawa kepada kebahagiaan umat manusia. Makkah merupakan pusat perdagangan internasional pada saat munculnya Islam. Disini tumbuh masyarakat ekonomi Makkah kelas kakap yang mengkhususkan diri dalam operasi finansial secara internasional. Barangkali bisnis semacam ini tidak jauh berbeda dengan korporasi saat ini yang disebut Multi Nasional Corporation (MNC). Free fight liberalism yang menjajah atau konglomeratisme yang merampas hak kaum lemah.
Sesuai dengan trend bisnis diatas, hak milik pribadi yang semula tidak ada dalam masyarakat kesukuan Makkah, kemudian mulai tampak menguat. Saudagar-saudagar mulai membentuk korporasi antar suku, sehingga monopoli perdagangan didaerah-daerah dan dibawah kekuasaan Romawi Timur serta mengakumulasi keuntungan besar tanpa membagi sedikitpun kepada fuqara-masakin. Ini berlangsung secara drastis dan melanggar norma-norma kesukuan, sehingga menyebabkan labilnya kehidupan masyarakat Makkah pada masa itu.
Nabi Muhammad Saw., merasakan ketegangan akut yang berkembang dalam masyarakat Makkah yang diakibatkan adanya gap tajam antara si kaya dan si miskin, serta konflik serius yang tentunya bisa menyebabkan ketegangan tersebut tidak terkendali. Nabi mengajak hartawan-hartawan Makkah untuk tidak menimbun kekayaan dan sebaliknya mengasihi fakir miskin dan yatim piatu. Namun ajakan Nabi tersebut ditentang keras oleh pemimpin-pemimpin Arab karena menyangkut status quo dan vested interest.[13] Disamping itu juga, karena Islam membawa ajaran tauhid sehingga membuat para pemimpin Quraisy menentang Nabi. Sebab dampak ajaran-ajaran tauhid akan menghilangkan previlage atau keistimewaan-keistimewaan yang diperolehnya selama ini, termasuk penghapusan kesenjangan ekonomi.
Dengan integritas diniyah yang tertinggi, Nabi pun menolak segala bentuk rayuan, sehingga terciptalah masyarakat egaliter yang diperjuangkan oleh Nabi. Adakah keberhasilan perjuangan Nabi tersebut adalah hak monopoli Nabi. Disamping pesona dan kapabilitas sosok Nabi, tentunya kita mencatat terdapat faktor-faktor lain yang mendukungnya. Diantaranya adalah bantuan Allah dan ajaran-ajarannya yang dialogis dan mendorong untuk dilaksanakan. Larangan menimbun harta secara berlebih-lebihan dan konsumerisme menghadapkan Nabi secara frontal dengan tokoh-tokoh Arab. Faktor lain adalah potensi bangsa Arab yang sementara terpendam, kemudian teraktualisasi bersama Nabi. Bangsa Arab dibimbing Nabi dan Khulafaurrasyidin berhasil membumikan ajaran Islam yang komprehensif dan aplikatif.
Begitu pula segi yang paling gamblang bahwa ajaran al-Qur’an  ialah sikapnya yang memihak kaum tertindas. Al-Qur’an menjanjikan sesuai dengan ramalan materialisme-historis atas dasar logika dialektis, bahwa dalam perjuangan antara kaum tertindas dan penindas, kemenangan terakhir berada dipihak kaum tertindas. Firman Allah: “dan Kami hendak menunjukkan karunia kepada orang-orang tertindas di bumi, dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka sebagai para pewaris”.[14] (Q.S. al-Qashash: 5)
C.      Islam dan Teologi Pembebasan
Sebagaimana Marx, para tokoh-tokoh pembebasan baik dalam Islam maupun diluar Islam, teori Hegel (bahwa sejarah berkembang mirip dengan organisme, seperti biji mangga yang berproses menjadi buah mangga) ini dibawa kedalam analisis materialisme sehingga pendekatan ini menjadi materialisme historis.[15] Pertanyaan yang penting dan sederhana, mengapa sebuah ide bisa sukses dibandingkan dengan ide yang lain? Mengapa sebuah ide memiliki kaki di masyarakat? Kondisi sosial apa yang memungkinkan ide tersebut didukung oleh orang banyak?
