Friday, July 14, 2017

KURIKULUM PENDIDIKAN MENURUT AL-GHAZALI

KURIKULUM PENDIDIKAN MENURUT AL-GHAZALI

Prawacana
Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat vital bagi bangsa, terutama dari segi peradabannya. Karena maju mundurnya peradaban suatu bangsa akan ditentukan bagaimana pendidikan yang dijalani oleh masyarakat bangsa tersebut. Pendidikan juga merupakan salah satu investasi (investment) sumberdaya manusia yang diharapkan dapat mengubah kehidupan suatu bangsa ke arah yang lebih baik. Tanpa pendidikan, jangan harap bagsa ini akan menjadi bangsa yang maju, berperadaban tinggi dan mempunyai martabat di mata dunia.

Pendidikan di Indonesia secara umum seringkali diklaim kurang mampu dalam menjawab tantangan, perubahan dan tuntutan masyarakat. Di mana out put pendidikan kurang memiliki ‘kesiapan riil’ bagi kepentingan profesi dan juga pengembangan bagi disiplinnya. Pendidikan yang seharusnya berwatak dinamis-kreatif telah terjerat oleh kepentiangan-kepentingan emosional yang sifatnya semu. Banyak muatan yang sifatnya sesaat telah dirakit sedemikian rupa, yang seolah telah menjadi inti dan harus digeluti. Karena dalam praktiknya bahwa praktisi pendidikan selalu terjebak dan terbelenggu oleh kurikulum, silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dalam praktik pembelajaran sehari-hari, serta lebih suka menekankan aspek “konservasi” dan pemeliharaan materi pendidikan yang sudah tersedia bukan pada “reformasi” dalam bidang pendidikan.[1]

Dewasa ini, peradaban dunia secara keseluruhan berada dalam tatanan global atau sering disebut “era globalisasi” yang secara mendasar ditopang oleh perkembangan teknologi komunikasi, transportasi, dan informasi. Semua ini membuat dunia semakin global dan sempit karena mudahnya untuk dijangkau. Abad ini bisa disebut sebagai pasca modern, suatu keadaan yang bisa dipandang sangat demokratis, karena memberikan kesempatan terhadap semua untuk ‘berbicara’ membangun suatu ‘peradaban’. Era ini juga membawa dua dampak sekaligus, antara dampak positif dan negatif terhadap pendidikan, begitu juga dalam institusi pendidikan Islam.

Pendidikan Islam dalam merespon tantangan yang ada perlu didesain sebagai model pendidikan integralistik yang akan menjadi alternatif yang sesuai dengan kebutuhan perkembangan di era global. Pendidikan integralistik merupakan pendidikan yang berorientasi pada Rabbaniyah (Ketuhanan), insaniyah (kemanusiaan), dan alamiyah (alam pada umumnya), sehingga menjadi manusia sebagai sebuah pribadi yang utuh jasmani-rohani, intelektual, perasaan dan individual-sosial.[2]

Berangkat dari sini, perlunya sebuah materi pelajaran yang diberikan oleh pendidikan, khususnya pendidikan Islam harus ditata dan disusun sesuai dengan jenjang, jenis, dan jalur pendidikan. Segai software, kurikulum merupakan bentuk operasional yang menjabarkan konsep pendidikan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan. Objek kajian dalam kurikulum tidak terlepas dari tujuan yang dilandasi prinsip dasar dan filsafat yang dipilih.[3]

Kurikulum pendidikan Islam, sampai saat ini, masih dihadapkan pada kesulitan untuk mengintegrasikan dua kutub paradigma keilmuan dualistik. Pada satu sisi, harus berhadapan dengan ‘subjek-subjek sekuler’, dan pada sisi yang lain dengan ‘subjek-subjek keagamaan’.[4] Dari dikotomi tersebut, kurikulum pendidikan Islam masih banyak didominasi oleh ilmu jenis kedua, sementara pengkajian terhadap jenis ilmu alam masih kurang. Padahal, mengkaji dan meneliti kedua jenis ilmu tersebut mempunyai kedudukan yang sama penting. Karena itulah, kurikulum pendidikan Islam harus ada prioritas mana yang harus didahulukan, karena mempelajari keduanya secara bersamaan akan dirasakan berat.

