Saturday, November 28, 2020

MENCARI FORMAT BARU PARADIGMA PMII

MENCARI FORMAT BARU PARADIGMA PMII

Pengertian Paradigma[1]

Secara etimologi, paradigma berasal dari bahasa Inggris, yaitu ‘paradig, yang berarti bentuk sesuatu, model, dan pola (type of something, model, pattern). Dalam bahasa Yunani, paradigma berasal dari kata ‘para (di samping, di sebelah) dan kata dekynai (memperlihatkan; yang berarti; model; contoh; arketipe; ideal).[2] Sedangkan secara terminologi, paradigma berarti a total view of a problem; a total outlook; not just a problem in isolation. Paradigma adalah cara pandang atau cara berfikir tentang sesuatu.[3] Oleh sebab itu, paradigma dapat pula dimaknai sebagai:

1.          Cara memandang sesuatu;

2.         Dalam ilmu pengetahuan berarti model, pola, ideal. Dari model-model ini adalah fenomena yang dipandang dan diperjelas;

3.         Totalitas premis-premis teoretis dan metodologis yang menentukan atau mendefinisikan suatu studi ilmiah konkret; dan,

4.        Dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem riset.[4]

Paradigma merupakan teori-teori yang berhasil secara empiris yang pada mulanya diterima dan dikembangkan dalam sebuah tradisi penelitian sampai kemudian ditumbangkan oleh paradigma yang lebih progresif secara empiris.[5] Paradigma juga sebagai seperangkat asumsi-asumsi teoretis umum dan hukum-hukum serta teknik-teknik aplikasi yang dianut secara bersama oleh para anggota suatu komunitas ilmiah.[6] Paradigma adalah model yang dipakai ilmuwan dalam kegiatan keilmuannya untuk menentukan jenis-jenis persoalan yang perlu digarap, dan dengan metode apa, serta melalui prosedur yang bagaimana penggarapan itu harus dilakukan.[7]

Selanjutnya, bahwa konsep paradigma populer karena pemikiran Thomas Kuhn dalam bukunya; The Struktur of  Scientific Revolution ketika menjelaskan revolusi ilmu pengetahuan. Menurut Kuhn, ilmu pengetahuan berkembang dari masa awal pembentukan. Setelahnya, ilmu pengetahuan itu memperoleh pengakuan dan berkembang mejadi paradigma. Pada tahap ini, kemudian teori ilmu pengetahuan diakui sebagai kebenaran, sekaligus dijadikan acuan masyarakat dalam merumuskan pertanyaan dan cara menjawab. Pada saat ini juga teori itu ditempatkan sebagai paradigma, yaitu suatu pandangan mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter) dari suatu cabang ilmu. Normal science adalah periode berikutnya, yang mana dalam hal ini terjadi suatu akumulasi ilmu pengetahuan, di mana para ilmuwan bekerja berdasarkan paradigma yang berpengaruh di dalamnya, dan asumsi yang mendasari dijadikan sebagai dasar memahami kenyataan.

Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, yaitu sejalan dengan perkembangan masyarakat, ternyata apa yang diyakini sebagai kebenaran itu kemudian mengalami kekacauan (anomali), karena asumsi-asumsi paradigma lama tidak lagi mampu menjawab persoalan yang muncul. Akibatnya adalah timbul krisis, karena validitas paradigma lama benar-benar tidak dapat dipertahankan. Pada saat inilah kemudian terjadi suatu masa, yang oleh Kuhn disebutnya sebagai masa terjadinya suatu ‘revolusi ilmu pengetahuan’. Masa revolusi ilmu pengetahuan ini kemudian asumsi dan dasar-dasar pemikiran paradigma yang berlaku saat itu tidak lagi dianggap relevan untuk merumuskan pertanyaan, sekaligus mengajukan jawaban atas fenomena atau kehidupan yang ada. Setelah terjadi revolusi, maka kemudian akan ditemukan teori baru, yang selanjutnya dimulai dan munculnya paradigma baru.[8]