Nabi Saw., di Makkah sebagai contoh, melalui perubahan besar didalam masyarakat Arab hingga akhirnya merontokkan kelompok-kelompok kepentingan yang kuat yang telah muncul dilingkungan Makkah. Nabi dengan serius memperhatikan nasib orang-orang tertindas yang ingin keluar dari sistem yang tidak manusiawi (dehumanisasi). Dari penjelasan tersebut, dapat dikatakan disini bahwa perubahan itu akan sukses apabila terdapat kesesuaian antara ajaran yang dibawa dengan kondisi sosial yang mendukung.
Sejak wafatnya Rasulullah hingga kini pasti ditemukan pembaharu-pembaharu muslim pada setiap abad. Semua pembaharu, disamping selalu memperkenalkan gagasan-gagasan segar dalam memahami agama, juga mempunyai misi membebaskan umatnya dari segala belenggu. Iqbal misalnya yang sangat dikenal membenci kelemahan dan kejumudan serta menganjurkan kekerasan dan keberanian adalah tokoh pembebas. Sikapnya merupakan refleksi struggle terhadap supremasi kecongkakan Barat. Sebagaimana diketahui bahwa pada abad ke-19 hampir seluruh negeri Islam berada dalam cengkraman koloni atau setengah jajahan Barat kecuali Turki. Khususnya di Asia dikuasai oleh Inggris, Perancis, belanda dan Amerika.
Iqbal dengan antropologinya yang tajam menyatakan dengan resepnya The Reconstruction of Religious in Islam. Iqbal mengingatkan bahwa pemikiran Islam selama ini lebih banyak theosentris dengan sangat memperkecil kepedulian terhadap aspek-aspek antropologis. Sebagai akibatnya lahirlah ego fatalis dan statis (hanya asyik pada Tuhan dan melupakan tugas keduniawian), dan tidak mampu menjadi khalifatullah fil ardl. Inilah salah satu kunci kemunduran dalam Islam menurut Iqbal. Sebagai terapinya dia mengupayakan lahirnya manusia luhur dinamis yang berfikiran cerdas, orisinal, kreatif, berhati ikhlas, toleran, cinta dan bernyali.[16]
Islam sebenarnya tidak hanya bersifat spiritualistik, melainkan juga memperhatikan kehidupan duniawi. Oleh sebab itu maka mau tidak mau Teologi Pembebasan tidak bisa membatasi istilah-istilah, seperti kafir, mustad ‘afin, Fir’aun dan lain-lain, haruslah ditafsirkan kembali untuk memperoleh signifikansi sosial ekonominya. Sebab Islam memberikan konsep masyarakat yang bebas dari eksploitasi, penindasan, dominasi dan ketidakadilan dalam bentuk apapun.
Istilah kafir sebenaarnya tidak hanya bermakna ketidakpercayaan religius, seperti yang diyakini teologi-teologi tradisional. Tetapi secara tidak langsung juga menyatakan pertentangan terhadap masyarakat yang adil dan egalitarian serta bebas dari segala bentuk eksploitasi dan penindasan. Jadi orang kafir adalah orang yang tidak percaya kepada Allah dan secara aktif menentang usaha-usaha yang ingin dan untuk membentuk kembali masyarakat, penghapusan penumpukan kekayaan, penindasan, eksploitasi dan segala bentuk ketidakadilan.[17] Atau dengan kata lain bahwa kafir adalah orang yang terkena kutukan dari Allah yang mencakup orang yang secara verbal beriman, melakukan shalat, namun menumpuk kekayaan terus-menerus dengan mengeksploitasi orang lain dan bermewah-mewahan, sementara kelaparan berada disekelilingnya.
Sebenarnya Teologi Pembebasan mempunyai banyak sumber teladan. Nabi Muhammad Saw., sebagaimana dituturkan diatas adalah tokoh liberator yang tidak ada duanya. Musa adalah pembebas kaum Israil yang ditekan Fir’aun. Jelas diungkapkan dalam al-Qur’an bahwa para anbiya hadir dari kalangan rakyat yang mereka memperjuangkan keadilan bersama-sama melawan penindasan dan eksploitasi (Q.S: al-Jumu’ah: 2). Hadits Nabi menegaskan bahwa sebaik-baik jihad adalah berkata benar dihadapan tirani.
