Sunday, April 16, 2017

MEMANDANG AGAMA DENGAN LENSA KACAMATA KUDA

Fenomena politik di Jakarta memang sangat menarik dan begitu menegangkan bagi para pendukung pasangan calon yang akan dipilih nantinya. Tidak hanya bagi masyarakat Jakarta, hiruk pikuk narasi perpolitikan (Pilgub) Jakarta juga menyebar kepelosok negeri dan menjadi perbincangan hangat dan menarik, baik di media elektronik maupun media cetak hingga diskusi dikalangan masyarakat awam, seperti di WhatsApp Group dan Warung Kopi. Umat Islam Indonesia juga telah terseret dan berlomba-lomba adu dalil, baik dalil al-Quran maupun hadits seputar masalah hukum orang Kafir menjadi seorang pemimpin. Mestinya tokoh-tokoh yang mengaku Islam taat itu bisa menjadi contoh bagaimana menunjukkan sikapnya agar Islam itu terkesan tidak rasis.

Dalam rentang sejarah hingga hari ini menunjukkan bahwa trend agama semakin diminati dan sulit dibayangkan akan punah. Keberadaan agama dengan struktur emosi dan dinamika psikologisnya akan sangat berpengaruh terhadap mindset dan pilihan hidup, tidak saja karir dan profesi pemeluknya, tapi juga keputusan politik mereka. Memang, otoritas kepemimpinan berkorelasi erat dengan realitas politik kekinian yang berbasiskan demokrasi. Demokrasi meniscayakan keterlibatan massa dengan segala dinamikannya. Seiring dengan ini, realitas politik membutuhkan isu yang bisa dikelola untuk menjadi magnet menggait massa. Kehidupan beragama yang dinamis secara sosial adalah segmen yang terbuka untuk dikelola menjadi isu yang potensial.

Melihat realitas politik hari ini yang menjadi burning issue dalam kaitannya dengan masalah politik identitas adalah munculnya gerakan-gerakan radikal atau setengah radikal yang berbaju Islam di Indonesia. Sebagai partner mereka, dibagian dunia lain gerakan-gerakan semacam ini juga anti demokrasi, dan sampai batas-batas yang jauh juga anti nasionalisme. Secara ideologis, mereka ini jelas mendapat inspirasi dan pengaruh dari gerakan Islamis dan Salafi yang semula berpusat dibeberapa negara-negara Arab, kemudian dengan akselerasi tinggi menyebar keseluruh jagat, begitu juga di bumi Nusantara ini. Untungnya di Indonesia ada Nahdlatul Ulama (NU) yang berkomitemen tinggi menjaga  keutuhan NKRI.

Sekalipun gerakan Islamis dan Salafi ini terdiri dari berbagai faksi di Indonesia, dalam satu hal mereka punya tuntutan yang sama, yakni pelaksanaan Syari’at Islam dalam kehidupan bernegara. Faksi-faksi tersebut dapat disebutkan seperti MMI, FPI, HTI dan lainnya. Sedangkan PKS yang sesungguhnya adalah partai Islamis yang sangat dipengaruhi oleh cita-cita Ihwanul Muslimin (bentukan Hassan al-Banna) dengan menempuh jalan demokrasi untuk mencapai tujuan tersebut.

Satu hal yang pasti adalah bahwa semua gerakan Islam yang saya sebutkan diatas menjadikan Islam sebagai politik identitas mereka. Bedanya adalah bahwa MMI, FPI, HTI dan lainnya tidak menyebut diri sebagai gerakan politik, sekalipun mereka melakukan fungsi politik. Sedangkan PKS jelas-jelas sebagai partai politik dan sekaligus sebagai partai dakwah, namun pada intinya (PKS) memiliki perjuangan dan tujuan yang sama.

