Kehidupan hari ini dirasa sangatlah
tak menentu. Suatu proses hidup manusia yang bisa dikatakan sedang mengalami bipolaritas antara rasa ketakutan dan
kebahagiaan. Ketakutan dirasakannya, karena lebih kurang hampir dua bulan
lamanya bangsa ini diliputi oleh rasa kesedihan, yaitu dengan mewabahnya virus korona yang semakin hari semakin bertambah dan menggerogoti masyarakat bangsa
ini. Sebaliknya, kebahagiaanpun dirasakan sebagian manusia yang bisa
memanfaatkan waktunya untuk produktifitas berfikir bagi otaknya, karena banyak waktu
luang yang bisa dimanfaatkan untuk menghasilkan buah karya dan ide pemikiran di
sela-sela waktu yang lebih banyak dihabiskan di rumah.
Pada tulisan kali ini, saya tidak akan
menyoroti lebih jauh kaitan dengan virus korona, karena dalam pikiran saya
bahwa virus ini pasti akan berlalu. Tinimbang pikiran ini habis hanya
untuk menimbang kesedihan tentang negatifitas virus korona, alangkah baiknya saya
habiskan untuk membangun produktifitas berfikir, sembari menjaga diri dan
keluarga dengan menerapkan pola hidup sehat dan penuh kehati-hatian dan selalu
berusaha memutus mata rantai penyebaran virus korona di lingkungan sekitar dan
kehidupan.
Baik lah, saya mulai dari flash back ke belakang tentang kehidupan saya saat di mana saya dulu masih berstatus sebagai mahasiswa Fakultas Tarbiyah Prodi PAI di kampus IAINU (dulu STAINU) Kebumen, dan
aktif di organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) cabang Kebumen.
Di PMII inilah minat pengetahuan saya akan ilmu-ilmu sosial dan keagamaan
bersemi, sesuatu yang sama sekali berbeda dengan apa yang saya pelajari di
kampus.
Masa-masa itu pula, di internal PMII
minat intelektual sedang mengalami pasang naik. Namun saya pribadi lebih
mengarahkan diri berkecimpung pada penguatan militansi intelektual, dan
memerankan diri membangun pengkaderan PMII yang terfokus pada diskusi kultural
yang mengarah pada disiplin pengetahuan, sehingga perlahan-lahan saya mulai
meminati ilmu-ilmu sosial. Pada saat bersamaan, pelan-pelan juga mulai muncul
kritik-kritik terhadap masalah ketimpangan sosial di masyarakat. Saya berusaha
memahami mengapa ketimpangan itu muncul? dan mengapa di tengah-tengah gegap
gempita perputaran roda pembangunan, ada begitu banyak orang yang tertinggal di
belakang dan hidup bertungkus-lumus dalam kemiskinan?
Persis di momen itulah, sekitar tahun
2011 saya bertemu dengan Sahabat PMII sekaligus guru saya, Nur Sayyid Santoso
Kristeva atau yang lebih akrab di telinga kader PMII dengan sapaan Bung Kris. Padanya,
saya mendapat penjelasan yang lebih memuaskan akan masalah-masalah sosial yang
dilahirkan oleh apa yang disebut filsuf Walter Benjamin sebagai “angin puyuh kemajuan”, dan juga pemujaan
akan hal-hal yang bersifat bendawi seperti uang, jalan-jalan licin ber-aspal,
kuda-kuda besi yang menindih jalan ber-aspal itu, rumah-rumah besar nan
mentereng dan gedung-gedung tinggi yang ujungnya seperti hendak meninju atap
langit.
Mendengarkan penjelasan Bung Kris dulu
di sela-sela diskusi kultural, ia menuturkan secara rinci bahwa masalah-masalah
sosial seperti kemiskinan, ketimpangan sosial dan pelanggaran hak asasi manusia
adalah produk dari ideologi pembangunanisme yang dianut oleh rezim Orde Baru.
Orang menjadi miskin bukan karena ia malas, bodoh, atau karena tidak memiliki
hasrat untuk berprestasi. Ia miskin karena kondisi-kondisi struktural yang
melingkupinya. Mulai dari pendidikan yang mahal, lapangan pekerjaan yang
terbatas, upah yang sangat rendah, serta korupsi, kolusi dan nepotisme yang
merajalela di tingkatan elite. Pada intinya bahwa dalam kasus ini, kita tidak boleh gegabah menyalahkan si miskin atas kemiskinan yang
dialaminya.
Tentu argumentasi dari Bung Kris itu berdasar, tidak serta merta
tanpa tumpuan teori ilmiah yang kuat. Karena menurutnya, solusi untuk terentas
dari kemiskinan itu adalah mengubah struktur yang membuat seseorang itu menjadi
miskin. Ia tidak percaya bahwa si miskin bisa terentas dari kemiskinannya
dengan mengubah gaya hidup. Misalnya, dengan kesadaran magis yang out put-nya
lebih pada bersabar (takdir orang sudah ditentukan sejak sebelum ia lahir),
atau kesadaran naif yang diluapkan pada kesadaran untuk berhemat (berhenti
merokok, misalnya), harus bisa menabung, dan seterusnya.
