Sunday, November 25, 2018

KILAS HISTORIS AKAR PEMIKIRAN PLURALISME

KILAS HISTORIS AKAR PEMIKIRAN PLURALISME

Pluralisme yang hakikatnya sebagai suatu keniscayaan, baru menjadi kesadaran historis dan mulai mengubah paradigma lama yang monolitik dalam beberapa doktrin agama, sosial dan politik, ketika warga dunia menyadari akan pentingnya kebersamaan meski dalam perbedaan. Sejarah mencatat bahwa akibat kurangnya kesadaran tersebut, beberapa konflik terus menghiasi panggung dunia. Ironisnya, ketiadaan kesadaran tersebut juga terdapat dalam wilayah keilmuan yang lebih mengedepankan obyektivitas dan kebenaran relatif. Atau dengan kata lain, sepanjang sejarah kemanusiaan, akibat dari tidak adanya kesadaran pluralisme akan selalu memunculkan perlawanan disatu sisi dan konflik berkepanjangan pada sisi lainnya. Sebab, menegasikan pluralisme berarti lebih mengedepankan truth claim dan menafikan dialog. Oleh karena itu, untuk mengetahui lebih jauh tentang gagasan dasar dari pluralisme, maka perlu kita kupas lebih mendalam tentang akar historis dari pluralisme itu sendiri.
Menurut Harold Coward, agama Yahudi (Judaism) pantas dijadikan sebagai rujukan awal pembahasan pluralisme keagamaan.[1] Pandangan dari Coward tersebut didasarkan atas dua argumentasi penting. Pertama, agama Yahudi adalah agama pertama yang mencapai bentuk dan keyakinan yang mengajarkan monoteisme.[2] Agama monoteisme lain—Kristen dan Islam—telah menjadikan Yahudi sebagai konteks kemunculan dan ajarannya. Jadi, agak sama dengan hubungan agama Hindu dan Budha di dunia Timur. Kedua, pluralisme keagamaan dalam agama Yahudi banyak berkaitan dengan pengalaman hidup para pengikutnya. Mereka memiliki pengalaman hidup yang dinamakan diaspora, yakni hidup dalam komunitas keagamaan yang terpencar dan hidup sebagai kelompok minoritas ditengah komunitas agama lain.[3]
Jika dilacak akar pemikirannya, pemikiran pluralisme agama muncul di Barat pada masa yang disebut masa pencerahan Eropa, tepatnya pada abad 18 Masehi. Akan tetapi, perlu dipahami juga bahwa gagasan Pluralisme Agama sebenarnya bukan hanya hasil dominasi pemikir Barat, tapi juga mempunyai akar yang cukup kuat dalam pemikiran agama Timur, khususnya dari India. Dikarenakan dampak atas gesekan-gesekan, dialog serta konflik-konflik yang terjadi antara kepercayaan Hindu dan agama-agama pendatang lain yang masuk ke India memunculkan gagasan-gagasan yang mengarah kepada pluralisme agama. Diantara cikal bakalnya tersebut adalah munculnya agama baru hasil perpaduan antara Hindu dan Islam yang didirikan oleh  Kabir (1440-1518) dan muridnya, yaitu Guru Nanak (1469-1538) yang bernama Ajaran ‘Sikhisme’. Kemudian  Gerakan Brahma Samaj, yang dicetuskan oleh Rammohan Ray (1772-1833). Semula dia adalah pemeluk agama Hindu dan mempelajari konsep keimanan terhadap Tuhan dari sumber-sumber Islam, sehingga ia mencetuskan pemikiran Tuhan satu dan persamaan antar agama. Begitu pula Sri Ramakrishna (1834-1886) dan muridnya Keshab Chandra Sen (1838-1884) dan Swami Vivekananda (1882-1902). Kemudian mengikutinya tokoh-tokoh India yang lain seperti Mahatma Gandhi (1869-1948) dan Sarvepalli Radhakrishnan (1888-1975) yang juga menyuarakan pemikiran pluralisme agama yang sama.
Akan tetapi, terdapat perbedaan mendasar antara pemikiran pluralisme agama yang dicetuskan oleh teolog-teolog India dengan apa yang dicetuskan oleh Barat, khususnya Eropa. Gagasan Pluralisme agama India lebih mempunyai akar teologisnya, karena kerangka dasarnya tetap bersumber dari ajaran kitab suci Hindu, seperti saling dimilikinya kebenaran oleh jalan-jalan yang mengantarkan kepada Tuhan. Gagasan pluralisme agama India lebih merupakan perspektif baru yang muncul dalam wacana teologis, sementara di Barat gagasan ini lebih merupakan produk filsafat atheisme modern yang muncul pada masa pencerahan Eropa.[4]
