Wednesday, November 22, 2023

Gus Dur dan Teologi Pembebasan

Gus Dur dan Teologi Pembebasan

Whatsapp Image 2022 10 14 At 15.11.29

Abdurrahman Wahid atau Gus Dur adalah tokoh yang kompleks. Selain sebagai kiai yang menjadi politikus, Gus Dur adalah seorang pemikir dan intelektual, pejuang demokrasi, negarawan, pembela hak-hak minoritas, juga guru bangsa. Pemikirannya tak lekang waktu dan zaman, sekalipun sudah tutup usia hampir 14 tahun silam, tapi nama, perjuangan, dan jejak lakunya masih menjadi bahan inspirasi dan keteladanan.

Konsistensi perjuangan Gus Dur adalah keberaniannya menegakkan kebenaran dengan landasan yang bersih dan benar, serta berbasis pada kesesuaian antara nilai-nilai luhur bangsa dan keislaman. Kiprahnya melalui model inilah yang menjadikannya sebagai sosok teladan sehingga pemikirannya selalu menjadi inspirasi masyarakat dalam menyelesaikan berbagai problem bangsa seperti kemiskinan, ketidakadilan, sentimen antarkelompok, dan permasalahan kebangsaan lainnya.

Dengan mengaji kedalaman pemikiran, Gus Dur sebenarnya memiliki pandangan yang hampir merujuk pada terma teologi pembebasan, walakin tidak secara eksplisit dia menyebutnya sebagai teologi pembebasan. Hanya saja beberapa kali kesempatan Gus Dur memberikan definisi, misalnya orientasi populistik atas fungsi Islam, atau Islam sebagai etika sosial yang diperhadapkan dengan hegemoni kapitalisasi. Praktisnya, Gus Dur mengarahkan gerak bandul agama menuju pembebasan, baik berupa protes terhadap kapitalisme maupun pembelaannya atas ketertindasan kaum miskin lewat basis pesantren.

Memang fakta historisnya, Gus Dur adalah salah satu pelopor lahirnya penyegaran pemikiran Islam, khususnya di NU dan pesantren. Berbagai gagasan semisal pribumisasi Islam, ushul fiqh sebagai manhaj al-fikr, penerimaan Islam atas asas Pancasila, rasionalisasi kitab kuning, hingga toleransi antaragama telah membuka kotak pandora bagi tergeraknya wawasan pemikiran warga Nahdlatul Ulama guna menyongsong perluasan pemikiran ke arah gerakan pembebasan bagi masyarakat desa, salah satunya melalui potensi transformatif dari pesantren.

Gus Dur juga sebagai salah satu di antara penggerak kerangka strategis bagi terealisasinya nilai-nilai substantif Islam demi tegaknya demokrasi bangsa ini. Itu semua bisa dibuktikan dari pilihan demokrasi yang dibelanya bukan model politik masyarakat Barat, melainkan sebuah proses demokratisasi di mana masyarakat memperoleh hak-haknya secara maksimal. Kecenderungan itu semakin mengemuka ketika Gus Dur melakukan pribumisasi (indigenisasi) nilai-nilai itu ke dalam mindset keilmuan Islam yang segar dan kaya. Misalnya, ketika Gus Dur menyamakan konsep humanisme dan hak asasi manusia dengan konsep Islam tentang al-kulliyat al-khams, lima prinsip dasar hukum Islam.

Lewat gagasan pribumisasi Islam ini kemudian oleh Gus Dur dijadikan sebagai prasyarat mutlak bagi tergeraknya transformasi sosial, karena tanpa peleraian ketegangan agama dan budaya, sesungguhnya Islam hanya berkutat pada perjuangan simbolis, bukan perjuangan kemanusiaan demi tegaknya keadilan. Bahkan pada level pembaruan pemikiran Islam, yang selalu diidentikkan dengan gerak modernisasi kapitalistik, Gus Dur tetap menjadikan transformasi struktural sebagai tujuan utamanya.

Adapun sikap terbuka Islam terhadap peradaban lain, menurut pandangan Gus Dur tidak serta merta harus merujuk pada penghancuran tradisi Islam, melainkan sebagai prasyarat bagi terwujudnya nilai-nilai universalitas Islam. Sejalan dengan itu, Gus Dur kemudian merujuk pada lima jaminan (al-ushul al-khams) atas hak dasar manusia, yang kesemuanya itu bermuara pada terbangunnya struktur kekuasaan minus penindasan.

