Prawacana
Sebagaimana kita
ketahui bahwa Islam dalam realitas sejarah tidaklah sempit dan eksklusif
seperti yang dipahami pada umumnya. Dengan bersumber pada ajaran pokoknya
(al-Qur’an dan hadits), Islam mampu berhubungan langsung dan adaptif dengan
masyarakat secara luas. Tidak hanya dengan budaya lokal masyarakat an sich, Islam juga telah mampu melakukan
persentuhan langsung dengan berbagai disiplin ilmu. Dari persentuhan tersebut,
lahirlah berbagai disiplin ilmu dalam
Islam, seperti ilmu Kalam (teologi), Filsafat dan Tasawuf.
Baik ilmu kalam,
filsafat maupun tasawuf itu semua merupakan disiplin ilmu dalam Islam yang
lahir atas persentuhan Islam secara langsung dengan berbagai masalah sosio-kultural
yang berkembang dalam masyarakat pada masa itu, yang selanjutnya berkembang
mencari dan mempertahankan suatu kebenaran. Dari semua disiplin ilmu-ilmu
tersebut, muncul juga para tokoh dan pakar keilmuan yang bernuansa Islam.
A.
Pengertian
1.
Ilmu Kalam
Secara harfiyah, "kalam" berarti pembicaraan atau perkataan. Di dalam lapangan pemikiran Islam, istilah "kalam" memiliki dua pengertian, sabda Allah (The
word of god) dan ilm al-kalam (The
science of kalam).[1]
Sedangkan dari segi etimologis, perkataan ilmu kalam terdiri
atas dua kata, yaitu "ilmu" yang berarti pengetahuan, dan "kalam" yang berarti perkataan, percakapan, firman. Ilmu kalam ini digunakan
sebagai istilah ilmu yang membahas atau membicarakan hal-hal yang berkaitan
dengan akidah Islam, yaitu tentang wujud Tuhan dan sifat-sifat yang
memungkinkan ada pada-Nya, membicarakan para Rasul Tuhan untuk menetapkan
kerasulannya, dan mengetahui sifat-sifat yang pasti ada padanya, sifat-sifat
yang tidak mungkin ada padanya, serta sifat-sifat yang mungkin ada padanya.[2]
Ilmu kalam merupakan disiplin ilmu keislaman yang banyak mengedepankan
pembicaraan tentang persoalan-persoalan kalam Tuhan. Persoalan-persoalan kalam
tersebut biasanya mengarah sampai perbincangan yang mendalam dengan dasar-dasar
dan argumentasi, baik argumentasi rasional (aqliyah)
maupun naqliyah.[3]
Musthafa Abdul Raziq, ilmu kalam menurutnya
adalah ilmu yang berkaitan dengan akidah imani, yang sesungguhnya dibangun di atas argumentasi-argumentasi rasional. Atau, ilmu yang
berkaitan dengan akidah Islami yang bertolak atas bantuan nalar. Kemudian
Al-Farabi, ilmu kalam menurutnya adalah disiplin ilmu yang membahas tentang
dzat dan sifat Allah beserta eksistensi semua yang mungkin, mulai yang
berkenaan dengan masalah dunia sampai masalah sesudah mati yang berdasarkan
doktrin Islam. Stressing akhirnya
adalah memproduksi ilmu ketuhanan secara filosofis. Sedangkan Ibnu Khaldun
menjelaskan bahwa ilmu kalam adalah disiplin ilmu yang mengandung berbagai
argumentasi tentang akidah imani yang diperkuat dalil-dalil rasional.[4]
Dari beberapa uraian dan penjelasan di atas, dapat disimpulkan secara
sederhana bahwa ilmu kalam yaitu ilmu yang membahas berbagai masalah ketuhanan
dengan menggunakan argumentasi logika atau filsafat. Pengertian kalam
secara maknawiyah atau secara
metodologis lebih mendekati kepada pengertian keilmuan. Jadi, bisa dikatakan di sini
bahwa Ilmu kalam adalah Ilmu yang menggali keislaman yang didasarkan atas
argumen-argumen logis dan rasional, terutama yang berkaitan dengan kalam illahi yang dihubungkan dengan beberapa
persoalan manusia, seperti baik dan buruk, kebebasan berkehendak, mukmin dan
kafir maupun dengan alam semesta yang berkenaan dengan kebenaran dan keqadiman
alam ini.
