Prawacana
Historisitas gerakan mahasiswa baik di tengah pergulatan politik, sosial maupun budaya tidak diragukan lagi eksistensinya. Pasalnya, gerakan mahasiswa di dalamnya mengandung makna gerakan moral (moral force). Itulah sebabnya romantika gerakan mahasiswa selalu berada di dalam senandung garda terdepan melawan segala bentuk ketertindasan, penyelewengan dan kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh elit pemerintah maupun penguasa. Gerakan mahasiswa juga telah membuahkan suatu konsepsi romantik yang hingga kini menjadi jargon romantisisme bahwa mahasiswa adalah dinamisator perubahan melalui gerakan sosial (social force) maupun moral force yang telah dilakoninya.
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) atau yang kita kenal dengan Indonesian Moslem Student Movement merupakan salahsatu organisasi mahasiswa terbesar di Indonesia. Misi dasar PMII adalah manifestasi dari komitmen keislaman dan keindonesiaan sebagai perwujudan kesadaran beragama, berbangsa dan bernegara. Dengan kesadaran ini, sehingga PMII memposisikan diri sebagai eksponen pembaharu bangsa dan pengemban misi intelektual yang berkewajiban serta bertanggungjawab mengemban komitmen keislaman dan keindonesiaan demi meningkatkan harkat dan martabat umat manusia, membebaskan bangsa Indonesia dari kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan baik spiritual maupun material dalam segala bentuk.[1] Sedangkan tujuan dan visi-misi dari PMII adalah terbentuknya pribadi muslim Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, cakap dan bertanggungjawab dalam mengamalkan ilmunya dan komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia.[2]
Dari visi dan misi serta tujuan PMII di atas, sebanding dengan bergulirnya perjalanan dan kontribusi gerakan PMII bagi perubahan bangsa ini. Ini semua dapat dilihat dari kontribusi gerakan PMII dalam konteks kebangsaan dan keislaman, di mana PMII selalu dan senantiasa melakukan gugatan dan perubahan penting terhadap suatu tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini artinya bahwa dinamika perubahan dan perjalanan bangsa ini sebenarnya tidak luput dari kontribusi atas peran dan tanggungjawab gerakan sosial-moral yang telah dilakukan PMII bagi bangsa ini.
Kilas Historis Lahirnya PMII
Secara singkat, historisitas berdirinya PMII tidak lain adalah kemauan keras para mahasiswa Nahdliyyin untuk membentuk suatu wadah organisasi mahasiswa yang berhaluan Ahlusunnah wal Jamaah (Aswaja). Tepatnya, PMII itu lahir pada 17 April 1960, atau 21 Syawal 1379 H; yang kemudian ditetapkan sebagai hari lahir (Harlah) PMII. Reformulasi dan reorientasi gerakan awal PMII adalah gerakan underbow NU baik secara struktural maupun fungsionarisnya, yang karena memang situasi politik saat itu masih panas, sangat wajar jika gerakan awal PMII masih cenderung berbau politik praksis; hal ini terjadi hingga tahun 1972.[3] Komitmen PMII kepada Jam’iyyah Nahdlatul Ulama adalah tidak bisa ditawar lagi, karena secara geneologis PMII itu lahir dari rahim NU. Sehingga, keterlibatan PMII di masa-masa awal berdirinya memposisikan diri sebagai penyokong Partai NU adalah suatu keharusan.
Keterlibatan PMII dalam dunia politik praksis (Pemilu 1971) ternyata berakibat fatal dan berbuah kemunduran dalam segala aspek gerakannya. Kondisi ini kemudian membawa penyadaran bagi PMII untuk mengkaji ulang orientasi gerakannya, yang akhirnya pada Musyawarah Besar II ( 16 juli 1972) mencetuskan ‘Deklarasi Independen’ di Murnajati, Lawang, Malang-Jawa Timur; yang dikenal dengan Deklarasi Murnajati.[4] Sejak saat inilah kemudian secara formal-struktural PMII terpisah dari NU, dan dengan tegas pula PMII menyatakan independen dari NU.[5] Tujuannya adalah agar PMII bisa membuka akses sebesar-besarnya sebagai organisasi independen tanpa harus berpihak kepada partai politik apapun dan manapun. Independensi gerakan ini terus dipertahankan, hingga kemudian dipertegas lagi pada Kongres V di Ciloto, Jawa Barat pada 23 Desember 1973.
