Prawacana[1]
Berbicara teologi
pembebasan dalam diskusi-diskusi resmi atau bahkan diskusi kultural mahasiswa memang
terkesan problematik. Seringkali diskusi seperti ini dicurigai sebagai gerakan
pemikiran kekiri-kirian yang diasosiasikan pendukung komunisme dan bahkan dianggap
menyebarkan pemikiran subversif.
Rupanya persepsi itu disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, adanya kesalahpahaman
mengenai term teologi pembebasan (liberation theology) itu sendiri. Kedua, teologi pembebasan adalah
terminologi yang lahir dari tradisi Kristiani, khususnya di Amerika Latin dan
tidak pernah dikenal secara eksplisit dalam khazanah pemikiran Islam. Ketiga, teologi pembebasan sedikit
banyak diinspirasikan oleh ideologi kiri dari pemikiran Marxisme yang dalam
sejarah perpolitikan Indonesia dianggap memiliki cacat yang tak termaafkan.
Kenyataan diatas
agaknya cukup menggelitik umat Islam—Indonesia khususnya—sehingga perlunya bagi
kaum intelektual untuk melakukan interpretasi secara jujur. Masalahnya sekarang
adalah, sudahkah dinamika ajaran Islam berperan sebagai prime mover (penggerak
utama) bagi bangsa yang sedang membangun sebagaimana peran penting diatas.
Adakah Islam telah melaksanakan misi utamanya, yakni rahmatan lil ‘alamin dalam arti berperan sebagai teologi pembebasan
dari keterbelakangan, kebodohan, ketidakadilan dan penciptaan masyarakat yang
demokratis?
Pergolakan dari
pergumulan sejarah kehidupan sosial empiris, baik berupa pertentangan politik,
dominasi kekuatan sosial tertentu, dominasi mainstream pemikiran keagamaan,
keinginan untuk menjaga status-quo
maupun perlindungan golongan masyarakat tertentu, ditambah dengan kelengkapan
laboratorium ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh generasi peradaban manusia
tertentu ikut menentukan pola pikir, kebijakan dan mode of thought suatu generasi yang hidup pada periode sejarah
tertentu.
Demikian pula
teologi, yang selama ini dikenal sebagai keilmuan yang hanya berhubungan dengan
sesuatu yang bersifat dogmatis atau institusi-institusi keagamaan tertentu,
kini telah dihubungkan dengan kata “Pembebasan” yang kemudian dikenal dengan
istilah “Teologi Pembebasan”.[2]
Pada akhir-akhir ini—baik secara sadar maupun tidak sadar—gagasan pembebasan
tersebut mulai dikembangkan dalam tradisi pemikiran keislaman, baik menggunakan
istilah dan corak pemikiran dengan seperangkat metode analisis maupun pemecahan
masalah yang sama dengan semangat persamaan dan pembebasan yang dimiliki oleh
umat Islam perlu dikedepankan kembali, serta bagaimana cara pemahaman
Islam yang membebaskan adalah langkah
kerja yang menarik.
Tegaslah kini bahwa
dalam konteks teologi pembebasan, umat Islam Indonesia yang terkenal religius
memiliki beban yang tidak ringan. Disamping taqarrub
ilallah yang harus ditingkatkan, rekayasa sosial dalam arti luas juga
merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Rekayasa mulia ini diantaranya adalah
peningkatan kadar kebebasan individu dan masyarakat, mengurangi eksploitasi
ekonomi, mengusahakan jihad langgeng terhadap segala bentuk vest interest, mengupayakan partisipasi
keadilan sosial, memerangi kebodohan serta menangkal kekuatan-kekuatan
imperialis modern.
Tulisan makalah
reflektif ini dimaksudkan untuk sedikitnya mengklarifikasikan asumsi-asumsi
yang menjadi keberatan berbagai kalangan terhadap wacana teologi pembebasan.
Dan untuk tujuan ini pula penulis berusaha menyelami sejarah sekaligus
menemukan makna dan signifikansi teologi pembebasan bagi pemahaman keagamaan
kita ke arah pengertian yang lebih transformatif, rasional dan fungsional.
A.
Makna Term
Pembebasan
Perkataan “bebas”
dapat menunjukkan bermacam-macam kenyataan. Sebagai contoh, pemakaian istilah ‘kebebasan’ oleh Lord Acton, melukiskan
sejarah manusia dari sudut perjuangan untuk memperoleh kebebasan.[3]
Dalam pandangan ini bahwa kebebasan adalah bukan sesuatu yang dimiliki oleh
manusia demi kodrat, melainkan sesuatu yang perlu diperjuangkan.