Berdasar atas pemikiran dan rumusan definisi yang disusun oleh para ahli sosiologi tersebut di atas, maka dapat dirumusakan secara sederhana, atau paling tidak menangkap poin penting bahwa istilah paradigma dalam masyarakat PMII dapat dirumuskan sebagai titik pijak untuk menentukan cara pandang, menyusun teori, pertanyaan, dan membuat rumusan mengenai suatu masalah dan medan gerakan yang harus dilakukan oleh PMII. Atau dengan kata lain, istilah paradigma bagi PMII merujuk pada bagaimana PMII ‘melihat realitas’. Jelasnya, paradigma bagi PMII merupakan konstalasi teori, pertanyaan, pendekatan, dan prosedur yang dikembangkannya dalam rangka memahami kondisi sejarah dan realitas sosial untuk memberikan konsepsi dalam menafsirkan realitas sosial. Lebih sederhana lagi, paradigma tak ubahnya seperti kaca mata untuk melihat, memaknai, dan menafsirkan realitas, terutama dalam kasus PMII adalah realitas sosial-masyarakat. Karenanya, jika paradigma diaplikasikan secara massif, maka kemudian akan menuai respons berupa arahan dalam bergerak.

 

Pilihan Paradigmatik PMII

PMII sebagai organisasi kemahasiswaan, keislaman, dan keindonesiaan, seharusnya memiliki pijakan konsepsional bagi setiap langkah organisasi, baik langkah pemikiran maupun langkah gerakan, sehingga paradigma bagi PMII menjadi suatu pilihan. Paradigma bagi PMII dijadikan sebagai totalitas konstalasi pemikiran, keyakinan, nilai, persepsi, dan gerakan yang menjadi pijakan dalam menyelesaikan persoalan sesuai dengan konsensus komunitas yang menjalaninya dengan latar sosial dalam dimensi rung dan waktu. Intinya, paradigma bagi PMII diberlakukan sebagai kerangka berfikir dan metode analisis (tool of analis) dalam memandang persoalan.

Paradigma merupakan konstelasi, teori, pertanyaan, pendekatan, dan prosedur yang dikembangkan dalam rangka memahami kondisi dan keadaan sosial untuk memberikan konsepsi dalam menafsirkan realitas sosial. Paradigma merupakan konstelasi dari unsur-unsur yang bersifat metafisik, sistem kepercayaan, filsafat, teori maupun sosiologi dalam kesatuan kesepakatan tertentu untuk mengakui keberadaan sesuatu yang baru. Ringkasnya, paradigma adalah model atau pegangan untuk memandu mencapai tujuan. Paradigma juga merupakan pegangan bersama yang dipakai dalam berdialog dengan realitas. Karenanya, paradigma dapat juga disebut sebagai prinsip-prinsip dasar yang akan dijadikan acuan dalam segenap pluralitas strategi sesuai lokalitas masalah dan medan juang.[9]

Dengan memahami konsepsi makna pradigmatik di atas, diharapkan tidak terjadi dikotomi model gerakan di dalam PMII, seperti perdebatan yang tidak pernah selesai antara model gerakan ‘jalanan’ dengan meodel gerakan ‘pemikiran’. Gerakan jalanan lebih menekankan pada praksis, dengan asumsi percepatan transformasi sosial, karena model gerakan ini terjun langsung pada basis-basis masyarakat yang menjadi korban perubahan sosial. Sedangkan model gerakan pemikiran adalah melalui eksplorasi teoretik, kajian-kajian, diskusi, seminar, dan ruang-ruang mediasi intelektual atau pertemuan ilmiah lainnya, termasuk penawaran konsep pada pihak-pihak yang memegang kebijakan baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Perbedaan antara kedua model gerakan ini tidak hanya terlihat dalam praksis gerakan, juga berimplikasi pada objek dan lahan garapan. Apa yang dianggap penting dan perlu oleh gerakan ‘jalanan’ belum tentu dianggap penting dan perlu oleh gerakan ‘intelektual’, begitupun sebaliknya, walaupun pada dasarnya kedua model gerakan ini merupakan satu kesatuan yang tidak bisa terpisah satu sama lain.

