Thursday, December 28, 2017

HUBUNGAN ILMU KALAM DENGAN FILSAFAT DAN TASAWUF



Prawacana
Sebagaimana kita ketahui bahwa Islam dalam realitas sejarah tidaklah sempit dan eksklusif seperti yang dipahami pada umumnya. Dengan bersumber pada ajaran pokoknya (al-Qur’an dan hadits), Islam mampu berhubungan langsung dan adaptif dengan masyarakat secara luas. Tidak hanya dengan budaya lokal masyarakat an sich, Islam juga telah mampu melakukan persentuhan langsung dengan berbagai disiplin ilmu. Dari persentuhan tersebut, lahirlah berbagai disiplin ilmu  dalam Islam, seperti ilmu Kalam (teologi), Filsafat dan Tasawuf.
Baik ilmu kalam, filsafat maupun tasawuf itu semua merupakan disiplin ilmu dalam Islam yang lahir atas persentuhan Islam secara langsung dengan berbagai masalah sosio-kultural yang berkembang dalam masyarakat pada masa itu, yang selanjutnya berkembang mencari dan mempertahankan suatu kebenaran. Dari semua disiplin ilmu-ilmu tersebut, muncul juga para tokoh dan pakar keilmuan yang bernuansa Islam.

A.     Pengertian
1.     Ilmu Kalam
Secara harfiyah, "kalam" berarti pembicaraan atau perkataan. Di dalam lapangan pemikiran Islam, istilah "kalam" memiliki dua pengertian, sabda Allah (The word of god) dan ilm al-kalam (The science of kalam).[1] Sedangkan dari segi etimologis, perkataan ilmu kalam terdiri atas dua kata, yaitu "ilmu" yang berarti pengetahuan, dan "kalam" yang berarti perkataan, percakapan, firman. Ilmu kalam ini digunakan sebagai istilah ilmu yang membahas atau membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan akidah Islam, yaitu tentang wujud Tuhan dan sifat-sifat yang memungkinkan ada pada-Nya, membicarakan para Rasul Tuhan untuk menetapkan kerasulannya, dan mengetahui sifat-sifat yang pasti ada padanya, sifat-sifat yang tidak mungkin ada padanya, serta sifat-sifat yang mungkin ada padanya.[2]
Ilmu kalam merupakan disiplin ilmu keislaman yang banyak mengedepankan pembicaraan tentang persoalan-persoalan kalam Tuhan. Persoalan-persoalan kalam tersebut biasanya mengarah sampai perbincangan yang mendalam dengan dasar-dasar dan argumentasi, baik argumentasi rasional (aqliyah) maupun naqliyah.[3]
Musthafa Abdul Raziq, ilmu kalam menurutnya adalah ilmu yang berkaitan dengan akidah imani, yang sesungguhnya dibangun di atas argumentasi-argumentasi rasional. Atau, ilmu yang berkaitan dengan akidah Islami yang bertolak atas bantuan nalar. Kemudian Al-Farabi, ilmu kalam menurutnya adalah disiplin ilmu yang membahas tentang dzat dan sifat Allah beserta eksistensi semua yang mungkin, mulai yang berkenaan dengan masalah dunia sampai masalah sesudah mati yang berdasarkan doktrin Islam. Stressing akhirnya adalah memproduksi ilmu ketuhanan secara filosofis. Sedangkan Ibnu Khaldun menjelaskan bahwa ilmu kalam adalah disiplin ilmu yang mengandung berbagai argumentasi tentang akidah imani yang diperkuat dalil-dalil rasional.[4]
Dari beberapa uraian dan penjelasan di atas, dapat disimpulkan secara sederhana bahwa ilmu kalam yaitu ilmu yang membahas berbagai masalah ketuhanan dengan menggunakan argumentasi logika atau filsafat. Pengertian kalam secara maknawiyah atau secara metodologis lebih mendekati kepada pengertian keilmuan. Jadi, bisa dikatakan di sini bahwa Ilmu kalam adalah Ilmu yang menggali keislaman yang didasarkan atas argumen-argumen logis dan rasional, terutama yang berkaitan dengan kalam illahi yang dihubungkan dengan beberapa persoalan manusia, seperti baik dan buruk, kebebasan berkehendak, mukmin dan kafir maupun dengan alam semesta yang berkenaan dengan kebenaran dan keqadiman alam ini.