Selanjutnya, ‘kebebasan’
menurut Acton diperjuangkan bangsa manusia ialah kebebasan dari belenggu alam.
Bangsa manusia sekarang (jauh lebih) bebas dari penyakit, kelaparan,
ketidakamanan dan sebagainya. Bentuk kebebasan ini disebut citra progresif.
Sedangkan ‘kebebasan’ menurut
Roussean adalah kebebasan dari belenggu institusi-institusi politik yang telah
maju. Dengan kembali kepada cara-cara hidup yang lebih primitif dan alamiah
orang mengharapkan dapat dibebaskan dari belenggu-belenggu ini. Bentuk
kebebasan ini disebut citra romantis.[4]
Dari penjelasan tersebut bahwa arti kata ‘bebas’, ‘kebebasan’ dan ‘pembebasan’
baru menjadi jelas kalau dikatakan dari apa seseorang telah dibebaskan. Oleh sebab itu, maka kebebasan disini adalah
tidak adanya penghalang atau pembatas, paksaan, halangan, bebas atau kewajiban
seseorang untuk memperoleh hak-hak asasinya yang luhur dan manusiawi.
Kemudian istilah ‘pembebasan’
yang dipakai untuk spektrum agama, pertama kali muncul pada Gereja Kristen di
Amerika Latin, baik oleh Pastor ataupun para aktivis muda yang menyadari bahwa
kondisi sosial politik di Amerika Latin sangat buruk, dan Gereja terlibat dalam
perkara ini. Karena Gereja tetap menerima bantuan dari rezim diktator, mengakui
dan menyokongnya. Gustavo Gutierrez seorang juru bicara kelompok ini mengecam
situasi tersebut dengan menerbitkan bukunya “Teologia de Liberation” atau Teologi Pembebasan.[5]
Seperti yang pernah dinyatakan oleh Leonardo Boff,
Teologi Pembebasan adalah pantulan pemikiran dan sekaligus cerminan dari
keadaan nyata, suatu praxis yang sudah ada sebelumnya. Lebih tepatnya, ini
adalah pengungkapan atau pengabsahan suatu gerakan sosial yang amat luas yang
muncul pada awal tahun 1960-an. Gerakan ini melibatkan sektor-sektor penting
dari Gereja (para Romo, para pengamal tarekat-tarekat atau ordo-ordo keagamaan dan
para uskup), gerakan-gerakan keagamaan orang awam (Aksi Katolik, Pemuda
Perguruan Tinggi Katolik, Pemuda Buruh Kristen), keterlibatan pastoral yang
merakyat serta kelompok-kelopok basis masyarakat gereja.[6]
Gerakan mereka diawali dengan menghimpun diri dan menentang
sebab-sebab penghisapan atas dasar nalar moral dan kerohanian yang di ilhami
oleh budaya keagamaan mereka, yaitu iman Kristen dan tradisi Katolik. Lebih
jauh lagi, matra keagamaan dan moral inilah yang merupakan faktor hakiki yang
menggerakkan semangat ribuan aktivis Kristen dalam serikat-serikat buruh,
kerukunan-kerukunan tetangga, front-front kerakyatan dan revolusioner.
Kemiskinanlah yang menjadikan mereka sadar akan keadaan mereka sendiri dan
mengorganisir diri untuk berjuang sebagai orang Kristen dan sebagai anggota
Gereja yang di ilhami oleh suatu iman.
Selanjutnya, Teologi Pembebasan adalah sebagai batang
tubuh dari karya-karya tulis yang dihasilkan sejak tahun 1970-an oleh
tokoh-tokoh seperti Gustavo Gutierrez (Peru), Rubem Alves, Carlos Masters, Hugo
Assmann, Leonardo dan Clodovis Boff (Brazilia), Jon Sobrino, Ignacio Ellacuria
(El Salvador), Segundo Galilea, Ronaldo Munoz (Chili), Jose Miguel Bonino, Juan
Carlos Scannone (Argentina), Juan-Luis Segundo (Uruguay) adalah produk
kerohanian (istilah ini, sebagaimana yang sudah kita ketahui berasal dari buku German Ideology-nya Marx) dari gerakan sosial ini.[7]
Karena teologi menurut pengikutnya tidak hanya bersifat
spekulatif dan tidak boleh hanya dimaksudkan memberikan kepuasan emosionaal kepada
manusia, tetapi harus memberikan pedoman untuk mewujudkan suatu masyarakat yang
lebih adil. Walaupun untuk maksud tersebut harus menggunakan analisis Marxis
untuk mengerti lebih baik sistem sosial politik. Namun harus diakui bahwa
dengan menyertakan didalamnya suatu doktrin keagamaan yang benar-benar masuk
akal (rasional), dan teologi pembebasan telah memberikan sumbangsih yang sangat
besar terhadap peluasan dan penguatan gerakan-gerakan tersebut.