Memang, dalam sejarah gerakan mahasiswa selalu diwarnai perdebatan model gerakan jalanan dengan gerakan intelektual. Begitupun juga dalam gerakan PMII, yang diwarnai kontradiksi antara gerakan politik-struktural dengan gerakan intelektual-kultural. Padahal, semestinya kedua kekuatan model gerakan ini tidak perlu dipertentangkan yang justru akan memperlemah gerakan PMII itu sendiri. Sehingga, upaya untuk mencari prinsip dasar yang menjadi acuan segenap model gerakan PMII menjadi sangat urgen untuk diformulasikan. Tujuannya agar pluralitas setinggi apapun dalam model dan strategi gerakan PMII tidak menjadi masalah, justru secara sinergis bisa saling menguatkan dan mendukung satu sama lain.

Tercatat dalam sejarah PMII, di mana paradigma dalam PMII itu baru muncul masa periode Sahabat Muhaimin Iskandar (1994-1997),[10] yang secara faktual dan operasional istilah paradigma—yang popular dalam sosiologi ini—dijadikan sebagai pijakan oleh warga pergerakan untuk melihat, menganalisis, dan menyikapi persoalan.[11] Konsepsi teoretik paradigma ini dimuat dalam buku berjudul: “Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran”, atau yang dikenal dengan ‘Paradigma Pergerakan’. Paradigma ini disambut massif oleh seluruh anggota dan kader PMII di seluruh Indonesia, karena paradigma ini dirasa mampu menjawab kegelisahan anggota pergerakan yang gerah dengan situasi sosial politik nasional. Dalam menjawab kegelisahan ini, PMII mengusung sejumlah gagasan mengenai demokratisasi, civil society, dan penguatan masyarakat di hadapan negara yang totaliter; sebagai upaya aktualisasi dan implementasi atas nilai-nilai dan ajaran agama yang diyakini.

Medan politik Orde Baru pada masa itu, dijadikan PMII sebagai arena subur bagi sikap perlawanan terhadap negara. Sikap perlawanan ini didorong oleh konstruksi teologi Antroposentrisme-Transendental, yang menekankan posisi khalifatullah fil ardh sebagai perwujudan penghambaan kepada Allah (‘Abdullah). Sikap perlawanan ini juga didorong oleh dua tema pokok, yaitu antara tidak menyetujui adanya otoritas penuh yang melingkupi otoritas masyarakat, dengan menentang ekspansi dan hegemoni negara terhadap keinginan bebas individu dan masyarakat. Pada masa ini, PMII berada digaris terdepan organisasi perlawanan terhadap penguasa. Lebih dari itu, di antara organisasi mahasiswa Islam, PMII menjadi organisasi paling progresif dan radikal dalam melakukan dekonstruksi teks-teks agama. Intinya, PMII mengambil peran kritisisme terhadap negara, yang bahkan sampai pada level yang sangat radikal. Maka tidak heran, dalam file ABRI pada masa itu, PMII pernah dicap sebagai gerakan kiri, dan hal ini sempat memicu ketegangan antara PMII dan ABRI yang dilansir di beberapa media.[12]

