Prawacana
Pendidikan merupakan suatu
hal yang sangat vital bagi bangsa, terutama dari segi peradabannya. Karena
maju mundurnya peradaban suatu bangsa akan ditentukan bagaimana pendidikan yang
dijalani oleh masyarakat bangsa tersebut. Pendidikan juga merupakan salah satu
investasi (investment) sumberdaya manusia yang diharapkan dapat mengubah
kehidupan suatu bangsa ke arah yang lebih baik. Tanpa pendidikan, jangan harap bagsa
ini akan menjadi bangsa yang maju, berperadaban tinggi dan mempunyai martabat di mata
dunia.
Pendidikan di
Indonesia secara umum seringkali diklaim kurang mampu dalam menjawab tantangan,
perubahan dan tuntutan masyarakat. Di mana out put pendidikan kurang
memiliki ‘kesiapan riil’ bagi kepentingan profesi dan juga pengembangan bagi
disiplinnya. Pendidikan yang seharusnya berwatak dinamis-kreatif telah terjerat
oleh kepentiangan-kepentingan emosional yang sifatnya semu. Banyak muatan yang
sifatnya sesaat telah dirakit sedemikian rupa, yang seolah telah menjadi inti dan harus digeluti. Karena dalam praktiknya bahwa praktisi
pendidikan selalu terjebak dan terbelenggu oleh kurikulum, silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dalam praktik pembelajaran sehari-hari, serta lebih suka menekankan aspek
“konservasi” dan pemeliharaan materi pendidikan yang sudah
tersedia bukan pada “reformasi” dalam bidang pendidikan.[1]
Dewasa ini, peradaban
dunia secara keseluruhan berada dalam tatanan global atau sering disebut “era
globalisasi” yang secara mendasar ditopang oleh perkembangan teknologi
komunikasi, transportasi, dan informasi. Semua ini membuat dunia semakin global
dan sempit karena mudahnya untuk dijangkau. Abad ini bisa disebut sebagai pasca
modern, suatu keadaan yang bisa dipandang sangat demokratis, karena memberikan kesempatan terhadap semua untuk
‘berbicara’ membangun suatu ‘peradaban’. Era ini juga membawa dua
dampak sekaligus, antara dampak positif dan negatif terhadap pendidikan, begitu juga dalam institusi
pendidikan Islam.
Pendidikan Islam
dalam merespon tantangan yang ada perlu didesain sebagai model pendidikan
integralistik yang akan menjadi alternatif yang sesuai dengan kebutuhan
perkembangan di era global. Pendidikan integralistik merupakan pendidikan yang
berorientasi pada Rabbaniyah (Ketuhanan), insaniyah
(kemanusiaan), dan alamiyah (alam pada umumnya), sehingga menjadi
manusia sebagai sebuah pribadi yang utuh jasmani-rohani, intelektual, perasaan
dan individual-sosial.[2]
Berangkat dari sini,
perlunya sebuah materi pelajaran yang diberikan oleh pendidikan, khususnya
pendidikan Islam harus ditata dan disusun sesuai dengan jenjang, jenis, dan
jalur pendidikan. Segai software, kurikulum merupakan bentuk operasional
yang menjabarkan konsep pendidikan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan.
Objek kajian dalam kurikulum tidak terlepas dari tujuan yang dilandasi prinsip
dasar dan filsafat yang dipilih.[3]
Kurikulum pendidikan
Islam, sampai saat ini, masih dihadapkan pada kesulitan untuk mengintegrasikan
dua kutub paradigma keilmuan dualistik. Pada satu sisi, harus berhadapan
dengan ‘subjek-subjek sekuler’, dan pada sisi yang lain dengan ‘subjek-subjek
keagamaan’.[4]
Dari dikotomi tersebut, kurikulum pendidikan Islam masih banyak didominasi oleh
ilmu jenis kedua, sementara pengkajian terhadap jenis ilmu alam
masih kurang. Padahal, mengkaji dan meneliti kedua jenis ilmu tersebut
mempunyai kedudukan yang sama penting. Karena itulah, kurikulum pendidikan Islam harus ada prioritas mana
yang harus didahulukan, karena mempelajari keduanya secara bersamaan akan
dirasakan berat.