2.
Ilmu Filsafat
Kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta, dan kata sophos yang berarti suatu kebijaksanaan atau sophia yang berarti kebijaksanaan, pengetahuan, keahlian, pengalaman praktis,
intelegensi.[5]
Secara singkat dapat dikatakan bahwa filsafat adalah cinta akan kebijaksanaan
atau love of wisdom dalam arti yang
sedalam-dalamnya.[6]
Dalam hubungan ini, Al-Syaibani berpendapat bahwa filsafat bukanlah hikmah itu
sendiri, melainkan cinta terhadap hikmah dan berusaha mendapatkannya,
memusatkan perhatian padanya, dan menciptakan sikap positif terhadapnya. Dalam
konteks ini, ia juga mengatakan bahwa filsafat berarti mencari hakikat sesuatu,
berusaha menautkan sebab dan akibat, serta berusaha menafsirkan
pengalaman-pengalaman manusia.[7]
Oleh karena itu, penulis cenderung untuk memberikan definisi secara
sederhana bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mengenai segala sesuatu
dengan memandang sebab-sebab terdalam dan tercapai dengan budi murni.
3.
Ilmu Tasawuf
Secara etimologi, kata
tasawuf adalah nisbah terhadap akar
kata ‘shuf’ (baju wol), sehingga memiliki
arti memakai baju wol.[8]
Tasawuf dapat diartikan sebagai jalan
untuk memperoleh kecintaan dan kesempurnaan rohani. Selain itu, dapat pula
diartikan berpindah dari kehidupan biasa menjadi kehidupan shufi (yang disucikan) yang selalu tekun beribadah dan jernih,
bersih jiwa dan hatinya serta ikhlas karena Allah SWT semata-mata.[9]
Menurut Moh Abdai Rathomi, tasawuf maksudnya adalah secara pokok hendak
membersihkan penyakit hati yang buruk-buruk, lalu diganti dengan hati yang
baik-baik dan mulia.[10] Sedangkan
Ibnu Khaldun menjelaskan, tasawuf adalah semacam ilmu syari’ah yang timbul
kemudian di dalam agama. Asalnya ialah bertekun ibadah dan memutuskan pertalian
dengan segala sesuatu selain Allah, hanya menghadap Allah semata, menolak
hiasan-hiasan dunia serta membenci perkara-perkara yang selalu memperdaya orang
banyak, kelezatan harta benda dan kemegahan, dan menyendiri menuju jalan Tuhan
dalam khalwat dan ibadah.[11]
Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas, penulis berpandangan
secara sederhana bahwa tasawuf merupakan bentuk penyucian diri, di dalamnya
terkandung makna yang dalam, yakni upaya keras manusia untuk mempererat
hubungan vertikal antara dirinya dengan Sang Khalik, dimensi hubungan tersebut
berada di luar orbit lahiri, namun
mengambil tempat dalam dimensinya yang esoteris
sesuai dengan sifat Tuhan sebagai dzat Yang Maha Ghaib dari segala yang ghaib.
B.
Sejarah Ilmu Kalam
Munculnya ilmu kalam
sebenarnya adalah persoalan teologi atau agama. Pada masa Rasulullah Saw dan
Sahabat, belum dikenal secara leksikal yang namanya ilmu kalam, namun biasa
disebut mengenai persoalan ketuhanan itu dengan tauhid atau teologi. Persoalan
yang pertama-tama timbul dalam Islam terutama setelah Rasulullah Saw wafat
adalah persoalan politik yang akhirnya meningkat menjadi persoalan teologi.
Untuk memperjelas hal tersebut, perlulah kita untuk flash back kembali
mengenai sejarah Islam, khususnya fase perkembangan Islam yang pertama.