Kemudian, pada masa periode Syaiful Bahri Anshari, diperkenalkan “Paradigma Kritis Transformatif”. Konsep teoretik PKT ini, sebenarnya diambil dari buku dengan judul: "Paradigma Kritis Komunitas Tradisional", yang ditulis oleh Satro Ngatawi, Hasyim Wahid (Gus Im-Adik Gus Dur) dkk. Pada hakekatnya, prinsip dasar paradigma ini tidak beda jauh dan merupakan turunan dari paradigma pergerakan. Perbedaannya terletak pada pendalaman teoretik paradigma dan pengambilan teori kritis Mazhab Frankfurt,[13] serta kritisisme wacana intelektual Muslim, seperti Hasan Hanafi, Muhammad Arkoun, Asghar Ali Engineer, dan para intelektual Muslim kritis lainnya. Sementara di lapangan terdapat pola yang sama dengan PMII periode sebelumnya; gerakan PMII terkonsentrasi pada aktivitas jalanan dan wacana-wacana kritis. Semangat perlawanan oposisi, baik dengan negara maupun dengan kapitalisme global masih sangat mewarnai gerakan PMII.

Kedua paradigma di atas, mendapat ujian berat ketika Gus Dur terpilih sebagai Presiden pada 1999. Para aktivis PMII dan aktivis civil society umumnya mengalami kebinguangan, karena Gus Dur sebagai tokoh dan simbol civil society di Indonesia yang naik ke tampuk kekuasaan. Situasi ini, PMII kembali terperosok ke dalam “Situasi Antara”. Karena sejak lama PMII mencoba membangun suatu model gerakan yang menempatkan sebagai kekuatan masyarakat sipil yang kritis, sehingga menjaga komitmen dan konsistensi sebagai agent of change, agent of social control, dan menanggalkan semangat perlawanan; jika tidak mau disebut sebagai hipokrit intelektual. Masalah yang timbul adalah: Apakah PMII akan tetap bertahan dalam kedudukannya sebagai kekuatan sipil yang independen, kritis, pengimbang pemerintah, bahkan kalau perlu menjadi kekuatan oposisi, ataukah PMII harus ikut menikmati kemenangan mentor-nya, yaitu Gus Dur. Meski demikian, secara nasional sikap PB PMII, di masa periode Nusron Wahid, secara tergas dan terbuka mengambil tempat sebagai pendukung demokrasi dan program reformasi, yang secara konsisten dijalankan oleh Presiden Gus Dur, dan sejalan dengan berbagai organisasi pro-demokrasi yang lain.[14]

Dari uraian dialektika sejarah paradigma PMII di atas, dapat kita ambil narasi gerakan sebagai pilihan pradigmatik bagi PMII, bahwa sebenarnya PMII mengidealkan masyarakat yang secara sosial politik terbuka bagi terjadinya dialektika secara bebas dan egaliter agar terwujud ‘free market of ideas’ (pasar bebas ide). Ini artinya bahwa tidak ada otoritas tunggal kebenaran konsep dan  gagasan, karena setiap gagasan akan diuji dan diseleksi dalam sebuah ruang publik sebagai arena transaksi wacana. Dalam perspektif sosiologi pengetahuan, otoritas kebenaran tunggal tidaklah memiliki dasar. Karena setiap pemikiran, seharusnya diposisikan sebagai kebenaran yang terbuka dan juga berada di tengah masyarakat yang terbuka (open society). Sebuah pemikiran, apalagi yang berkaitan dengan tema-tema politik dan sosial, tidaklah berada pada ruang vakum, melainkan ditentukan oleh atmosfir sosial tertentu. Maka masyarakatnya juga harus open society, yang diidealkan sebagai masyarakat terbuka bagi adanya kritik yang bebas, dan adanya dialektika antara nilai, ideologi dan pemikiran. Situasi demikianlah yang akan menghasilkan ide-ide cemerlang yang dapat membentuk rekayasa sosial sebagaimana yang diangan-angankan bersama dalam PMII.