Lalu struktur apa yang menyebabkan
kemiskinan itu? Struktur kapitalisme jawabnya, dan karenanya kapitalisme ini
harus diubah menjadi sosialisme. Itulah jawaban yang meyakinkan dari Bung Kris,
karena memang beliau bisa dikatakan sebagai sosok seorang pemikir yang menggandrungi
pemikiran dan teori Marxisme, yang karena itu salah satu dari karyanya mengupas
tuntas konsep pemikiran Marxisme; "Negara
Marxis dan Revolusi Proletariat".
Dengan membaca sebagian dari karya
beliau, kemudian saya mulai memahami bahwa kemiskinan struktural itu akan lebih
mudah dan komprehensif dipahami jika menggunakan perangkat teori Marxisme.
Dari sini lah kemudian saya temukan
sumbangsih Bung Kris buat pribadi saya, dan beliau lah yang pertama kali
mempertemukan saya dengan khazanah pengetahuan Marxis. Dari nya, saya
mengetahui teori ketergantungan (dependency
theory) dan teori sistem dunia (world
system theory) dan seterusnya. Kelak kemudian saya ketahui bahwa dalam
khazanah pengetahuan Marxis, teori ‘Ketergantungan’ dan teori ‘Sistem Dunia’
ini masuk dalam kategori pemikiran Neo-Marxis.
Mungkin sebagian dari kader PMII hari
ini yang menganggap saya itu berlebihan mengungkapkan narasi ini. Tapi memang
benar adanya, bahwa Bung Kris sebagai satu-satunya Sahabat PMII sekaligus guru
saya yang mengajarkan tentang teori-teori sosial, baik secara langsung, yaitu melalui
berbagai kesempatan pelatihan-pelatihan yang pernah diadakan di PMII cabang
Kebumen, serta dibeberapa hasil karyanya beliau dalam bentuk buku maupun file
PDF yang pernah saya baca.
Memang, Bung Kris bisa dikatakan tidak
menciptakan sebuah teori baru tentang Marxisme, ia lebih berperan sebagai
pembawa dan penyebar gagasan yang mumpuni. Artinya bahwa Bung Kris telah
membawa dan membangun sebuah teori dalam kajian keilmuan di PMII Kebumen
melalui teori-teori Marxis, sehingga hasil racikan pemikiran dan teori Marxisme
yang ditawarkan beliau, bisa dibaca lebih baik dan mudah oleh kader-kader PMII
Kebumen, termasuk saya sendiri di dalamnya.
Pergumulan intelektual melalui
berbagai kesempatan pelatihan yang diadakan di PMII Kebumen, tentu berdampak
suatu pergeseran paradigma bagi kader. Salahsatunya adalah minat kader dalam
berselancar dan menggandrungi teori-teori kritis. Tentunya juga berimbas pula
pada minat dan semangat kader PMII kebumen untuk menelaah berbagai disiplin
keilmuan yang berbau kritis, termasuk di dalamnya kajian kritis dalam nuansa
pemikiran keislaman hingga kajian pendidikan dalam nuansa kajian pendidikan kritis
transformatif.
Secara tidak langsung, ini menjadi
angin segar dalam kajian keilmuan bagi PMII kebumen, karena ketiadaan
pengajaran Marxisme di kampus dan absennya diskusi-diskusi Marxisme dan diskusi
kajian pemikiran kritis yang terbuka di publik menyebabkan teori-teori Marxis dan
kajian teori kritis itu begitu mudah merasuki alam pikiran aktivis atau kader
PMII Kebumen.
Terlihat di beberapa kader PMII
kebumen (tidak semua kader memang) hingga hari ini yang benar-benar menaruh
minat serius pada kajian Marxis dan kajian teori kritis. Baik kader Rayon baru
di IAINU kebumen, kader Komisariat, dan beberapa kader Cabang PMII Kebumen yang
kembali membaca secara serius karya-karya Marx, mulai dari karya Marx di masa
muda hingga Marx tua. Dapat saya saksikan juga yang terlintas di beberapa
media-media on line, beredar artikel ilmiah dari salah satu kader PMII Kebumen
yang mengupas tentang Marxisme. Tentu ini adalah sebagai salah satu bentuk dan
upaya Kader PMII Kebumen untuk mengenal lebih dekat dengan pemikiran dan
teori-teori Marxisme, yang berlanjut juga pada kajian pemikiran kritis dalam
pusaran pengkaderan PMII cabang Kebumen.[]
***
Catatan ringan pasca Shalat Tarawih Form
Home