Peradaban dunia sangat ditentukan oleh
kualitas intelektual manusia. Maju mundurnya suatu peradaban sangat dipengaruhi
oleh tingkat intelektualitas masyarakatnya. Oleh karenanya, semakin tinggi
tingkat intelektualitas masyarakat, semakin tinggi pula tingkat peradabannya.
Begitupun sebaliknya, titik intelektualitas masyarakat rendah, maka semakin
rendah pula tingkat peradabannya. Sejarah dunia telah mencatat bahwa
bangsa-bangsa yang maju—baik Timur maupun Barat—ditandai dengan banyaknya
intelektual yang muncul.
Intelektualitas merupakan inti
penggerak prestasi kemajuan peradaban suatu bangsa. Intelektualitas dapat
mewujud dalam bentuk ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan masyarakatnya
mewujud para intelektual-cendekiawan yang berperan penting dalam agen perubahan
(agen of change) suatu komunitas masyarakat dan zaman. Oleh karenanya,
membincang intelektualitas akan lebih dinamis dan berarti ketika dikaitkan
dengan kaum intelektual sebagai subjek, baik ketika dalam proses pencarian,
menemukan, memiliki ataupun pada saat mengaplikasikannya.
Masalahnya kemudian adalah bagaimana
membangun intelektualitas dan memainkan peranan penting dalam sebuah pergulatan
peradaban budaya yang sangat terbuka akan berbagai interest disatu
pihak, dan idealitas intelektual yang syarat muatan moral dilain pihak. Apalagi
dalam sebuah masyarakat-bangsa yang masih berkembang menuju masyarakat modern,
dimana persoalan intelektualitas dan moralitas menjadi sangat urgen.
Dalam perspektif ideal bahwa seorang
intelektual sejati adalah sosok pribadi manusia yang selalu menjaga dirinya
dari tindak laku atau sikap yang tidak pantas, serta bertanggungjawab secara
nalar-intelektual, yakni berpihak pada kebenaran dan kebaikan. Dari sini dapat
ditegaskan bahwa seorang intelektual sejati adalah mereka yang berdaya
intelektualitas dan memegang teguh nilai-nilai moralitas dan spiritualitas.
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
(PMII) adalah organisasi kemahasiswaan, keislaman dan keindonesian yang
berkomitmen dalam membangun sumberdaya kader yang tidak hanya cerdas sisi
intelektualitasnya, namun juga cerdas spiritualitas dan moralitas sekaligus.
Sebab, konsep dasar kaderisasi yang dibangun oleh PMII adalah “Terwujudnya
pribadi muslim ulul albab dan keharusannya bagi setiap insan PMII baik
pengurus, kader dan anggota untuk wajib mengusahakan amanat itu.”
Dalam Islam dikenal istilah ’ulul
albab’ yang dalam al-Qur’an disebutkan sebanyak enam kali. Ulul albab
adalah sebutan bagi mereka yang memiliki akal pikiran dan dapat
mempergunakannya secara benar. Akal pikirannya digunakan untuk memikirkan dan
memahami ayat-ayat Allah, baik ayat qauliyah yang dengan ajarannya
syarat pesan nilai dan moral, maupun ayat kauniyah yang lebih
menitikberatkan pada kejadian alam semesta menurut sunnatullah dan
sebagai i’tibar (pelajaran) bagi umat manusia, khususnya bagi mereka
yang mau menggunakan akal pikirannya.
Sosok manusia ulul albab adalah
mereka yang mengedepankan dzikir, fikir dan amal shaleh.
Ia memiliki ilmu yang luas, pandangan mata yang tajam, otak yang cerdas, hati
yang lembut serta memiliki semangat juang dengan sebenar-benarnya perjuangan.