2.     Ilmu Filsafat
Kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta, dan kata sophos yang berarti suatu kebijaksanaan atau sophia yang berarti kebijaksanaan, pengetahuan, keahlian, pengalaman praktis, intelegensi.[5] Secara singkat dapat dikatakan bahwa filsafat adalah cinta akan kebijaksanaan atau love of wisdom dalam arti yang sedalam-dalamnya.[6] Dalam hubungan ini, Al-Syaibani berpendapat bahwa filsafat bukanlah hikmah itu sendiri, melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha mendapatkannya, memusatkan perhatian padanya, dan menciptakan sikap positif terhadapnya. Dalam konteks ini, ia juga mengatakan bahwa filsafat berarti mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan akibat, serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia.[7]
Oleh karena itu, penulis cenderung untuk memberikan definisi secara sederhana bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mengenai segala sesuatu dengan memandang sebab-sebab terdalam dan tercapai dengan budi murni.
3.     Ilmu Tasawuf
Secara etimologi, kata tasawuf adalah nisbah terhadap akar kata ‘shuf’ (baju wol), sehingga memiliki arti memakai baju wol.[8] Tasawuf dapat diartikan sebagai jalan untuk memperoleh kecintaan dan kesempurnaan rohani. Selain itu, dapat pula diartikan berpindah dari kehidupan biasa menjadi kehidupan shufi (yang disucikan) yang selalu tekun beribadah dan jernih, bersih jiwa dan hatinya serta ikhlas karena Allah SWT semata-mata.[9]
Menurut Moh Abdai Rathomi, tasawuf maksudnya adalah secara pokok hendak membersihkan penyakit hati yang buruk-buruk, lalu diganti dengan hati yang baik-baik dan mulia.[10] Sedangkan Ibnu Khaldun menjelaskan, tasawuf adalah semacam ilmu syari’ah yang timbul kemudian di dalam agama. Asalnya ialah bertekun ibadah dan memutuskan pertalian dengan segala sesuatu selain Allah, hanya menghadap Allah semata, menolak hiasan-hiasan dunia serta membenci perkara-perkara yang selalu memperdaya orang banyak, kelezatan harta benda dan kemegahan, dan menyendiri menuju jalan Tuhan dalam khalwat dan ibadah.[11]
Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas, penulis berpandangan secara sederhana bahwa tasawuf merupakan bentuk penyucian diri, di dalamnya terkandung makna yang dalam, yakni upaya keras manusia untuk mempererat hubungan vertikal antara dirinya dengan Sang Khalik, dimensi hubungan tersebut berada di luar orbit lahiri, namun mengambil tempat dalam dimensinya yang esoteris sesuai dengan sifat Tuhan sebagai dzat Yang Maha Ghaib dari segala yang ghaib.
B.     Sejarah Ilmu Kalam
Munculnya ilmu kalam sebenarnya adalah persoalan teologi atau agama. Pada masa Rasulullah Saw dan Sahabat, belum dikenal secara leksikal yang namanya ilmu kalam, namun biasa disebut mengenai persoalan ketuhanan itu dengan tauhid atau teologi. Persoalan yang pertama-tama timbul dalam Islam terutama setelah Rasulullah Saw wafat adalah persoalan politik yang akhirnya meningkat menjadi persoalan teologi. Untuk memperjelas hal tersebut, perlulah kita untuk flash back kembali mengenai sejarah Islam, khususnya fase perkembangan Islam yang pertama.