Berdasarkan uraian dan penjelasan tersebut di atas, maka secara umum sebab-sebab lahirnya teori pluralisme dapat diklasifikasikan menjadi dua faktor utama, yakni faktor internal (ideologis), dan faktor eksternal.
a)       Faktor Internal (Ideologis)
Merupakan faktor yang timbul akibat tuntutan akan kebenaran mutlak (absolute truth claim) dari agama-agama itu sendiri, baik dalam masalah aqidah, sejarah maupun dalam masalah keyakinan atau doktrin keterpilihan’. Keyakinan seseorang yang serba mutlak dan absolut dengan maksud bahwa apa yang diyakini dan diimaninya itu yang paling benar dan superior adalah alami belaka. Keyakinan akan absolutisme dan kemutlakan ini berlaku dalam hal aqidah, madzhab dan ideologi. Oleh karenanya, tidak akan mungkin agama-agama itu dapat dikompromikan. Misalnya dalam masalah teologis, mereka berbeda dalam memahami zat yang gaib yang bersifat metafisikal yang sering dikenal dengan nama Tuhan.
1)         Ada yang mengakui eksistensi Tuhan (theistic religion);
2)        Adapula yang tidak mengakui adanya tuhan (non-theistic religion); dan
3)        Adapula golongan yang mengatakan Tuhan itu ada atau tidak, mereka ada dalam kebimbangan dan keragu-raguan.
Mereka pun berbeda penafsiran dalam mengakui esensi dan bilangan Tuhan itu sendiri. Ada yang mengakui banyak Tuhan seperti dalam Agama Hindu yang memiliki ribuan Dewa, dan ada pula yang beriman kepada satu Tuhan, seperti Agama Yudaisme, Kristen, dan Islam walaupun kenyataannya terdapat perbedaan fundamental antara satu dengan yang lainnya dalam mendefinisikan esensi atau hakikat Tuhan. Berikut perbedaannya:
1)         Aqidah Yudaisme yang tidak mengakui Tuhan-Tuhan kecuali Tuhan “Yahweh” yang menurut keimanan Yahudi adalah Tuhan khusus untuk golongan mereka saja secara eksklusif. Adapun bangsa selain Yahudi bebas mengimani Tuhan-Tuhan mana saja selain Yahweh. (Tribal dan Rasis)
2)        Agama Kristen mengimani satu Tuhan saja, namun memiliki tiga unsur, yaitu Tuhan Bapak, Tuhan Anak, dan Tuhan Ruh Al-Kudus. (Trinitarian)
3)        Agama Islam tidak mengakui aqidah Tauhid Yahudi yang tribal dan rasis maupun tauhid Kristen yang Trinitarian, melainkan hadir dengan aqidah tauhid yang murni, yang terekspresikan secara kategoris dalam kalimat syahadat Tiada tuhan selain Allah. (Laa Ilaaha Illalloh).
b)      Faktor Eksternal
Merupakan faktor yang timbul dari luar, dapat diklasifikasikan ke dalam dua hal, yaitu sosio-politis dan faktor ilmiah.
1)         Faktor Sosio-Politis
Dikarenakan ketakutan Barat atas kekuatan-kekuatan lain yang akan menyainginya, mereka memaksakan faham pluralisme agama sebagai instrumen atau mekanisme kekuatan-kekuatan politik globalnya.
2)        Faktor Keilmuan
Diantara yang menyebabkan timbulnya teori-teori pluralisme agama adalah maraknya studi ilmiah modern terhadap agama-agama dunia, atau yang sering juga dikenal denga Studi Perbandingan Agama.[5]

Referensi:
Biyanto. (2009). Pluralisme Keagamaan dalam Perdebatan; Pandangan Kaum Muda Muhammadiyah, Malang: UMM Press.
Kang Ihsan. (2012). Islam dan Pluralisme, dalam




[1] Biyanto, Pluralisme Keagamaan dalam Perdebatan; Pandangan Kaum Muda Muhammadiyah, Cet. I, (Malang: UMM Press, 2009), hlm. 52.
[2] Ibid.
[3] Ibid., hlm. 52-53.
[4] Kang Ihsan, (2012), Islam dan Pluralisme, dalam
[5] Ibid.