Prawacana
Kita semua paham bahwa sumber utama sekaligus pedoman hidup umat Islam adalah Al-qur’an dan Hadist. Karena sebagai sumber kehidupan, maka kedua sumber ini adalah rahmat al-’alamin. Prinsip pokok yang diajarkan dan sebagai doktrin yang harus diyakini kebenarannya terumuskan dalam paradigma rukun Iman dan rukun Islam. Paradigma ini harus menjadi sistem hidup dan kehidupan umat Islam. Dengan demikian, setiap umat Islam berhak dan bebas memahami Al-qur’an dan hadist, selama tidak keluar dari paradigma tadi.
Dalam tradisi akademik, meletakkan Islam sebagai objek studi ilmiah sebenarnya belum cukup lama, karena selama ini ada keengganan dan rasa sungkan, sehingga Islam lebih didekati secara baik-baik sebagai agama wahyu semata, segala sesuatu harus dikembalikan dan tunduk pada teks wahyu, selesai. Padahal kajian ilmiah itu harus lebih meletakkan Islam sebagai agama historis daripada wahyu, sehingga agama harus rela diperlakukan secara semestinya, semena-mena dan dikritik. Ini artinya bahwa Al-qur’an tidak boleh ditonjolkan sebagai kitab antik yang harus dimitoskan, hal ini justru akan menciptakan jarak antara Al-qur’an dengan realitas sosial. Al-qur’an di satu pihak diidealisasi sebagai sistem nilai yang transendental, sementara di pihak lain realitas sosial dan perkembangannya harus dibimbing demi kemajuan dan transformasi sosial. Sehingga dalam konteks ini, Islam berangkat dari keyakinan bahwa Islam sebagai agama wahyu yang kebenarannya bersifat mutlak, memiliki nilai universal dan salih li kulli zaman wa makan (sesuai di setiap waktu dan tempat).
Untuk mewujudkan keyakinan di atas, maka kita mesti flash back dengan melihat dinamika pemikiran umat Islam sejak perjalanan Nabi Saw sampai sekarang, termasuk di Indonesia. Para ahli dari berbagai bidang disiplin ilmu, hampir semuanya mengarah pada suatu kesimpulan bahwa munculnya perbedaan faham atau aliran dan pemikiran dalam Islam, adalah ketika teks suci (Al-qur’an dan hadist) dikontekstualkan berdasarkan kenyataan-kenyataan yang sedang berkembang. Selain itu, lahirnya beragam aliran, sekte dan pemikiran dalam Islam juga tak lepas dari situasi sosial-politik, di samping dinamika pemikiran dan pencarian spiritualitas.
Perbincangan mengenai aliran Islam di Indonesia ter-update tidak bisa lepas dari gerakan pencarian spiritualitas yang lantas memunculkan varian baru pemikiran Islam. Karena krisis spiritualitas zaman modern ini telah memicu menjamurnya gerakan-gerakan sempalan. Sepanjang abad 20 hingga kini, di Indonesia menjadi “ladang gembur” tumbuhnya sekte kecil aliran dalam Islam dengan banyak varian pemikirannya. Varian-varian peta pemikiran Islam ini tergolong sebagai gejala ‘gerakan agama baru’. Akan tetapi, perlu dipahami juga bahwa memahami Islam acap kali mengalami kebuntuan jika melulu dipandang dari sudut teologis yang berujung pada klaim sesat-menyesatkan. Bahkan klaim semacam itu kerap dijadikan dalih untuk membenarkan aksi anarkisme. Fenomena aliran agama di Indonesia kini perlu dilihat pula dengan pendekatan sosiologis, sehingga label ortodoks dan sempalan bukan konsep abadi dan mutlak, melainkan bersifat relatif dan dinamis. Karena jika dilihat secara politis, ortodoksi adalah paham yang didukung penguasa, sedangkan yang tidak disetujui dicapnya sebagai sesat. Sehingga dalam konteks ini dapat disinyalir bahwa gerakan sempalan pemikiran Islam juga seringkali lahir sebagai bentuk penolakan atas paham dominan sekaligus bentuk protes atas sosial-politik.
A. Latar Belakang dan Sejarah Munculnya Aliran dalam Islam
Jika ditelusuri, perpecahan dalam Islam di mulai sejak wafatnya Nabi Saw. Akan tetapi perpecahan itu mulai reda saat terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah. Setelah beberapa lamanya Abu Bakar memegang kekhalifahan, kembali muncul perpecahan dalam Islam, karena banyak dari kaum Muslimin yang murtad, bermunculan Nabi palsu seperti Musailamah al-Kazzab, Thulaihah, Sajah dan lain sebagainya, serta banyak pula golongan yang tidak mau membayar zakat kepada Abu Bakar yang sebelumnya mereka itu membayar zakat kepada Nabi. Perselisihan itu segera teratasi dan dipersatukan kembali karena kebijakan Abu Bakar.
Setalah Abu Bakar wafat, kemudian khalifah diteruskan Umar Bin Khatab, selanjutnya diteruskan Usman Bin Affan. Islam meluas dan berkembang ke beberapa wilayah di Arab. Nah, di masa-masa akhir kekhalifahan Usman inilah terjadi pemberontakan di mana-mana, karena masa kepemimpinan Usman ini disinyalir ada unsur nepotisme yang dilakukan oleh para pelaksana pemerintahan, dan kurang pengawasan dari khalifah Usman. Inilah asal mulanya ‘fitnah kubro’, yang membuka kesempatan bagi orang-orang yang haus kedudukan untuk menggulingkan kepemimpinan Usman; fitnah ini yang menyebabkan terbenuhnya Usman.
Awal kemunculan aliran dalam Islam terjadi pada saat suksesi kepemimpinan dari Usman ke Ali bin Abi Thalib. Masa pemerintahan Ali merupakan era kekacauan dan awal perpecahan di kalangan umat Islam. Namun, bibit-bibit perpecahan itu mulai muncul pada akhir kekuasaan Usman. Di masa pemerintahan khalifah Ali ini, perang secara fisik beberapa kali terjadi antara pasukan Ali melawan para penentangnya. Peristiwa-peristiwa ini telah menyebabkan terkoyaknya persatuan dan kesatuan umat. Sejarah telah mencatat, paling tidak ada dua perang besar pada masa ini, yaitu perang Jamal yang terjadi antara Ali dan Aisyah, dan perang Siffin yang berlangsung antara pasukan Ali melawan tentara Muawiyah bin Abu Sufyan.