Di Mekkah, Nabi Muhammad Saw hanya sebagai pemuka agama, sedangkan di Yasrib selain menjadi pemuka agama beliau juga menjadi pemimpin negara. Beliaulah yang mendirikan kekuasaan politik yang dipatuhi di kota ini. Ketika beliau wafat pada 632 M, daerah kekuasaan Madinah tidak hanya terbatas pada kota itu saja, tetapi boleh dikatakan meliputi seluruh Semenanjung Arabia. Islam di waktu itu, seperti digambarkan oleh W.M. Watt, telah merupakan kumpulan suku-suku bangsa Arab, yang mengikat tali persekutuan dengan Nabi Muhammad dalam berbagai bentuk dengan masyarakat Madinah dan mungkin juga masyarakat Mekkah sebagai intinya.[12]
Islam sendiri, seperti kata R. Strothman, disamping merupakan sistem agama juga merupakan sistem politik, dan Nabi Muhammad Saw disamping Rasul telah pula menjadi seorang ahli. Jadi, wajar saja ketika Rasulullah Saw wafat, selain penguburan Rasulullah, umat Islam sibuk memikirkan siapa pengganti Nabi. Dengan berbagai permusyawarahan dipilihlah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Setelah beliau wafat, kemudian digantikan oleh Umar bin Khattab, dan selanjutnya digantikan oleh Usman bin ‘Affan.
Munculnya Ilmu Kalam, sebenarnya dapat dilacak mulai dari sini. Dimana ilmu kalam itu muncul dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut peristiwa pembunuhan ‘Utsman bin Affan yang berbuntut pada penolakan Mu’awiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Ketegangan antara Mu’awiyah dan Ali bin Abi Tholib mengkristal menjadi Perang Shiffin yang berakhir dengan keputusan tahkim (arbitrase), yakni tawaran yang diusulkan untuk memecah kubu Ali menjadi dua bagian, yaitu Syi’ah dan Khawarij.
Sikap Ali yang menerima tipu muslihat Amr bin Ash—utusan dari pihak Mu’awiyah dalam tahkim—ia dalam keadaan terpaksa, itu tidak disetujui oleh sebagian tentaranya dalam arti menentang. Mereka memandang Ali bin Abi Tholib telah berbuat salah sehingga mereka meninggalkan barisannya. Dalam sejarah Islam, mereka terkenal dengan sebutan Khawarij, yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri.[13] Sedangkan, sebagian besar pasukan yang membela dan tetap mendukung Ali menamakan dirinya sebagai kelompok Syi’ah.
Harun Nasution, lebih lanjut melihat bahwa persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam. Khawarij sebagaimana telah disebutkan, memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim, yakni Ali, Mu’awiyah, Amr Bin Ash, Abu Musa Al-Asy’ari adalah kafir menurut mereka (Khawarij).[14]
Hal-hal yang terjadi pada masa Sahabat tersebut, sangat berpengaruh pada perkembangan tauhid, terutama lahir dan tumbuhnya aliran-aliran teologi dalam Islam. Aliran-aliran inilah yang pada akhirnya membicarakan beberapa persoalan teologis, yaitu status dan nasib pelaku dosa besar, perbuatan manusia dan kaitannya dengan perbuatan Tuhan, sifat-sifat Tuhan dan lain sebagainya. Persoalan-persoalan inilah yang dikemudian hari menjadi materi atau pembahasan dalam ilmu kalam dan aliran-aliran teologi yang lahir dalam Islam merupakan paham yang timbul akibat  perbedaan cara memahami materi atau pembahasan tersebut.
Adapun faktor-faktor penyebab  ilmu kalam dapat dijelaskan kedalam dua faktor utama, yaitu faktor internal dan eksternal. Adapun pembahasannya adalah sebagai berikut:
1.         Faktor Internal
a.         Al-Qur’an disamping ajakannya kepada tauhid dan mempercayai kenabian dan hal-hal lain yang berhubungan dengan itu, al-Qur’an juga menyinggung golongan-golongan dan agama-agama yang ada pada masa Nabi Muhammad Saw yang mempunyai kepercayaan-kepercayaan yang tidak benar. Al-Qur’an tidak membenarkan kepercayaan mereka dan membantah alasan-alasannya antara lain:
1)      Golongan yang mengingkari agama dan adanya Tuhan, dan mereka mengatakan bahwa yang menyebabkan kebinasaan dan kerusakan hanyalah waktu saja.