Dengan adanya penyatukan ilmu, yaitu antara ilmu umum dan agama, persoalan dikotomi akan
dapat dicarikan jalan keluarnya. Dalam kaitan ini bahwa wawasan ilmu tidak lagi dipisahkan secara
dikotomis dengan pembagian ilmu-ilmu ‘agama’ dan ‘umum’, tetapi akan dibedakan
(bukan dipisahkan) menjadi ilmu-ilmu yang menyangkut ayat-ayat tanziliyah
(ayat-ayat yang tersurat dalam al-Qur’an/hadits) dan ilmu tentang ayat-ayat kauniyah
(ilmu/pengetahuan tentang kealaman).
Berangkat dari pola
pikir integratif, yaitu menyatukan arti kehidupan dunia dan akherat, maka
pendidikan umum pada hakekatnya adalah pendidikan agama juga, begitu sebaliknya
pendidikan agama juga pendidikan umum. Idealnya, tidak perlu terjadi persoalan ambivalensi
dan dikotomik dalam orientasi pendidikan Islam. Pemikiran ini mengandaikan
penemuan suatu bentuk perpaduan materi-materi pendidikan agama dengan umum. Sehingga kurikulum
pendidikan Islam selanjutnya dapat disusun berdasarkan wawasan ilmu pengetahuan
yang telah terintegrasi tersebut. Hal ini akan membawa konsekuensi-konsekuensi
tertentu terhadap struktur, tujuan pendekatan, materi dan institusi pendidikan
yang dipersiapkan.
Dengan berbagai
penjelasan tersebut, maka menjadi suatu hal yang sangatlah mendesak untuk
melakukan sebuah penelusuran dan juga observasi terhadap tokoh khazanah intelektual
Islam, terutama para pemikir pendidikan, seperti al-Ghazali yang sangatlah
relevan untuk dijadikan objek kajian melalui tulisan dan dialog atau diskusi terkait
pemikirannya tentang pendidikan.
Penelusuran terhadap tokoh
khazanah intektual Islam di sini bukanlah merupakan perayaan atas romantisme
kejayaan intelektual umat Islam di masa lalu, setidaknya mengingatkan kembali khazanah
intelektual yang pernah dimiliki oleh umat Islam di masa lalu. Kesadaran
historis ini pada gilirannya akan memelihara kesinambungan atau kontinuitas
keilmuan, sekaligus menelisik lebih jauh pemikirannya, khususnya dalam kajiannya tentang pemikiran pendidikan Islam.
Dengan segala
kekurangan dan keterbatasan keilmuan dan pengetahuan, penulis ingin menggali dan mengelaborasi gagasan mengenai konsep kurikulum pendidikan yang
dilontarkan oleh seorang tokoh pendidikan Islam, yaitu al-Ghazali. Semoga tulisan sederhana ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya, serta menambah khazanah keilmuan dalam dunia pendidikan, khususnya dalam dunia pendidikan Islam.
A.
Biografi Al-Ghazali
Nama lengkap al-Ghazali adalah Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali. Ia lahir di Ghazaleh, sebuah kota
kecil di Tus, wilayah Khurasan, Persia pada tahun 450 H/ 1059 M.[5] Ayahnya meninggal dunia
ketika ia masih muda. Tetapi pengasuhnya menyadari bahwa anak ini dan saudaranya
Ahmad, harus mendapat pendidikan yang baik.[6]
Al-Ghazali memulai pendidikannya ditempat
kelahirannya Tus, dengan mempelajari dasar-dasar pengetahuan. Selanjutnya ia
pergi ke Nishafur dan Khurasan, dua kota yang dikenal sebagai pusat ilmu
pengetahuan terpenting di dunia Islam saat itu.[7] Ia kemudian menjadi murid
Imam al-Haramain al-juwaini (Ulama yang bermadzhab Syafi’i), guru besar di
madrasah al-Nizamiah Naisapur. Diantara mata pelajaran yang diberikan di
madrasah ini adalah ilmu kalam, hukum Islam, filsafat, logika, sufisme, dan
lain-lain.[8] Karena bakat
intelektualnya yang mencolok dapat dengan baik dilihat oleh Wazir Nizham
al-Mulk yang diberi kepercayaan penuh oleh sultan Saljuq, yang menguasai
kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad. Karena itu sang Wazir mengangkat al-Ghazali
(pada tahun 1091 M[9])
sebagai guru besar di Universitas yang ia dirikan.
