Fenomena politik di Jakarta memang
sangat menarik dan begitu menegangkan bagi para pendukung pasangan calon yang
akan dipilih nantinya. Tidak hanya bagi masyarakat Jakarta, hiruk pikuk narasi
perpolitikan (Pilgub) Jakarta juga menyebar kepelosok negeri dan menjadi
perbincangan hangat dan menarik, baik di media elektronik maupun media cetak
hingga diskusi dikalangan masyarakat awam, seperti di WhatsApp Group dan Warung
Kopi. Umat Islam Indonesia juga telah terseret dan berlomba-lomba adu dalil,
baik dalil al-Quran maupun hadits seputar masalah hukum orang Kafir menjadi
seorang pemimpin. Mestinya tokoh-tokoh yang mengaku Islam taat itu bisa menjadi
contoh bagaimana menunjukkan sikapnya agar Islam itu terkesan tidak rasis.
Dalam rentang sejarah hingga hari ini
menunjukkan bahwa trend
agama semakin diminati dan sulit dibayangkan akan punah. Keberadaan agama
dengan struktur emosi dan dinamika psikologisnya akan sangat berpengaruh
terhadap mindset
dan pilihan hidup, tidak saja karir dan profesi pemeluknya, tapi juga keputusan
politik mereka. Memang, otoritas kepemimpinan berkorelasi erat dengan realitas
politik kekinian yang berbasiskan demokrasi. Demokrasi meniscayakan
keterlibatan massa dengan segala dinamikannya. Seiring dengan ini, realitas
politik membutuhkan isu yang bisa dikelola untuk menjadi magnet menggait massa.
Kehidupan beragama yang dinamis secara sosial adalah segmen yang
terbuka untuk dikelola menjadi isu yang potensial.
Melihat realitas politik hari ini yang
menjadi burning
issue dalam
kaitannya dengan masalah politik identitas adalah munculnya gerakan-gerakan
radikal atau setengah radikal yang berbaju Islam di Indonesia. Sebagai partner
mereka, dibagian dunia lain gerakan-gerakan semacam ini juga anti demokrasi,
dan sampai batas-batas yang jauh juga anti nasionalisme. Secara ideologis,
mereka ini jelas mendapat inspirasi dan pengaruh dari gerakan Islamis dan
Salafi yang semula berpusat dibeberapa negara-negara Arab, kemudian dengan
akselerasi tinggi menyebar keseluruh jagat, begitu juga di bumi Nusantara ini.
Untungnya di Indonesia ada Nahdlatul Ulama (NU) yang berkomitemen tinggi
menjaga keutuhan NKRI.
Sekalipun gerakan Islamis dan Salafi
ini terdiri dari berbagai faksi di Indonesia, dalam satu hal mereka punya
tuntutan yang sama, yakni pelaksanaan Syari’at Islam dalam kehidupan bernegara.
Faksi-faksi tersebut dapat disebutkan seperti MMI, FPI, HTI dan lainnya.
Sedangkan PKS yang sesungguhnya adalah partai Islamis yang sangat dipengaruhi
oleh cita-cita Ihwanul Muslimin (bentukan Hassan al-Banna) dengan menempuh
jalan demokrasi untuk mencapai tujuan tersebut.
Satu hal yang pasti adalah bahwa semua
gerakan Islam yang saya sebutkan diatas menjadikan Islam sebagai politik
identitas mereka. Bedanya adalah bahwa MMI, FPI, HTI dan lainnya tidak menyebut
diri sebagai gerakan politik, sekalipun mereka melakukan fungsi politik.
Sedangkan PKS jelas-jelas sebagai partai politik dan sekaligus sebagai partai
dakwah, namun pada intinya (PKS) memiliki perjuangan dan tujuan yang sama.