2)      Golongan-golongan syirik, yang menyembah bintang-bintang, bulan, matahari yang mempertuhan Nabi Isa dan Ibunya yang menyembah berhala-berhala.
3)      Golongan-golongan yang tidak percaya akan keutusan Nabi-Nabi dan tidak mempercayai kehidupan kembali di akhirat nanti.
4)      Golongan yang mengatakan bahwa semua yang terjadi di dunia ini adalah dari perbuatan Tuhan semuanya dengan tidak ada campur tangan manusia yaitu orang-orang munafik.
Tuhan membantah alasan-alasan dan perkataan-perkataan mereka semua dan juga memerintahkan Nabi Muhammad Saw untuk tetap menjalankan dakwahnya sambil menghadapi alasan-alasan mereka yang tidak percaya dengan cara yang halus.[15]
b.        Ketika kaum muslimin telah selesai menaklukkan negeri-negeri baru, dan keadaan mulai stabil serta melimpah ruah rizkinya, disinilah akal pikiran mereka mulai memfilsafatkan agama, dan bersungguh-sungguh dalam membahasnya dan mempertemukan nash-nash agama yang kelihatannya bertentangan. Keadaan seperti  ini hampir merupakan gejala umum bagi tiap-tiap agama. Pada mulanya agama itu hanyalah kepercayaan yang sederhana dan kuat, tidak perlu diperselisihkan dan tidak memerlukan penyelidikan. Pemeluk-pemeluknya menerima bulat-bulat apa yang diajarkan agama, kemudian dianutnya dengan sepenuh hatinya tanpa memerlukan penyelidikan dan pemilfasatan. Setelah itu datang fase pemfilsafatan dan pemikiran dalam membicarakan soal agama secara ilmiah dan filosofis. Kemudian tokoh-tokoh agama mulai memakai filsafat untuk memperkuat hujjah-hujjah dan penjelasan-penjelasannya. Inilah yang telah terjadi pada agama Yahudi maupun agama Nasrani.
c.         Sebab yang ke tiga adalah soal-soal politik. Contoh yang paling jelas dalam persoalan tersebut adalah masalah khilafah. Sebenarnya masalah khilafah itu adalah soal politik belaka. Agama tidak mengharuskan kaum muslimin mengambil bentuk khilafah dengan cara tertentu. Tetapi agama hanya memberikan ketentuan supaya memperhatikan kepentingan umum. Wakil-wakil umat bisa membuat peraturan-peraturan yang menjamin sebaik-baiknya cara dan menghilangkan sebab-sebab pertikaian. Jika terjadi suatu perselisihan, maka perselisihan tersebut adalah semata-mata soal politik. Oleh karena perselisihan politik adalah faktor yang besar dari sebab-sebab perselisihan soal agama, kepercayaan, dan perpecahan.[16]
2.         Faktor Eksternal
a.         Banyak diantara pemeluk-pemeluk Islam yang mula-mula beragama Yahudi, Masehi dan lain-lain, bahkan diantara mereka ada yang sudah pernah menjadi ulamanya. Setelah fikiran mereka tenang dan sudah memegang teguh agama yang baru yaitu Islam, mereka mulai mengingat-ingat kembali ajaran-ajaran agamanya yang dulu, dan dimasukkannya didalam ajaran Islam. Karena itu, dalam buku-buku aliran dan golongan Islam sering kita dapati pendapat-pendapat yang jauh dari ajaran Islam sebenarnya.