Dengan adanya penyatukan ilmu, yaitu antara ilmu umum dan agama, persoalan dikotomi akan dapat dicarikan jalan keluarnya. Dalam kaitan ini bahwa wawasan ilmu tidak lagi dipisahkan secara dikotomis dengan pembagian ilmu-ilmu ‘agama’ dan ‘umum’, tetapi akan dibedakan (bukan dipisahkan) menjadi ilmu-ilmu yang menyangkut ayat-ayat tanziliyah (ayat-ayat yang tersurat dalam al-Qur’an/hadits) dan ilmu tentang ayat-ayat kauniyah (ilmu/pengetahuan tentang kealaman).

Berangkat dari pola pikir integratif, yaitu menyatukan arti kehidupan dunia dan akherat, maka pendidikan umum pada hakekatnya adalah pendidikan agama juga, begitu sebaliknya pendidikan agama juga pendidikan umum. Idealnya, tidak perlu terjadi persoalan ambivalensi dan dikotomik dalam orientasi pendidikan Islam. Pemikiran ini mengandaikan penemuan suatu bentuk perpaduan materi-materi pendidikan agama dengan umum. Sehingga kurikulum pendidikan Islam selanjutnya dapat disusun berdasarkan wawasan ilmu pengetahuan yang telah terintegrasi tersebut. Hal ini akan membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu terhadap struktur, tujuan pendekatan, materi dan institusi pendidikan yang dipersiapkan.

Dengan berbagai penjelasan tersebut, maka menjadi suatu hal yang sangatlah mendesak untuk melakukan sebuah penelusuran dan juga observasi terhadap tokoh khazanah intelektual Islam, terutama para pemikir pendidikan, seperti al-Ghazali yang sangatlah relevan untuk dijadikan objek kajian melalui tulisan dan dialog atau diskusi terkait pemikirannya tentang pendidikan.

Penelusuran terhadap tokoh khazanah intektual Islam di sini bukanlah merupakan perayaan atas romantisme kejayaan intelektual umat Islam di masa lalu, setidaknya mengingatkan kembali khazanah intelektual yang pernah dimiliki oleh umat Islam di masa lalu. Kesadaran historis ini pada gilirannya akan memelihara kesinambungan atau kontinuitas keilmuan, sekaligus menelisik lebih jauh pemikirannya, khususnya dalam kajiannya tentang pemikiran pendidikan Islam.

Dengan segala kekurangan dan keterbatasan keilmuan dan pengetahuan, penulis ingin menggali dan mengelaborasi gagasan mengenai konsep kurikulum pendidikan yang dilontarkan oleh seorang tokoh pendidikan Islam, yaitu al-Ghazali. Semoga tulisan sederhana ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya, serta menambah khazanah keilmuan dalam dunia pendidikan, khususnya dalam dunia pendidikan Islam. 

A.     Biografi Al-Ghazali
Nama lengkap al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Ia lahir di Ghazaleh, sebuah kota kecil di Tus, wilayah Khurasan, Persia pada tahun 450 H/ 1059 M.[5] Ayahnya meninggal dunia ketika ia masih muda. Tetapi pengasuhnya menyadari bahwa anak ini dan saudaranya Ahmad, harus mendapat pendidikan yang baik.[6]

Al-Ghazali memulai pendidikannya ditempat kelahirannya Tus, dengan mempelajari dasar-dasar pengetahuan. Selanjutnya ia pergi ke Nishafur dan Khurasan, dua kota yang dikenal sebagai pusat ilmu pengetahuan terpenting di dunia Islam saat itu.[7] Ia kemudian menjadi murid Imam al-Haramain al-juwaini (Ulama yang bermadzhab Syafi’i), guru besar di madrasah al-Nizamiah Naisapur. Diantara mata pelajaran yang diberikan di madrasah ini adalah ilmu kalam, hukum Islam, filsafat, logika, sufisme, dan lain-lain.[8] Karena bakat intelektualnya yang mencolok dapat dengan baik dilihat oleh Wazir Nizham al-Mulk yang diberi kepercayaan penuh oleh sultan Saljuq, yang menguasai kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad. Karena itu sang Wazir mengangkat al-Ghazali (pada tahun 1091 M[9]) sebagai guru besar di Universitas yang ia dirikan.