Perselisihan terjadi antara Ali dan para penentangnya pun menimbulkan aliran-aliran pemikiran keagamaan dalam Islam[1] seperti Syiah, Khawarij, Murjiah, kemudian muncul aliran Jabbariyah dan Qodariyah, serta selanjutnya berkembang menjadi aliran Muktazilah, Asy'ariyah, Maturidiyah dan Ahlussunah wal Jamaah. Aliran-aliran ini pada awalnya muncul sebagai akibat percaturan politik yang terjadi, yaitu mengenai perbedaan pandangan dalam masalah kepemimpinan dan kekuasaan (aspek sosial-politik), namun dalam perkembangan selanjutnya perselisihan yang muncul mengubah sifat-sifat yang berorientasi politik menjadi persoalan keimanan.
Dari sekian banyak aliran dalam Islam yang berkembang di masa kejayaan peradaban Islam seperti Syiah, Khawarij, Muktazilah, Murjiah, Qadariyah, Jabariyah, Asy'ariyah, Maturudiyah, dan sebagainya, hingga saat ini hanya dua aliran yang masih memiliki banyak pengikut. Kedua aliran itu adalah aliran Syiah dan Ahlussunnah wal Jama’ah. Aliran pemikiran yang kedua (Aswaja) adalah sebagai aliran keagamaan umat Islam mayoritas di Indonesia.
B. Pola Pemikiran Keislaman di Indonesia
Untuk memahami pemikiran Islam di Indonesia sampai saat ini, hendaklah diruntut jauh ke belakang sejak kedatangan Islam di Indonesia, bahkan perkembangan terjadi pada sumbernya di Timur Tengah. Islamisasi di Nusantara ditandai oleh akomodasi terhadap nilai-nilai lokal yang kemudian membentuk semacam tradisi Islam yang khas Indonesia. Proses penetrasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan masyarakat Nusantara terjadi pada masa awal-awal kedatangan Islam sampai dengan munculnya gerakan pembaruan menimbulkan pola tingkah laku dalam bidang sosial-politik, ekonomi, dan lain sebagainya.[2]
Pada abad 17 dan 18 merupakan salahsatu masa yang paling dinamis dalam sejarah sosial intelektual Islam. Sumber dinamika Islam dalam abad ini adalah jaringan ulama, terutama berpusat di Makkah dan Madinah. Posisi pada kedua kota suci ini, khususnya dalam kaitan dengan ibadah haji, telah mendorong sejumlah besar ulama dan penuntut ilmu dari berbagai wilayah dunia Muslim datang bermukim di sana. Realita ini pada gilirannya menciptakan semacam jaringan keilmuan yang menghasilkan wacana ilmiah yang unik dan luas. Sebagian besar mereka yang terlibat dalam jaringan ulama ini adalah berasal dari berbagai dunia Muslim, membawa berbagai tradisi keilmuan ke Makkah dan Madinah.
Pada abad 17, hubungan antara Islam di Nusantara dengan Timur Tengah umumnya bersifat keagamaan dan keilmuan. Jika terdapat hubungan politik antara beberapa kerajaan Muslim Nusantara, misalnya dengan Dinasti Utsmaniyah, tidaklah begitu ketat. Jaringan ulama di Haramayn (Makkah-Madina) memberikan dasar bagi semangat pembaharu dalam berbagai masyarakat muslim di Nusantara pada abad 17 dan 18.
Pertukaran gagasan dan pemeliharaan wacana intelektual dalam masa ini sangat krusial bagi sejarah pemikiran keagamaan Islam di Nusantara. Gejolak dan dinamika pemikiran yang muncul dari hubungan dan kontak yang begitu intens melalui jaringan ulama telah memunculkan efek revivalisasi Islam dalam kehidupan pribadi dan kemasyarakatan kaum Muslim Melayu-Indonesia.[3] Dampak postif dari adanya jaringan keilmuan ini telah mendorong masyarakat Islam di Indonesia, dengan ditandai berdirinya organisasi Islam seperti Sarekat Dagang Islam (1909), Serikat Islam (1911), Muhammadiyah (1912), Nahdalatul Ulama (1926), dan Thawalib (1918).[4]
Berdirinya organisasi-organisasi Islam tersebut menyebabkan pemikiran Islam di Indonesia dari tahun 1920-1970-an terpola dalam bentuk pemikiran Islam yang bersifat organisatoris seperti Sarekat Islam, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama dan lainnya. Baru kemudian pada tahun 1970-an, 1980-an dan sampai sekarang muncul pemikiran-pemikiran individual.[5] Secara tidak langsung, munculnya pemikian individual dalam berbagai bentuknya merupakan telaah ulang serta menguji kembali tantangan, peluang dan hambatan yang dihadapi kaum muslimin Indonesia yang sudah jauh berbeda dan berubah dibandingkan dengan ketika organisasi Islam didirikan.
Dampak positif dari munculnya pemikiran individual dalam berbagi bentuknya tersebut menandakan bahwa khazanah pemikiran keislaman di Indonesia semakin menyediakan banyak pilihan. Sehingga, secara tidak langsung kenyataan ini telah dan sekaligus mendorong munculnya pluralitas pemikiran. Dengan munculnya beragam pemikiran individual ini, maka pluralitas pemikiran keislaman di Indonesia terasa lebih semarak. Paling tidak, kondisi ini memberi alternatif ventilasi-ventilasi pemikiran yang kaya.
C. Latar Belakang Pemikiran Keislaman di Indonesia
Sebagai agama yang hidup di tengah umat, wawasan pemikiran keislaman dan keagamaan umat Islam mengalami perubahan di sana sini karena tantangan, peluang dan hambatan yang dihadapai sudah berubah bentuknya. Keseluruhan faktor yang mempengaruhi wajah pemikiran keislaman di Indonesia dapat dikelompokkan pada dua faktor besar, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor internal adalah kondisi objektif umat Islam di Indonesia, sedang faktor eksternal adalah pemikiran-pemikiran keislaman dari luar yang masuk ke Indonesia.
Dalam faktor internal sedikitnya ada tiga hal utama, dan ini bisa saja bertambah, yang menjadi kondisi objektif umat Islam Indonesia. Pertama, sinkretisme ajaran Islam dengan budaya lokal, seperti tradisi kepercayaan nenek moyang di Jawa.[6] Kedua, kondisi politik di Indonesia yang sedang dijajah sampai dengan tahun 1945, mengalami permulaan kemerdekaan tahun 1945, dan masa reformasi pada tahun 1998. Ketiga, masalah keterbelakangan umat Islam Indonesia, terutama di bidang pendidikan (kebodohan) dan bidang perekonomian (kemiskinan).