Meskipun ada perbedaan-perbedaan penting antara para
teolog tersebut, namun dari beberapa ajaran dasar terdapat beberapa kesamaan
dalam banyak karya tulis yang telah mereka hasilkan dan telah membentuk suatu
pergeseran radikal dari ajaran tradisional mapan Gereja Katolik maupun
Protestan. Dari beberapa ajarannnya yang terpenting adalah sebagai berikut:[8]
1.
Gugatan moral dan sosial yang amat keras
terhadap ketergantungan kepada kapitalisme sebagai suatu sistem yang tidak adil
dan tidak beradab, dan sebagai suatu bentuk dosa struktural.
2.
Penggunaan alat analisis Marxisme
dalam rangka memahami sebab-musabab kemiskinan, pertentangan-pertentangan dalam
tubuh kapitalisme dan bentuk-bentuk perjuangan kelas.
3.
Pilihan khusus bagi kaum miskin dan
kesetiakawanan terhadap perjuangan mereka menuntut kebebasan.
4.
Pengembangan basis kelompok-kelompok
masyarakat Kristen dikalangan orang miskin sebagai suatu bentuk baru Gereja dan
sebagai suatu alternatif terhadap cara hidup individualis yang dipaksakan oleh
kaum kapitalis.
5.
Suatu pembacaan baru pada al-Kitab
yang meberikan perhatian penting pada bagian-bagian Kitab keluaran sebagai
paradigma perjuangan pembebasan rakyat yang diperbudak.
6.
Perlawanan menentang pemberhalaan
(jadi bukan atheisme) sebagai musuh utama agama, yakni menentang berhala-berhala
baru yang disembah oleh Fir’aun-Fir’aun baru, Caesar-Caesar baru dan
Herodes-herodes baru: uang, kekayaan, kekuasaan, keamanan nasional, negara,
pasukan militer dan peradaban Kristen Barat.
7.
Sejarah pembebasan manusia adalah
antisipasi akhir dari penyelamatan Kristen dan Kerajaan Tuhan.
8.
Kecaman terhadap teologi tradisonal
yang bermuka ganda sebagai hasil dari filsafat Yunani Platonis, bukan dari
tradisi murni Injil.
B.
Dasar Pembebasan dan Gerakan Sosial dalam Islam
Sebenarnya akar pokok agama Islam adalah tauhid, atau pernyataan monoteistik
bahwa Allah itu Esa. Pengertian tersebut oleh Ali Syariati tidaklah cukup, tauhid juga menurut Syariati merupakan
pandangan dunia (world view) yang melihat seluruh dunia
merupakan sistem yang utuh-komprehensif, harmonis, hidup dan sadar diri yang
melampui segala dikotomi, dibimbing oleh tujuan ilahi yang sama.[9]
Pernyataan tersebut, kata al-Faruqi, mengandung makna yang paling agung dan
paling kaya dalam seluruh khasanah Islam. Kadang seluruh kebudayaan dan seluruh
peradaban atau seluruh sejarah dipasalkan dalam satu kalimat. Inilah pastinya
kalimat syahadat Islam. Segala keragaman,
kekayaan dan sejarah, kebudayaan dan pengetahuan, kebijaksanaan dan peradaban
Islam diringkas dalam kalimat lâ ilâha
illallâh.[10]
Teologi dalam terma pandangan dunia ini berbeda dengan
teologi spekulatif-sistematis abad pertengahan. Bentuk teologi ini, menurut
Iqbal, dapat meluaskan intelektualisme, namun telah mengaburkan visi mereka
tentang semangat al-Qur’an.[11]
Kalimat tauhid, yaitu “tidak ada tuhan kecuali Allah”, dalam
gramatika bahasa Arab mengisyaratkan spesifikasi, yakni hanya Allah yang ada (real) dan dilaur dirinya pada hakikatnya
tidak ada (fana’).
Tauhid bertentangan dengan syirik, yaitu menempatkan
sesuatu disamping Allah sebagai objek penyembahan dan itu menunjukkan
penyembahan berhala. Namun dasar-dasar ini oleh Syariati diberi muatan
sosiologis, yakni bahwa pada awalnya masyarakat itu bersifat egaliter dan adil.