Di Mekkah, Nabi Muhammad Saw hanya
sebagai pemuka agama, sedangkan di Yasrib selain menjadi pemuka agama beliau
juga menjadi pemimpin negara. Beliaulah yang mendirikan kekuasaan politik yang
dipatuhi di kota ini. Ketika beliau wafat pada 632 M, daerah kekuasaan Madinah tidak
hanya terbatas pada kota itu saja, tetapi boleh dikatakan meliputi seluruh
Semenanjung Arabia. Islam di waktu itu, seperti digambarkan oleh W.M. Watt,
telah merupakan kumpulan suku-suku bangsa Arab, yang mengikat tali persekutuan
dengan Nabi Muhammad dalam berbagai bentuk dengan masyarakat Madinah dan
mungkin juga masyarakat Mekkah sebagai intinya.[12]
Islam sendiri, seperti kata
R. Strothman, disamping merupakan sistem agama juga merupakan sistem politik,
dan Nabi Muhammad Saw disamping Rasul telah pula menjadi seorang ahli. Jadi,
wajar saja ketika Rasulullah Saw wafat, selain penguburan Rasulullah, umat
Islam sibuk memikirkan siapa pengganti Nabi. Dengan berbagai permusyawarahan
dipilihlah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Setelah beliau wafat, kemudian digantikan
oleh Umar bin Khattab, dan selanjutnya digantikan oleh Usman bin ‘Affan.
Munculnya
Ilmu Kalam, sebenarnya
dapat dilacak mulai dari sini. Dimana ilmu kalam itu muncul dipicu oleh persoalan politik yang menyangkut
peristiwa pembunuhan ‘Utsman bin Affan yang berbuntut pada penolakan
Mu’awiyah atas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib.
Ketegangan antara Mu’awiyah dan Ali bin Abi Tholib mengkristal menjadi Perang
Shiffin yang berakhir dengan keputusan tahkim (arbitrase), yakni tawaran yang diusulkan untuk memecah kubu Ali menjadi dua
bagian, yaitu Syi’ah dan Khawarij.
Sikap
Ali yang menerima tipu muslihat Amr bin Ash—utusan dari pihak Mu’awiyah dalam tahkim—ia dalam keadaan terpaksa, itu
tidak disetujui oleh sebagian tentaranya dalam arti menentang. Mereka memandang
Ali bin Abi Tholib telah berbuat salah sehingga mereka meninggalkan barisannya.
Dalam sejarah Islam, mereka terkenal dengan sebutan Khawarij, yaitu orang yang
keluar dan memisahkan diri.[13] Sedangkan, sebagian besar pasukan yang membela dan
tetap mendukung Ali menamakan dirinya sebagai kelompok Syi’ah.
Harun Nasution, lebih lanjut melihat
bahwa persoalan kalam yang pertama kali muncul adalah persoalan siapa yang
kafir dan siapa yang bukan kafir. Dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam
dan siapa yang masih tetap dalam Islam. Khawarij sebagaimana telah disebutkan,
memandang bahwa orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim, yakni Ali, Mu’awiyah, Amr Bin Ash, Abu Musa Al-Asy’ari
adalah kafir menurut mereka (Khawarij).[14]
Hal-hal yang terjadi pada
masa Sahabat tersebut, sangat berpengaruh pada perkembangan tauhid, terutama
lahir dan tumbuhnya aliran-aliran teologi dalam Islam. Aliran-aliran inilah
yang pada akhirnya membicarakan beberapa persoalan teologis, yaitu status dan
nasib pelaku dosa besar, perbuatan manusia dan kaitannya dengan perbuatan Tuhan,
sifat-sifat Tuhan dan lain sebagainya. Persoalan-persoalan inilah yang
dikemudian hari menjadi materi atau pembahasan dalam ilmu kalam dan
aliran-aliran teologi yang lahir dalam Islam merupakan paham yang timbul
akibat perbedaan cara memahami materi atau pembahasan tersebut.
Adapun faktor-faktor penyebab
ilmu kalam dapat dijelaskan kedalam dua faktor utama, yaitu faktor internal dan
eksternal. Adapun pembahasannya adalah sebagai berikut:
1.
Faktor Internal
a.