b.        Golongan Islam yang dahulu, terutama golongan Mu’tazilah memusatkan perhatiannya yang terpenting adalah untuk dakwah Islam dan bantahan alasan orang-orang yang memusihi Islam. Mereka tidak akan bisa menghadapi lawan-lawannya kalau mereka sendiri tidak mengetahui pendapat-pendapat lawan-lawannya beserta alasan-alasannya. Dengan demikian mereka menyelami pendapat-pendapat tersebut, dan akhirnya Negeri Islam menjadi arena perdebatan bermacam-macam pendapat dan bermacam-macam agama. Hal ini bisa mempengaruhi masing-masing pihak yang bersangkutan. Salah satu seginya yang terang ialah penggunaan filsafat sebagai senjata kaum muslimin.
c.         Faktor ketiga ini merupakan kelanjutan faktor kedua, yaitu para mutakallimin hendak mengimbangi lawan-lawannya menggunakan filsafat, terutama segi ketuhanan. Karena itu, Annazzam (tokoh Mu’tazilah) membaca buku-buku Aristoteles dan membantah beberapa pendapatnya. Demikian pula Abul Huzail al-Allaf (juga tokoh Mu’tazilah).[17]
C.     Hubungan Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf
1.     Titik Persamaan
Ilmu Kalam, Filsafat dan tasawuf mempunyai kemiripan objek kajian. Objek kajian ilmu kalam adalah ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Objek kajian filsafat adalah masalah ketuhanan disamping masalah alam, manusia dan segala sesuatu yang ada. Sementara itu, objek kajian tasawuf adalah Tuhan, yakni upaya-upaya pendekatan terhadap-Nya. Jadi, dilihat dari aspek objeknya, ketiga ilmu itu membahas masalah yang berkaitan dengan ketuhanan.[18]
Baik ilmu kalam, filsafat maupun tasawuf berurusan dengan hal yang sama, yaitu kebenaran. Ilmu kalam, dengan metodenya sendiri berusaha mencari kebenaran tentang Tuhan dan yang berkaitan dengan-Nya. Filsafat dengan wataknya sendiri pula, berusaha menghampiri kebenaran, baik tentang alam maupun manusia (yang belum atau tidak dapat dijangkau oleh ilmu pengetahuan karena berada diluar atau diatas jangkauannya) atau tentang Tuhan. Sementara itu, Tasawuf—juga dengan metodenya yang tipikal—berusaha menghampiri kebenaran yang berkaitan dengan perjalanan spiritual menuju Tuhan.
2.     Titik Perbedaan
Perbedaan diantara ketiga ilmu (Ilmu kalam, filsafat dan tasawuf) tersebut terletak pada aspek metodologinya ilmu kalam, sebagai ilmu yang menggunakan logika, berfungsi juga untuk mempertahankan keyakinan ajaran agama, yang sangat tampak nilai-nilai apologinya. Pada dasarnya ilmu ini menggunakan metode dialektika (jadaliyah) dikenal juga dengan istilah dialog keagamaan. Sebagai sebuah dialog keagamaan, ilmu kalam berisi keyakinan-keyakinan kebenaran agama yang dipertahankan melalui argumen-argumen rasional. Sebagian ilmuwan bahkan mengatakan bahwa ilmu ini berisi keyakinan-keyakinan kebenaran, praktek dan pelaksanaan ajaran agama, serta pengalaman keagamaan yang dijelaskan dengan pendekatan rasional.
Sementara itu, filsafat itu sebuah ilmu yang digunakan untuk memperoleh kebenaran rasional. Metode yang digunakannya pun adalah metode rasional. Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara menuangkan (mengembarakan atau mengelanakan) akal budi secara radikal (mengakar) dan integral (mengalami) serta universal (menyeluruh) tidak merasa terikat oleh ikatan apapun, kecuali oleh ikatan tangannya sendiri yang bernama logika. Peranan filsafat sebagaimana dikatakan Socrates adalah berpegang teguh pada ilmu pengetahuan melalui usaha menjelaskan konsep-konsep.