Faktor eksternal meliputi lima hal penting, dan ini bisa saja dikembangkan, yaitu: Pertama, pemikiran tasawuf al-Gazali dan pemikiran fiqh al-Syafi’i. Kedua pemikiran ini cukup berpengaruh di dunia pesantren di Indonesia. Model pemikiran ini, kemudian disempurnakan dengan corak ilmu kalam Asy‘ariyah kemudian membentuk model sunni Indonesia. Kedua, gerakan Wahabi di Hijaz yang dipimpin oleh Muhammad ibn ‘Abd al-Wahab. Gerakan ini menyuarakan purifikasi ajaran Islam, yaitu gerakan yang berusaha mengambil rujukan ajaran agama kepada sumber aslinya; Al-qur’an dan Sunnah dan ulama Salaf. Gerakan ini turut menyulut api perkembangan gerakan yang serupa di Indonesia, semacam Muhammadiyah di Yogyakarta. Ketiga, pemikiran Muhammad Abduh, terutama tentang upayanya untuk kembali menghidupkan ijtihad dalam dunia Muslim dengan berpikir secara rasional. Pemikiran Muhammad Abduh ini banyak berpengaruh di Indonesia. Harun Nasution merupakan contoh sosok pemikir Indonesia yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran rasional Abduh, hingga ia dijulukan atau diberi gelar Abduhisme. Keempat, pemikiran Jamaludin al-Afghani, terutama tentang Pan-Islamisme dan Nasionalisme banyak menyulut api pergerakan politik Islam di Indonesia, terutama ketika melawan penjajah. Kelima, pemikiran Neo-Modernisme Fazlur Rahman yang menawarkan metode analisis-historis-kultural dalam memahami makna etik Al-qur’an, untuk selanjutnya makna etik itu dijadikan alat untuk menafsirkan masalah-masalah komtemporer masyarakat modern.[7]
Demikianlah dua faktor internal dan eksternal yang banyak berpengaruh pada model pemikiran keislaman di Indonesia. Semua faktor itu pada gilirannya membentuk tipologi pemikiran para tokoh dengan gaya dan modelnya masing-masing.
D. Paradigma Ideologi Islam
1. Paradigma Tradisionalis
Paradigma ini terkadang disebut juga dengan sebutan Islam tradisional yang mencakup pengertian yang luas. Secara umum dipahami sebagai institusionalisasi praktik-praktik keagamaan yang diyakini dalam sejarah bersumber dari wahyu. Tradisi mengandung kesakralan, keabadian, kebenaran yang pasti, kebijaksanaan perenial, dan penerapan yang berkesinambungan dari prinsip-prinsip yang abadi pada konsisi-kondisi yang beragam ruang dan waktu. Seorang tradisionalis dikenali sebagai orang yang memiliki komitmen pada syari’ah, yang merupakan sumber dari seluruh ajaran dan moralitas agama. Islam tradisional memegangi syari’ah secara keseluruhan sebagai hukum Tuhan dan penerapannya dalam seluruh aspek kehidupan.
Mereka terikat oleh tradisi-tradisi yang dipercaya dari syari’ah dan telah dicontohkan oleh umat Islam awal. Kecenderungan memelihara tradisi cukup kuat sehingga menentang tantangan Barat, dan menolak setiap bentuk perubahan, seperti masuknya ilmu pengetahuan dan teknologi modern.[8] Argumentasi yang diajukannya di dasarkan atas paradigma-paradigma yang ditawarkan tradisi untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi. Karena itu, mereka lebih suka kembali ke masa lalu untuk menemukan jawaban atas tantangan zaman sekarang.
2. Paradigma Modernis
Secara diametral, paradigma modern bertentangan dengan paradigma tradionalis, karena kaum modernis berpendapat bahwa akar keterbelakangan peradaban Islam adalah stagnasi intelektual dan kekakuan ulama dalam memahami Islam, memberikan respon terhadap dinamika kehidupan modern.[9] Karena itu, bagi paradigma modernis perlu dibuka kembali pintu ijtihad yang selama ini tertutup; sebagai upaya menuju revitalisasi Islam. Dalam usaha ke arah Tajdid dan Islah ditawarkan beberapa pendekatan seperti rasionalisasi, sekularisasi, dan rekonstruksi Islam dan pemikirannya.
Relevansi Islam bagi paradigma modernis di mana mereka berusaha mendamaikan keyakinan Islam dengan ilmu pengetahuan. Islam dan akal, ilmu pengetahuan modern dan Islam tidaklah bertentangan. Karena itu, bagi paradigma modernis bahwa transformasi umat Islam semestinya di dasarkan pada rasionalisasi dan integrasi Islam dalam institusi-institusi dan gagasan-gagasan modern. Dalam bidang politik, ia mengungkapkan ide Islam tidaklah mengenal adanya kekuasaan agama yang bertumpu pada tiga hal, yakni Islam tidak memberikan kekuasaan pada seseorang atas nama agama, Islam tidak membenarkan campur tangan penguasa dalam urusan keagamaan orang lain, dan Islam tidak mengakui hak seseorang untuk memaksakan pengertian, pendapat, dan penafsirannya tentang agama atas nama orang lain.[10] Dengan kata lain, hakikat pemerintahan Islam tidak bersifat keagamaan, melainkan benar-benar bersifat rasional.
3. Paradigma Revivalis
Munculnya revivalisme Islam sebenarnya tidak terlepas dari pengaruh perkembangan pemerintahan dan kebudayaan Islam yang berkembang sejak dahulu, tepatnya setelah runtuhnya khilafah Islamiyah. Runtuhnya khilafah Islamiyah menyebabkan banyak perubahan. Seperti yang terjadi di Negara Osmaniyah, yakni banyaknya pembaharuan ala Barat yang dicetuskan oleh Mustafa Kamal. Kamal mengadakan kebijakan dalam melakukan hubungan perdagangan dan kultural ke Barat, serta banyak mengambil ide-ide dan teknik dari Barat. Karena menurut mereka, ide dan teknik Barat mampu membuat perubahan besar di negaranya, seperti tumbuhnya elit yang berpendidikan Barat dan suksesnya gerakan untuk mendirikan monarki konstitusional.
Perubahan sistem tersebut akhirnya dirasakan oleh sebagian besar bangsa Arab. Mereka merasa bahwa sistem tersebut tidak cocok bagi bangsa Arab, meskipun pengaruh dan penyebaran pendidikan Barat telah banyak berkontribusi. Hal ini memunculkan ketidakpuasan dan perlawanan bagi bangsa Arab yang dahulunya masih banyak menggunakan nilai-nilai dasar bangsa Arab, yakni nilai keislaman dan ke-Araban. Hal lain yang sangat memicu perlawanan terhadap ideologi Barat adalah kekalahan bangsa Arab oleh Israel dalam konflik berkepanjangan di Palestina. Di tengah kericuhan situasi tersebut, muncul gerakan-gerakan pembaharuan Islam (revivalisme Islam) untuk kembali kepada dasar Islam dan tradisi asli yang dianggap lebih cocok bagi bangsa Arab.
Dari beberapa gejolak yang ada di bangsa Arab kemudian muncul gerakan-gerakan pembaharuan Islam atau revivalisme Islam. Tujuan gerakan ini adalah untuk mengembalikan bangsa Arab pada identitas aslinya, dan mendirikan negara berdasarkan nilai-nilai Islam, seperti khilafah islamiyah. Representasi gerakan ini seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, dan Dakwah Salafi yang ada di Timur Tengah.