Al-Qur’an
disamping ajakannya kepada tauhid dan mempercayai kenabian dan hal-hal lain yang
berhubungan dengan itu, al-Qur’an juga menyinggung golongan-golongan dan
agama-agama yang ada pada masa Nabi Muhammad Saw yang mempunyai kepercayaan-kepercayaan
yang tidak benar. Al-Qur’an tidak membenarkan kepercayaan mereka dan membantah alasan-alasannya antara lain:
1) Golongan yang mengingkari agama
dan adanya Tuhan, dan mereka mengatakan bahwa yang menyebabkan kebinasaan dan
kerusakan hanyalah waktu saja.
2) Golongan-golongan syirik, yang
menyembah bintang-bintang, bulan, matahari yang mempertuhan Nabi Isa dan
Ibunya yang menyembah berhala-berhala.
3) Golongan-golongan yang tidak percaya akan keutusan Nabi-Nabi dan tidak mempercayai
kehidupan kembali di akhirat nanti.
4) Golongan yang mengatakan bahwa
semua yang terjadi di dunia ini adalah dari perbuatan Tuhan semuanya dengan tidak ada campur tangan manusia yaitu orang-orang munafik.
Tuhan membantah alasan-alasan dan perkataan-perkataan mereka
semua dan juga memerintahkan Nabi Muhammad Saw untuk tetap menjalankan
dakwahnya sambil menghadapi alasan-alasan mereka yang tidak percaya dengan cara
yang halus.[15]
b.
Ketika
kaum muslimin telah selesai menaklukkan negeri-negeri baru, dan keadaan mulai
stabil serta melimpah ruah rizkinya, disinilah akal pikiran mereka mulai
memfilsafatkan agama, dan bersungguh-sungguh dalam membahasnya dan
mempertemukan nash-nash agama yang kelihatannya bertentangan. Keadaan
seperti ini hampir merupakan gejala umum
bagi tiap-tiap agama. Pada mulanya agama itu hanyalah kepercayaan yang
sederhana dan kuat, tidak perlu diperselisihkan dan tidak memerlukan
penyelidikan. Pemeluk-pemeluknya menerima bulat-bulat apa yang diajarkan agama,
kemudian dianutnya dengan sepenuh hatinya tanpa memerlukan penyelidikan dan
pemilfasatan. Setelah itu datang fase pemfilsafatan dan pemikiran dalam
membicarakan soal agama secara ilmiah dan filosofis. Kemudian tokoh-tokoh agama
mulai memakai filsafat untuk memperkuat hujjah-hujjah dan penjelasan-penjelasannya.
Inilah yang telah terjadi pada agama Yahudi maupun agama Nasrani.
c.
Sebab yang
ke tiga adalah soal-soal politik. Contoh yang paling jelas dalam persoalan
tersebut adalah masalah khilafah. Sebenarnya masalah khilafah itu adalah soal
politik belaka. Agama tidak mengharuskan kaum muslimin mengambil bentuk
khilafah dengan cara tertentu. Tetapi agama hanya memberikan ketentuan supaya
memperhatikan kepentingan umum. Wakil-wakil umat bisa membuat
peraturan-peraturan yang menjamin sebaik-baiknya cara dan menghilangkan
sebab-sebab pertikaian. Jika terjadi suatu perselisihan, maka perselisihan
tersebut adalah semata-mata soal politik. Oleh karena perselisihan politik
adalah faktor yang besar dari sebab-sebab perselisihan soal agama, kepercayaan,
dan perpecahan.[16]
2.
Faktor Eksternal
a.
Banyak
diantara pemeluk-pemeluk Islam yang mula-mula beragama Yahudi, Masehi dan
lain-lain, bahkan diantara mereka ada yang sudah pernah menjadi ulamanya.
Setelah fikiran mereka tenang dan sudah memegang teguh agama yang baru yaitu
Islam, mereka mulai mengingat-ingat kembali ajaran-ajaran agamanya yang dulu,
dan dimasukkannya didalam ajaran Islam. Karena itu, dalam buku-buku aliran dan
golongan Islam sering kita dapati pendapat-pendapat yang jauh dari ajaran Islam
sebenarnya.
b.
