Pluralisme yang hakikatnya sebagai suatu keniscayaan, baru menjadi
kesadaran historis dan mulai mengubah paradigma lama yang monolitik dalam
beberapa doktrin agama, sosial dan politik, ketika warga dunia menyadari akan pentingnya
kebersamaan meski dalam perbedaan. Sejarah mencatat bahwa akibat kurangnya
kesadaran tersebut, beberapa konflik terus menghiasi panggung dunia. Ironisnya,
ketiadaan kesadaran tersebut juga terdapat dalam wilayah keilmuan yang lebih
mengedepankan obyektivitas dan kebenaran relatif. Atau dengan
kata lain, sepanjang sejarah kemanusiaan, akibat dari tidak adanya kesadaran pluralisme
akan selalu memunculkan perlawanan disatu sisi dan konflik berkepanjangan pada
sisi lainnya. Sebab, menegasikan pluralisme berarti lebih mengedepankan truth claim dan menafikan dialog. Oleh karena itu, untuk mengetahui lebih
jauh tentang gagasan dasar dari pluralisme, maka perlu kita kupas lebih mendalam
tentang akar historis dari pluralisme itu sendiri.
Menurut Harold Coward, agama Yahudi (Judaism) pantas
dijadikan sebagai rujukan awal pembahasan pluralisme keagamaan.[1]
Pandangan dari Coward tersebut didasarkan atas dua argumentasi penting. Pertama,
agama Yahudi adalah agama pertama yang mencapai bentuk dan keyakinan yang
mengajarkan monoteisme.[2]
Agama monoteisme lain—Kristen dan Islam—telah menjadikan Yahudi sebagai konteks
kemunculan dan ajarannya. Jadi, agak sama dengan hubungan agama Hindu dan Budha
di dunia Timur. Kedua, pluralisme keagamaan dalam agama Yahudi banyak
berkaitan dengan pengalaman hidup para pengikutnya. Mereka memiliki pengalaman
hidup yang dinamakan diaspora, yakni hidup dalam komunitas keagamaan
yang terpencar dan hidup sebagai kelompok minoritas ditengah komunitas agama
lain.[3]
Jika dilacak akar pemikirannya, pemikiran pluralisme agama muncul
di Barat pada masa yang disebut masa pencerahan Eropa, tepatnya pada abad 18
Masehi. Akan tetapi, perlu dipahami juga bahwa gagasan Pluralisme Agama
sebenarnya bukan hanya hasil dominasi pemikir Barat, tapi juga mempunyai akar
yang cukup kuat dalam pemikiran agama Timur, khususnya dari India. Dikarenakan
dampak atas gesekan-gesekan, dialog serta konflik-konflik yang terjadi antara
kepercayaan Hindu dan agama-agama pendatang lain yang masuk ke India
memunculkan gagasan-gagasan yang mengarah kepada pluralisme agama. Diantara
cikal bakalnya tersebut adalah munculnya agama baru hasil perpaduan antara
Hindu dan Islam yang didirikan oleh
Kabir (1440-1518) dan muridnya, yaitu Guru Nanak (1469-1538) yang
bernama Ajaran ‘Sikhisme’. Kemudian
Gerakan Brahma Samaj, yang dicetuskan oleh Rammohan Ray (1772-1833).
Semula dia adalah pemeluk agama Hindu dan mempelajari konsep keimanan terhadap Tuhan
dari sumber-sumber Islam, sehingga ia mencetuskan pemikiran Tuhan satu dan
persamaan antar agama. Begitu pula Sri Ramakrishna (1834-1886) dan muridnya
Keshab Chandra Sen (1838-1884) dan Swami Vivekananda (1882-1902). Kemudian
mengikutinya tokoh-tokoh India yang lain seperti Mahatma Gandhi (1869-1948) dan
Sarvepalli Radhakrishnan (1888-1975) yang juga menyuarakan pemikiran pluralisme
agama yang sama.