Sangat jelas bahwa intelektualisme Gus Dur tergambarkan betapa pemikirannya itu mencerminkan watak transformatif, baik di ranah struktural, kultural maupun sosial, sehingga di mana pun wilayah kajian dan gerakannya Gus Dur selalu mencurahkan perhatiannya bagi perubahan sosial dengan meningkatkan martabat manusia sebagai terminal utamanya.

Sejalan dengan itu, watak intelektualisme Gus Dur difungsikan juga untuk melakukan kritik bagi negara beserta politik pengetahuan yang melingkupinya. Struktur ketidakadilan dari pembangunanisme yang terlegitimasi oleh sistem pengetahuan modern tengah mendapatkan kritik yang mengarah pada perubahan suprastruktur, baik tata politik negara maupun ideologi yang membentenginya. Berbarengan dengan itu, transformasi yang dilakukan Gus Dur digerakkan melalui kritik ideologi atas deideologisasi Islam, serta pemberdayaan masyarakat lewat kerja-kerja partisipatoris pesantren demi tumbangnya penindasan struktural.

Dengan nuansa gagasan yang demikian transformatif itu, maka pemikiran dan intelektualitas Gus Dur dapat dikatakan sebagai adaptasi gagasan yang mengarah pada gerakan teologi pembebasan. Karena kelahiran teologi pembebasan (di Amerika Latin) adalah bentuk gugatan moral-sosial dan perlawanannya atas developmentalisme. Bagi penganutnya (Gustavo Gutierrez, Segundo, dlst), teologi pembebasan ini bukan hanya dipahami sebagai konsep teologi spekulatif yang ditujukan untuk kepuasan iman semata, melainkan juga paradigma perjuangan yang diilhami suatu iman untuk menggerakkan dan mengorganisir diri mewujudkan suatu tatanan masyarakat yang lebih adil dan manusiawi.

Berangkat dari sini, tidaklah berlebihan ketika menyebut Gus Dur dengan sebutan pembebas (liberasi), yang menjadikan liberasi ini sebagai basis keyakinan maupun gerakannya. Karena Gus Dur sebagai penafsir Islam yang mampu menggerakkan bandul agama ke arah pembebasan kaum yang terpinggirkan, dengan menjadikan Islam sebagai media pergerakan yang melembaga sekaligus merefleksi menjadi aksi.

Adapun liberasi dalam Islam, Gus Dur mendasarkan pada postulat tradisi ketundukan muslim terhadap perilaku Nabi yang menempatkan muslim di antara dua titik tegang: titik nol penyerahan diri (Islam) guna menghamba kepada Allah, hingga titik keseratus tugas kekhalifahan di muka bumi sebagai wakil-Nya yang wajib mengusahakan kesejahteraan bagi semua umat (rahmatan lil ‘alamin). Dari sini, dasar pembebasan dalam Islam bisa digali, yaitu batas moral etis agama yang harus dijalankan oleh setiap muslim.

Sedangkan pembebasan dalam Islam, menurut Gus Dur merujuk pada satu tujuan politik yang tidak mengandaikan adanya struktur politik tandingan dari tatanan yang ingin diubah. Karena jika ada tandingan, maka watak gerakan agama menurut Gus Dur sudah bersifat ideologis. Selama agama tidak mampu membebaskan dirinya dari ideologisasi, selama itu pula ia tidak akan mampu menciptakan pembebasan masyarakat, bahkan sebaliknya. Oleh sebab itu, moral etis agama oleh Gus Dur lebih diposisikan pada fungsi transformatif, yakni sebagai kritik atas hegemoni penindasan, sembari melakukan kerja-kerja praksis untuk menebar “obat” bagi “kesakitan struktural” akibat orientasi dan strategi pembangunan yang menindas.

Jadi, gagasan Gus Dur tentang teologi pembebasan lebih dilihatnya pada moral etis agama yang difungsikan sebagai kritik struktural, dan bukan dijadikan sebagai struktur politik tandingan guna menciptakan struktur baru, sebab fungsi agama yang paling penting adalah melakukan kerja-kerja konkret guna merealisasikan nilai-nilai dan agenda perjuangan manusia, yang secara eksplisit termaktub dalam program struktural yang telah ada.

Sedangkan gerak pembebasan dari agama, dalam pandangan Gus Dur tidak harus dilihat dari satu perspektif tertentu, apakah berparadigma revolusi atau anti-revolusi, karena agama memiliki watak pembebasan sendiri yang berlangsung lambat dan jauh jangkauannya, sehingga agama bukan sebagai pembentuk dan penentu perubahan sosial, karena dunia berubah sesuai mekanismenya sendiri. Peran agama menurut Gus Dur hanya berfungsi suplementer, yakni menyediakan sarana dan motif bagi terciptanya perubahan sosial.