Golongan
Islam yang dahulu, terutama golongan Mu’tazilah memusatkan perhatiannya yang
terpenting adalah untuk dakwah Islam dan bantahan alasan orang-orang yang
memusihi Islam. Mereka tidak akan bisa menghadapi lawan-lawannya kalau mereka
sendiri tidak mengetahui pendapat-pendapat lawan-lawannya beserta
alasan-alasannya. Dengan demikian mereka menyelami pendapat-pendapat tersebut,
dan akhirnya Negeri Islam menjadi arena perdebatan bermacam-macam pendapat dan
bermacam-macam agama. Hal ini bisa mempengaruhi masing-masing pihak yang
bersangkutan. Salah satu seginya yang terang ialah penggunaan filsafat sebagai
senjata kaum muslimin.
c.
Faktor ketiga ini merupakan kelanjutan faktor kedua, yaitu para
mutakallimin hendak mengimbangi
lawan-lawannya menggunakan filsafat, terutama segi ketuhanan. Karena itu, Annazzam
(tokoh Mu’tazilah) membaca buku-buku Aristoteles dan membantah beberapa
pendapatnya. Demikian pula Abul Huzail al-Allaf (juga tokoh Mu’tazilah).[17]
C.
Hubungan Ilmu
Kalam, Filsafat dan Tasawuf
1.
Titik Persamaan
Ilmu Kalam, Filsafat dan tasawuf mempunyai kemiripan objek kajian. Objek
kajian ilmu kalam adalah ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan
dengan-Nya. Objek kajian filsafat adalah masalah ketuhanan disamping masalah
alam, manusia dan segala sesuatu yang ada. Sementara itu, objek kajian tasawuf
adalah Tuhan, yakni upaya-upaya pendekatan terhadap-Nya. Jadi, dilihat dari
aspek objeknya, ketiga ilmu itu membahas masalah yang berkaitan dengan
ketuhanan.[18]
Baik ilmu kalam, filsafat maupun tasawuf berurusan dengan hal yang sama,
yaitu kebenaran. Ilmu kalam, dengan metodenya sendiri berusaha mencari
kebenaran tentang Tuhan dan yang berkaitan dengan-Nya. Filsafat dengan wataknya
sendiri pula, berusaha menghampiri kebenaran, baik tentang alam maupun manusia (yang
belum atau tidak dapat dijangkau oleh ilmu pengetahuan karena berada diluar
atau diatas jangkauannya) atau tentang Tuhan. Sementara itu, Tasawuf—juga
dengan metodenya yang tipikal—berusaha menghampiri kebenaran yang berkaitan
dengan perjalanan spiritual menuju Tuhan.
2. Titik Perbedaan
Perbedaan diantara
ketiga ilmu (Ilmu kalam, filsafat dan tasawuf) tersebut terletak pada aspek
metodologinya ilmu kalam, sebagai ilmu yang menggunakan logika, berfungsi juga
untuk mempertahankan keyakinan ajaran agama, yang sangat tampak nilai-nilai
apologinya. Pada dasarnya ilmu ini menggunakan metode dialektika (jadaliyah) dikenal juga dengan istilah
dialog keagamaan. Sebagai sebuah dialog keagamaan, ilmu kalam berisi
keyakinan-keyakinan kebenaran agama yang dipertahankan melalui argumen-argumen
rasional. Sebagian ilmuwan bahkan mengatakan bahwa ilmu ini berisi
keyakinan-keyakinan kebenaran, praktek dan pelaksanaan ajaran agama, serta
pengalaman keagamaan yang dijelaskan dengan pendekatan rasional.
Sementara itu,
filsafat itu sebuah ilmu yang digunakan untuk memperoleh kebenaran rasional.
Metode yang digunakannya pun adalah metode rasional. Filsafat menghampiri
kebenaran dengan cara menuangkan (mengembarakan atau mengelanakan) akal budi
secara radikal (mengakar) dan integral (mengalami) serta universal (menyeluruh)
tidak merasa terikat oleh ikatan apapun, kecuali oleh ikatan tangannya sendiri
yang bernama logika. Peranan filsafat sebagaimana dikatakan Socrates adalah
berpegang teguh pada ilmu pengetahuan melalui usaha menjelaskan konsep-konsep.