Pada usia 33 tahun ia telah mendapatkan salah
satu kedudukan yang sangat istimewa pada dunia akademis pada masanya. Periode
ini menandai pada suatu tahap yang menentukan dalam hidupnya. Sebab universitas
memberinya suatu lingkungan yang sangat kondusif untuk mengembangkan serta
menyinari kepribadiannya. Disana ia dapat memperdalam pengetahuannya dibidang
filsafat. Dua karyanya ditulis dimasa ini, yang pertama adalah Maqasid
al-Falasifa (maksud-maksud para Filosof) yang telah menimbulkan daya tarik
tersendiri di Barat. Karya ini diterjemahkan pertama kali kedalam bahasa Latin
pada tahun 1145 di Toledo oleh Dominicus Gundissalinus dengan judul Logica
et Philoshophie Algezelis Arabis. Karya ini diterjemahkan tanpa memasukkan
pendahuluannya dimana al-Ghazali menyatakan tujuan penulisan karya ini, yaitu
untuk memberikan ajaran-ajaran para filosof dengan maksud membantahnya. Karya
tersebut kemudian dipandang oleh para sarjana latin sebagai bukti bahwa
al-Ghazali adalah kaum peri-patetik dan Neo-Platonis seperti al-Farabi.[10]
Karya yang lain adalah Tahafut al-Falasifah sebuah karangan yang
sistematis yang terkenal dan kasar terhadap para filosof.[11] Kemudian dalam ilmu kalam
al-Ghazali menulis buku berjudul Ghayah al-Maram fi ‘Ilm al-Kalam
(Tujuan Mulia dari Ilmu Kalam). Dalam ilmu hukum Islam ia menulis al-Musytasyfa
(yang menyembuhkan).[12]
Hingga pada akhirnya al-Ghazali mengalami
sebuah krisis, yakni keraguan yang mendalam (skeptisisme) yang terlihat pada
gejala-gejala fisiknya, tetapi yang pada dasarnya bersifat religius. Menurut
hematnya, pada saat ini tugas manusia yang paling penting adalah menghindarkan
diri dari neraka dan memperoleh surga. Tetapi betapa ia menyadari bahwa jalan
hidupnya yang sekarang ini terlalu duniawi untuk mengharapkan pahala abadi.
Setelah melalui perjuangan batin yang hebat ia akhirnya meninggalkan Baghdad
untuk menjalani kehidupan zuhud yang berkelana. Demikian pada tahun 1095 ia mencampakkan
Universitas dan meninggalkan keluarganya untuk mencari kepastian batin, yang
merupakan jaminan bagi kebenaran.
Ia meninggalkan Baghdad dan mulai menempuh
jalan sempit yang mengarah pada kepastian. Selama sepuluh tahun, dengan
berbusana seorang sufi. Ia menyelenggarakan “ziarah sunyi”-nya keseluruh
pelosok dunia muslim. Ia mengunjungi Damaskus, dan Yerusalem (sebelum dijarah
pasukan Salib), Iskandariah, Kairo, Mekah, dan Madinah. Ia mengabdikan seluruh
waktunya untuk melakukan praktik spiritual para sufi.
Ketika ia berhasil mengatasi krisisnya dan
menghilangkan keraguannya, ia kembali ke negerinya. Mulailah ia menulis
karya-karya yang bernada sufitik, yaitu bukunya yang berjudul Ihya ‘Ulum
al-Din (Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama), salah satu kitab moral yang
terbesar, sebagai karangan puncak dan terbesarnya. Meskipun ia kembali ke
posisi mengajar, namun perubahan yang terjadi padanya akibat krisis tadi adalah
permanen. Sekarang ia adalah seorang yang religius dan bukan sekedar guru umum
dari ilmu-ilmu agama.[13] Beliau wafat di
Tabristan, sebuah wilayah di provinsi Tus, pada tanggal 4 Jumadil Akhir tahun
505 H/ 1 Desember 1111 M.[14]
Karena begitu banyak keahlian yang dikuasai
oleh al-Ghazali, wajar bila orang-orang sesudahnya memberi berbagai gelar penghormatan
kepadanya, antara lain Hujjatul Islam (Pembela Islam), Zainuddin
(Hiasan Agama), Bahrun Mughriq (Samudra yang Menenggelamkan), Syaikhul
Shuffiyyin (Guru Besar para Sufi), Imamul Murobbin (Pemimpin para
Pendidik), dan sebagainya.[15]
B.
Kurikulum Pendidikan Menurut Al-Ghazali
Sebelum lebih jauh menuju pada substansi
pembahasan yaitu kurikulum pendidikan menurut al-Ghazali, secara hirarkis akan
dibahas terlebih dahulu tentang pemikiran pendidikan menurut al-Ghazali.