Ketika kesatuan masyarakat ini terpecah-belah menjadi kelas-kelas dan
kelompok-kelompok yang berbeda-beda, sehingga syirikisme muncul didalam lingkup
agama. Berjuang melawan ketiadaan, persamaan dan keadilan di dunia adalah
kewajiban yang suci.[12]
Meminjam pisau analisis materialisme historis Karl Marx,
tokoh-tokoh berkuasa dalam al-Qur’an, seperti Fir’aun, Bal’am dan Saman yang
senantiasa bekerjasama menghadapi massa yang dianggap tidak sederajat dan harus
ditindas. Ketimpangan hubungan antara penindas dan yang di tindas memang
merupakan struktur pokok masyarakat manusia dalam segala zaman, meskipun sarana
dan ungkapan hubungan kekuasaan ini dapat berbeda-beda dari zaman ke zaman.
Sebagai wakil Tuhan dimuka bumi seorang harus tampil mengadakan pembebasan
karena adanya peminggiran sebagai akibat strategi tidak adanya persamaan yang
dicanangkan oleh segelintir orang yang berkuasa.
Dalam sejarahnya bahwa gerakan sosial Islam yang
digerakkan oleh Nabi Muhammad Saw., memang bukan sekedar norma, tetapi masih
merupakan gerakan sosial agama yang membawa kepada kebahagiaan umat manusia.
Makkah merupakan pusat perdagangan internasional pada saat munculnya Islam. Disini
tumbuh masyarakat ekonomi Makkah kelas kakap yang mengkhususkan diri dalam operasi
finansial secara internasional. Barangkali bisnis semacam ini tidak jauh
berbeda dengan korporasi saat ini yang disebut Multi Nasional Corporation
(MNC). Free fight liberalism yang
menjajah atau konglomeratisme yang merampas hak kaum lemah.
Sesuai dengan trend bisnis diatas, hak milik pribadi yang
semula tidak ada dalam masyarakat kesukuan Makkah, kemudian mulai tampak
menguat. Saudagar-saudagar mulai membentuk korporasi antar suku, sehingga
monopoli perdagangan didaerah-daerah dan dibawah kekuasaan Romawi Timur serta
mengakumulasi keuntungan besar tanpa membagi sedikitpun kepada fuqara-masakin. Ini berlangsung secara
drastis dan melanggar norma-norma kesukuan, sehingga menyebabkan labilnya
kehidupan masyarakat Makkah pada masa itu.
Nabi Muhammad Saw., merasakan ketegangan akut yang
berkembang dalam masyarakat Makkah yang diakibatkan adanya gap tajam antara si kaya dan si miskin, serta konflik serius yang
tentunya bisa menyebabkan ketegangan tersebut tidak terkendali. Nabi mengajak
hartawan-hartawan Makkah untuk tidak menimbun kekayaan dan sebaliknya mengasihi
fakir miskin dan yatim piatu. Namun ajakan Nabi tersebut ditentang keras oleh
pemimpin-pemimpin Arab karena menyangkut status
quo dan vested interest.[13]
Disamping itu juga, karena Islam membawa ajaran tauhid sehingga membuat para pemimpin Quraisy menentang Nabi. Sebab
dampak ajaran-ajaran tauhid akan
menghilangkan previlage atau
keistimewaan-keistimewaan yang diperolehnya selama ini, termasuk penghapusan
kesenjangan ekonomi.
Dengan integritas diniyah yang tertinggi, Nabi pun
menolak segala bentuk rayuan, sehingga terciptalah masyarakat egaliter yang
diperjuangkan oleh Nabi. Adakah keberhasilan perjuangan Nabi tersebut adalah
hak monopoli Nabi. Disamping pesona dan kapabilitas sosok Nabi, tentunya kita
mencatat terdapat faktor-faktor lain yang mendukungnya. Diantaranya adalah
bantuan Allah dan ajaran-ajarannya yang dialogis dan mendorong untuk
dilaksanakan. Larangan menimbun harta secara berlebih-lebihan dan konsumerisme
menghadapkan Nabi secara frontal dengan tokoh-tokoh Arab. Faktor lain adalah
potensi bangsa Arab yang sementara terpendam, kemudian teraktualisasi bersama
Nabi. Bangsa Arab dibimbing Nabi dan Khulafaurrasyidin
berhasil membumikan ajaran Islam yang komprehensif dan aplikatif.