Ia bukan manusia sembarangan, namun kehadiranya dimuka bumi sebagai pemimpin
dalam menegakkan yang hak dan menjauhkan kebatilan. Ulul albab juga
sebagai sosok intelektual muslim yang memiliki kedalaman spiritual. Sedangkan
intelektual dan ketajaman analisisnya atas fenomena dan proses alamiyah
menjadikannya untuk membangun dan menciptakan kemaslahatan bagi kehidupan
manusia.
Lebih jauh lagi bahwa ulul
albab adalah manusia yang bertauhid, dimana kalimat syahadat
sebagai pegangan pokoknya. Sebagai penyandang tauhid, ia berpandangan bahwa
tidak terdapat kekuatan dimuka bumi ini selain kekuatan Allah. Semua makhluk
manusia berposisi sama. Jika terdapat seorang atau sekelompok orang dipandang
lebih mulia adalah karena ia telah menyandang ilmu, iman dan amal shaleh.
Penyandang derajat ulul albab tidak akan takut dan merasa
rendah dihadapan siapapun sesama manusia. Kelebihan seseorang berupa kekuasaan,
kekayaan, nasab dan keindahan tubuh tidak menjadikannya sombong, justru
menjadikannya sebagai kekuatan untuk selalu perduli terhadap sesama dan untuk
mengabdi atau beribadah kepada Allah.
Jika ditarik dalam konteks pribadi
insan ulul albab dalam term PMII bahwa kader PMII (baik
pengurus, kader dan anggota) adalah mereka yang memiliki kedalaman spiritual (dzikir),
ketajaman analisis (fikir) dan pengaruhnya yang besar bagi kehidupan (amal
shalih). Citra diri seorang kader PMII sangat jelas disarikan dalam Tri
Motto PMII, yakni ‘Dzikir, Fikir, Amal Shaleh’. Kader PMII sesungguhnya
telah dipersatukan dalam konstruksi ideal manusia itu sendiri, yakni
insan ulul albab. Maka dari itu, sangatlah beruntung dan
berbanggalah sebagai kader PMII, karena dengan citra diri insan ulul
albab merupakan kekuatan yang akan mengantarkan seseorang memperoleh
derajat ulul albab.
Citra diri insan ulul albab dalam
term PMII sesungguhnya banyak digambarkan oleh al-Qur’an yang kemudian dari
elaborasi ayat-ayat al-Qur’an tersebut dapat dicirikan dengan
sosok seorang kader yang memiliki kesadaran historis-primordial atas
relasi Tuhan-Manusia-Alam, inilah konsep dasar yang dibangun PMII melalui
Nilai Dasar Pergerakan atau yang sering disebut dengan NDP PMII. Selain itu,
kader PMII juga harus berjiwa optimis atas kemampuannya dalam mengatasi
berbagai masalah kehidupan, berfikir dialektis, bersikap kritis serta bertindak
transformatif.
Dapat ditafsirkan disini bahwa PMII
adalah organisasi pergerakan kaum muda nahdliyin yang memiliki
dinamisitas dan kualitas dialektis, memiliki intelektualitas, berifikir kritis
dan bertindak transformatif, berpihak secara tegas ditingkat praktis serta
profesional. Oleh karenanya, citra diri insan ulul albab yang disandang
kader PMII sejatinya adalah spirit baru kader dalam membangun sebuah
peradaban yang maju. Oleh karenanya, citra diri insan ulul albab bagi
kader PMII adalah sebagai kader pergerakan yang memiliki intelektualitas dan
ketajaman analisis atas fenomena, sehingga proses alamiyah akan
menjadikannya untuk membangun suatu peradaban yang maju dan dengan tujuan untuk
menciptakan kemaslahatan bagi umat manusia, serta dengan intelektualitas yang
tinggi pula, maka kepekaan terhadap setiap perkembangan dan perubahan zaman
sangat diperlukan dalam rangka mengaktualisasikan ilmu yang dimilikinya untuk
menghindari terjadinya isolasi intelektual.
Ambarwinangun - Ambal, Januari 2018
Mizanul Akrom