Adapun ilmu tasawuf adalah ilmu yang lebih menekankan rasa daripada rasio. Oleh sebab itu, filsafat dan tasawuf sangat distingtif. Sebagai sebuah ilmu yang prosesnya diperoleh dari rasa, ilmu tasawuf bersifat sangat subyektif, yakni sangat berkaitan dengan pengalaman seseorang. Itulah sebabnya, bahasa tasawuf sering tampak aneh bila dilihat dari aspek rasio. Hal ini karena pengalaman rasa sangat sulit dibahasakan.
Di dalam pertumbuhannya, ilmu kalam (teologi) berkembang menjadi teologi rasional dan teologi tradisional. Filsafat berkembang menjadi sains dan filsafat sendiri. Sains berkembang menjadi sains kealaman, sosial, dan humaniora sedangkan filsafat berkembang menjadi filsafat klasik, pertengahan, dan filsafat modern. Tasawuf selanjutnya berkembang menjadi tasawuf praktis dan tasawuf teoritis.[19]
3.     Titik Singgung antara Ilmu Kalam dan Ilmu Tasawuf
Ilmu kalam merupakan disiplin ilmu keislaman yang mengedepankan pembicaraan tentang persoalan-persoalan kalam Tuhan. Persoalan-persoalan kalam ini biasanya mengarah pada perbincangan yang mendalam dengan dasar-dasar argumentasi, baik rasional (aqliyah) maupun naqliyah. Argumentasi rasional yang dimaksudkan adalah landasan pemahaman yang cenderung menggunakan metode berfikir filosofis, sedangkan argumentasi naqliyah biasanya bertendensi pada argumentasi berupa dalil-dalil Qur’an dan Hadits. Ilmu kalam sering menempatkan dirinya pada kedua pendekatan ini (aqli dan naqli), suatu metode argumentasi yang dialektik. Jika pembicaraan ilmu kalam hanya berkisar pada keyakinan-keyakinan yang harus dipegang oleh umat Islam, tanpa argumentasi rasional, ilmu ini lebih spesifik mengambil bentuk sendiri dengan istilah ilmu tauhid atau ilmu aqa’id.[20]
Pada ilmu kalam ditemukan pembahasan iman dan definisinya, kekufuran dan manifestasinya, serta kemunafikan dan batasannya. Adapun pada ilmu tasawuf ditemukan pembahasan jalan atau metode praktis untuk merasakan keyakinan dan ketentraman, serta upaya menyelamatkan diri dari kemunafikan. Tidaklah cukup bagi seseorang yang hanya mengetahui batasan-batasannya. Hal ini karena terkadang seseorang yang sudah tahu batasan-batasan kemunafikan pun tetap saja melaksanakannya.
Ilmu kalam berfungsi sebagai pengendali ilmu tasawuf. Oleh karena itu, jika timbul suatu aliran yang bertentangan dengan aqidah, atau lahir suatu kepercayaan baru yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah, hal itu merupakan penyimpangan atau penyelewengan. Jika bertentangan atau tidak pernah diriwayatkan dalam al-Qur’an dan Sunnah, atau belum pernah diriwayatkan oleh ulama-ulama salaf, hal itu harus di tolak.[21]
Selain itu, Ilmu tasawuf mempunyai fungsi sebagai pemberi kesadaran rohaniyah dalam perdebatan-perdebatan kalam. Sebagaimana disebutkan bahwa ilmu kalam dalam dunia Islam cenderung menjadi sebuah ilmu yang mengandung muatan rasional, disamping muatan naqliyah. Jika tidak diimbangi oleh kesadaran rohaniyah, ilmu kalam dapat bergerak kearah yang lebih liberal dan bebas. Disinilah ilmu tasawuf berfungsi memberi muatan rohaniyah, sehingga ilmu kalam tidak dikesani sebagai dialektika keislaman belaka, yang kering dari kesadaran penghayatan atau sentuhan secara qabliyah (hati).
