Friday, June 01, 2018

RAMADHAN SEBAGAI BULAN PENGENDALIAN DIRI DAN KESEIMBANGAN JASMANI-ROHANI

RAMADHAN SEBAGAI BULAN PENGENDALIAN DIRI DAN KESEIMBANGAN JASMANI-ROHANI


“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas 
kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas  orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
(Qs. Al-Baqarah [2]: 183)

Ayat diatas dapat dipahami bahwa sebelum Allah SWT menurunkan wahyu kepada Nabi Muhammad Saw, ibadah puasa telah menjadi bagian dari budaya masyarakat. Disamping itu, puasa juga merupakan ajaran yang sudah diperintahkan pada kaum sebelum Islam, dan puasa ramadhan bagi umat Islam menjadi ibadah yang wajib untuk dilaksanakan. Oleh karenanya, agar ibadah puasa yang dijalankan memiliki nilai ibadah yang diterima disisi-Nya, setiap kali selesai melaksanakan puasa ramadhan tampaknya perlu melakukan evaluasi dalam bentuk introspeksi diri, yaitu sejauh mana ia telah memasuki pintu gerbang kawasan ketakwaan sebagaimana yang telah dijanjikan Allah dalam ayat diatas.

Puasa dalam bahasa Arab disebut dengan istilah “as-shiyâm”, yang bermakna “menahan”, “berhenti” atau “tidak bergerak”. Sedangkan bulan ramadhan merupakan bulan diwajibkannya bagi umat Islam untuk berpuasa, dan masuk pada bulan kesembilan dari tahun Hijriyah. Kata ramadhan dalam bahasa Arab bentuk pluralnya adalah ramadânât atau armidâ’ yang artinya adalah “panas”. Diartikan “panas” karena dibulan ini daerah padang pasir sangat panas karena terik matahari.

Selain bulan puasa disebut sebagai bulan ramadhan, puasa juga memiliki nama lain, seperti syahr Allah (bulan Allah), syahr ala-i (bulan nikmat), syahr al-Qur’an (bulan diturunkannya al-Qur’an), syahr an-najâh (bulan pelepasan diri dari neraka), syahr al-jȗd (bulan kedermawanan),  syahr al-muwasâh (bulan pemberian pertolongan), syahr at-tilawâh (bulan membaca al-Qur’an), syahr as-shabari (bulan sabar), syahr as-sa’adah (bulan kebahagiaan) dan lain sebagainya.

Puasa dalam terminologi agama Islam adalah menahan diri dari makan, minum dan hubungan suami istri sejak terbit fajar sampai terbenam matahari. Meskipun perbuatan yang membatalkan puasa lebih banyak aktivitas fisik, sehingga Islam memerintahkan kepada umatnya agar menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang bisa menyakiti orang lain, baik fisik maupun kata-kata, serta menganjurkan untuk memperbanyak perbuatan baik dan memperbaiki etika sosial. Maka dari itu, dalam hal ini umat Islam harus mengikutsertakan pikiran, hati dan semua anggota badannya (seperti lidah, mata, telinga, tangan dan kakinya) untuk ikut berpuasa dari perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh agama Islam.

Jadi, hakikat dari puasa adalah sebagai pengendalian diri (self control). Orang yang mampu menguasai dan mengendalikan dirinya terhadap dorongan-dorongan yang datang dari dalam diri maupun dari luar, itulah yang namanya orang yang sehat jiwanya. Dalam hadist Nabi dijelaskan bahwa: “puasa itu bukanlah sekedar menahan diri dari makan dan minum, namun puasa itu sesungguhnya adalah mencegah diri dari segala perbuatan sia-sia serta menjauhi perbuatan kotor dan keji.” (HR. Al-Hakim)

Idealnya, umat Islam ketika menjalani ibadah puasa akan mejadi manusia harapan Tuhan. Karena dengan berpuasa manusia akan mampu melaksanakan perintah Allah dan menjauhi semua yang dilarang-Nya. Pelaksanaan ibadah puasa yang bersanding dengan perbuatan korupsi, kebohongan dan perbuatan dosa lainnya mengindikasikan bahwa puasa orang tersebut tidak memperoleh apapun, kecuali lapar dan haus belaka.