Adapun ilmu tasawuf
adalah ilmu yang lebih menekankan rasa daripada rasio. Oleh sebab itu, filsafat
dan tasawuf sangat distingtif.
Sebagai sebuah ilmu yang prosesnya diperoleh dari rasa, ilmu tasawuf bersifat
sangat subyektif, yakni sangat berkaitan dengan pengalaman seseorang. Itulah
sebabnya, bahasa tasawuf sering tampak aneh bila dilihat dari aspek rasio. Hal
ini karena pengalaman rasa sangat sulit dibahasakan.
Di dalam
pertumbuhannya, ilmu kalam (teologi) berkembang menjadi teologi rasional dan
teologi tradisional. Filsafat berkembang menjadi sains dan filsafat sendiri. Sains
berkembang menjadi sains kealaman, sosial, dan humaniora sedangkan filsafat
berkembang menjadi filsafat klasik, pertengahan, dan filsafat modern. Tasawuf
selanjutnya berkembang menjadi tasawuf praktis dan tasawuf teoritis.[19]
3. Titik Singgung antara Ilmu Kalam dan Ilmu Tasawuf
Ilmu kalam merupakan
disiplin ilmu keislaman yang mengedepankan pembicaraan tentang
persoalan-persoalan kalam Tuhan. Persoalan-persoalan kalam ini biasanya
mengarah pada perbincangan yang mendalam dengan dasar-dasar argumentasi, baik
rasional (aqliyah) maupun naqliyah. Argumentasi rasional yang
dimaksudkan adalah landasan pemahaman yang cenderung menggunakan metode
berfikir filosofis, sedangkan argumentasi naqliyah
biasanya bertendensi pada argumentasi berupa dalil-dalil Qur’an dan Hadits.
Ilmu kalam sering menempatkan dirinya pada kedua pendekatan ini (aqli dan
naqli), suatu metode argumentasi yang dialektik. Jika pembicaraan ilmu kalam
hanya berkisar pada keyakinan-keyakinan yang harus dipegang oleh umat Islam,
tanpa argumentasi rasional, ilmu ini lebih spesifik mengambil bentuk sendiri
dengan istilah ilmu tauhid atau ilmu
aqa’id.[20]
Pada ilmu kalam
ditemukan pembahasan iman dan definisinya, kekufuran dan manifestasinya, serta
kemunafikan dan batasannya. Adapun pada ilmu tasawuf ditemukan pembahasan jalan
atau metode praktis untuk merasakan keyakinan dan ketentraman, serta upaya
menyelamatkan diri dari kemunafikan. Tidaklah cukup bagi seseorang yang hanya
mengetahui batasan-batasannya. Hal ini karena terkadang seseorang yang sudah
tahu batasan-batasan kemunafikan pun tetap saja melaksanakannya.
Ilmu kalam berfungsi
sebagai pengendali ilmu tasawuf. Oleh karena itu, jika timbul suatu aliran yang
bertentangan dengan aqidah, atau lahir suatu kepercayaan baru yang bertentangan
dengan al-Qur’an dan Sunnah, hal itu merupakan penyimpangan atau penyelewengan.
Jika bertentangan atau tidak pernah diriwayatkan dalam al-Qur’an dan Sunnah,
atau belum pernah diriwayatkan oleh ulama-ulama salaf, hal itu harus di tolak.[21]
Selain itu, Ilmu
tasawuf mempunyai fungsi sebagai pemberi kesadaran rohaniyah dalam perdebatan-perdebatan
kalam. Sebagaimana disebutkan bahwa ilmu kalam dalam dunia Islam cenderung
menjadi sebuah ilmu yang mengandung muatan rasional, disamping muatan naqliyah. Jika tidak diimbangi oleh
kesadaran rohaniyah, ilmu kalam dapat
bergerak kearah yang lebih liberal dan bebas. Disinilah ilmu tasawuf berfungsi
memberi muatan rohaniyah, sehingga
ilmu kalam tidak dikesani sebagai dialektika keislaman belaka, yang kering dari
kesadaran penghayatan atau sentuhan secara qabliyah
(hati).