Begitu pula segi yang paling gamblang bahwa ajaran
al-Qur’an ialah sikapnya yang memihak
kaum tertindas. Al-Qur’an menjanjikan sesuai dengan ramalan materialisme-historis
atas dasar logika dialektis, bahwa dalam perjuangan antara kaum tertindas dan
penindas, kemenangan terakhir berada dipihak kaum tertindas. Firman Allah: “dan Kami hendak menunjukkan karunia kepada
orang-orang tertindas di bumi, dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan
menjadikan mereka sebagai para pewaris”.[14]
(Q.S. al-Qashash: 5)
C.
Islam dan Teologi Pembebasan
Sebagaimana Marx, para tokoh-tokoh pembebasan baik dalam
Islam maupun diluar Islam, teori Hegel (bahwa sejarah berkembang mirip dengan
organisme, seperti biji mangga yang berproses menjadi buah mangga) ini dibawa
kedalam analisis materialisme sehingga pendekatan ini menjadi materialisme
historis.[15]
Pertanyaan yang penting dan sederhana, mengapa sebuah ide bisa sukses
dibandingkan dengan ide yang lain? Mengapa sebuah ide memiliki kaki di masyarakat?
Kondisi sosial apa yang memungkinkan ide tersebut didukung oleh orang banyak?
Nabi Saw., di Makkah sebagai contoh, melalui perubahan
besar didalam masyarakat Arab hingga akhirnya merontokkan kelompok-kelompok
kepentingan yang kuat yang telah muncul dilingkungan Makkah. Nabi dengan serius
memperhatikan nasib orang-orang tertindas yang ingin keluar dari sistem yang tidak
manusiawi (dehumanisasi). Dari penjelasan tersebut, dapat dikatakan disini bahwa
perubahan itu akan sukses apabila terdapat kesesuaian antara ajaran yang dibawa
dengan kondisi sosial yang mendukung.
Sejak wafatnya Rasulullah hingga kini pasti ditemukan
pembaharu-pembaharu muslim pada setiap abad. Semua pembaharu, disamping selalu
memperkenalkan gagasan-gagasan segar dalam memahami agama, juga mempunyai misi
membebaskan umatnya dari segala belenggu. Iqbal misalnya yang sangat dikenal
membenci kelemahan dan kejumudan serta menganjurkan kekerasan dan keberanian
adalah tokoh pembebas. Sikapnya merupakan refleksi struggle terhadap supremasi kecongkakan Barat. Sebagaimana
diketahui bahwa pada abad ke-19 hampir seluruh negeri Islam berada dalam
cengkraman koloni atau setengah jajahan Barat kecuali Turki. Khususnya di Asia
dikuasai oleh Inggris, Perancis, belanda dan Amerika.
Iqbal dengan antropologinya yang tajam menyatakan dengan
resepnya The Reconstruction of Religious
in Islam. Iqbal mengingatkan bahwa pemikiran Islam selama ini lebih banyak theosentris dengan sangat memperkecil
kepedulian terhadap aspek-aspek antropologis.
Sebagai akibatnya lahirlah ego fatalis
dan statis (hanya asyik pada Tuhan
dan melupakan tugas keduniawian), dan tidak mampu menjadi khalifatullah fil ardl. Inilah salah satu kunci kemunduran
dalam Islam menurut Iqbal. Sebagai terapinya dia mengupayakan lahirnya manusia
luhur dinamis yang berfikiran cerdas, orisinal, kreatif, berhati ikhlas,
toleran, cinta dan bernyali.[16]
Islam sebenarnya tidak hanya bersifat spiritualistik,
melainkan juga memperhatikan kehidupan duniawi. Oleh sebab itu maka mau tidak
mau Teologi Pembebasan tidak bisa membatasi istilah-istilah, seperti kafir, mustad ‘afin, Fir’aun dan lain-lain,
haruslah ditafsirkan kembali untuk memperoleh signifikansi sosial ekonominya.
Sebab Islam memberikan konsep masyarakat yang bebas dari eksploitasi,
penindasan, dominasi dan ketidakadilan dalam bentuk apapun.
Istilah kafir sebenaarnya tidak hanya bermakna
ketidakpercayaan religius, seperti yang diyakini teologi-teologi tradisional.
Tetapi secara tidak langsung juga menyatakan pertentangan terhadap masyarakat
yang adil dan egalitarian serta bebas dari segala bentuk eksploitasi dan
penindasan. Jadi orang kafir adalah orang yang tidak percaya kepada Allah dan
secara aktif menentang usaha-usaha yang ingin dan untuk membentuk kembali
masyarakat, penghapusan penumpukan kekayaan, penindasan, eksploitasi dan segala
bentuk ketidakadilan.[17]
Atau dengan kata lain bahwa kafir adalah orang yang terkena kutukan dari Allah
yang mencakup orang yang secara verbal beriman, melakukan shalat, namun
menumpuk kekayaan terus-menerus dengan mengeksploitasi orang lain dan
bermewah-mewahan, sementara kelaparan berada disekelilingnya.