Pada usia 33 tahun ia telah mendapatkan salah satu kedudukan yang sangat istimewa pada dunia akademis pada masanya. Periode ini menandai pada suatu tahap yang menentukan dalam hidupnya. Sebab universitas memberinya suatu lingkungan yang sangat kondusif untuk mengembangkan serta menyinari kepribadiannya. Disana ia dapat memperdalam pengetahuannya dibidang filsafat. Dua karyanya ditulis dimasa ini, yang pertama adalah Maqasid al-Falasifa (maksud-maksud para Filosof) yang telah menimbulkan daya tarik tersendiri di Barat. Karya ini diterjemahkan pertama kali kedalam bahasa Latin pada tahun 1145 di Toledo oleh Dominicus Gundissalinus dengan judul Logica et Philoshophie Algezelis Arabis. Karya ini diterjemahkan tanpa memasukkan pendahuluannya dimana al-Ghazali menyatakan tujuan penulisan karya ini, yaitu untuk memberikan ajaran-ajaran para filosof dengan maksud membantahnya. Karya tersebut kemudian dipandang oleh para sarjana latin sebagai bukti bahwa al-Ghazali adalah kaum peri-patetik dan Neo-Platonis seperti al-Farabi.[10] Karya yang lain adalah Tahafut al-Falasifah sebuah karangan yang sistematis yang terkenal dan kasar terhadap para filosof.[11] Kemudian dalam ilmu kalam al-Ghazali menulis buku berjudul Ghayah al-Maram fi ‘Ilm al-Kalam (Tujuan Mulia dari Ilmu Kalam). Dalam ilmu hukum Islam ia menulis al-Musytasyfa (yang menyembuhkan).[12]

Hingga pada akhirnya al-Ghazali mengalami sebuah krisis, yakni keraguan yang mendalam (skeptisisme) yang terlihat pada gejala-gejala fisiknya, tetapi yang pada dasarnya bersifat religius. Menurut hematnya, pada saat ini tugas manusia yang paling penting adalah menghindarkan diri dari neraka dan memperoleh surga. Tetapi betapa ia menyadari bahwa jalan hidupnya yang sekarang ini terlalu duniawi untuk mengharapkan pahala abadi. Setelah melalui perjuangan batin yang hebat ia akhirnya meninggalkan Baghdad untuk menjalani kehidupan zuhud yang berkelana. Demikian pada tahun 1095 ia mencampakkan Universitas dan meninggalkan keluarganya untuk mencari kepastian batin, yang merupakan jaminan bagi kebenaran.

Ia meninggalkan Baghdad dan mulai menempuh jalan sempit yang mengarah pada kepastian. Selama sepuluh tahun, dengan berbusana seorang sufi. Ia menyelenggarakan “ziarah sunyi”-nya keseluruh pelosok dunia muslim. Ia mengunjungi Damaskus, dan Yerusalem (sebelum dijarah pasukan Salib), Iskandariah, Kairo, Mekah, dan Madinah. Ia mengabdikan seluruh waktunya untuk melakukan praktik spiritual para sufi.

Ketika ia berhasil mengatasi krisisnya dan menghilangkan keraguannya, ia kembali ke negerinya. Mulailah ia menulis karya-karya yang bernada sufitik, yaitu bukunya yang berjudul Ihya ‘Ulum al-Din (Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama), salah satu kitab moral yang terbesar, sebagai karangan puncak dan terbesarnya. Meskipun ia kembali ke posisi mengajar, namun perubahan yang terjadi padanya akibat krisis tadi adalah permanen. Sekarang ia adalah seorang yang religius dan bukan sekedar guru umum dari ilmu-ilmu agama.[13] Beliau wafat di Tabristan, sebuah wilayah di provinsi Tus, pada tanggal 4 Jumadil Akhir tahun 505 H/ 1 Desember 1111 M.[14]

Karena begitu banyak keahlian yang dikuasai oleh al-Ghazali, wajar bila orang-orang sesudahnya memberi berbagai gelar penghormatan kepadanya, antara lain Hujjatul Islam (Pembela Islam), Zainuddin (Hiasan Agama), Bahrun Mughriq (Samudra yang Menenggelamkan), Syaikhul Shuffiyyin (Guru Besar para Sufi), Imamul Murobbin (Pemimpin para Pendidik), dan sebagainya.[15]