D.     Konsep Teologi Pembebasan dalam Islam
Teologi pembebasan muncul karena dilatarbelakangi oleh ketidakpuasannya terhadap rumusan teologi Islam yang berkembang selama ini. Selama ini, teologi Islam diwarnai dengan ketidakjelasan metafisis, bersifat spekulatif, pro status quo[18] dan bersifat elitis. Teologi telah kehilangan relevansinya dengan konteks sosial yang ada dan telah mengalami demistified dari apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh Islam. Demikian pula teologi rasional modern telah memandang ajaran dan institusi keagamaan dalam perspektif rasio, yang lebih menarik elit-modern karena seringkali melayani tujuan dari elit tersebut. Pendekatan rasional ini tidak menarik rakyat karena mereka tidak merasa perlu. Struktur sosial sekarang yang deterministik pada kemajuan ekonomi dan intelektual telah membuat mereka tetap terbelakang, sehingga yang tetap menarik bagi mereka adalah agama rakyat disertai dengan ritual-ritualnya.
Untuk itu, perlu dirumuskan kembali sebuah teologi baru yang bersifat revolusioner, dengan tujuan untuk mengembalikan komitmen Islam terhadap keadilan sosial ekonomi dan masyarakat yang bebas dari eksploitasi, penindasan, dominasi dan ketidakadilan dalam bentuk apapun. Teologi tersebut yang sering dikenal dengan istilah “Teologi pembebasan”.
Menurut Asghar Ali Engineer, teologi pembebasan adalah suatu teologi yang meletakkan tekanan berat kepada kebebasan, persamaan dan keadilan distribusi, menolak distribusi dan menolak kekerasan, penindasan, penganiayaan dan eksploitasi manusia oleh manusia. Teologi pembebasan bukanlah pelipur lara dan pembenaran atas penderitaan dan kesengsaraan dengan menganggapnya sebagai suatu keniscayaan (takdir), namun teologi pembebasan adalah perjuangan.[19]
Sedangkan ciri utama dari Teologi Pembebasan adalah pengakuan terhadap perlunya memperjuangkan secara serius problem bipolaritas spiritual-material kehidupan manusia dengan menyusun kembali tatanan sosial sekarang menjadi tatanan yang adil, egaliter dan tidak eksploitatif. Teologi Pembebasan harus mendorong sikap kritis terhadap sesuatu yang sudah baku dan harus terus berusaha secara konstan untuk menjelajahi kemungkinan yang baru. Kehidupan dengan suatu kekayaan spiritual tidak bisa hidup dalam masyarakat satu dimensi (spiritual semata) yang menolak usaha apapun untuk keluar dan merealisasikan kemungkinan baru tersebut untuk menambah dimensi baru.
Konsep kebebasan adalah unsur dasar Teologi Pembebasan. Kebebaasan untuk memilih dan kebebasan untuk keluar (transendensi diri) menuju kehidupan yang lebih baik, dan juga untuk menghubungkan diri dengan kondisi yang berubah-ubah secara berarti. Teologi Pembebasan memberi manusia kebebasan untuk melampui situasi kekinian dalam rangka mengaktualisasikan kehidupan yang baru kedalam kertas kerja sejarah.
Teologi pembebasan tidak mencari Tuhan dalam keterbatasan manusia, tetapi pada kreativitas dan kematangannya. Teologi Pembebasan tidak membatasi diri pada arena pemikiran yang spekulatif, tetapi memperluas ruang lingkupnya untuk menjadi instrumen yang paling kuat untuk membebaskan umat dari cengkraman para penindas dan mengilhami mereka untuk bertindak dengan semangat revolusioner dalam berjuang menghadapi tirani, eksploitasi dan penganiayaan.