Untuk melihat lebih
lanjut hubungan antara ilmu tasawuf dan ilmu kalam, alangkah baiknya menengok
paparan Al-Ghazali. Dalam bukunya yang berjudul Asma al-Husna, Al-Ghazali menjelaskan dengan baik persoalan tauhid
kepada Allah, terutama ketika menjelaskan nama-nama Allah, materi pokok ilmu
tauhid. Menurutnya nama Tuhan Ar-Rahman
dan Ar-Rahim, pada aplikasi rohaniyah-nya merupakan sebuah sifat
yang harus diteladani. Jika sifat Ar-Rahman
diaplikasikan, seseorang akan memandang orang yang durhaka dengan kelembutan
bukan kekasaran, melihat orang dengan rahim,
bukan dengan mata yang menghina, bahkan ia mencurahkan ke-rahim-annya kepada orang yang durhaka agar dapat diselamatkan. Jika
melihat orang lain menderita atau sakit, orang yang rahim akan segera menolongnya.[22] Nama
lain Allah yang patut diteladani ialah al-Qudus
(Maha Suci). Seorang hamba akan suci kalau berhasil membebaskan pengetahuan dan
kehendaknya dari khayalan dan segala persepsi yang dimiliki binatang.[23] Dengan
ilmu tasawuf, semua persoalan yang berada dalam kajian ilmu tauhid (ilmu kalam)
lebih bermakna, tidak kaku, tetapi lebih dinamis dan aplikatif.
D.
Konklusi
Baik ilmu kalam,
filsafat maupun tasawuf berurusan dengan hal yang sama, yaitu kebenaran ilmu
kalam, dengan metodenya sendiri berusaha mencari kebenaran tentang Tuhan dan
yang berkaitan dengan-Nya. Filsafat dengan wataknya sendiri pula, berusaha
menghampiri kebenaran, baik kebenaran tentang alam maupun kebenaran tentang
manusia (yang belum atau tidak dapat dijangkau oleh ilmu pengetahuan karena
berada diluar atau diatas jangkauannya), atau tentang Tuhan. Sementara itu,
tasawuf juga dengan metodenya yang tipikal berusaha menghampiri dengan perjalanan
spirituan menuju Tuhan.
Referensi:
Abdul Rozak dan Rosihan Anwar. (2007). Ilmu Kalam. Bandung: Pustaka Setia.
Adeng Muchtar Ghozali. (2005). Perkembangan Ilmu Kalam dari Klasik Hingga
Modern. Bandung: Pustaka Setia.
Ahmad Hanafi. (1990). Theology
Islam. Jakarta: Bulan
Bintang.
Al-Ghazali. (1996). Al-Maqhad Al-Asna Fi Syarh Al-Asma Allah Al-Husna, terj. Ilyas
Hasan. Mizan, Bandung.
Asep Saifuddin Chalim. (2012). Membumikan Aswaja; Pegangan Guru NU. Surabaya:
Khalista.
Aqis Bil Qisthi. (2004). Hakekat Tasawuf, Thoriqot dan Ma’rifat. Surabaya:
Himmah Jaya.
Harun Nasution. (1986). Teologi Islam;
Aliran-Aliran, Sejarah Analisa dan Perbandingan. Jakarta: UI Press.
Imam Al-Ghazali.
(2009). Ensiklopedi Tasawuf. Terj. Abdul Mujib dkk., dengan
judul: Mudah Memahami dan Menjalankan
Kehidupan Spritual. Bandung: Mizan Publika.
Maftukhin. (2012). Filsafat Islam.
Yogyakarta: Teras.
Mohammad Adib. (2014). Filsafat Ilmu; Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan Logika Ilmu
Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nur Sayyid Santoso Kristeva. (2014). Sejarah Teologi Islam dan Akar Pemikiran
Ahlussunnah Wal Jama’ah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Omar Mohammad
al-Toumy al-Syaibani. (1979). Falsafat
Pendidikan Islam, (terj.) Hasan Langgulung dari judul asli Falsafat al-Tarbiyah al-Islamiyah. Jakarta:
Bulan Bintang.
Sahilun A. Nasir. (2010). Pemikiran Kalam. Jakarta: Raja Grafindo.