B.    Kurikulum Pendidikan Menurut Al-Ghazali
Sebelum lebih jauh menuju pada substansi pembahasan yaitu kurikulum pendidikan menurut al-Ghazali, secara hirarkis akan dibahas terlebih dahulu tentang pemikiran pendidikan menurut al-Ghazali. Sehingga pembahasan ini benar-benar mengantarkan pada alur pemikiran yang metodologis-sistematis.
1.      Pemikiran Pendidikan Menurut al-Ghazali
Sosok al-Ghazali merupakan tokoh yang sangatlah memperhatikan bidang pendidikan. Dengan semangat intelektual dan kejelihanya, masa muda ia habiskan untuk belajar kepada para pendahulunya. Diantaranya adalah kepada seorang teolog besar, al-Juwayni yang dikenal dengan gelar Imam al-haramayn. Dengan bakat intelektualnya yang mencolok sampai-sampai Wazir Nizham al-Mulk yang diberi kepercayaan penuh oleh sultan Saljuq yang menguasai kekhalifahan Abbasiyyah di Baghdad al-Ghazali diangkat oleh Wazir sebagai guru besar di universitas yang ia dirikan. Sehingga di usianya yang ke 33 tahun al-Ghazali telah mendapatkan salah satu kedudukan yang sangat istimewa pada dunia akademis pada masanya.

Dengan sikap, pandangan ilmiahnya yang sistematis, dan mempunyai bidang pemikiran yang sedemikian luas, sehingga menghasilkan sebuah konsep pendidikan yang sangat acceptable dan tidak diragukan lagi kredibilitasnya hingga saat ini. Seperti pendapat al-Ghazali, bahwa pendidikanlah yang banyak membentuk corak kehidupan suatu bangsa.[16] Ini mengandung arti bahwa, majunya suatu bangsa dapat dilihat dari kualitas pendidikan bangsa tersebut. Dan dengan pendidikan juga akan mengantarkan suatu bangsa menuju pada arah kehidupan yang lebih baik.

Sebagaimana penjelasan dari al-Tibawi, bahwa pemikiran pendidikan al-Ghazali ini paling baik, sistematis, dan komprehensif dibandingkan dengan tokoh-tokoh yang lain. hal ini disebabkan karena al-Ghazali adalah seorang guru besar yang juga sekaligus pemikir besar. Pemikiran pendidikan al-Ghazali telah mendominasi atmosfer pemikiran pendidikan selama berabad-abad semenjak kematiannya.[17]

2.      Kurikulum Pendidikan Menurut al-Ghazali
Imam Ghazali pernah berkomentar tentang konsep kurikulum pendidikan, bahwa mata pelajaran yang harus di sampaikan kepada anak didik didasarkan kepada dua pendekatan, antara lain:
1)     Pendekatan Agama
Menurut Imam Ghazali bahwa mata pelajaran yang utama dan harus terdapat dalam kurikulum pendidikan adalah ilmu Agama. Seperti al-Qur’an dan al-Hadits, ilmu fiqh, ilmu tafsir dan lain sebagainya.
2)     Pendekatan Pragmatis
Maksud dari pendekatan di sini adalah bahwa setiap ilmu yang memiliki dampak positif, baik kepada peserta didik maupun kepada masyarakat, maka pelajaran tersebut harus ada dalam kurikulum pendidikan, seperti ilmu kedoteran, ilmu matematika dal lain sebagainya.[18]

Klasifikasi  ilmu tersebut sepertinya Imam Ghazali ingin mengatakan bahwa pada dasarnya ilmu  terbagi kepada dua macam yaitu: pertama. Disiplin ilmu yang harus dikuasai oleh setiap individu ummat Islam. Ilmu inilah yang masuk dalam katagori fardhu ‘Ain.. Karenanya tidak ada pilihan lain kecuali disiplin ilmu ini harus dimasukan kedalam kurikulum pendidikan. Kedua. Disiplin ilmu yang tidak menuntut kepada setiap individu untuk menguasainya, tetapi cukup diwakili oleh beberapa ummat Islam saja. Disiplin ilmu inilah yang disebut dengan istilah fardhu kifayah. Karenanya jika ada sebagian ummat Islam telah memilikinya maka sudah terwakili.