Teologi Pembebasan dimulai dengan melihat kehidupan manusia di dunia dan akherat. Teologi pembebasan tidak menginginkan status quo yang melindungi golongan kaya yang berhadapan dengan golongan miskin, anti kemapanan baik religius maupun politik. Kemudian, memainkan peranan dalam membela kelompok tertidas dan tercabut hak miliknya, memperjuangkan kelompok ini dan membekalinya dengan senjata ideologi yang kuat untuk melawan golongan yang menindasnya. Hal yang substansial bahwa Teologi Pembebasan tidak hanya mengakui satu konsep metafisika tentang takdir dalam rentan sejarah umat Islam, tetapi juga mengakui konsep bahwa manusia itu bebas menentukan nasibnya sendiri. Dalam pandangan Teologi Pembebaasan, keduanya sebagai pelengkap dan bukan sebagai konsep yang berlawanan.
Sebagai konsekuensinya bahwa teologi Pembebasan tidak memberlakukan institusi sebagai sesuatu yang suci—tidak dapat diganggu gugat—karena yang suci adalah nilai-nilainya dan instrumen yang muncul sebagai hasil proses sejarah yang secara konstan membutuhkan pembaruan untuk mencapai tujuan yang bersifat ilahiyah. Pada intinya bahwa Teologi Pembebasan lebih menekankan pada praktik dari pada teoretik-metafisis yang mencakup hal-hal yang bersifat abstrak dan konsep-konsep yang ambigu. Praktik yang dimaksud adalah sifat libaratif yang menyangkut interaksi dialektis antara apa yang ada (is) dengan apa yang seharusnya (ought).[20]
Sebenarnya rumusan Teologi Pembebasan tersebut diatas, tidak lain dibangun atas dasar pemahaman terhadap potensi revolusioner yang terdapat dalam asal-usul historis Islam. Realitas sosio-ekonomi dan sosio-kultural yang berkembang di Makkah pada masa awal perkembangan Islam, dimana Islam merupakan agama (dalam pengertian teknis maupun revolusi-sosial) yang menghadapi tantangan strutur penindasan didalam dan diluar masyarakat Arab pada masa itu.
Dengan uraian tentang Teologi Pembebasan ini, tentu sebuah pembacaan baru atas teologi Islam yang berkembang selama ini, dengan memasukkan unsur manusia (dengan relitas empirisnya) disamping Tuhan (dengan relitas metafisis-Nya), sehingga pembahasan tentang teologi menjadi lebih reflektif-sosiologis dan tidak lagi terlalu transendental-spekulatif. Dengan pemahaman seperti ini, secara tidak langsung memunculkan kesadaran progresif akan perlunya penggunaan pendekatan-pendekatan keilmuan sosial didalam pengembangan pemikiran keagamaan dalam Islam. Sehingga berteologi bukan lagi merupakan kegiatan dari para elit ulama, tetapi merupakan kegiatan semua orang. Berteologi bukan merupakan kegiatan untuk merumuskan ajaran tentang iman secara spekulatif, tetapi juga praktik atas iman itu sendiri.
E.       Konklusi
Semangat dan prinsip teologi pembebasan bisa tumbuh di manapun dan dalam kebudayaan apapun ketika sistem dan struktur sosial dalam masyarakat berjalan timpang, diwarnai dengan kemiskinan, ketidakadilan dan diskriminasi, serta adegan penindasan kelompok satu atas kelompok lainnya. Dengan menyadari ini kita akan memperoleh kesimpulan bahwa sesungguhnya spirit pembebasan sudah ada dalam pengalaman dalam tiap-tiap agama dan kebudayaan, termasuk juga dalam agama Islam. Semangat pembebasan hanya mungkin termanifes jika perumusan teologi diorientasikan pada solidaritas dan pembebasan terhadap umat manusia yang lemah. Oleh karena itu dibutuhkan kehendak, kesadaran diri, kebebasan dan tanggungjawab setiap individu untuk bersama-sama melakukan transformasi sosial menuju kehidupan yang lebih adil, setara dan manusiawi.



Daftar Pustaka
Abdurrahman Mas’ud. (2004). Antologi Studi Agama dan Pendidikan. Semarang: Aneka Ilmu.