Bentuk independensi PMII merupakan respon terhadap pembangunan dan modernitas negara-bangsa (nation state), dengan menjunjung tinggi nilai etik-moral dan idealisme yang dijiwai oleh ajaran Islam Aswaja. Reformulasi gerakan PMII kemudian dilakukan pada Kongres X PMII pada 27 Oktober 1991 di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, yang berkeinginan untuk mempertegas kembali hubungan PMII dengan Jam’iyyah NU, yang kemudian melahirkan pernyataan ‘Deklarasi Interdependensi PMII-NU’.[6] Deklarasi ini tidak lain adalah kesaling-tergantungan antara PMII-NU, dan sebagai bukti bahwa PMII tidak akan bisa meninggalkan komitmennya terhadap Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.
Perspektif Gerakan PMII: Gerakan Sosial dan Intelektual
Sejarah gerakan mahasiswa di hampir seluruh wilayah di belantara Indonesia, PMII hadir di tengah kerumunan politik, budaya dan ekonomi. Pada wilayah ini, PMII turut serta mengawal persoalan-persoalan lokal yang tidak memihak pada kepentingan rakyat. Dengan kata lain, PMII memiliki daya dorong yang luar biasa dalam mengawal gagasan transformasi menuju masyarakat demokratis-nondiskrimatif. Sementara itu, PMII di level Jawa Tengah yang terdapat 20 Cabang di Kabupaten ataupun Kota di bawah Koordinasi Pengurus Koordinator Cabang (PKC) PMII Jawa Tengah, dan setiap Cabang PMII membawahi kampus yang menjadi basis kaderisasi di lokalitas kampusnya masing-masing. Tatkala mereka melakukan gerakan, kekuatan basis kader ini menjadi modal besar untuk melakukan transformasi sosial, khususnya di level Jawa Tengah.
Sedangkan dalam skala nasional, gerakan PMII telah mengawal perjalanan bangsa. Sejak tahun 90-an, PMII menisbatkan diri mengenalkan gagasan kritis-solutif sembari tranformatif. Keterlibatan PMII dalam mengawal gagasan ini ditandai dengan tumbangnya rezim orde baru, karena dianggap tidak membela kepentingan bersama. Sehingga, PMII kerap kali memposisikan dirinya vis a vis dengan kekuatan negara, dan eksistensinya senantiasa sebagai pelindung bagi kelompok masyarakat yang tertindas. Kelompok mahasiswa kritis ini, kerap kali memandang fakta yang terjadi di masyarakat (kemiskinan dan kebodohan) adalah akibat kebringasan negara. Sementara itu, PMII menjadi kekuatan yang senantiasa mengawal masyarakat untuk meneriakkan ke-dzhalim-an penguasa.
Spesifiknya, menjelang era keruntuhan orde baru PMII mulai mengubah paradigma gerakannya menggunakan kerangka Paradigma Kritis Transformatif (PKT). Kerangka paradigmatik ini menjadi babak baru bagi PMII. Sebelumnya, PMII kerap kali mengawal perubahan di tingkat masyarakat, hanya saja belum sempat mentransformasikan pada pihak kebijakan (stake holders). Perkembangan pemikiran PMII menjelang momentum ini lebih strategis, bukan lagi taktis an sich. Formulasi PKT ini disinyalir menjadi sintesa atas gerakan yang selama ini dilakukan, yakni vis a vis dengan negara. Oleh karena itu, dengan lahirnya pendekatan baru ini PMII mampu melahirkan narasi gerakan yang taktis-strategis.
Secara umum, gerakan PMII lebih bersifat plural, terbuka dan apresiatif terhadap hal-hal baru, tetap merakyat dan sosial. Jika dilihat secara kasat mata, gerakan PMII kecenderungannya lebih pada revolusioner-radikal, akan tetapi sejatinya bahwa gerakan PMII ini tetap ada kendali dan tidak keluar dari frame gerakan. Pasalnya, gerakan PMII ini lebih dijabarkan pada sikap toleransi yang tinggi dan penghormatan pada hak-hak asasi dengan terus-menerus belajar serta melakukan eksperimentasi dan konsistensinya pada penguatan masyarakat sipil (civil society).