Prinsip-prinsip pokok yang diusung paradigma revivalis sebagai kerangka ideologis kebangkitan Islam, yakni: Pertama, konsep din wa daulah. Agama dan negara memiliki hubungan erat yang tidak dapat dipisahkan. Hukum syari’ah dalam Islam bersifat inheren. Al-qur’an memberikan syari’ah dan negara menegakkannya. Kedua, fondasi Islam adalah Al-qur’an, Sunnah Nabi dan tradisi para sahabat. Umat Islam diperintahkan untuk kembali kepada dasar-dasar nilai Islam dan melakukan praktek-praktek Nabi yang puritan. Ketiga, puritanisme dan keadilan sosial. Umat Islam diperintahkan untuk menegakkan keadilan sosial bagi seluruh masyarakatnya, dan menjaga nilai-nilai Islami, baik dalam pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Keempat, kedaulatan dan hukum berdasarkan syari’at Islam. Syari’at menjadi undang-undang tertinggi di negara tersebut. Kelima, jihad sebagai pilar menuju nizam Islami. Umat Islam harus berupaya dengan sungguhsungguh untuk menghancurkan tatanan jahiliah dan menaklukkan kembali kekuasaan duniawi dengan jihad perang suci.[11]
Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, berbagai tuntutan ke arah Islamisasi, seperti penerapan syari’at sebagai konstitusi negara meramaikan pentas politik dan gerakan keagamaan di Timur Tengah. Organisasi-organisasi pendukung seperti Ikhwanul Muslimin, secara konsisten menempatkan dirinya sebagai kekuatan politik. Seiring perkembangan dan perubahan yang dilakukan oleh organisasi gerakan kebangkitan Islam ini dengan paradigma revivalis juga menanamkan pengaruhnya di belahan dunia lain seperti, Eropa dan Afrika, serta di Asia Tenggara, khususnya Indonesia.
4. Paradigma Transformatif
Obsesi Islam transformatif adalah memberi kritik terhadap teologi Islam rasional dan Islam peradaban.[12] Dari kritik tersebut mereka berusaha membangun suatu bentuk Islam alternatif. Titik tolak mereka berangkat dari analisis tentang penyebab keterbelakangan dan kemunduran umat Islam dari sudut pandang struktural (structural external).[13] Karena menurut paradigma Islam transformatif bahwa kedua paradigma Islam rasional dan Islam peradaban belum menyentuh ranah aktualisasi, namun baru pada tahap wacana ataupun ide. Paradigma Islam tranformatif ini berupaya memberikan jawaban praksis atas permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat.[14]
Problematika yang dibawa Islam rasional dan Islam peradaban telah memisahkan hubungan antara manusia dengan Tuhan, antara manusia dengan alam, dan antara manusia dengan manusia itu sendiri. Ketika keretakan hubungan terjadi, akibatnya adalah ketidakadilan dalam membangun masyarakat pun akan terjadi. Karena itu, paradigma Islam transformatif merupakan respon terhadap dampak negatif dari pembangunan dan kapitalisme dunia yang sudah merusak tatanan kehidupan sosial masyarakat.[15] Faktor ini sedikit banyak menyentuh ranah inti dari paradigma Islam transformatif yang selalu meletakkan keseimbangan antara muamalah kepada Allah maupun kepada sesama manusia.
E. Varian Aliran-Aliran Islam di Indonesia
1. Islam Tradisional
Islam tradisonal adalah sebuah aliran pemikiran keislaman sekitar abad ke-13 sampai menjelang abad ke-20, dan biasanya masih tetap terawetkan dalam budaya pemikiran keislaman sampai sekarang. Ciri dari aliran Islam tradisionalis ini adalah keterkaitan yang mendalam pada mazhab (aliran) dalam bidang fiqh, tasawuf, dan berkembang pada pola kehidupan di pesantren.[16] Sikap para juru dakwah yang akomodatif dan modifikatif ketika berhadapan dengan budaya lokal, turut mempersubur tumbuhnya sinkretisme dalam pengamalan ajaran agama, dan model berpikir taqlid yang selalu merujuk kepada pendapat ulama.
Kemudian sejalan dengan perkembangan lembaga pendidikan, maka kelompok tradisionalis mengikuti kelompok modernis untuk mempertahankan sikap pemikirannya melalui jalur lembaga pendidikan. Mereka mendirikan sekolah, pesantren, organisasi, dan lembaga sosial lainnya.[17] Demikianlah tipologi pemikiran Islam tradisional yang secara metodologi menggunakan metode taklid dalam pengembangan pemikiran keislaman, walaupun sekarang telah mengalami pergeseran ke arah ijtihad, namun masih dalam bentuk tertutup. Artinya, masih tetap dalam ruang lingkup satu mazhab tertentu.
Pada beberapa gerakan Islam tradisional pengaruh kebudayaan lokal cukup kuat dalam implementasi ritual keagamaan, bahkan secara kultural bersifat sinkretik. Hal ini membuat tradisi pada wilayah tertentu melebur dengan praktik keagamaan masyarakat. Gerakan Islam di Indonesia yang pernah berada atau masih bertahan pada jalur tradisional di antaranya adalah Nahdhatul Ulama, tarikat Qadiriyah-Naqsyabandiyah, dan gerakan Jama’ah Tabligh. Beberapa dari gerakan ini telah mengalami banyak perkembangan dan memiliki kecenderungan modernitas dalam aktivitasnya.[18]
Kelompok Islam tradisional, seperti Nahdlatul Ulama adalah penganut aliran Sunny terbesar di Indonesia yang dianggap memiliki ekspresinya sendiri, karena di samping ia memiliki kekhasan yang tidak dimiliki kelompok lain, seperti basis yang kuat di pesantren dan di pedesaan, hubungan guru murid yang khas, mereka juga dicirikan oleh akomodasi yang kuat atas ekspresi Islam lokal sejauh tidak bertentangan dengan Islam sebagai keyakinan. Ia tampaknya tidak berusaha untuk memaksakan ‘Arabisme’ ke dalam kehidupan keislaman sehari-hari.[19]
2. Islam Post-tradisionalis
Dalam wacana pemikiran Islam kontemporer, Post-tradisionalis Islam pertama-tama harus dilihat sebagai sebuah gerakan ‘lompatan tradisi’. Gerakan ini berangkat dari sebuah tradisi yang terus menerus berkembang, diasah dengan sedemikian rupa, diperbaharui, dan kemudian didialogkan dengan modernitas. Intinya, Post-tradisionalis mencoba melakukan kontekstualisasi tradisi Islam klasik pada ranah kondisi dan konteks kekinian. Sehingga menjadi mungkin terjadinya pembaruan tradisi yang tentunya sama sekali berbeda dengan tradisi sebelumnya.