Sehingga, pilihan paradigmatik PMII adalah formulasi paradigma dalam menghadapi realitas kebangsaan dan kemanusiaan. Pilihan paradigma dimaksud adalah paradigma yang didorong oleh strategi dan memiliki tujuan, bukan paradigma yang dianggap sebagai sesuatu yang baku. Ini artinya bahwa ketika paradigma dijadikan kaca mata PMII dalam medan pertempuran dan ternyata medan pertempuran itu telah berganti, maka strategipun harus berbeda, bukan berfikir normatif dengan mempertahankan paradigma lama. Dalam konteks ini, sehingga PMII selalu berkeinginan untuk mengembalikan pada khittah gerakan, baik khittah gerakan mahasiswa, gerakan pemikiran, maupun gerakan moral (moral force). Di samping itu, PMII juga memerlukan kaca mata pandang yang utuh dan bersumber dari nilai-nilai dasar yang dimiliki PMII. Dengan paradigma ini, diharapkan segenap pluralitas pendekatan perjuangan bisa menjadi spirit dan kekuatan sinergis dalam upaya mewujudkan peran strategis PMII bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan secara kualitatif.

 

Kenyataan Masyarakat Sebagai Basis Paradigma

Melihat kenyataan dan realita hari ini, era demokrasi yang ditopang oleh sarana media teknologi-informasi yang sangat canggih dan terbuka, sehingga dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi sangat terbuka dan berubah signifikan; berbeda sangat jauh jika dibanding beberapa dekade terakhir, khususnya pada era 90-an. Jika pada era sebelumnya, pemerintah sangat sentralistik, membungkam kebebasan berpendapat masyarakat, peluang mengkritik penyelenggara pemerintah dibrendel habis-habisan dengan alasan kedinamisan dan kelancaran pembangunan, akibatnya aspirasi masyarakat dari bawah ke atas tidak tersalurkan. Akan tetapi, era demokrasi hari ini menemukan momentumnya karena era keterbukaan informasi, di mana semua unsur dan lapisan masyarakat bebas untuk berekspresi, dan peluang bebas menyalurkan aspirasi, kontrol terhadap penyelenggara negara sangat terbuka.

Namun, dengan situasi dan kondisi demikian, justru membuat hilangnya peran dan fungsi sentral mahasiswa, begitupun juga mahasiswa PMII, sebagai kelompok agen of change, parlemen jalanan, penyambung lidah rakyat, dan istilah-istilah bargaining lainnya, yang mana pada beberapa dekade sebelumnya memiliki peran vital. Hilangnya peran aktivis mahasiswa PMII ini, yang membuat posisinya berada dalam keadaan ‘ada’ tetapi tidak dianggap ada. Kader dan warga PMII hari ini tidak memiliki bergining wacana maupun gerakan sebagai nilai tawar ‘keberadaan’ mahasiswa hari ini.[15] Keadaan dan situsi seperti inilah sehingga paradigma sangat dibutuhkan warga PMII sebagai instrument-instrumen gerakan yang bisa digunakan sebagai kerangka berfikir, dan metode analisis bagi warga PMII dalam memandang persoalan, mulai dari ranah filosofis hingga ranah praksisnya.

 

Paradigma Sebagai Salahsatu Landasan Strategi dan Taktik Gerakan

Sejarah bangsa kita mencatat bahwa gerakan mahasiswa adalah pelopor dan menjadi garda terdepan (avant garde) perjuangan menegakkan demokrasi.[16] Karena itu, PMII harus tetap sadar bahwa di manapun ketika kekuasaan tidak dikontrol oleh yang memberi, niscaya tak lama ia akan segera menjadi bumerang yang menikam balik; otoritas kekuasaan muncul dan rakyat ditindas. Kesadaran ini harus selalu dalam paradigma PMII beriiring dengan pembangunan demokrasi Indonesia. Kesadaran yang kritis dan utuh mesti ada dalam paradigma PMII, yang mengacu pada sebuah proses di mana PMII itu bukanlah sebagai resipen umum saja, sebagai objek saja, dan sebagai partisipan saja, namun sebagai subjek organisasi yang mengetahui dan menyadari secara mendalam realitas sosio kultural dan politik yang membentuk kehidupan bangsa ini. Kesadaran ini jelas lebih dari sekedar prise de conscience saja, namun harus menghasilkan solusi bagi setiap kesadaran yang salah arah. Kesadaran akan hal ini mengimplikasikan penempatan bagi kader PMII yang telah sadar secara kritis pada realitas yang tidak lagi penuh dengan mitos.