Seperti sudah dikatakan diatas bahwa semua faksi ini bersikeras untuk pelaksanaan Syari’at Islam dalam kehidupan bernegara. MMI misalnya sangat menyesalkan tersingkirnya Piagam Jakarta, khususnya pencoretan tujuh kata dari sila pertama Pancasila. Bagi MMI, penolakan arus besar umat Islam Indonesia terhadap pelaksanaan Syari’at secara konstitusional dengan sendirinya dapat masuk dalam kategori ‘Kafir, Fasiq dan Zalim’. Kemudian FPI, dalam gerakannya melakukan tindakan-tindakan kekerasan atas nama agama serta melakukan gerakan agama demi kepentingan politiknya. Karena bagi FPI, segala tindakan kekerasan dinilai sebagai bagian dari prinsip nahi munkar.

Kemudian kita lihat selintas HTI, adalah gerakan politik trans-nasional (pertama kali digagas oleh Taqiyuddin al-Nabhani sempalan Ikhwan) dengan tujuan akhir perjuangan-politiknya adalah terciptanya sebuah kekhilafahan yang meliputi seluruh dunia Islam dibawah satu payung politik. Bagi HTI, Khilafah adalah satu-satunya sistem politik yang sejalan dengan kehendak Syari’ah. Dalam menyoroti demokrasi dengan prinsip kedaulatan rakyatnya, HTI sangat tegas menyatakan bahwa demokrasi itu adalah 'sistem kufur'. Karena demokrasi baginya  sangat bertentangan 100 persen dengan sistem Islam. Dan menurutnya juga bahwa kekhilafahan sebagai realisasi negara syari’ah. Oleh sebab itu, bagi HTI, formalisasi Syari’ah harus dilakukan oleh negara.

Sekalipun diembel-embeli dengan perkataan Indonesia, HTI ini jelas bercorak trans-nasional, dimana bangunan negara-bangsa (nation state) harus dilebur. Bukankah angan-angan semacam ini tidak lain dari utopia mereka yang berusaha lari dari kenyataan? Karena kritik HTI terhadap praktik demokrasi diberbagai tempat bukan substansinya yang diangkat, namun lebih pada ambisi politik yang tidak jelas arahannya, yakni tegaknya syari’at Islam dalam sistem negara, padahal pandangan tentang Syari’at Islam belum sepenuhnya mereka pahami. Pertanyaan kemudian adalah: Mengapa HTI menutup mata terhadap praktik busuk ‘kekhilafahan’ yang dipaksakan dalam berbagai periode sejarah Muslim? Bukankah sistem Khilafah selama berabad-abad telah membunuh prinsip egalitarian yang diakui dalam demokrasi yang begitu tegas dinyatakan dalam al-Qur’an? Pandangan a-historis semacam inilah yang dapat dikatakan bahwa HTI berangan-angan menciptakan sebuah ‘imperialisme agama’ pada skala global.

Kelompok-kelompok radikal yang saya sebutkan diatas, dengan kemungkinan terdapat perbedaan dan bahkan konflik diantara berbagai faksi dikalangan mereka, namun pada intinya mereka memiliki satu tujuan yang sama, yaitu pelaksanaan Syari’at Islam dalam kehidupan bernegara.

Dapat saya katakan disini bahwa sesungguhnya mereka memiliki pemahaman yang rancu dan kurang komprehensif dalam memahami Islam. Karena pandangan mereka dalam memahami dan menafsirkan kitab suci begitu literal, keras dan menyulitkan, sombong terhadap pandangannya sendiri, tidak menerima perbedaan pendapat, mengkafirkan orang yang berbeda pendapat, dan tidak perduli terhadap fitnah.

Jika sikap mudah mengkafirkan orang-orang yang berlainan pendirian ini menyebar, maka sudah bisa dibayangkan bahwa yang akan terjadi adalah makin buyarnya suasana persaudaraan Muslim di Indonesia dan semakin menimbulkan banyak konflik. Atau dengan kata lain bahwa “Mereka memonopoli kebenaran, sebuah keangkuhan teologis yang muaranya satu, yakni menghancurkan peradaban dengan memakai lensa kacamata kuda!”.

***Mizanul Akrom***

Previous Post
Next Post

Penulis yang mengabdikan tulisannya bagi amal jariyah pemikiran. Tokoh favorit sekaligus panutannya adalah Gus Dur