Sebagaimana dalam arus pembaruan pemikiran Islam yang lain, Post-tradisionalis Islam digunakan untuk menyebut gerakan yang memiliki ciri-ciri tertentu, yang secara kategorial tidak bisa disebut modernis, neo-modernis, dan tidak bisa pula disebut tradisionalis atau neo-tradisionalis, karena istilah ini memang masih debatable, yakni belum memiliki gambaran epistemologis yang jelas. Kata kunci yang barangkali bisa dipakai adalah bahwa Post-tradisionalis berangkat dari tradisi yang ditransformasikan secara meloncat melampaui batas tradisi itu sendiri. Dalam hal ini, kalaupun ada sikap penolakan dan kritik terhadap tradisionalisme, lebih merupakan proses-proses peramuan tradisi yang dianggap stagnan dengan pemikiran progresif, sehingga menjadi pemikiran yang berakar dari tradisi secara kuat, tetapi mempunyai jangkauan pemahaman yang luas, utamanya untuk merespon persoalan-persoalan kontemporer.[20] Dalam konteks ini, ijtihad kalangan post-tradisionalis Islam harus disikapi dengan arif. Wacana yang ditawarkan kalangan ‘postra’ Islam merupakan “vitamin” yang dapat meningkatkan kadar dinamika pemikiran Islam yang hingga tahapan tertentu telah mengalami stagnasi.
Dapat dikatakan di sini bahwa Post-tradisionalis Islam merupakan anti tesis dari tradisi itu sendiri, mereka yang berjuang keras untuk membumikan tradisi di era kekinian berpendapat bahwa tradisi Islam pada era klasik sudah banyak yang tidak bisa digunakan, untuk tidak mengatakan sama sekali, sehingga perlu adanya rekonstruksi kembali dengan menentukan sikap secara jelas dalam melihat tradisi Islam yang lebih kontekstual. Spirit utama yang senantiasa menggelora dalam setiap aktivitas intelektual ‘postra’ adalah semangat untuk terus menerus mempertanyakan kemapanan doktrin dan tradisi, berdasar nilai-nilai etis yang mereka peroleh setelah bergumul dengan berbagai tradisi keilmuan, baik melalui kajian, penelitian, maupun melalui penerbitan buku dan jurnal.
Jadi, Islam Post-tradisionalis adalah satu aras baru pemikiran yang sedang marak di Indonesia, label gerakan pemikiran ini sering dilekatkan pada tubuh kaum muda NU. Post-tradisionalisme Islam lahir sebagai inovasi dan kreatifitas intelektual muda Islam Indonesia hasil pembacaan dan pergelutannya dengan para pemikir Islam mutakhir, terutama yang menjadi pioner intelektual Islam seperti Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu-Zayd, Hasan Hanafi, Asghar Ali Engineer dan Mohammad Abid al-Jabiri. Para pemikir tersebut memiliki ciri khas, yakni tidak hanya akomodatif dan apresiatif terhadap tradisi yang di barengi kegairahan untuk memperbaharui, tetapi sekaligus juga memiliki komitmen sosial yang tinggi. Sedangkan yang dimaksud dengan kaum muda NU adalah para mahasiswa (khususnya PMII)[21] dan pemuda yang tergabung dalam organisasi di bawah naungan NU baik secara struktural maupun secara kultural.
3. Islam Modernis
Lahirnya istilah modernisme Islam merupakan gerakan pembaruan atas kemapanan aliran tradisional Islam yang telah terlebih dahulu mengakar dalam masyarakat, meskipun secara institusional muncul lebih belakangan. Aliran modernisme ini mendapat inspirasi dari gerakan purifikasi Muhammad Abdul Wahab di Jazirah Arabia dan Pan–Islamisme Jamaluddin al-Afghani, yang kemudian mendapat kerangka idiologis dan teologis dari muridnya seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Rihda.[22] Gerakan ini memurnikan aqidah Islam dengan cara menghantarkan umat Islam pada masa Nabi dan Khulafaurrasyidin. Gerakan ini telah membangkitkan kelompok modernis Islam. Gerakan revivalisme ini sebagai pendobrak dari penyakit TBC (Taqlid, Bid’ah dan Churafat), yang berusaha memurnikan aqidah Islam dan menyentuh pada ruh jihad mengejar ketertinggalan kemajuan yang telah dicapai oleh barat.
Basis modernis Islam umumnya eksis di perkotaan yang masyarakatnya cenderung lebih akomodatif dalam menerima gagasan-gagasan baru. Bidang garap pembaharuannya lebih terfokus pada segi kelembagaan, baik di bidang organisasi maupun pendidikan yang dikelola secara modern, sehingga dapat memenuhi kebutuhan umat secara konkret. Ciri penting yang menjadi visi dasar Islam modernis, yaitu usaha pemurnian Islam dengan cara memberantas segala yang berbau khurafat dan bid’ah, melepaskan diri dari ikatan mazhab, dan membuka kembali pintu ijtihad selebar-lebarnya dengan menggunakan intelektualitas yang kritis dalam menginterpretasi nash agar sesuai dengan perkembangan modern.
Pada masa awal modernisasi Islam di Indonesia muncul beberapa pergerakan di Indonesia yang membawa sifatnya sendiri-sendiri. Sejak kemunculan kelompok ini, pembicaraan mengenai Islam tidak hanya di pesantren, langgar, dan masjid, melainkan dibawa ke tengah-tengah masyarakat secara terbuka melalui surat kabar, majalah dan tabligh di gedung-gedung besar. Melalui organisasi kalangan modern ini Islam menjadi kekuatan sosial yang terorganisir dan bergerak pada tingkat nasional. Beberapa organisasi Islam Modern di Indonesia yang masih bertahan hingga saat ini yakni, Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis).
4. Islam Neo-modernis
Neo-modernis sebenarnya adalah suatu gagasan dan pemikiran yang berusaha mendekonstruksi pemahaman yang sudah mapan sebelumnya. Secara sederhana, Neo-modernisme dapat diartikan dengan “pahara modernisme baru”. Neo-modernisme digunakan untuk memberi identitas pada kecenderungan pemikiran keislaman yang muncul sejak beberapa dekade terakhir sebagai sintesis, setidaknya upaya integrasi antara pola pemikiran tradisionalisme dengan modernisme.
