Setelah sebulan melaksanakan ibadah puasa sebagai bentuk manifestasi ketaatan dan kepatuhan kita karo sing gawe urip "Sang Ilahi Rabbi", kehadiran idul fitri merupakan pesta kemenangan yang pantas untuk kita syukuri dan rayakan.
Namun, karena keadaan di mana virus koronah sedang menjadi hantu gentayangan dalam pergumulan masyarakat, tentu ada kekhawatiran jika suasana idul fitri atau lebaran, menjadi momok menakutkan jika berjalan seperti tradisi selama ini, saling berkunjung dan berkumpul keluarga besar, akan berpotensi penyebaran virus koronah.
Dengan kondisi kuatnya tradisi masyarakat kita, mungkinkah idul fitri atau lebaran kali ini meminimalkan atau bahkan tak menerima tamu di rumah?
Tak bisa dipungkiri bahwa menolak kunjungan tamu ke rumah, baik itu saudara atau tetangga akan sulit dilakukan, apalagi masyarakat kita, khususnya Jawa, memiliki rasa 'pakewuh' atau 'sungkan' yang tinggi.
Saya sependapat bahwa nguri-uri tradisi adalah bagian dari usaha kita untuk mempertahankannya, tentunya tradisi-budaya luhur yang ada di masyarakat, seperti tradisi "Sungkem" dan "Halal bi Halal" antar keluarga dan tetangga saat lebaran, dan pernak-pernik nuansa lebaran yang menarik lainnya. Tujuannya jelas, agar tradisi-budaya itu tetap lestari dan bertahan hingga anak cucu kita.
Tapi hari ini, virus koronah masih menjadi momok menakutkan, karena gejala positifnya kian hari kian bertambah. Kita tidak boleh panik, bukan berarti mengesampingkannya, sekalipun suasana lebaran kita harus tetap waspada dengan mengikuti protokol kesehatan.
Yah... lebih kurangnya begitulah suasana lebaran tahun ini. Suatu nuansa perayaan lebaran, jika boleh dikatakan, dengan suasana yang cukup dilematis. Mengapa dilematis? Karena lebaran tahun ini kita di sedang dihantui oleh pandemi virus koronah yang 'nggateli', dan merayakan hari raya idul fitri yang seharusnya disambut dengan suasana riang gembira dan penuh kebersamaan.
Perlu diingat bahwa perayaan idul fitri atau lebaran adalah pesta kemenangan dalam mengendalikan hawa nafsu, dan keberhasilan melaksanakan perintah puasa ramadhan sebagai bentuk manifestasi kepatuhan kita pada Ilahi. Hari raya idul fitri juga sebagai acara keagamaan sekaligus perayaan sosial. Prinsipnya bukan pada 'bersalaman' atau 'berpelukan', namun yang utama adalah rasa 'penghormatan' dan 'saling memaafkan'.
Sehingga, hari raya idul fitri dengan ucapan "minal aidin wal faizin" baru mempunyai makna dan signifikansi bagi mereka yang 'puasa temenan' bukan 'puasa lemboan', sehingga pantas memperoleh predikat sebagai golongan orang yang menang dan mampu membuat transformasi hidup ke tingkat yang lebih baik, dan senantiasa menyebarkan kebajikan bagi sesama, terurama di saat pandemi virus koronah saat ini.[]
Namun, karena keadaan di mana virus koronah sedang menjadi hantu gentayangan dalam pergumulan masyarakat, tentu ada kekhawatiran jika suasana idul fitri atau lebaran, menjadi momok menakutkan jika berjalan seperti tradisi selama ini, saling berkunjung dan berkumpul keluarga besar, akan berpotensi penyebaran virus koronah.
Dengan kondisi kuatnya tradisi masyarakat kita, mungkinkah idul fitri atau lebaran kali ini meminimalkan atau bahkan tak menerima tamu di rumah?
Tak bisa dipungkiri bahwa menolak kunjungan tamu ke rumah, baik itu saudara atau tetangga akan sulit dilakukan, apalagi masyarakat kita, khususnya Jawa, memiliki rasa 'pakewuh' atau 'sungkan' yang tinggi.
Saya sependapat bahwa nguri-uri tradisi adalah bagian dari usaha kita untuk mempertahankannya, tentunya tradisi-budaya luhur yang ada di masyarakat, seperti tradisi "Sungkem" dan "Halal bi Halal" antar keluarga dan tetangga saat lebaran, dan pernak-pernik nuansa lebaran yang menarik lainnya. Tujuannya jelas, agar tradisi-budaya itu tetap lestari dan bertahan hingga anak cucu kita.
Tapi hari ini, virus koronah masih menjadi momok menakutkan, karena gejala positifnya kian hari kian bertambah. Kita tidak boleh panik, bukan berarti mengesampingkannya, sekalipun suasana lebaran kita harus tetap waspada dengan mengikuti protokol kesehatan.
Yah... lebih kurangnya begitulah suasana lebaran tahun ini. Suatu nuansa perayaan lebaran, jika boleh dikatakan, dengan suasana yang cukup dilematis. Mengapa dilematis? Karena lebaran tahun ini kita di sedang dihantui oleh pandemi virus koronah yang 'nggateli', dan merayakan hari raya idul fitri yang seharusnya disambut dengan suasana riang gembira dan penuh kebersamaan.
Perlu diingat bahwa perayaan idul fitri atau lebaran adalah pesta kemenangan dalam mengendalikan hawa nafsu, dan keberhasilan melaksanakan perintah puasa ramadhan sebagai bentuk manifestasi kepatuhan kita pada Ilahi. Hari raya idul fitri juga sebagai acara keagamaan sekaligus perayaan sosial. Prinsipnya bukan pada 'bersalaman' atau 'berpelukan', namun yang utama adalah rasa 'penghormatan' dan 'saling memaafkan'.
Sehingga, hari raya idul fitri dengan ucapan "minal aidin wal faizin" baru mempunyai makna dan signifikansi bagi mereka yang 'puasa temenan' bukan 'puasa lemboan', sehingga pantas memperoleh predikat sebagai golongan orang yang menang dan mampu membuat transformasi hidup ke tingkat yang lebih baik, dan senantiasa menyebarkan kebajikan bagi sesama, terurama di saat pandemi virus koronah saat ini.[]