Jika agama melampaui fungsi itu, maka agama menurut Gus Dur sudah bersifat duniawi, yang karena sifat itu kemudian agama membutuhkan represivitas kekuasaan untuk mempertahankan eksistensinya. Pembebasan agama oleh Gus Dur lebih dimaknai dalam perspektif yang lebih revolusioner, yakni pembebasan tanpa dasar dan landasan apapun, kecuali manusia itu sendiri. Jadi sangat eksistensialis.

(Tulisan ini dimuat di Alif.ID, 20/11/2023)

Alamat website https://alif.id/read/mzn/gus-dur-dan-teologi-pembebasan-b248602p/

 

Rujukan:

Arif, Syaiful. (2009). Gus Dur dan Ilmu Sosial Transformatif. Depok: Koekoesan.

Löwy, Michael. (2013). Marxisme et Thèologie de la Libèration, terj. Topatimasang, Roem, Teologi Pembebasan; Kritik Marxisme & Marxisme Kritis. Yogyakarta: INSISTPress.

Wahid, Abdurrahman. (2011). Tuhan Tidak Perlu Dibela. Yogyakarta: LKiS.

 

Menyelami Pemikiran Islam Mazhab Kritis: Al-Jabiri, Arkoun, dan Hassan Hanafi

Menyelami Pemikiran Islam Mazhab Kritis: Al-Jabiri, Arkoun, dan Hassan Hanafi

Filsafat Islamm

Mencuatnya pemikiran Islam mazhab kritis sebenarnya adalah upaya dari para pemikir muslim dalam melakukan studi kritik atas wacana agama yang dirasa wacana itu bersifat dominan dan cenderung legitimit untuk diubah menjadi wacana agama yang lebih kritis, inklusif, dan toleran. Kritik itu didasarkan pada sebuah asumsi bahwa tidak ada tafsir tunggal atas agama, karenanya harus ada unsur kritik atasnya guna membangun kesadaran kritis terhadap kesadaran relasi antaragama, gender, dan sosial-politik yang meliputi relasi individu, masyarakat, rakyat, penguasa, serta kelompok primordial-ideologis.

Sebenarnya, pemikiran Islam mazhab kritis ini bersandar pada pemikir muslim berhaluan kritis seperti Muhammad Abed al-Jabiri, Mohammed Arkoun, dan Hassan Hanafi. Ketiga pemikir ini dikatakan pionir pemikiran Islam mazhab kritis karena ketiganya berupaya memajukan kembali kegemilangan dunia Islam dengan menjadikan unsur kritik internal sebagai titik tolak untuk menyambut kebangkitan kembali dunia Islam, baik dalam bidang pemikiran maupun ilmu pengetahuan.

Adapun genealogi pemikiran Islam mazhab kritis bermula dari upaya para pemikir muslim berhaluan kritis dalam melakukan identifikasi diri dan respons mereka atas problem-problem kontemporer secara umum, terutama menyangkut turats (warisan pemikiran ulama klasik) berhadapan dengan modernitas.

Dari kedua aspek itu (turats-modernitas) apakah memungkinkan untuk diketemukan pada suatu bangunan relasi ideal; bagaimana bisa hidup sesuai tuntutan teks agama, tetapi tetap menemukan diri secara seimbang dengan perkembangan kemanusiaan, bagaimana bisa terus menyesuaikan diri dengan perubahan tetapi tetap menjadi muslim yang baik, bagaimana menjadi autentik sekaligus modern, bagaimana berubah tetapi tetap berpegang pada asas pokok agama, bagaimana menjaga keseimbangan antara autentisitas dan modernitas sekaligus.

Al-Jabiri, pemikir muslim asal Maroko, melihat turats pada kerangka pemikiran yang lebih filosofis karena menekankan aspek epistemologi, yaitu menggunakan metode kritik dekonstruktif untuk menemukan titik relevansi turats versus modernitas. Secara umum kritik al-Jabiri dilancarkan pada nalar Arab yang pada akhirnya menyatu dalam turats atau kebudayaan.

Dalam kancah intelektual Arab-Islam, karya-karya al-Jabiri menawarkan alternatif pemikiran baru sebab menekankan pembacaan secara tri-dimensional terhadap masa lalu Arab-Islam. Posisi intelektual al-Jabiri dalam persoalan turats ini sering dipuji oleh banyak kalangan pemikir karena dianggap sebagai “pendobrak” nalar Arab-Islam yang terlampau tekstualis-sufistik karenanya kurang adaptif bagi gagasan kemajuan.