Strategi gerakan dalam paradigma PMII adalah paradigma gerakan yang memiliki kesadaran kritis, karena kesadaran ini sebagai puncak potensi kesadaran, dan ini mesti dikembangkan dalam paradigma PMII seiring dan sepanjang proses demokrasi di negeri ini masih berjalan. Dengan demikian, PMII harus terbangun kesadaran penuh atau kesadaran yang kritis untuk mencerna makna-makna politik yang ada. Ini artinya bahwa demokrasi dalam kaca mata PMII bukanlah demokrasi untuk kepentingan penguasa, melainkan untuk kepentingan rakyat. Karena, jika rakyat tidak pernah diberi ruang untuk mendialogkan kebijakan-kebijakan kekuasaan yang ada, maka mustahil bagi kita untuk menyebutnya sebagai demokrasi. Pada level gerakan PMII yang memiliki kesadaran semacam ini, merupakan investasi bagi demokrasi di Indonesia masa depan.

Paradigma gerakan PMII harus terus-menerus mendialogkan dengan rakyat dan kebutuhan-kebutuhannya. Mesti disadari bahwa demokrasi di Indonesia adalah ‘demokrasi belajar’, yang sekali waktu biasanya mengorbankan rakyat sebagai tumbal, sehingga proses demokrasi di negeri ini oleh PMII harus tetap dikontrol. Karena isu demokrasi tampaknya merupakan kebutuhan rakyat sepanjang zaman. Satu-satunya isu yang bisa digunakan untuk melawan praktik politik yang menindas adalah demokrasi. Substansinya adalah perjuangan untuk hak asasi manusia dan pembebasan rakyat kecil dari ketertindasan baik secara ekonomi maupun politik.

Sedangkan berbicara tentang output kualitas kader PMII, langkahnya adalah dengan menyelamatkan idealisme kader menjadi hal urgen dan fundamental. Karena, organisasi pengkaderan semacam PMII ini, maka para alumninya mesti untuk dikontrol, dengan perangkat-perangkat nilai perjuangan organisasi. Apakah perilaku para alumninya masih sama ketika sudah masuk ke dalam sistem kekuasaan atau di luar kekuasaan. Maksudnya, apakah alumni PMII masih setia memperjuangkan keadilan dan memperjuangkan rakyat atau tidak. Di sinilah peran penting menajemen pelapisan kader gerakan, agar tidak terjadi dikotomi gerakan dan perjuangan, yang dengan demikian mematikan radikalisme gerakan mahasiswa hari ini.

Bahkan hari ini, penindasan yang lebih sadis tidak dilakukan oleh kekuasaan bangsa sendiri, tapi bangsa lain (penindasan kapitalisme global). Ini juga salah satu asumsi yang mesti diwaspadai bagi paradigma gerakan PMII. Bagaimana tangan dan kapitalisme memberi rambu-rambu penindasan untuk rakyat melalui tangan-tangan kekuasaan negara. Karenanya, paradigma PMII harus mampu menyiapkan seperangkat gerakan cantik yang mampu menghadapi penindasan global ini.[]

 

Daftar Pustaka:

Ahmad Hifni. 2016. Menjadi Kader PMII. Tangerang: Moderate Muslim Society.

A. Malik Haramain. 2000. PMII di Simpang Jalan?. Yoyakarta: Pustaka Pelajar.

Ben Agger. 2016. Teori Sosial Kritis; Kritik, Penerapan dan Implikasinya, Judul Asli: Critical Social Theories: An Itroduction, penerjemah: Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Fauzan Alfas. 2015. PMII Dalam Simpul-Simpul Sejarah Perjuangan. Malang: PB PMII & Intimedia.

Husain Heriyanto. 2003. Paradigma Holistik; Dialog Filsafat, Sains dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead. Jakarta: Teraju.