Di samping gerakan praktis-revolusioner tersebut di atas, PMII juga telah melakukan kegiatan-kegiatan diskursus wacana terkait dengan isu-isu penting, seperti Islam transformatif, demokrasi dan pluralisme, civil society, masyarakat komunikatif, teori kritik dan post modernism. Dengan wacana-wacana tersebut, PMII dikatakan sebagai organisasi mahasiswa paling dinamis dan seimbang dalam hal perdebatan intelektual. Karena kader PMII secara input mayoritasnya memiliki penguasaan wacana keilmuan yang bersifat tradisional. Selain itu, wacana PMII juga memperlihatkan minat yang begitu besar terhadap pemikiran kiri dan tokoh kiri Islam yang radikal seperti Hasan Hanafi, Asghar Ali Engineer, Ali Syariati dan masih banyak lagi. Dalam hal diskursus yang lain, wacana dalam PMII masuk dalam pokok persoalan dan permasalahan tentang keterbelakangan negara Dunia Ketiga, masalah keadilan ekonomi, hak asasi termasuk di dalamnya juga hak-hak perempuan dalam Islam.
Gairah dan semangat wacana intelektual yang ditampilkan PMII di atas, bisa dibilang bahwa diskurus wacana dalam PMII senantiasa mengalami lompatan yang begitu jauh. Karena jika flash back input mayoritas kader PMII adalah kelompok pinggiran yang cenderung lekat dengan tradisi (baca; kolot). Namun kini stereotip ini tidak layak menjadi predikat bagi PMII. Pasalnya, PMII justru memiliki khazanah pemikiran yang moderat, bukan lagi tradisional, dan tak jarang melampui batas-batas tradisi yang dilekatkan padanya. Dalam perkembangannya, formulasi corak pemikiran kelompok muda ini menjadi Post Tradisional.[7]
Selanjutnya, yang menarik dari gerakan intelektual PMII adalah dalam mengembangkan dan mengapresiasi gagasan-gagasan baru dengan berpijak pada tradisi intelektualnya yang kaya. Pengembangan gagasan tentang hak asasi, gender, demokratisasi, lingkungan dan lain sebagainya, selanjutnya oleh PMII dicari perbandingannya dari berbagai sumber, kemudian dipertemukan dengan kekayaan dan kapasitasnya masing-masing. Dalam penerapannya kemudian menggunakan idiom-idiom sendiri untuk memberikan warna pada gagasan baru tersebut. Dengan demikian, maka terdapat kontinuitas yang jelas dalam ranah gerakan intelektual dengan tradisi dengan visi yang hendak dibangun oleh PMII.
Fenomena yang sangat menarik dan patut untuk diapresiasi dari out put beberapa kader PMII yang concern-nya lebih pada diskursus pengembangan wacana intelektual, telah muncul sederet nama yang begitu menonjol dan tidak asing di telinga kita, seperti A. Qodri Azizy,[8] Nazarudin Umar, Abdurrahman Mas’ud, Nur Syam, Ahmad Mubarok, M. Ridlwan, Syaikhul Hadi Permono, Ulil Abshar Abdalla, Ahmad Baso, Thoma Hamim, dan masih banyak lagi.[9] Sederetan nama-nama tersebut, untuk saat ini mereka berada pada puncak dunia akademis. Itu semua tidak terlepas dari karya-karya yang dihasilkannya, dan tentunya tidak diragukan lagi kapasitas keilmuan dan intelektual yang mereka miliki.
Perihal yang harus dicatat dari semua pemikiran dan gerakan diskursus wacana yang dilakukan mayoritas kader PMII adalah berangkat dari pergulatan pemahaman terhadap ajaran Islam yang harus berpihak pada kemanusiaan dan keadilan sebagaimana perjuangan PMII. Jadi, sangat jelas bahwa objek yang diperbaharui oleh PMII adalah tradisi pemikiran. Selain itu, jelas arahannya, yaitu pembebasan rakyat dari berbagai macam belenggu, keterbelakangan dan ketertindasan, serta jelas pula tinjauannya, yakni demi kemaslahatan rakyat maupun umat secara keseluruhan.
Refleksi Untuk PMII
Dari uraian dan penjelasan tersebut di atas bahwa potret perjalanan PMII semenjak lahirnya (tahun 1960) hingga kini (tahun 2017) telah memberi kontribusi besar dan nyata dalam mengawal kehidupan politik, kebangsaan dan keislaman. Dalam rentang waktu itu, PMII telah menorehkan sejarah besar dalam pergulatannya, yaitu ikut mengawal kehidupan sosial-politik kebangsaan. Di samping itu juga bahwa PMII menjadi bagian dari generasi muda yang senantiasa mendorong terwujudnya demokratisasi yang selaras dengan prinsip keadilan. Pijakan nilai inilah yang menjadi landasan PMII ikut mengawal proses tersebut.