Selain al-Jabiri, figur pemikir muslim berhaluan kritis adalah Arkoun, pemikir muslim kelahiran Aljazair. Terdapat titik kembar antara keduanya, karena sama-sama menggunakan metode kritik dekonstruktif dalam memperlakukan turats. Bagi Arkoun, turats itu dibentuk dan dibakukan dalam sejarah, karenanya harus dibaca lewat kerangka sejarah (historisme). Adapun pembacaan Arkoun terhadap teks suci lebih mengapresiasikannya di tengah-tengah perubahan zaman (kontekstual). Pendekatan historis-kontekstual dilancarkan Arkoun untuk mentransformasikan pemaknaan turats agar relevan dengan perkembangan zaman (modernitas).

Apa yang diusahakan Arkoun ini, sebenarnya adalah upaya melakukan pengharmonisan turats dengan modernitas. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah dekonstruksi. Baik Arkoun maupun al-Jabiri, keduanya sama-sama bertolak pada kerangka epistemologi yang sama, yaitu pendekatan dekonstruksi, dan nalar Arab-Islam dijadikan tema sentral dari pendekatan itu.

Selanjutnya, pemikir muslim berhaluan kritis-progresif yang menaruh harapan pada turats bisa dijumpai bernama Hassan Hanafi. Dengan idiom populer, Hanafi menamakan proyek pemikirannya al-turats wa al-tajdid; masalah tradisi dan pembaruan. Bagi Hanafi, rekonstruksi adalah pembangunan kembali turats dengan spirit modernitas. Teologi yang dianggap sebagai ilmu fundamental dalam tradisi Islam oleh Hanafi direkonstruksi sesuai perspektif modernitas.

Baginya, ilmu kalam bukan hanya sebagai ideology doctrinal, tetapi juga ideologi revolusi atau revolusi ideologis yang dapat memotivasi kaum muslim untuk beraksi melawan despotisme dan penguasa otoriter. Dalam bentuknya yang beragam, Hanafi menamakan gagasan teologinya dengan nama “Kiri Islam” (Al-Yasar Al-Islami).

Adapun kritik Hanafi terhadap Barat, ia menciptakan pendekatan baru sebagai bentuk perlawanannya terhadap studi Barat. Jika selama ini umat Islam dijadikan objek kajian lewat wacana orientalisme yang diciptakan Barat, Hanafi mewariskan bangunan epistemologi keilmuan Islam baru lewat studi oksidentalisme. Hasilnya, studi oksidentalisme ini memperlihatkan kerangka teoretis yang sistematik dengan tetap melihat pembacaan atas turats Islam yang dielaborasikan dengan pembacaaan atas tradisi Barat sebagai the other.

Ketiga pemikir muslim berhaluan kritis ini, Al-Jabiri, Arkoun, dan Hanafi, dapat disebut sebagai tokoh kunci pemikir Islam mazhab kritis. Sebab kajian pemikiran mereka telah membuka ventilasi baru bagi paradigma maupun tren pemikiran keislaman saat ini, terutama nalar kritiknya terhadap teks-teks keagamaan Islam yang telah mapan.

Namun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa kajian kritis terhadap turats Islam (teks-teks keagamaan) yang sudah mapan sering dianggap blunder dan tabu bagi keagamaan seseorang. Sebab turats, dalam pengertiannya sebagai tafsir agama, bagi sebagian muslim paralel dengan agama. Sedangkan agama sering dipadankan dengan bunyi teks, dan teks sama dengan agama, sehingga mengotak-atik turats sering dianggap mengganggu agama.

Problematika itu muncul karena kegagalan para pembaca teks yang tidak mengaitkannya dengan konteks. Akibatnya, pemikiran keislaman berjalan lambat dan bahkan mengalami kemandegan. Dalam konteks inilah pemikiran Islam mazhab kritis menemukan titik relevansinya. Sebagai bagian dari khazanah pemikiran dan keilmuan Islam, “Pemikiran Islam Mazhab Kritis” dalam setiap kajian pemikirannya selalu mengaitkan antara teks dengan konteks.

(Tulisan ini dimuat di Alid.ID, 09/11/2023)

Alamat website https://alif.id/read/mzn/menyelami-pemikiran-islam-mazhab-kritis-al-jabiri-arkoun-dan-hassan-hanafi-b248565p/

 

Referensi:

Ro’uf, Abdul Mukti. 2018. Kritik Nalar Arab Muhammad ‘Abid Al-Jabiri. Yogyakarta: LKiS.

Meuleman, Johan Hendrik. 2012. Membaca Al-Qur’an Bersama Mohammed Arkoun. Yogyakarta: LKiS.

Shimogaki, Kazuo. 2011. Kiri Islam; Antara Modernisme dan Postmodernisme. Yogyakarta: LKiS.