Tuesday, August 28, 2018

CATATAN SEDERHANA: Antropologi Kampus

CATATAN SEDERHANA: Antropologi Kampus
Secara sederhana, antropologi dapat diartikan sebagai studi ilmu yang mempelajari tentang manusia, baik dari segi budaya, perilaku, keanekaragaman dan lain sebagainya. Sedangkan kebudayaan itu sendiri merupakan seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar.[1] Kebudayaan bukanlah benda mati atau statis, ia akan selalu berubah baik karena dorongan internal maupun eksternal. Secara internal, perubahan budaya disebabakibatkan oleh variasi-variasi baru dalam sebuah kebudayaan kedalam buah tingkah-laku yang dikenalkan dan disosialisakikan baik itu oleh individu ataupun kelompok masyarakat, sehingga pada akhirnya perilaku tersebut dikemudian hari menjadi milik bersama, dan selanjutnya menjadi bagian dari sebuah kebudayaan. Sedangkan faktor eksternal kebudayaan dapat juga terjadi karena beberapa aspek dalam lingkungan kebudayaan telah mengalami perubahan hingga akhirnya membuat kebudayaan itu lambat laun menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi.
Kampus adalah ruang akademik dan sebagai menara gading mahasiswa dalam menempuh proses pendewasaan diri dalam kultur ilmiah dan diskursif wacana pengetahuan. Dalam proses dunia kampus itu sendiri, ternyata sangat mempengaruhi perkembangan manusia. Karena kampus dalam realitanya adalah menjadi pusat aktivitas para anggota masyarakatnya yang menghasilkan berbagai aneka hasil budinya seperti ide-ide, gagasan-gagasan, pola pikir, pola rasa, pola perilaku, norma-norma, adat kebiasaan dan nilai-nilai insani, serta karya lain yang dapat dinikmati, mendewasakan dan memberdayakan anggota masyarakatnya untuk lebih berkualitas dan lebih mengerti tentang dunia dan kehidupan yang selalu menyertainya. Mahasiswa merupakan bagian dari masyarakat kampus yang mempunyai peran dan tanggungjawab dalam menciptakan dinamikan dan realitas ideal dalam dunia kampus.
Mengapa demikian? Karena mahasiswa adalah menjadi harapan besar bagi masyarakat sebagai pembawa perubahan dilingkungannya masing-masing. Oleh karenanya, mahasiswa dituntut untuk mengimplementasikan berbagai macam sikap, perilaku yang arif, serta daya pikiran progresif kedalam sebuah bentuk yang konkrit, bukan perilaku dan pikiran yang melulu abstrak dan teoretis ansich. Dalam artian ini bahwa mahasiswa itu tidak hanya ‘melangit’ secara teoretis, tetapi juga dibutuhkan pemikiran dan gerakan yang ‘membumi’ dalam hal praksis. Atau dengan ungkapan lain, mahasiswa tidak hanya menjaga tradisi baik yang ada (al-mukhafadah’ala al-qadim ash-shalih), namun juga harus berpikir kreatif dan mengakomodir realitas kontemporer yang baru yang lebih baik (al-akhdzu bi al-jadid al-aslah),[2] atau lebih singkatnya bahwa mahasiswa itu harus berpegang pada pemahaman dalam hal mempertahankan yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik,[3] serta menuangkan ide-ide kreatif untuk bisa dimanfaatkan oleh dirinya sendiri maupun orang lain. Apa yang perlu diperbaiki dari yang sudah ada, atau melakukan perubahan yang bisa lebih bermanfaat bagi masyarakat dan bangsa.
Tidak dapat dipungkiri bahwa seluruh organisasi yang ada akan bersifat mengalir, yaitu ditandai dengan pergantian kekuasaan dari golongan tua ke golongan muda, sehingga kaderisasi harus dilakukan secara terus-menerus. Dunia kampus dan dunia kemahasiswaan (organisasi) merupakan momentum kaderisasi yang sangat sayang bila tidak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan dijalankan dengan penuh tanggung jawab bagi mereka (mahasiswa) yang memiliki kesempatan. Melemahnya pergerakan mahasiswa salah satunya adalah dilatarbelakangi oleh melemahnya budaya literasi dikalangan mahasiswa itu sendiri, yang pada akhirnya membuat kritisme pemikiran terhadap keadaan sekelilingnya pun turut melemah. Budaya literasi yang dimaksud adalah membaca, menulis dan berdiskusi.



[1] Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, Cet. III, (Jakarta: Rineka Cipta, 2005), hal. 72.
[2] Hal ini sesuai dengan paham keagamaan yang dianut NU, yang tersimpul dalam sebuah kaidah yang populer, yaitu al-mukhafadhah ‘ala al-qadim ash-shalih wal al-akhdzu bi al-jadid al-aslah. Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU, (Yogyakarta: LKiS, 2004), hal. 21.
[3] Nurcholis Madjid, Islam Agama Kemanusiaan, Cet. II, (Jakarta: Paramadina, 2003), hal. vii.