Sehingga pembahasan ini benar-benar mengantarkan pada alur pemikiran yang
metodologis-sistematis.
1.
Pemikiran Pendidikan Menurut al-Ghazali
Sosok al-Ghazali merupakan tokoh yang
sangatlah memperhatikan bidang pendidikan. Dengan semangat intelektual dan
kejelihanya, masa muda ia habiskan untuk belajar kepada para pendahulunya.
Diantaranya adalah kepada seorang teolog besar, al-Juwayni yang dikenal dengan
gelar Imam al-haramayn. Dengan bakat intelektualnya yang mencolok sampai-sampai
Wazir Nizham al-Mulk yang diberi kepercayaan penuh oleh sultan Saljuq yang
menguasai kekhalifahan Abbasiyyah di Baghdad al-Ghazali diangkat oleh Wazir
sebagai guru besar di universitas yang ia dirikan. Sehingga di usianya yang ke
33 tahun al-Ghazali telah mendapatkan salah satu kedudukan yang sangat istimewa
pada dunia akademis pada masanya.
Dengan sikap, pandangan ilmiahnya yang sistematis,
dan mempunyai bidang pemikiran yang sedemikian luas, sehingga menghasilkan
sebuah konsep pendidikan yang sangat acceptable
dan tidak diragukan lagi kredibilitasnya hingga saat ini. Seperti pendapat
al-Ghazali, bahwa pendidikanlah yang banyak membentuk corak kehidupan suatu
bangsa.[16] Ini mengandung arti
bahwa, majunya suatu bangsa dapat dilihat dari kualitas pendidikan bangsa
tersebut. Dan dengan pendidikan juga akan mengantarkan suatu bangsa menuju pada
arah kehidupan yang lebih baik.
Sebagaimana penjelasan dari al-Tibawi, bahwa
pemikiran pendidikan al-Ghazali ini paling baik, sistematis, dan komprehensif
dibandingkan dengan tokoh-tokoh yang lain. hal ini disebabkan karena al-Ghazali
adalah seorang guru besar yang juga sekaligus pemikir besar. Pemikiran pendidikan
al-Ghazali telah mendominasi atmosfer pemikiran pendidikan selama berabad-abad
semenjak kematiannya.[17]
2.
Kurikulum Pendidikan Menurut al-Ghazali
Imam Ghazali pernah berkomentar tentang
konsep kurikulum pendidikan, bahwa mata pelajaran yang harus di sampaikan
kepada anak didik didasarkan kepada dua pendekatan, antara lain:
1) Pendekatan Agama
Menurut Imam Ghazali bahwa mata pelajaran
yang utama dan harus terdapat dalam kurikulum pendidikan adalah ilmu Agama.
Seperti al-Qur’an dan al-Hadits, ilmu fiqh, ilmu tafsir dan lain sebagainya.
2) Pendekatan Pragmatis
Maksud dari pendekatan di sini adalah bahwa
setiap ilmu yang memiliki dampak positif, baik kepada peserta didik maupun
kepada masyarakat, maka pelajaran tersebut harus ada dalam kurikulum
pendidikan, seperti ilmu kedoteran, ilmu matematika dal lain sebagainya.[18]
Klasifikasi
ilmu tersebut sepertinya Imam Ghazali ingin mengatakan bahwa pada dasarnya
ilmu terbagi kepada dua macam yaitu: pertama. Disiplin ilmu yang harus
dikuasai oleh setiap individu ummat Islam. Ilmu inilah yang masuk dalam
katagori fardhu ‘Ain.. Karenanya tidak ada pilihan lain kecuali disiplin ilmu
ini harus dimasukan kedalam kurikulum pendidikan. Kedua. Disiplin ilmu yang
tidak menuntut kepada setiap individu untuk menguasainya, tetapi cukup diwakili
oleh beberapa ummat Islam saja. Disiplin ilmu inilah yang disebut dengan
istilah fardhu kifayah. Karenanya jika ada sebagian ummat Islam telah
memilikinya maka sudah terwakili.
Dalam
kesempatan lain, al-Ghazali pernah menawarkan konsep kurikulum yang dikaitkan
kepada ilmu pengetahuan. Dalam pandangan beliau bahwa ilmu terbagi kepada tiga
bagian besar, antara lain:
1) Ilmu yang terkutuk, yaitu
ilmu-ilmu yang tidak ada manfa’atnya, baik di dunia maupun di akhirat, seperti
ilmu sihir, ilmu nujum dan ilmu ramalan. Menurut pandangan Imam Ghazali bahwa
ilmu-ilmu tersebut adalah tercela dan sesat, karena dapat mendatangkan ke
madharatan, baik bagi pemiliknya maupun bagi orang lain.