Sebenarnya Teologi Pembebasan mempunyai banyak sumber
teladan. Nabi Muhammad Saw., sebagaimana dituturkan diatas adalah tokoh liberator yang tidak ada duanya. Musa
adalah pembebas kaum Israil yang ditekan Fir’aun. Jelas diungkapkan dalam
al-Qur’an bahwa para anbiya hadir
dari kalangan rakyat yang mereka memperjuangkan keadilan bersama-sama melawan
penindasan dan eksploitasi (Q.S: al-Jumu’ah: 2). Hadits Nabi menegaskan bahwa
sebaik-baik jihad adalah berkata
benar dihadapan tirani.
D.
Konsep Teologi Pembebasan dalam Islam
Teologi pembebasan muncul karena dilatarbelakangi oleh ketidakpuasannya
terhadap rumusan teologi Islam yang berkembang selama ini. Selama ini, teologi
Islam diwarnai dengan ketidakjelasan metafisis,
bersifat spekulatif, pro status quo[18]
dan bersifat elitis. Teologi telah
kehilangan relevansinya dengan konteks sosial yang ada dan telah mengalami demistified dari apa yang sebenarnya
dimaksudkan oleh Islam. Demikian pula teologi rasional modern telah memandang
ajaran dan institusi keagamaan dalam perspektif rasio, yang lebih menarik
elit-modern karena seringkali melayani tujuan dari elit tersebut. Pendekatan
rasional ini tidak menarik rakyat karena mereka tidak merasa perlu. Struktur sosial
sekarang yang deterministik pada
kemajuan ekonomi dan intelektual telah membuat mereka tetap terbelakang,
sehingga yang tetap menarik bagi mereka adalah agama rakyat disertai dengan
ritual-ritualnya.
Untuk itu, perlu dirumuskan kembali sebuah teologi baru
yang bersifat revolusioner, dengan tujuan untuk mengembalikan komitmen Islam
terhadap keadilan sosial ekonomi dan masyarakat yang bebas dari eksploitasi,
penindasan, dominasi dan ketidakadilan dalam bentuk apapun. Teologi tersebut
yang sering dikenal dengan istilah “Teologi pembebasan”.
Menurut Asghar Ali Engineer, teologi pembebasan adalah
suatu teologi yang meletakkan tekanan berat kepada kebebasan, persamaan dan
keadilan distribusi, menolak distribusi dan menolak kekerasan, penindasan,
penganiayaan dan eksploitasi manusia oleh manusia. Teologi pembebasan bukanlah
pelipur lara dan pembenaran atas penderitaan dan kesengsaraan dengan
menganggapnya sebagai suatu keniscayaan (takdir), namun teologi pembebasan
adalah perjuangan.[19]
Sedangkan ciri utama dari Teologi Pembebasan adalah
pengakuan terhadap perlunya memperjuangkan secara serius problem bipolaritas
spiritual-material kehidupan manusia dengan menyusun kembali tatanan sosial
sekarang menjadi tatanan yang adil, egaliter dan tidak eksploitatif. Teologi
Pembebasan harus mendorong sikap kritis terhadap sesuatu yang sudah baku dan
harus terus berusaha secara konstan untuk menjelajahi kemungkinan yang baru.
Kehidupan dengan suatu kekayaan spiritual tidak bisa hidup dalam masyarakat satu
dimensi (spiritual semata) yang menolak usaha apapun untuk keluar dan
merealisasikan kemungkinan baru tersebut untuk menambah dimensi baru.
Konsep kebebasan adalah unsur dasar Teologi Pembebasan.
Kebebaasan untuk memilih dan kebebasan untuk keluar (transendensi diri) menuju
kehidupan yang lebih baik, dan juga untuk menghubungkan diri dengan kondisi
yang berubah-ubah secara berarti. Teologi Pembebasan memberi manusia kebebasan
untuk melampui situasi kekinian dalam rangka mengaktualisasikan kehidupan yang
baru kedalam kertas kerja sejarah.