Lorens Bagus. 2002. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.

Mahmud. 2011. Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia.

Mizanul Akrom.2019. Pendidikan Islam Kritis, Pluralis, dan Kontekstual. Bali: Mudilan Group.

Muh Hanif Dhakiri & Zaini Rahman. 2000. Post-Tradisionalisme Islam; Menyingkap Corak Pemikiran dan Gerakan PMII. Jakarta: Isisindo Mediatama.

Saifullah. 2007. Refleksi Sosiologi Hukum. Bandung: Refika Aditama.

Soetrisno dan SRDm Rita Hanafie. 2007. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Andi Offset.

Thomas S. Kuhn. 2012. The Structure of Scientific Revolution; Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, terj. Tjun Surjaman. Bandung: Remaja Rosdakarya.

 



[1] Disampaikan dalam acara: Pelatihan Kader Dasar (PKD) PK Nusantara PMII UMNU Kebumen Masa Khidmat 2019-2020, Pada Minggu, 29 November 2020, di Desa Kebulusan, Kecamatan Pejagoan-Kebumen.

[2] Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hlm. 55.

[3] Mizanul Akrom, Pendidikan Islam Kritis, Pluralis, dan Kontekstual, (Bali: Mudilan Group, 2019), hlm. 85.

[4] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm. 779.

[5] Soetrisno dan SRDm Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Andi Offset, 2007), hlm. 32.

[6] Husain Heriyanto, Paradigma Holistik; Dialog Filsafat, Sains dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead, (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 28.

[7] Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hlm. 84.

[8] Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolution; Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, terj. Tjun Surjaman, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 10.

[9] Fauzan Alfas, PMII Dalam Simpul-Simpul Sejarah Perjuangan, (Malang: PB PMII & Intimedia, 2015), hlm. 289.

[10] Sebelumnya, organisasi PMII belum memiliki paradigma yang secara definitif menjadi acuan gerakan. Cara pandang dan sikap warga pergerakan masih mengacu pada Nilai Dasar Pergerakan (NDP) PMII, sehingga upaya merumuskan dan membangun kerangka nilai yang dapat diukur secara sistematis, sering dihadapkan pada berbagai penafsiran atas nilai-nilai yang menjadi acuan, akhirnya berujung pada terjadinya keberagaman cara pandang dan tafsir atas nilai tersebut.

[11] Ibid., hlm. 290.

[12] Muh Hanif Dhakiri & Zaini Rahman, Post-Tradisionalisme Islam; Menyingkap Corak Pemikiran dan Gerakan PMII, (Jakarta: Isisindo Mediatama, 2000), hlm. 13.

[13] Istilah Mazhab Frankfurt diberikan kepada sekelompok filsuf yang memiliki afiliasi dengan Sekolah Frankfurt atau Institusi Penelitian Sosial (Institute for Social Research), Frankfurt di Jerman, dan pemikir-pemikir lainnya yang dipengaruhi oleh mereka. Sebagian di antara filsuf terkenal yang tergabung sebagai anggota Mazhab Frankfurt ini antara lain Max Horkheimer, Theodor Adorno, Herbert Marcuse, Walter Benjamin, Jurgen Habermas dlsb. Sebenarnya, para pemikir ini tidak pernah mendefinisikan diri mereka sendiri di dalam sebuah kelompok atau ‘mazhab’. Penamaan ini muncul secara retrospektif. Lihat: Ben Agger, Teori Sosial Kritis; Kritik, Penerapan dan Implikasinya, Judul Asli: Critical Social Theories: An Itroduction, penerjemah: Nurhadi, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2016), hlm. 157-158.

[14] Fauzan Alfas, Op, Cit., hlm.293.

[15] Ahmad Hifni, Menjadi Kader PMII, (Tangerang: Moderate Muslim Society, 2016), hlm. 150-151.

[16] A. Malik Haramain, PMII di Simpang Jalan?, (Yoyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 6.