2) Ilmu yang terpuji, yaitu
ilmu yang erat kaitannya dengan per ibadahan dan segala macamnya, seperti ilmu
kebersihan atau bersuci, ilmu yang mendatangkan kemaslahatan bagi pemiliknya
maupun kepada orang lain.
3) Ilmu yang terpuji dalam
kadar tertentu, namun tercela jika dipelajari secara mendalam. Karena jika
dipelajari secara mendalam maka akan menyebabkan kekacawan, kemadharatan bahkan
menjadikan kafir bagi pemiliknya, seperti ilmu filsafat.[19]
Dengan
demikian, pada intinya al-Ghazali berkesimpulan bahwa ilmu yang paling utama
adalah ilmu agama dan semua ilmu yang berhubungan dengannya. Karenanya ilmu
Agama harus terdapat didalam kurikulum pendidikan.
C.
Konklusi
Menurut Al-Ghazali, pendidikan yang baik merupakan
jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mendapatkan kebahagiaan dunia dan
akhirat. Al-Ghazali menggabungkan antara kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan
di akhirat. Tentang kurikulum pendidikan Islam, Al-Ghazali mengatakan bahwa
Al-Quran beserta kandungannya berisikan pokok-pokok ilmu pengetahuan. Isinya
sangat bermanfaat bagi kehidupan, membersihkan jiwa, memperindah akhlak, dan
mendekatkan diri kepada Allah.
Referensi:
Ali maksum
dan Luluk Yunan Ruhendi. (2004). Paradigma Pendidikan Universal di Era
Modern dan Post Modern. Yogyakarta: IrciSod.
Abuddin Nata.
(2005). Pemikiran Para tokoh Pendidikan
Islam. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Maftukhin. (2012).
Filsafat Islam. Yogyakarta: Teras.
Mulyadhi
Kartanegara. (2000). Mozaik Khasanah Islam, Bunga Rampai dari Chicago. Jakarta:
Paramadina.
Moh. Roqib.
(2009). Ilmu Pendidikan Islam; Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah,
Keluarga dan Masyarakat. Yogyakarta: LKiS.
M. Amin Abdullah. (2005). Pendidikan Agama Era
Multikultural Multireligius. Jakarta: PSAP.
Samsul
Kurniawan dan Erwin Mahrus. (2011). Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam; Ibnu
Sina-Azyumardi Azra. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Zubaedi. (2012).
Isu-isu baru dalam Diskursus Filsafat Pendidikan Islam dan Kapita Selekta
Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[1] M.
Amin Abdullah, Pendidikan Agama Era Multikultural Multireligius,
(Jakarta: PSAP, 2005), hal. 137.
[2]
Zubaedi, Isu-isu baru dalam Diskursus Filsafat Pendidikan Islam dan Kapita
Selekta Pendidikan Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hal.
vii.
[3] Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam; Pengembangan
Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat, Cet. I, (Yogyakarta: LKiS, 2009),
hal. 77.
[4] Ali
maksum dan Luluk Yunan Ruhendi, Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern
dan Post Modern, Cet. I, (Yogyakarta: IrciSod, 2004), hal. 284.
[5]
Samsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam; Ibnu
Sina-Azyumardi Azra, Cet. I, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hal. 87.
[6]
Mulyadhi Kartanegara, Mozaik Khasanah Islam, Bunga Rampai dari Chicago,
Cet. I, (Jakarta: Paramadina, 2000), hal. 47.
[7]
Samsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Op.
Cit.
[8]
Maftukhin, Filsafat Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Teras, 2012), hal. 132.
[9] Ibid., hal. 132.
[10]
Mulyadhi Kartanegara, Op. Cit., hal. 47-48.
[11] Ibid., hal 48.
[12]
Samsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Op.
Cit., hal. 88.
[13]
Mulyadhi Kartanegara, Op. Cit., hal. 48-49.
[14] Samsul
Kurniawan dan Erwin Mahrus, Op. Cit., 88
[15] Ibid.
[16] Ibid., hal. 88.
[17] Ibid.
[18] Abuddin
Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan
Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2005), hal. 93.
[19] Ibid., hal. 88-90.