Seperti sudah dikatakan diatas bahwa
semua faksi ini bersikeras untuk pelaksanaan Syari’at Islam dalam kehidupan
bernegara. MMI misalnya sangat menyesalkan tersingkirnya Piagam Jakarta,
khususnya pencoretan tujuh kata dari sila pertama Pancasila. Bagi MMI,
penolakan arus besar umat Islam Indonesia terhadap pelaksanaan Syari’at secara
konstitusional dengan sendirinya dapat masuk dalam kategori ‘Kafir, Fasiq dan
Zalim’. Kemudian FPI, dalam gerakannya melakukan tindakan-tindakan kekerasan
atas nama agama serta melakukan gerakan agama demi kepentingan politiknya.
Karena bagi FPI, segala tindakan kekerasan dinilai sebagai bagian dari prinsip
nahi munkar.
Kemudian kita lihat selintas HTI,
adalah gerakan politik trans-nasional (pertama kali digagas oleh Taqiyuddin
al-Nabhani sempalan Ikhwan) dengan tujuan akhir perjuangan-politiknya adalah
terciptanya sebuah kekhilafahan yang meliputi seluruh dunia Islam dibawah satu
payung politik. Bagi HTI, Khilafah adalah satu-satunya sistem politik yang
sejalan dengan kehendak Syari’ah. Dalam menyoroti demokrasi dengan prinsip
kedaulatan rakyatnya, HTI sangat tegas menyatakan bahwa demokrasi itu adalah
'sistem kufur'. Karena demokrasi baginya sangat bertentangan 100 persen
dengan sistem Islam. Dan menurutnya juga bahwa kekhilafahan sebagai realisasi
negara syari’ah. Oleh sebab itu, bagi HTI, formalisasi Syari’ah harus dilakukan
oleh negara.
Sekalipun diembel-embeli dengan
perkataan Indonesia, HTI ini jelas bercorak trans-nasional, dimana bangunan
negara-bangsa (nation
state) harus
dilebur. Bukankah angan-angan semacam ini tidak lain dari utopia mereka
yang berusaha lari dari kenyataan? Karena kritik HTI terhadap praktik demokrasi
diberbagai tempat bukan substansinya yang diangkat, namun lebih pada ambisi
politik yang tidak jelas arahannya, yakni tegaknya syari’at Islam dalam sistem
negara, padahal pandangan tentang Syari’at Islam belum sepenuhnya mereka
pahami. Pertanyaan kemudian adalah: Mengapa HTI menutup mata terhadap praktik
busuk ‘kekhilafahan’ yang dipaksakan dalam berbagai periode sejarah Muslim?
Bukankah sistem Khilafah selama berabad-abad telah membunuh prinsip egalitarian yang
diakui dalam demokrasi yang begitu tegas dinyatakan dalam al-Qur’an? Pandangan a-historis
semacam inilah yang dapat dikatakan bahwa HTI berangan-angan menciptakan sebuah
‘imperialisme agama’ pada skala global.
Kelompok-kelompok radikal yang saya
sebutkan diatas, dengan kemungkinan terdapat perbedaan dan bahkan konflik
diantara berbagai faksi dikalangan mereka, namun pada intinya mereka memiliki
satu tujuan yang sama, yaitu pelaksanaan Syari’at Islam dalam kehidupan
bernegara.
Dapat saya katakan disini bahwa
sesungguhnya mereka memiliki pemahaman yang rancu dan kurang komprehensif dalam
memahami Islam. Karena pandangan mereka dalam memahami dan menafsirkan kitab
suci begitu literal, keras dan menyulitkan, sombong terhadap pandangannya
sendiri, tidak menerima perbedaan pendapat, mengkafirkan orang yang berbeda
pendapat, dan tidak perduli terhadap fitnah.
Jika sikap mudah mengkafirkan
orang-orang yang berlainan pendirian ini menyebar, maka sudah bisa dibayangkan
bahwa yang akan terjadi adalah makin buyarnya suasana persaudaraan Muslim di
Indonesia dan semakin menimbulkan banyak konflik. Atau dengan kata lain bahwa
“Mereka memonopoli kebenaran, sebuah keangkuhan teologis yang muaranya satu,
yakni menghancurkan peradaban dengan memakai lensa kacamata kuda!”.
***Mizanul Akrom***