Dari segi usia, PMII telah memasuki usianya yang ke 57 tahun. Dengan usia ini tentu bukanlah usia yang muda lagi. Jika ibarat manusia, dengan usia itu adalah sudah memasuki kematangan hidup. Sudah selayaknya PMII hari ini telah matang dalam hal perdebatan intelektualitas dan gerakan-gerakan sosial yang dilakoninya.
Sayogyanya, PMII harus mampu tampil dengan formasi terbaik dalam mendukung terwujudnya kehidupan yang adil dan sejahtera. Oleh karenanya, dalam rangka menjembatani transisi ruang dan waktu ini, menjadi hal penting bagi PMII untuk mengevaluasi rekam jejak sejarahnya dan memformulasikan kembali orientasi gerakannya demi menjawab berbagai tantangan zaman dan kehidupan yang semakin hari semakin kompleks seperti sekarang ini.[]
Referensi
Adnan Mahmud, dkk. (Ed.). (2012). Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Agus M Herlambang (ed.). (2013). Hasil-hasil Musyawarah Pimpinan Nasional Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Tahun 2012. Jakarta: PB PMII 2011-2013.
Bidang Aparatur Organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia. (2012). Buku Konstitusi; Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga dan Peraturan-Peraturan Organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, Jakarta: PB PMII.
Modul Pelatihan Kader Dasar (PKD). (2010). Penguatan Basis Intelektual, Mental & Moral Kader Guna Memperkokoh Massifitas Gerakan. Yogyakarta: PMII Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Nur Sayyid Santoso Kristeva (Edisi Digital). (2012). Manifesto Wacana Kiri; Membangun Solidaritas Organik. Cilacap: PMII Jaringan Inti Ideologis.
Nur Syam. (2013). Tantangan Multikulturalisme Indonesia. Yogyakarta: Kanisius
Toko NU Online. (2015). Mengenal Prof. Qodri Azizy, dalam http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,2-id,57096-lang,id-c,daerah-t,Mengenal+Prof+Qodri+Azizy-.phpx.
[1] Bidang Aparatur Organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, Buku Konstitusi; Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga dan Peraturan-Peraturan Organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, (Jakarta: PB PMII, 2012), hlm. 2.
[2] Agus M. Herlambang (ed.), Hasil-Hasil Musyawarah Pimpinan Nasional Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Tahun 2012, (Jakarta: PB PMII 2011-2013), hlm. 39.
[3] Nur Sayyid Santoso Kristeva (Edisi Digital), Manifesto Wacana Kiri: Membangun Solidaritas Organik, (Cilacap: PMII Jaringan Inti Ideologis , 2012), hlm. 86.
[4] Modul Pelatihan Kader Dasar (PKD), Penguatan Basis Intelektual, Mental & Moral Kader Guna Memperkokoh Massifitas Gerakan, (Yogyakarta: PMII Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2010), hlm. 10.
[5] Nur Syam, Tantangan Multikulturalisme Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 2013), hlm. 248.
[6] PMII dan NU mempunyai persamaan-persamaan dalam persepsi keagamaan dari perjuangan, visi sosial kemasyarakatan dan ikatan historis. Maka, untuk menghilangkan keragu-raguan, ketidakmenentuan dan kesaling-curigaan, sebaiknya untuk menjalin kerjasama program secara kualitatif dan fungsional baik secara program nyata maupun penyiapan SDM, PMII menyatakan siap untuk meningkatkan kualitas hubungan dengan NU atas dasar prinsip kedaulatan organisasi penuh, interdependensi dan tidak intervensi secara struktural dan kelembagaan, serta prinsip mengembangkan masa depan Islam Aswaja di Indonesia.
[7] Lebih jauh dan jelasnya, silahkan baca buku: Adnan Mahmud, dkk. (Ed.), Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 62-76.
[8] Semasa kuliah, menjadi Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Syariah dan menjadi anggota Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia. Ini karena Prof. Qodri Azizy selain intelektual, dia dikenal sebagai penulis produktif. Di antara karya yang fenomenal adalah buku berjudul: 'Reformasi Birokrasi'. Lihat: Toko NU Online, Mengenal Prof. Qodri Azizy dalam: http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,2-id,57096-lang,id-c,daerah-t,Mengenal+Prof+Qodri+Azizy-.phpx. (Diakses: Selasa, 20/01/2015 03:02)
[9] Nur Syam, Op. Cit., hlm. 249.