Teologi pembebasan tidak mencari Tuhan dalam keterbatasan
manusia, tetapi pada kreativitas dan kematangannya. Teologi Pembebasan tidak
membatasi diri pada arena pemikiran yang spekulatif, tetapi memperluas ruang
lingkupnya untuk menjadi instrumen yang paling kuat untuk membebaskan umat dari
cengkraman para penindas dan mengilhami mereka untuk bertindak dengan semangat
revolusioner dalam berjuang menghadapi tirani, eksploitasi dan penganiayaan.
Teologi Pembebasan dimulai dengan melihat kehidupan manusia
di dunia dan akherat. Teologi pembebasan tidak menginginkan status quo yang melindungi golongan kaya yang berhadapan dengan golongan
miskin, anti kemapanan baik religius maupun politik. Kemudian, memainkan
peranan dalam membela kelompok tertidas dan tercabut hak miliknya,
memperjuangkan kelompok ini dan membekalinya dengan senjata ideologi yang kuat
untuk melawan golongan yang menindasnya. Hal yang substansial bahwa Teologi
Pembebasan tidak hanya mengakui satu konsep metafisika tentang takdir dalam
rentan sejarah umat Islam, tetapi juga mengakui konsep bahwa manusia itu bebas
menentukan nasibnya sendiri. Dalam pandangan Teologi Pembebaasan, keduanya
sebagai pelengkap dan bukan sebagai konsep yang berlawanan.
Sebagai konsekuensinya bahwa teologi Pembebasan tidak
memberlakukan institusi sebagai sesuatu yang suci—tidak dapat diganggu gugat—karena
yang suci adalah nilai-nilainya dan instrumen yang muncul sebagai hasil proses
sejarah yang secara konstan membutuhkan pembaruan untuk mencapai tujuan yang
bersifat ilahiyah. Pada intinya bahwa
Teologi Pembebasan lebih menekankan pada praktik dari pada teoretik-metafisis
yang mencakup hal-hal yang bersifat abstrak dan konsep-konsep yang ambigu.
Praktik yang dimaksud adalah sifat libaratif yang menyangkut interaksi
dialektis antara apa yang ada (is)
dengan apa yang seharusnya (ought).[20]
Sebenarnya rumusan Teologi Pembebasan tersebut diatas, tidak
lain dibangun atas dasar pemahaman terhadap potensi revolusioner yang terdapat
dalam asal-usul historis Islam. Realitas sosio-ekonomi dan sosio-kultural yang
berkembang di Makkah pada masa awal perkembangan Islam, dimana Islam merupakan
agama (dalam pengertian teknis maupun revolusi-sosial) yang menghadapi
tantangan strutur penindasan didalam dan diluar masyarakat Arab pada masa itu.
Dengan uraian tentang Teologi Pembebasan ini, tentu
sebuah pembacaan baru atas teologi Islam yang berkembang selama ini, dengan
memasukkan unsur manusia (dengan relitas empirisnya) disamping Tuhan (dengan
relitas metafisis-Nya), sehingga pembahasan tentang teologi menjadi lebih
reflektif-sosiologis dan tidak lagi terlalu transendental-spekulatif. Dengan
pemahaman seperti ini, secara tidak langsung memunculkan kesadaran progresif
akan perlunya penggunaan pendekatan-pendekatan keilmuan sosial didalam
pengembangan pemikiran keagamaan dalam Islam. Sehingga berteologi bukan lagi
merupakan kegiatan dari para elit ulama, tetapi merupakan kegiatan semua orang.
Berteologi bukan merupakan kegiatan untuk merumuskan ajaran tentang iman secara
spekulatif, tetapi juga praktik atas iman itu sendiri.
E.
Konklusi
Semangat
dan prinsip teologi pembebasan bisa tumbuh di manapun dan dalam kebudayaan
apapun ketika sistem dan struktur sosial dalam masyarakat berjalan timpang,
diwarnai dengan kemiskinan, ketidakadilan dan diskriminasi, serta adegan
penindasan kelompok satu atas kelompok lainnya. Dengan menyadari ini kita akan
memperoleh kesimpulan bahwa sesungguhnya spirit pembebasan sudah ada dalam
pengalaman dalam tiap-tiap agama dan kebudayaan, termasuk juga dalam agama
Islam. Semangat pembebasan hanya mungkin termanifes jika perumusan teologi
diorientasikan pada solidaritas dan pembebasan terhadap umat manusia yang
lemah. Oleh karena itu dibutuhkan kehendak, kesadaran diri, kebebasan dan
tanggungjawab setiap individu untuk bersama-sama melakukan transformasi sosial
menuju kehidupan yang lebih adil, setara dan manusiawi.