Dalam kesempatan lain, al-Ghazali pernah menawarkan konsep kurikulum yang dikaitkan kepada ilmu pengetahuan. Dalam pandangan beliau bahwa ilmu terbagi kepada tiga bagian besar, antara lain:
1)     Ilmu yang terkutuk, yaitu ilmu-ilmu yang tidak ada manfa’atnya, baik di dunia maupun di akhirat, seperti ilmu sihir, ilmu nujum dan ilmu ramalan. Menurut pandangan Imam Ghazali bahwa ilmu-ilmu tersebut adalah tercela dan sesat, karena dapat mendatangkan ke madharatan, baik bagi pemiliknya maupun bagi orang lain.
2)     Ilmu yang terpuji, yaitu ilmu yang erat kaitannya dengan per ibadahan dan segala macamnya, seperti ilmu kebersihan atau bersuci, ilmu yang mendatangkan kemaslahatan bagi pemiliknya maupun kepada orang lain.
3)     Ilmu yang terpuji dalam kadar tertentu, namun tercela jika dipelajari secara mendalam. Karena jika dipelajari secara mendalam maka akan menyebabkan kekacawan, kemadharatan bahkan menjadikan kafir bagi pemiliknya, seperti ilmu filsafat.[19]

Dengan demikian, pada intinya al-Ghazali berkesimpulan bahwa ilmu yang paling utama adalah ilmu agama dan semua ilmu yang berhubungan dengannya. Karenanya ilmu Agama harus terdapat didalam kurikulum pendidikan.

C.    Konklusi
Menurut Al-Ghazali, pendidikan yang baik merupakan jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Al-Ghazali menggabungkan antara kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Tentang kurikulum pendidikan Islam, Al-Ghazali mengatakan bahwa Al-Quran beserta kandungannya berisikan pokok-pokok ilmu pengetahuan. Isinya sangat bermanfaat bagi kehidupan, membersihkan jiwa, memperindah akhlak, dan mendekatkan diri kepada Allah.


Referensi:

Ali maksum dan Luluk Yunan Ruhendi. (2004). Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post Modern. Yogyakarta: IrciSod.
Abuddin Nata. (2005). Pemikiran Para tokoh Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Maftukhin. (2012). Filsafat Islam. Yogyakarta: Teras.
Mulyadhi Kartanegara. (2000). Mozaik Khasanah Islam, Bunga Rampai dari Chicago. Jakarta: Paramadina.
Moh. Roqib. (2009). Ilmu Pendidikan Islam; Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat. Yogyakarta: LKiS.
M. Amin Abdullah. (2005). Pendidikan Agama Era Multikultural Multireligius. Jakarta: PSAP.
Samsul Kurniawan dan Erwin Mahrus. (2011). Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam; Ibnu Sina-Azyumardi Azra. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Zubaedi. (2012). Isu-isu baru dalam Diskursus Filsafat Pendidikan Islam dan Kapita Selekta Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.



[1] M. Amin Abdullah, Pendidikan Agama Era Multikultural Multireligius, (Jakarta: PSAP, 2005), hal. 137.
[2] Zubaedi, Isu-isu baru dalam Diskursus Filsafat Pendidikan Islam dan Kapita Selekta Pendidikan Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hal. vii.
[3] Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam; Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat, Cet. I, (Yogyakarta: LKiS, 2009), hal. 77.
[4] Ali maksum dan Luluk Yunan Ruhendi, Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post Modern, Cet. I, (Yogyakarta: IrciSod, 2004), hal. 284.
[5] Samsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam; Ibnu Sina-Azyumardi Azra, Cet. I, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hal. 87.
[6] Mulyadhi Kartanegara, Mozaik Khasanah Islam, Bunga Rampai dari Chicago, Cet. I, (Jakarta: Paramadina, 2000), hal. 47.
[7] Samsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Op. Cit.
[8] Maftukhin, Filsafat Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Teras, 2012), hal. 132.
[9] Ibid., hal. 132.
[10] Mulyadhi Kartanegara, Op. Cit., hal. 47-48.
[11] Ibid., hal 48.
[12] Samsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Op. Cit., hal. 88.
[13] Mulyadhi Kartanegara, Op. Cit., hal. 48-49.
[14] Samsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Op. Cit., 88
[15] Ibid.
[16] Ibid., hal. 88.
[17] Ibid.
[18] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2005), hal. 93.
[19] Ibid., hal. 88-90.