Adnan Mahmud, dkk. (Eds). (2012). Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Departemen Agama RI. (1989). Al-Qur’an dan Terjemahnya. Semarang: Toha Putra.
Franz Magnis-Suseno. (2001). Pemikiran Karl Marx; Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. (2001). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Maftukhin. (2010). Nuansa Studi Islam; Sebuah Pergulatan Pemikiran. Yogyakarta: Teras.
Michael Lowy. (2003). Teologi Pembebasan, Penj. Roem Topatimasang. Yogyakarta: INSIST Press dan Pustaka Pelajar.



[1] Disampaikan dalam acara: Sekolah Aswaja yang diselenggarakan oleh Pengurus Komisariat Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Nusantara UMNU Kebumen Masa Khidmat 2018-2019, Pada Sabtu, 22 Desember 2018 di Pondok Pesantren Al-Hasani Kebumen.
[2] Istilah pembebasan muncul dari gerakan sosial Kristen-Pembebasan pada era 1960-an yang timbul sebagai bentuk penghayatan teologis atas iman Kristiani sebagai bentuk perlawanan terhadap kemapanan politik dan lembaga Pastoral-Gereja yang pro status-quo. Gerakan ini timbul pada suasana social politik era 1950-an di Amerika Latin yang telah melahirkan struktur social-ekonomi yang eksploitatif terhadap kaum miskin dan lemah. Kondisi ini menimbulkan komitmen dikalangan agamawan Kristen yang berpihak kepada kaum miskin dan tertindas serta mengambil langkah praktis untuk melakukan pembelaan terhadap hak-hak mereka. Pemahaman inilah yang kemudian dikenal dengan istilah Teologi Pembebasan. Lihat: Maftukhin, Nuansa Studi Islam; Sebuah Pergulatan Pemikiran, Cet. I, (Yogyakarta: Teras, 2010), hal. 244.
[3] Adnan Mahmud, dkk. (Eds), Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia, Cet. II, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hal. 126.
[4] Ibid., hal. 127.                                          
[5] Ibid., hal. 127-128.
[6] Michael Lowy, Teologi Pembebasan, Penj. Roem Topatimasang, Cet. III, (Yogyakarta: INSIST Press dan Pustaka Pelajar, 2003), hal. 26.
[7] Ibid., hal. 28.
[8] Ibid., hal. 29-30.
[9] Adnan Mahmud, dkk. (Eds),  Op. Cit., hal. 128.
[10] Ibid.
[11] Ibid., hal. 128-129.
[12] Ibid., hal. 129.
[13] Abdurrahman Mas’ud, Antologi Studi Agama dan Pendidikan, Cet. I, (Semarang: Aneka Ilmu, 2004), hal. 167-168.
[14] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1989), hal. 609.
[15] Pandangan materialisme historis adalah pandangan tentang faktor-faktor pokok yang menentukan perkembangan sejarah. Pandangan ini bersamaan dengan teorinya tentang revolusi merupakan bagian dari konsep Marx yang paling berpengaruh dan tetap merupakan inti dari segala macam Marxisme. “Materialisme” dalam marx berarti bahwa kegiatan dasar manusia adalah kerja sosial. Disini dia menerima pengandaian Feurbach bahwa kenyataan akhir adalah objek indrawi itu harus dipahami sebagai kerja atau produksi. Istilah “sejarah” mengacu pada Hegel yang pengandaian-pengandaiannya tentang sejarah diterima Marx. Tetapi, sejarah disini bukan menyangkut perwujudan diri Roh, melainkan perjuangan kelas-kelas untuk mewujudkan dirinya mencapai kebebasan (emansipasi). Lihat: Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx; Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Cet. V, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), hal. 135-136. 
[16] Abdurrahman Mas’ud, Op. Cit., hal. 170.
[17] Adnan Mahmud, dkk. (Eds),  Op. Cit., hal. 132.
[18] Tidak mengembangkan seruan kepada massa, dan hampir setiap gagasannya mengidentifikasikan diri dengan rezim penguasa.
[19] Maftukhin, Op. Cit., hal. 249.
[20] Ibid., hal. 250-251.