Dalam studi Islam, istilah Neo-modernisme diintrodusir oleh seorang tokoh pembaharuan Islam asal Pakistan, yaitu Fazlur Rahman yang membagi perkembangan pembaharuan ke dalam empat modal gerakan, yaitu: Pertama, revivalis pramodernis, muncul pada abad ke XVIII dan ke XIX di Arabia, India dan Afrika, dengan ciri umum: (a) kepribadian degradasi moral umat Islam, (b) imbauan kembali pada Islam orisinal, (c) imbauan mengonyakan corak predetermis, dan (d) rekomendasi perlunya penggunaan kekuatan senjata bila mendesak. Kedua, upaya modernisme klasik dalam menciptakan kaitan yang baik antara pranata Barat dengan tradisi Islam adalah suatu prestasi besar. Pada umumnya kalangan ini bersikap skeptis terhadap hadis yang tidak ditopang oleh sikap kritis yang memadai, sehingga membuat gerakan ini menolak ortodoksi Islam. Ketiga, Revivalisme pasca modernisme atau neo-fundamentalisme yang kemunculannya merupakan reaksi dari gerakan sebelumnya. Kelompok ini gagal melanjutkan semangat modernisme klasik dan dalam mengembangkan metodologi untuk menegaskan posisinya, mereka juga berusaha membedakan Islam dengan Barat. Keempat, Neo-modernisme merupakan gerakan kritis yang hendak melawan kecenderungan Neo-revivalis, juga menutup kekurangan modernisme klasik.[23]
Gagasan-gagasan yang dilontarkan kalangan Islam Neo-modernis pada intinya menyatakan bahwa agama, baik secara teologis maupun secara sosiologis, sangat mendukung proses demokratisasi. Agama lahir dan berkembang dengan misi untuk melindungi dan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.
5. Islam Fundamentalis
Istilah fundamentalis memiliki kesamaan dengan istilah tradisional, dalam arti tidak diciptakan oleh komunitas mereka, namun diciptakan oleh entitas di Iuar dirinya sendiri. Dalam sosiologi agama, istilah ini berasal dari sejarah pemikiran Kristen. Dalam kalangan Kristen istilah ini berarti penolakan terhadap penafsiran bible yang tidak lafdhiyyah. Introduksi perangkat hermeneutik atau interpretasi nontekstual ditolak, sebab dipandangnya akan mengancam kemurnian ajaran. Di kemudian hari istilah fundamentalis mengglobal, namun dengan pemaknaan negatif. Fundamentalisme diidentikkan dengan radikalisme, keras, galak, dan lainnya.[24]
Islam Fundamentalis dikatakan sebagai Islam yang dalam pemahaman dan praktiknya bertumpu pada hal-hal yang asasi. Dengan demikian, secara harfiah semua orang Islam yang percaya kepada Rukun Iman yang enam dan menjalankan Rukun Islam yang lima dapat disebut sebagai Islam Fundamentalis, karena apa yang disebut ajaran fundamental dalam Islam tercakup dalam Rukun Iman dan Rukun Islam itu.[25] Fundamentalisme Islam dalam pengertian dasarnya adalah sikap dan pandangan yang berpegang teguh kepada hal-hal yang dasar dan pokok dalam Islam dengan tidak mempertentangkannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemudian kelompok Islam Fundamentalis, yaitu kelompok Islam al-thabit, Revivalis atau kelompok Islam Ideal-Totalistik.[26] Sedangkan ciri dari kelompok ini yaitu tekstual, menyerukan keutamaan Islam pada periode al-Salaf al-Salih, kembali ke sumber pokok Islam (Al-qur’an dan hadist), dan menolak unsur-unsur asing dari Barat.
Berdasarkan karakteristik-karakteristik yang menjadi platform gerakan fundamentalis di Indonesia, terdapat beberapa kelompok yang diasumsikan sebagai kelompok Islam fundamentalis, di antaranya adalah Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Forum Komunikasi Ahlussunnah Wal Jamaah (FKAWJ), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Laskar Jihad, dan lain sebagainya.
Secara umum, identifikasi landasan ideologis yang dijumpai dalam gerakan-gerakan Islam ini adalah mengusung tentang konsep integralistik antara agama dan negara, ingin kembali kepada Al-qur’an dan hadist, puritanisme dan keadilan sosial, berpegang teguh pada kedaulatan syari’at Islam, menempatkan jihad sebagai instrumen gerakan, perlawanan terhadap Barat yang hegemonic, dan menentang keterlibatan mendalam pihak Barat untuk urusan dalam negara Islam.
6. Islam Liberal
Sejak awal tahun 1970-an, bersamaan dengan munculnya Orde Baru yang memberikan tantangan tersendiri bagi umat Islam, beberapa cendekiawan, salahsatunya yang terkenal adalah Ahmad Wahib, Ulil Abshar Abdalla, mencoba memberikan respon terhadap situasi yang dinilai tidak memberi kebebasan berpikir. Kelompok inilah yang kemudian memunculkan ide-ide tentang "Pembaharuan Pemikiran Islam". Kelompok ini mencoba menafsirkan Islam tidak hanya secara tekstual, tetapi lebih pada penafsiran kontekstual. Mereka bisa digolongkan sebagai Islam liberal dalam arti menolak taklid, menganjurkan ijtihad, dan menolak otoritas bahwa hanya individu atau kelompok tertentu yang berhak menafsirkan ajaran Islam. Kemunculan gagasan atau pemikiran Ulil Abshar dan kawan-kawan tampaknya memang bertepatan dengan situasi dalam negeri yang belum reda dengan isu-isu global di seputar Islam dan Barat.[27]
Gagasan dan pikiran-pikiran Abdalla sejatinya hanya sekedar contoh dari suara anak muda cerdas yang jenuh dengan situasi kekinian, di mana agama (Islam) tidak mampu lagi ditangkap elan vitalnya oleh masyarakat. Karena dalam setiap kesempatan senantiasa berfikir bagaimana agar ajaran Islam mempu memberikan tuntunan dalam kehidupan yang senantiasa berubah. Sehingga ajaran Islam memberikan pencerahan bagi masyarakat, dan doktrin keislaman bisa diterima dalam alam kehidupan yang sudah sangat berbeda dengan masa di mana Islam pertama kali diturunkan.
Arah dari gerakan Pemikiran Islam liberal adalah untuk melakukan dua hal penting: Pertama, pembaharuan pemahaman keislaman dalam rangka menyelaraskan pemahaman keagamaan dengan perkembangan semasa. Untuk itu, mereka menyadari bahwa diperlukan sebuah formulasi ‘fiqh baru’ yang mampu menjawab problem kemanusiaan dewasa ini. Misalnya umat Islam dituntut untuk mengembangkan fiqh yang boleh berdialog dengan isu demokrasi (fiqh demokrasi), pluralisme (fiqh toleransi dan fiqh lintas agama), liberalisme (fiqh politik dan fiqh gender) dan seterusnya. Dengan kehadiran fiqh seperti ini menurut mereka sangat penting untuk membuktikan relevansi Islam dalam dunia yang lebih plural dan global. Bagaimanapun pemikir Islam sejatinya mampu memberikan alternatif bagi ummat dalam mensosialisasikan informasi yang benar tentang Islam.