Akan tetapi, terdapat
perbedaan mendasar antara
pemikiran pluralisme agama yang dicetuskan oleh teolog-teolog India dengan apa yang
dicetuskan oleh Barat, khususnya Eropa. Gagasan Pluralisme agama India lebih
mempunyai akar teologisnya, karena kerangka dasarnya tetap bersumber dari
ajaran kitab suci Hindu, seperti saling dimilikinya
kebenaran oleh jalan-jalan yang mengantarkan kepada Tuhan. Gagasan pluralisme agama India lebih merupakan
perspektif baru yang muncul dalam wacana teologis, sementara di Barat gagasan
ini lebih merupakan produk filsafat atheisme modern yang muncul pada masa pencerahan Eropa.[4]
Berdasarkan uraian dan
penjelasan tersebut di atas, maka secara umum sebab-sebab lahirnya teori
pluralisme dapat diklasifikasikan menjadi dua faktor utama, yakni faktor
internal (ideologis), dan faktor eksternal.
a)
Faktor Internal (Ideologis)
Merupakan faktor yang
timbul akibat tuntutan akan kebenaran mutlak (absolute truth claim) dari agama-agama itu sendiri, baik
dalam masalah aqidah, sejarah maupun dalam masalah keyakinan atau doktrin ‘keterpilihan’. Keyakinan seseorang yang
serba mutlak dan absolut dengan maksud bahwa apa yang diyakini dan diimaninya itu yang paling
benar dan superior adalah alami belaka. Keyakinan akan
absolutisme dan kemutlakan ini berlaku dalam hal aqidah, madzhab dan ideologi. Oleh karenanya, tidak akan mungkin agama-agama itu dapat
dikompromikan. Misalnya dalam masalah teologis, mereka berbeda dalam
memahami zat yang gaib yang bersifat metafisikal yang sering dikenal dengan
nama ‘Tuhan’.
1)
Ada yang mengakui eksistensi Tuhan (theistic religion);
2)
Adapula yang tidak mengakui adanya tuhan (non-theistic religion); dan
3)
Adapula golongan yang mengatakan Tuhan itu ada atau tidak,
mereka ada dalam kebimbangan dan keragu-raguan.
Mereka pun berbeda penafsiran dalam
mengakui esensi dan bilangan Tuhan itu sendiri. Ada yang mengakui banyak Tuhan seperti dalam Agama
Hindu yang memiliki ribuan Dewa, dan ada pula yang beriman kepada satu Tuhan, seperti
Agama Yudaisme, Kristen, dan Islam walaupun kenyataannya terdapat perbedaan
fundamental antara satu dengan yang lainnya dalam mendefinisikan esensi atau
hakikat Tuhan. Berikut perbedaannya:
1)
Aqidah Yudaisme yang tidak mengakui Tuhan-Tuhan kecuali Tuhan “Yahweh” yang menurut keimanan Yahudi adalah Tuhan khusus untuk
golongan mereka saja secara eksklusif. Adapun bangsa selain Yahudi bebas mengimani Tuhan-Tuhan mana saja selain
Yahweh. (Tribal dan Rasis)
2)
Agama Kristen mengimani satu Tuhan saja, namun memiliki
tiga unsur, yaitu Tuhan Bapak, Tuhan Anak, dan Tuhan Ruh Al-Kudus. (Trinitarian)
3)
Agama Islam tidak mengakui aqidah Tauhid Yahudi yang tribal dan rasis maupun tauhid Kristen yang Trinitarian, melainkan hadir
dengan aqidah tauhid yang murni, yang terekspresikan secara kategoris
dalam kalimat syahadat ‘Tiada tuhan selain Allah’. (Laa Ilaaha Illalloh).
b)
Faktor Eksternal
Merupakan faktor
yang timbul dari luar, dapat diklasifikasikan ke dalam dua hal, yaitu
sosio-politis dan faktor ilmiah.
1)
Faktor Sosio-Politis
Dikarenakan ketakutan Barat atas kekuatan-kekuatan lain
yang akan menyainginya, mereka memaksakan faham pluralisme agama sebagai instrumen atau mekanisme
kekuatan-kekuatan politik globalnya.
2)
Faktor Keilmuan
Diantara yang menyebabkan timbulnya
teori-teori pluralisme agama adalah maraknya studi ilmiah modern terhadap
agama-agama dunia, atau yang sering juga dikenal denga Studi Perbandingan Agama.[5]
Referensi:
Biyanto.
(2009). Pluralisme Keagamaan dalam Perdebatan; Pandangan Kaum Muda
Muhammadiyah, Malang: UMM Press.
Kang Ihsan.
(2012). Islam dan Pluralisme, dalam