Solihin dan
Rosihon Anwar. (2008). Ilmu Tasawuf Untuk
Mata Kuliah Ilmu Tasawuf di Seluruh Jurusan PTAIN Dan PTAIS. Bandung:
Pustaka Setia.
Triyoga A. Kuswanto. (2007). Jalan Sufi Nurcholish Madjid. Yogyakarta:
Nuansa Aksara.
W. Montgomery Watt. (1987). Pemikiran Teologi Islam dan FIlsafat Islam,
Terj. Umar Basalim. Jakarta: P3M.
[1] Adeng Muchtar Ghozali, Perkembangan Ilmu Kalam dari Klasik Hingga Modern, Cet. I, (Bandung:
Pustaka Setia, 2005), hlm. 19.
[2] Imam Al-Ghazali, Ensiklopedi Tasawuf. Terj. Abdul Mujib dkk., dengan
judul: Mudah Memahami dan Menjalankan
Kehidupan Spritual, Cet I, (Bandung: Mizan Publika, 2009), hlm. 190.
[3] Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu
Tasawuf Untuk Mata Kuliah Ilmu Tasawuf di Seluruh Jurusan PTAIN Dan PTAIS,
Cet. I. (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 95.
[4] Abdul Rosak dan Rosihon Anwar, Ilmu
Kalam untuk UIN, STAIN, PTAIS, Cet. IV, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), hlm.
14-15.
[5] Maftukhin, Filsafat Islam, Cet. I,
(Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 1.
[6]
Mohammad Adib, Filsafat Ilmu;
Ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan Logika Ilmu Pengetahuan, Cet. III,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), hlm. 37.
[7] Omar
Mohammad al-Toumy al-Syaibani, Falsafat
Pendidikan Islam, (terj.) Hasan Langgulung dari judul asli: Falsafat al-Tarbiyah al-Islamiyah, Cet.
I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 25.
[8] Asep Saifuddin Chalim, Membumikan Aswaja; Pegangan Guru NU, (Surabaya: Khalista, 2012),
hlm. 109. Maksud baju wol adalah pakaian bagi kaum sufi yang menggunakan bulu
domba (suf/ wol) untuk menampakkan
aspek lahiriyah keadaan mereka. Kata
Mir Faliuddin, karena mereka tidak memakai pakaian yang halus disentuh atau
indah dilihat untuk meneyenangkan jiwa, namun mereka memakai pakaian hanya
untuk menutupi ketelanjangan mereka dengan bahan yang terbuat dari kain bulu
dan wol kasar. Ada indikasi bahwa pakaian wol menurut mereka adalah berasal
dari kebiasaan zuhud Nabi Isa dan
Nabi Daud yang tampak sekali pada praktik ke-zuhud-an dari para zahid. Lihat: Triyoga A. Kuswanto, Jalan Sufi Nurcholish Madjid, Cet. I,
(Yogyakarta: Nuansa Aksara, 2007), hlm. 35.
[9] Aqis Bil Qisthi, Hakekat Tasawuf, Thoriqot dan Ma’rifat, Cet. I, (Surabaya: Himmah
Jaya, 2004), hlm. 9.
[10] Triyoga A. Kuswanto, Op. Cit., hlm. 40.
[11] Ibid.,
hlm. 41.
[12] Harun Nasution, Teologi Islam;
Aliran-Aliran, Sejarah Analisa dan Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986),
hlm. 5.
[13] Nur Sayyid Santoso Kristeva, Sejarah Teologi Islam dan Akar Pemikiran
Ahlussunnah Wal Jama’ah, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), hlm.
2.
[14] W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi Islam dan FIlsafat Islam, Terj. Umar Basalim,
(Jakarta: P3M), hlm. 10.
[18] Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, Cet. I, (Bandung: Pustaka
Setia, 2007), hlm. 39.
[19] Ibid.,
hlm. 42-44.
[20] Ibid.,
hlm. 43.
[21] Ibid.,
hal. 46.
[22] Al-Ghazali, Al-Maqhad Al-Asna Fi Syarh Al-Asma Allah Al-Husna, terj. Ilyas
Hasan, (Mizan, Bandung, 1996), hlm. 73-74.
[23] Ibid.,
hlm. 80.