Daftar Pustaka
Abdurrahman Mas’ud. (2004). Antologi Studi Agama dan Pendidikan.
Semarang: Aneka Ilmu.
Adnan Mahmud, dkk. (Eds). (2012). Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Departemen Agama RI. (1989). Al-Qur’an dan Terjemahnya. Semarang:
Toha Putra.
Franz Magnis-Suseno. (2001). Pemikiran Karl Marx; Dari Sosialisme Utopis
ke Perselisihan Revisionisme. (2001). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Maftukhin. (2010). Nuansa Studi Islam; Sebuah Pergulatan Pemikiran. Yogyakarta: Teras.
Michael Lowy. (2003). Teologi Pembebasan, Penj. Roem Topatimasang. Yogyakarta: INSIST
Press dan Pustaka Pelajar.
[1] Disampaikan dalam acara: Sekolah
Aswaja yang diselenggarakan oleh Pengurus Komisariat Pergerakan Mahasiswa Islam
Indonesia (PMII) Nusantara UMNU Kebumen Masa Khidmat 2018-2019, Pada Sabtu, 22
Desember 2018 di Pondok Pesantren Al-Hasani Kebumen.
[2] Istilah pembebasan muncul dari
gerakan sosial Kristen-Pembebasan pada era 1960-an yang timbul sebagai bentuk
penghayatan teologis atas iman Kristiani sebagai bentuk perlawanan terhadap
kemapanan politik dan lembaga Pastoral-Gereja yang pro status-quo. Gerakan ini timbul pada suasana social politik era
1950-an di Amerika Latin yang telah melahirkan struktur social-ekonomi yang
eksploitatif terhadap kaum miskin dan lemah. Kondisi ini menimbulkan komitmen
dikalangan agamawan Kristen yang berpihak kepada kaum miskin dan tertindas
serta mengambil langkah praktis untuk melakukan pembelaan terhadap hak-hak
mereka. Pemahaman inilah yang kemudian dikenal dengan istilah Teologi
Pembebasan. Lihat: Maftukhin, Nuansa
Studi Islam; Sebuah Pergulatan Pemikiran, Cet. I, (Yogyakarta: Teras,
2010), hal. 244.
[3] Adnan Mahmud, dkk. (Eds), Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia,
Cet. II, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hal. 126.
[4] Ibid.,
hal. 127.
[5] Ibid.,
hal. 127-128.
[6] Michael Lowy, Teologi Pembebasan, Penj. Roem Topatimasang, Cet. III, (Yogyakarta:
INSIST Press dan Pustaka Pelajar, 2003), hal. 26.
[7] Ibid.,
hal. 28.
[8] Ibid.,
hal. 29-30.
[9] Adnan Mahmud, dkk. (Eds), Op.
Cit., hal. 128.
[10] Ibid.
[11] Ibid.,
hal. 128-129.
[12] Ibid.,
hal. 129.
[13] Abdurrahman Mas’ud, Antologi Studi Agama dan Pendidikan,
Cet. I, (Semarang: Aneka Ilmu, 2004), hal. 167-168.
[14] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha
Putra, 1989), hal. 609.
[15] Pandangan materialisme historis
adalah pandangan tentang faktor-faktor pokok yang menentukan perkembangan
sejarah. Pandangan ini bersamaan dengan teorinya tentang revolusi merupakan
bagian dari konsep Marx yang paling berpengaruh dan tetap merupakan inti dari
segala macam Marxisme. “Materialisme” dalam marx berarti bahwa kegiatan dasar
manusia adalah kerja sosial. Disini dia menerima pengandaian Feurbach bahwa
kenyataan akhir adalah objek indrawi itu harus dipahami sebagai kerja atau
produksi. Istilah “sejarah” mengacu pada Hegel yang pengandaian-pengandaiannya
tentang sejarah diterima Marx. Tetapi, sejarah disini bukan menyangkut
perwujudan diri Roh, melainkan perjuangan kelas-kelas untuk mewujudkan dirinya
mencapai kebebasan (emansipasi). Lihat: Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx; Dari Sosialisme Utopis
ke Perselisihan Revisionisme, Cet. V, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2001), hal. 135-136.
[16] Abdurrahman Mas’ud, Op. Cit.,
hal. 170.
[17] Adnan Mahmud, dkk. (Eds), Op.
Cit., hal. 132.
[18] Tidak mengembangkan seruan kepada
massa, dan hampir setiap gagasannya mengidentifikasikan diri dengan rezim
penguasa.
[19] Maftukhin, Op. Cit., hal. 249.
[20] Ibid.,
hal. 250-251.