Untuk melihat lebih lanjut hubungan antara ilmu tasawuf dan ilmu kalam, alangkah baiknya menengok paparan Al-Ghazali. Dalam bukunya yang berjudul Asma al-Husna, Al-Ghazali menjelaskan dengan baik persoalan tauhid kepada Allah, terutama ketika menjelaskan nama-nama Allah, materi pokok ilmu tauhid. Menurutnya nama Tuhan Ar-Rahman dan Ar-Rahim, pada aplikasi rohaniyah-nya merupakan sebuah sifat yang harus diteladani. Jika sifat Ar-Rahman diaplikasikan, seseorang akan memandang orang yang durhaka dengan kelembutan bukan kekasaran, melihat orang dengan rahim, bukan dengan mata yang menghina, bahkan ia mencurahkan ke-rahim-annya kepada orang yang durhaka agar dapat diselamatkan. Jika melihat orang lain menderita atau sakit, orang yang rahim akan segera menolongnya.[22] Nama lain Allah yang patut diteladani ialah al-Qudus (Maha Suci). Seorang hamba akan suci kalau berhasil membebaskan pengetahuan dan kehendaknya dari khayalan dan segala persepsi yang dimiliki binatang.[23] Dengan ilmu tasawuf, semua persoalan yang berada dalam kajian ilmu tauhid (ilmu kalam) lebih bermakna, tidak kaku, tetapi lebih dinamis dan aplikatif.
D.    Konklusi
Baik ilmu kalam, filsafat maupun tasawuf berurusan dengan hal yang sama, yaitu kebenaran ilmu kalam, dengan metodenya sendiri berusaha mencari kebenaran tentang Tuhan dan yang berkaitan dengan-Nya. Filsafat dengan wataknya sendiri pula, berusaha menghampiri kebenaran, baik kebenaran tentang alam maupun kebenaran tentang manusia (yang belum atau tidak dapat dijangkau oleh ilmu pengetahuan karena berada diluar atau diatas jangkauannya), atau tentang Tuhan. Sementara itu, tasawuf juga dengan metodenya yang tipikal berusaha menghampiri dengan perjalanan spirituan menuju Tuhan.


Referensi:

Abdul Rozak dan Rosihan Anwar. (2007). Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.
Adeng Muchtar Ghozali. (2005). Perkembangan Ilmu Kalam dari Klasik Hingga Modern. Bandung: Pustaka Setia.
Ahmad Hanafi. (1990). Theology Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Al-Ghazali. (1996). Al-Maqhad Al-Asna Fi Syarh Al-Asma Allah Al-Husna, terj. Ilyas Hasan. Mizan, Bandung.
Asep Saifuddin Chalim. (2012). Membumikan Aswaja; Pegangan Guru NU. Surabaya: Khalista.
Aqis Bil Qisthi. (2004). Hakekat Tasawuf, Thoriqot dan Ma’rifat. Surabaya: Himmah Jaya.
Harun Nasution. (1986). Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa dan Perbandingan. Jakarta: UI Press.
Imam Al-Ghazali. (2009). Ensiklopedi Tasawuf. Terj. Abdul Mujib dkk., dengan judul: Mudah Memahami dan Menjalankan Kehidupan Spritual. Bandung: Mizan Publika.
Maftukhin. (2012). Filsafat Islam. Yogyakarta: Teras.
Mohammad Adib. (2014). Filsafat Ilmu; Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan Logika Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nur Sayyid Santoso Kristeva. (2014). Sejarah Teologi Islam dan Akar Pemikiran Ahlussunnah Wal Jama’ah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani. (1979). Falsafat Pendidikan Islam, (terj.) Hasan Langgulung dari judul asli Falsafat al-Tarbiyah al-Islamiyah. Jakarta: Bulan Bintang.
Sahilun A. Nasir. (2010). Pemikiran Kalam. Jakarta: Raja Grafindo.
Solihin dan Rosihon Anwar. (2008). Ilmu Tasawuf Untuk Mata Kuliah Ilmu Tasawuf di Seluruh Jurusan PTAIN Dan PTAIS. Bandung: Pustaka Setia.
