Tuesday, April 28, 2020

AWAL MULA BERKENALAN DENGAN TEORI MARXISME

AWAL MULA BERKENALAN DENGAN TEORI MARXISME
Kehidupan hari ini dirasa sangatlah tak menentu. Suatu proses hidup manusia yang bisa dikatakan sedang mengalami bipolaritas antara rasa ketakutan dan kebahagiaan. Ketakutan dirasakannya, karena lebih kurang hampir dua bulan lamanya bangsa ini diliputi oleh rasa kesedihan, yaitu dengan mewabahnya virus korona yang semakin hari semakin bertambah dan menggerogoti masyarakat bangsa ini. Sebaliknya, kebahagiaanpun dirasakan sebagian manusia yang bisa memanfaatkan waktunya untuk produktifitas berfikir bagi otaknya, karena banyak waktu luang yang bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan buah karya dan ide pemikiran di sela-sela waktu yang lebih banyak dihabiskan di rumah.

Pada tulisan kali ini, saya tidak akan menyoroti lebih jauh kaitan dengan virus korona, karena dalam pikiran saya bahwa virus ini pasti akan berlalu. Tinimbang pikiran ini habis hanya untuk menimbang kesedihan tentang negatifitas virus korona, alangkah baiknya saya habiskan untuk membangun produktifitas berfikir, sembari menjaga diri dan keluarga dengan menerapkan pola hidup sehat dan penuh kehati-hatian dan selalu berusaha memutus mata rantai penyebaran virus korona di lingkungan sekitar dan kehidupan.

Baik lah, saya mulai dari flash back ke belakang tentang kehidupan saya saat di mana saya dulu masih berstatus sebagai mahasiswa Fakultas Tarbiyah Prodi PAI di kampus IAINU (dulu STAINU) Kebumen, dan aktif di organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) cabang Kebumen. Di PMII inilah minat pengetahuan saya akan ilmu-ilmu sosial dan keagamaan bersemi, sesuatu yang sama sekali berbeda dengan apa yang saya pelajari di kampus.

Masa-masa itu pula, di internal PMII minat intelektual sedang mengalami pasang naik. Namun saya pribadi lebih mengarahkan diri berkecimpung pada penguatan militansi intelektual, dan memerankan diri membangun pengkaderan PMII yang terfokus pada diskusi kultural yang mengarah pada disiplin pengetahuan, sehingga perlahan-lahan saya mulai meminati ilmu-ilmu sosial. Pada saat bersamaan, pelan-pelan juga mulai muncul kritik-kritik terhadap masalah ketimpangan sosial di masyarakat. Saya berusaha memahami mengapa ketimpangan itu muncul? dan mengapa di tengah-tengah gegap gempita perputaran roda pembangunan, ada begitu banyak orang yang tertinggal di belakang dan hidup bertungkus-lumus dalam kemiskinan?

Persis di momen itulah, sekitar tahun 2011 saya bertemu dengan Sahabat PMII sekaligus guru saya, Nur Sayyid Santoso Kristeva atau yang lebih akrab di telinga kader PMII dengan sapaan Bung Kris. Padanya, saya mendapat penjelasan yang lebih memuaskan akan masalah-masalah sosial yang dilahirkan oleh apa yang disebut filsuf Walter Benjamin sebagai “angin puyuh kemajuan”, dan juga pemujaan akan hal-hal yang bersifat bendawi seperti uang, jalan-jalan licin ber-aspal, kuda-kuda besi yang menindih jalan ber-aspal itu, rumah-rumah besar nan mentereng dan gedung-gedung tinggi yang ujungnya seperti hendak meninju atap langit.

Mendengarkan penjelasan Bung Kris dulu di sela-sela diskusi kultural, ia menuturkan secara rinci bahwa masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, ketimpangan sosial dan pelanggaran hak asasi manusia adalah produk dari ideologi pembangunanisme yang dianut oleh rezim Orde Baru. Orang menjadi miskin bukan karena ia malas, bodoh, atau karena tidak memiliki hasrat untuk berprestasi. Ia miskin karena kondisi-kondisi struktural yang melingkupinya. Mulai dari pendidikan yang mahal, lapangan pekerjaan yang terbatas, upah yang sangat rendah, serta korupsi, kolusi dan nepotisme yang merajalela di tingkatan elite. Pada intinya bahwa dalam kasus ini, kita tidak boleh gegabah menyalahkan si miskin atas kemiskinan yang dialaminya.