Kedua, mensosialisasikan informasi yang benar tentang Islam. Hal ini mereka lakukan untuk melakukan pelurusan terhadap citra Islam, kerana selama ini banyak suara atas nama Islam dipresentasikan oleh kelompok ‘Islam fundamental dan radikal’. Umat Islam secara keseluruhan mendapat stigma buruk kerana citra Islam radikal ini. Dengan kata lain, umat Islam dirundung citra buruk di mata dunia dengan stigmatisasi radikalisme, bahkan terorisme. Islam diidentikan dengan seluruh tindakan yang bernuansa kekerasan.[28] Kerana itulah pemikir Islam liberal berusaha menghadirkan wajah Islam progresif dalam arti Islam yang penuh dengan kedamaian, toleran, moderat, liberal dan berkeadaban. Namun dalam usahanya para pemikir dan intelektual Islam mengalami banyak kesulitan besar dalam memasukkan pendekatan kritis mereka ke dalam wilayah sosial dan kultural, kerana senantiasa didominasi oleh ideologi-ideologi militan.[29] Ideologi militan inilah yang disuarakan oleh kelompok Islam fundamentalis dalam menolak Islam liberal atau Islam progresif.
Dari keseluruhan uraian di atas, dapat pahami bahwa yang dimaksudkan dengan pemikiran Islam liberal di sini adalah sebuah model pemikiran Islam yang menghendaki tradisi kritis dan dekonstruktif atas pemahaman yang baku. Menurut pemikiran Islam liberal, Islam itu harus dipahami secara kontekstual dan progresif.[30] Pemikiran Islam Liberal yang selama ini dilaksanakan dimaksudkan untuk membuat pemahaman kembali terhadap ajaran Islam. Pemahaman ini harus di mulai dengan dua tindakan yang saling berhubung kait, yaitu melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional, dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa depan. Pembaharuan pemikiran Islam ini dapat dilakukan dengan liberalisasi ajaran Islam. Dengan demikian, yang dimaksudkan dengan liberalisasi adalah pembebasan dari belenggu-belenggu kepercayaan yang tidak benar.
Konklusi
Secara spesifik, peta pemikiran Islam khususnya di Indonesia banyak para peneliti yang mencoba menelaah lebih dalam. Beberapa pihak memiliki beberapa pandangan, ada yang mengkategorikan Islam menjadi formalistik, substansialistik, transformatik, totalistik, idealistik, dan realistik. Di sisi lain, ada juga yang membedakannya ke dalam corak Islam Modernis, Neo-modernis, Post-tradisionalis, eksklusif Islam dan modernis-sekularis. Terakhir, membedakan Islam menjadi nasionalis Islam, humanis-sosialis, muslim-sosial, sekular-muslim dan modernis-sekular.
Namun secara umum pemikiran Islam di Indonesia dapat dikategorikan ke dalam tiga kelompok besar, yaitu pemikiran formalistik, substansialistik, dan moderat. Tipologi formalistik merujuk pada golongan yang menekankan ideologisasi atau politisasi yang mengarah pada simbol agama secara formal. Bagi kelompok ini ajaran Islam sempurna dan lengkap, sehingga setiap muslim haruslah menerima sistem kehidupan seperti ekonomi, politik, pendidikan, budaya, dan sosial yang dianjurkan oleh Islam. Secara politis, kelompok ini menginginkan dan mengusung pemberlakuan syari’at Islam di semua dimensi kehidupan. Sehingga gerakan kelompok ini terkristalisasi dalam berbagai partai politik Islam dan gerakan keagamaan yang mengusung syari’at Islam. Islam ini dikategorikan sebagai Islam ‘garis keras’, karena mereka terpengaruh gerakan Islam trans-nasional, terutama Wahabi atau Ikhwanul Muslimin, atau gabungan keduanya.
Pemikiran Islam selanjutnya adalah antitesis dari pemikiran sebelumnya, yaitu substansialistik. Menurut pendangan kelompok ini, jalan yang paling tepat untuk melakukan Islamisasi di Indonesia adalah dengan mengedepankan sisi substansial ajaran Islam ketimbang sisi formalnya. Bagi kelompok ini tidak perlu pemberlakuan Syari’at Islam, yang lebih strategis adalah nilai-nilai (value) yang terdapat dalam ajaran Islam. Kelompok ini memiliki kemiripan dengan Neo-modernisme. Memang, kelompok substansialis sangat akrab dengan pembaharuan pemikiran Barat, karena kelompok ini menggunakan metode yang bersandarkan pada prinsip-prinsip ilmiah.
Terakhir adalah golongan moderat, karena kelompok ini mengambil jalan tengah antara pemikiran formalistik dan substansialistik. Kelompok ini mencoba menjaga kemurnian doktrin Islam dengan tetap merespon perkembangan sosio-kultural yang ada. Dalam pandangannya bahwa nilai-nilai keislaman harus tetap dijaga terutama yang mengenai hal prinsip seperti aqidah dan ibadah, namun dalam prinsip muamalah diberikan keleluasaan dalam merespon perkembangan zaman. Dalam konteks kekinian, kelompok moderat ini diwakili oleh dua organisasi besar, yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Karenanya, kelompok moderat ini terfragmentasi menjadi dua aliran pemikiran, yaitu moderat tradisionalis dan moderat modernis.[]
Daftar Pustaka
Abuddin Nata. 2001. Peta Keberagaman Pemikiran Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Aden Widjan SZ. Dkk. 2007. Pemikiran & Peradaban Islam. Yogyakarta: Safiria Insania Press.
Adnan Mahmud, dkk. (ed.). 2012. Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azyumardi Azra. 1994. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan.
A. Mukti Ali. 1971. Alam Pikiran Islam Modern di Indonesia. Yogyakarta: Yayasan Nida.
A. Syafii Maarif. 1993. Peta Bumi Intelektual Islam di Indonesia. Bandung: Mizan.
Burhanuddin Daya. 1990. Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Fazlur Rahman. 1985. Islam dan Modernitas; Tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka.
Harun Nasution. 1975. Pembaruan dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Intan Dwi Kemala. 2008. Gerakan Islam Literatur. Jakarta: FIB UI.
Juhaya S. Praja. 2004. Islam, Globalisasi, dan Kontra Terorisme; Islam Pasca Tragedi. Bandung: Kaki Langit.
Mohammed Arkoun. 2005. Islam Kontemporer; Menuju Dialog Antar Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muh. Hanif Dhakiri dan Zaini Rachman. 2000. Post-Tradisionalisme Islam; Menyingkap Corak Pemikiran dan Gerakan PMII. Jakarta: Isisindo Mediatama.
Munawwir Syadzali. 1990. Islam dan Tata Negara. Jakarta: UI Press.