Sejatinya bahwa umat Islam menjadikan puasa sebagai jalan menuju kesempurnaan diri. Maka dari itu, setelah melewati bulan ramadhan idealnya umat Islam menjadi manusia yang lebih baik dan indah dari sebelumnya. Manusia yang semacam ini adalah manusia yang mendapat derajat sebagai manusia yang bertakwa, dan inilah yang merupakan tujuan disyariatkannya puasa bagi umat Islam, yakni menjadi manusia yang mampu menjalankan apa yang diperintahkan Allah dan menjauhi segala apa yang dilarang-Nya (takwa).

Disamping hal tersebut diatas, puasa ramadhan memiliki implikasi (dampak) positif, yang salah satunya yaitu keseimbangan (equilibrium) baik jasmani maupun ruhaninya. Sehingga dalam makna ini, puasa harus diproyeksikan pada keseimbangan hidup. Seperti diketahui bahwa, manusia dalam pandangan Islam terdiri dari dua unsur, yaitu unsur jasmani dan ruhani. Unsur jasmani diwakilkan oleh kecerdasan, tanggungjawab, komitmen pada kebenaran dan sikap jujur. Nilai kemanusiaan seseorang, bahkan esensi dari manusia itu adalah ruhaninya. Apabila ruhaninya tidak berkembang, maka sangat mustahil akan memunculkan sikap-sikap tersebut, dan kemungkinan nilai kemanusiaannya pun bisa jadi akan anjlok. Itulah sebabnya dalam puasa ramadhan diupayakan untuk mengembangkan unsur ruhaninya itu. Sehingga dengan menjalankan puasa Ramadhan—melalui proses amaliyah ramadhan—unsur jasmani dan ruhani manusia akan menjadi seimbang.

Islam sangat menekankan sekali tentang pentingnya keseimbangan dalam visi kehidupan seseorang. Keseimbangan yang dimaksud adalah keseimbangan antara kecerdasan intelektual dan hati nurani, visi keduniaan dan keakhiratan, serta visi material-spiritual. Sebab, kekurangan atas keseimbangan tersebut akan menjadikan manusia terlalu cinta dan berlomba-lomba untuk bekerja keras, tetapi jiwa sosial dan keagamaannya terabaikan, dan sangat memuja material serta hubungan antar pribadi yang semakin komersial.

Dengan demikian, puasa dilihat dari sudut kajian akhlak dapat membentuk kepribadian yang memilki kesadaran spiritualitas (Islam) yang kental, dimana kesibukan keagamaan dan proyek-proyek sosial menjadi sebagian agenda kesibukan yang digeluti setiap hari. Maka dari itu, ibadah puasa sebenarnya merupakan kebutuhan bagi manusia itu sendiri, utamanya adalah manusia zaman sekarang yang dihadapkan pada perkembangan teknologi dan informasi yang begitu canggihnya, dan perkembangan peradaban yang begitu pesatnya.

Pada sisi lain, puasa ramadhan juga memunculkan sensibilitas kepedulian bagi kaum beriman terhadap pemberdayaan kaum yang lemah. Nabi Muhammad Saw sendiri memperingatkan: “bahwa manusia yang tidur kenyang disaat orang disamping rumahnya tidak bisa tertidur karena kelaparan adalah tercela”—(Al-Hadist). Konotasi dari hadist tersebut adalah bahwa akan tercela manusia yang berbelanja secara boros, sementara didaerahnya banyak orang yang menderita kesusahan. Demikian pula, tercelalah mereka yang tertawa terbahak-bahak karena banyak uang, padahal disampingnya banyak orang yang merintih karena kelaparan. Itulah sebagian dari sifat arif yang sayogyanya harus ditumbuhkan di bulan ramadhan, utamanya adalah bagi kaum-kaum yang beriman untuk saling berbagi terhadap sesama, terutama bagi mereka yang sangat membutuhkan. Dengan tujuan agar penderitaan dan beban hidup yang mereka alami dapat teratasi, serta mereka mampu untuk bangkit dan memulai hidup baru yang lebih baik.