Triyoga A. Kuswanto. (2007). Jalan Sufi Nurcholish Madjid. Yogyakarta: Nuansa Aksara.
W. Montgomery Watt. (1987). Pemikiran Teologi Islam dan FIlsafat Islam, Terj. Umar Basalim. Jakarta: P3M.



[1] Adeng Muchtar Ghozali, Perkembangan Ilmu Kalam dari Klasik Hingga Modern, Cet. I, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), hlm. 19.
[2] Imam Al-Ghazali, Ensiklopedi Tasawuf. Terj. Abdul Mujib dkk., dengan judul: Mudah Memahami dan Menjalankan Kehidupan Spritual, Cet I, (Bandung: Mizan Publika, 2009), hlm. 190.
[3] Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf Untuk Mata Kuliah Ilmu Tasawuf di Seluruh Jurusan PTAIN Dan PTAIS, Cet. I. (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 95.
[4] Abdul Rosak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam untuk UIN, STAIN, PTAIS, Cet. IV, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm. 14-15.
[5] Maftukhin, Filsafat Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 1.
[6]  Mohammad Adib, Filsafat Ilmu; Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan Logika Ilmu Pengetahuan, Cet. III, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), hlm. 37.
[7] Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani, Falsafat Pendidikan Islam, (terj.) Hasan Langgulung dari judul asli: Falsafat al-Tarbiyah al-Islamiyah, Cet. I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 25.
[8] Asep Saifuddin Chalim, Membumikan Aswaja; Pegangan Guru NU, (Surabaya: Khalista, 2012), hlm. 109. Maksud baju wol adalah pakaian bagi kaum sufi yang menggunakan bulu domba (suf/ wol) untuk menampakkan aspek lahiriyah keadaan mereka. Kata Mir Faliuddin, karena mereka tidak memakai pakaian yang halus disentuh atau indah dilihat untuk meneyenangkan jiwa, namun mereka memakai pakaian hanya untuk menutupi ketelanjangan mereka dengan bahan yang terbuat dari kain bulu dan wol kasar. Ada indikasi bahwa pakaian wol menurut mereka adalah berasal dari kebiasaan zuhud Nabi Isa dan Nabi Daud yang tampak sekali pada praktik ke-zuhud-an dari para zahid. Lihat: Triyoga A. Kuswanto, Jalan Sufi Nurcholish Madjid, Cet. I, (Yogyakarta: Nuansa Aksara, 2007), hlm. 35.
[9] Aqis Bil Qisthi, Hakekat Tasawuf, Thoriqot dan Ma’rifat, Cet. I, (Surabaya: Himmah Jaya, 2004), hlm. 9.
[10] Triyoga A. Kuswanto, Op. Cit., hlm. 40.
[11] Ibid., hlm. 41.
[12] Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa dan Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 5.
[13] Nur Sayyid Santoso Kristeva, Sejarah Teologi Islam dan Akar Pemikiran Ahlussunnah Wal Jama’ah, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), hlm. 2.
[14] W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi Islam dan FIlsafat Islam, Terj. Umar Basalim, (Jakarta: P3M), hlm. 10.
[15] Ahmad Hanafi, Theology Islam, Cet. VIII, (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), hlm. 6-7.
[16] Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam, Cet. I, (Jakarta: Raja Grafindo, 2010), hlm. 36.
[17] Ahmad Hanafi, Op. Cit., hlm. 11-12.
[18] Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, Cet. I, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hlm. 39.
[19] Ibid., hlm. 42-44.
[20] Ibid., hlm. 43.
[21] Ibid., hal. 46.
[22] Al-Ghazali, Al-Maqhad Al-Asna Fi Syarh Al-Asma Allah Al-Husna, terj. Ilyas Hasan, (Mizan, Bandung, 1996), hlm. 73-74.
[23] Ibid., hlm. 80.
Previous Post
Next Post

Penulis yang mengabdikan tulisannya bagi amal jariyah pemikiran. Tokoh favorit sekaligus panutannya adalah Gus Dur