M. Din Syamsuddin. 2001. Islam dan Politik Era Orde Baru. Jakarta: Logos.
M. Imdadun Rahmat. 2007. Arus Baru Islam Radikal. Jakarta: Erlangga.
M. Rikza Chamami. 2010. Pendidikan Neomodernisme; Telaah Pemikiran Fazlur Rahman. Semarang: Walisongo Press.
Nur Sayyid Santoso Kristeva (Edisi Digital). 2012. Sejarah Teologi Islam dan Akar Pemikian Ahlussunnah wal Jama’ah. Cilacap: Komunitas Santri Progressif.
Taib Thahir Abdul Mu’in. 1986. Ilmu kalam. Jakarta: Widjaya Jakarta.
Taufik Abdullah dan Sharon Shiddique, (eds). 1989. Tradisi dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara. Jakarta: LP3ES.
Zamakhsyari Dhofier. 1982. Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3ES.
Zubaedi. 2007. Islam dan Benturan Antarperadaban; Dialog Filsafat Barat dan Islam, Dialog Peradaban dan Dialog Agama. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Zuly Qodir. 2003. Islam Liberal; Paradigma Baru dan Wacana Aksi Islam Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[1] Taib Thahir Abdul Mu’in, Ilmu kalam, (Jakarta: Widjaya Jakarta, 1986), hlm. 90-93.
[2] Taufik Abdullah dan Sharon Shiddique, (eds.), Tradisi dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, (Jakarta: LP3ES, 1989), hlm. 60.
[3] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 16-17.
[4] A. Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Indonesia, (Yogyakarta: Yayasan Nida, 1971), hlm. 5.
[5] Gelombang pertama pemikiran sosial keagamaan individu pasca Muhammadiyah dan NU adalah generasi Harun Nasution, Mukti Ali, dan M. Rasidi. Kemudian muncul gelombang kedua seperti Nurcholish Madjid, Gus Dur, Kuntowijoyo, Dawan Raharjo, Syafii Maarif, Djohan Effendy, Immaduddin Abdul Rahim, Muslim Abdurrahman, Munawir Sjadzali, Jalaludin Rahmat, Quraisy Syihab, dan lain-lain. Setelahnya muncul gelombang ketiga pemikiran Islam seperti Fachry Ali, Azyumardi Azra, Said Aqil Siradj, Amin Abdullah, Alwi Shihab, Masdar Farid Mas’udi, Ulil Abshar Abdalla, Mansour Faqih, Komarudin Hidayat, Munir Mulkam, dan seterusnya.
[6] Burhanuddin Daya, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), hlm. 15.
[7] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas; Tentang Transformasi Intelektual, terj. Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 14-25. Tentang praktek metode penafsiran tersebut dibuktikan Rahman dalam Major Themes of the Qur’an. Nurcholish Madjid dan Syafii Maarif merupakan dua tokoh pemikir Islam Indonesia yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran Neo-modernisme Fazlur Rahman ini, karena mereka berdua adalah murid langsung Fazlur Rahman. Kecuali itu, Dawam Rahardjo merupakan tokoh lain yang banyak terpengaruh oleh gaya Rahman, walaupun tidak secara langsung.
[8] Munawwir Syadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 1990), hlm. 115.
[9] M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, (Jakarta: Logos, 2001), hlm. 126.
[10] Munawwir Syadzali, Op. Cit., hlm. 131.
[11] M. Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal, (Jakarta: Erlangga, 2007), hlm. 14.
[12] Selama ini Islam rasional dan Islam peradaban mencoba memecahkan problem keterbelakangan dan kemunduran umat Islam dengan menunjuk bahwa ada yang salah dalam cara beragama umat. Dalam bahasa retorik, keterbelakangan disebabkan oleh sikap fatalistik, predeterminisme, dan penyerahan kepada nasib sebagaimana pada Islam rasional. Atau juga karena etos sosial dan etos kerja yang rendah Islam peradaban. Oleh karena itu, baik Islam rasional maupun peradaban pada dasarnya mengantar teori pembangunan melalui pembaruan pemikiran keagamaan.
[13] Aden Widjan SZ. Dkk, Pemikiran & Peradaban Islam, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2007), hlm. 134.
[14] A. Syafii Maarif, Peta Bumi Intelektual Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 132-133.
[15] Zubaedi, Islam dan Benturan Antarperadaban; Dialog Filsafat Barat dan Islam, Dialog Peradaban dan Dialog Agama, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), hlm. 163.
[16] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 18.
[17] Burhanuddin Daya, Op. Cit., hlm. 240-241.
[18] Intan Dwi Kemala, Gerakan Islam Literatur, (Jakarta: FIB UI, 2008), hlm. 39-40.
[19] Nur Sayyid Santoso Kristeva (Edisi Digital), Sejarah Teologi Islam dan Akar Pemikian Ahlussunnah wal Jama’ah, (Cilacap: Komunitas Santri Progressif, 2012), hlm. 218.
[20] Muh. Hanif Dhakiri dan Zaini Rachman, Post-Tradisionalisme Islam; Menyingkap Corak Pemikiran dan Gerakan PMII, (Jakarta: Isisindo Mediatama, 2000), hlm. 11.
[21] Dalam gairah dan semangat intelektualitas yang ditampilkan PMII, senantiasa mengalami lompatan jauh. Jika flash back input mayoritas kader PMII adalah kelompok pinggiran yang cenderung lekat dengan tradisi (baca; kolot), namun kini stereotip itu tidak layak menjadi predikatnya. Pasalnya, PMII justru memiliki khazanah pemikiran yang kaya dan moderat, bukan lagi tradisional dan tak jarang melampui batas-batas tradisi yang dilekatkan padanya. Dalam perkembangannya, formulasi corak pemikiran kelompok muda ini menjadi Post-tradisional. Lebih jauh dan jelasnya, silahkan baca bukunya: Adnan Mahmud, dkk. (ed.), Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 62-76.
[22] Harun Nasution, Pembaruan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 58.
[23] M. Rikza Chamami, Pendidikan Neomodernisme; Telaah Pemikiran Fazlur Rahman, (Semarang: Walisongo Press, 2010), hlm. 7-8.
[24] Nur Sayyid Santoso Kristeva (Edisi Digital), Op. Cit., hlm. 220.
[25] Abuddin Nata, Peta Keberagaman Pemikiran Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 11.
[26] Ibid., hlm.16.
[27] Aden Wijdan SZ, Dkk., Op. Cit., hlm. 144.
[28] Juhaya S. Praja, Islam, Globalisasi, dan Kontra Terorisme; Islam Pasca Tragedi, (Bandung: Kaki Langit, 2004), hlm. 268.
[29] Mohammed Arkoun, Islam Kontemporer; Menuju Dialog Antar Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 4.
[30] Zuly Qodir, Islam Liberal; Paradigma Baru dan Wacana Aksi Islam Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 33.