Tentu argumentasi dari Bung Kris itu berdasar, tidak serta merta tanpa tumpuan teori ilmiah yang kuat. Karena menurutnya, solusi untuk terentas dari kemiskinan itu adalah mengubah struktur yang membuat seseorang itu menjadi miskin. Ia tidak percaya bahwa si miskin bisa terentas dari kemiskinannya dengan mengubah gaya hidup. Misalnya, dengan kesadaran magis yang out put-nya lebih pada bersabar (takdir orang sudah ditentukan sejak sebelum ia lahir), atau kesadaran naif yang diluapkan pada kesadaran untuk berhemat (berhenti merokok, misalnya), harus bisa menabung, dan seterusnya.

Lalu struktur apa yang menyebabkan kemiskinan itu? Struktur kapitalisme jawabnya, dan karenanya kapitalisme ini harus diubah menjadi sosialisme. Itulah jawaban yang meyakinkan dari Bung Kris, karena memang beliau bisa dikatakan sebagai sosok seorang pemikir yang menggandrungi pemikiran dan teori Marxisme, yang karena itu salah satu dari karyanya mengupas tuntas konsep pemikiran Marxisme; "Negara Marxis dan Revolusi Proletariat".

Dengan membaca sebagian dari karya beliau, kemudian saya mulai memahami bahwa kemiskinan struktural itu akan lebih mudah dan komprehensif dipahami jika menggunakan perangkat teori Marxisme.

Dari sini lah kemudian saya temukan sumbangsih Bung Kris buat pribadi saya, dan beliau lah yang pertama kali mempertemukan saya dengan khazanah pengetahuan Marxis. Dari nya, saya mengetahui teori ketergantungan (dependency theory) dan teori sistem dunia (world system theory) dan seterusnya. Kelak kemudian saya ketahui bahwa dalam khazanah pengetahuan Marxis, teori ‘Ketergantungan’ dan teori ‘Sistem Dunia’ ini masuk dalam kategori pemikiran Neo-Marxis.

Mungkin sebagian dari kader PMII hari ini yang menganggap saya itu berlebihan mengungkapkan narasi ini. Tapi memang benar adanya, bahwa Bung Kris sebagai satu-satunya Sahabat PMII sekaligus guru saya yang mengajarkan tentang teori-teori sosial, baik secara langsung, yaitu melalui berbagai kesempatan pelatihan-pelatihan yang pernah diadakan di PMII cabang Kebumen, serta dibeberapa hasil karyanya beliau dalam bentuk buku maupun file PDF yang pernah saya baca.

Memang, Bung Kris bisa dikatakan tidak menciptakan sebuah teori baru tentang Marxisme, ia lebih berperan sebagai pembawa dan penyebar gagasan yang mumpuni. Artinya bahwa Bung Kris telah membawa dan membangun sebuah teori dalam kajian keilmuan di PMII Kebumen melalui teori-teori Marxis, sehingga hasil racikan pemikiran dan teori Marxisme yang ditawarkan beliau, bisa dibaca lebih baik dan mudah oleh kader-kader PMII Kebumen, termasuk saya sendiri di dalamnya.

Pergumulan intelektual melalui berbagai kesempatan pelatihan yang diadakan di PMII Kebumen, tentu berdampak suatu pergeseran paradigma bagi kader. Salahsatunya adalah minat kader dalam berselancar dan menggandrungi teori-teori kritis. Tentunya juga berimbas pula pada minat dan semangat kader PMII kebumen untuk menelaah berbagai disiplin keilmuan yang berbau kritis, termasuk di dalamnya kajian kritis dalam nuansa pemikiran keislaman hingga kajian pendidikan dalam nuansa kajian pendidikan kritis transformatif.

Secara tidak langsung, ini menjadi angin segar dalam kajian keilmuan bagi PMII kebumen, karena ketiadaan pengajaran Marxisme di kampus dan absennya diskusi-diskusi Marxisme dan diskusi kajian pemikiran kritis yang terbuka di publik menyebabkan teori-teori Marxis dan kajian teori kritis itu begitu mudah merasuki alam pikiran aktivis atau kader PMII Kebumen.

Terlihat di beberapa kader PMII kebumen (tidak semua kader memang) hingga hari ini yang benar-benar menaruh minat serius pada kajian Marxis dan kajian teori kritis. Baik kader Rayon baru di IAINU kebumen, kader Komisariat, dan beberapa kader Cabang PMII Kebumen yang kembali membaca secara serius karya-karya Marx, mulai dari karya Marx di masa muda hingga Marx tua. Dapat saya saksikan juga yang terlintas di beberapa media-media on line, beredar artikel ilmiah dari salah satu kader PMII Kebumen yang mengupas tentang Marxisme. Tentu ini adalah sebagai salah satu bentuk dan upaya Kader PMII Kebumen untuk mengenal lebih dekat dengan pemikiran dan teori-teori Marxisme, yang berlanjut juga pada kajian pemikiran kritis dalam pusaran pengkaderan PMII cabang Kebumen.[]
***
Catatan ringan pasca Shalat Tarawih Form Home