Ahlussunnah wal
Jama’ah atau
yang sering kita kenal dengan Aswaja pada
awal mulanya merupakan sebuah pemikiran teologis yang muncul dan dicetuskan
oleh ulama Timur Tengah pada abad permulaan Islam. Kemunculan Aswaja tidak lain
adalah identifikasi terhadap kelompok, golongan yang memiliki truth claim
pengikut utama Nabi Muhammad Saw.
Golongan ini yang mengklaim diri sebagai kaum yang mengadopsi pola pikir
dan nilai-nilai dasar ajaran Islam yang sesuai dengan kaidah perilaku Nabi. Truth
claim tersebut dimunculkan dalam merespons terhadap hadits Nabi yang
berbunyi: ‘sataftariqu ummaty ‘ala tsalatsatin wa sab’ina firqatan,
kulluhum fin nar, illa wahid’, dan satu itu adalah Ahlussunnah
wal Jama’ah.
Doktrin yang ditanamkan
Aswaja adalah senantiasa mengakomodir secara integral tiga dimensi
agama sekaligus, yakni Iman, Islam dan Ikhsan. Dari ketiga
dimensi tersebut masing-masing saling melengkapi satu dengan lainnya, berjalan
seimbang dalam perilaku dan penghayatan keagamaan bagi umat. Dengan pemahaman atas
doktrin tersebut, sehingga metodologi
pemikiran (manhajul al-fikr) dalam Aswaja selalu intens menanamkan empat nilai atau sikap didalamnya, yakni sikap
tengah dan moderat (tawasuth), berimbang atau harmoni (tawazun),
netral atau adil (ta’adul) dan toleran (tasamuh).
Metodologi pemikiran Aswaja tersebut senantiasa menghindari sikap-sikap ekstrem
(tatharuf), baik ekstrem kanan ataupun kiri. Inilah yang menjadi esensi
identitas untuk mencirikan paham Aswaja dengan paham atau golongan lainnya.
Aswaja juga
berkembang di Indonesia. Dalam perkembangannya di
Indonesia, Aswaja memiliki akar historis yang begitu panjang, serta
tidak bisa dilepaskan dari sejarah Islam itu sendiri. Dalam perspektif historis, banyaknya
ahli keislaman Indonesia yang mengambil pelajaran secara langsung kepusat Islam
di Timur Tengah dan para ulama Nusantara yang menjadi syeikh di Arab Saudi (Seperti Syeikh
Nawawi al-Bantani) menjadi
guru dari orang Indonesia yang belajar Islam di Arab Saudi. Ketika
para muridnya
kembali ke Indonesia kemudian
mengembangkan Islam sebagaimana yang diperoleh dari gurunya tersebut. Hadratus
Syeikh KH. Hasyim Asy’ari adalah representasi nyata diantara
murid yang belajar di Arab Saudi, yang kemudian mengembangkan
Pesantren Tebu Ireng-Jombang, serta sebagai pendiri Jam’iyah Nahdlatul ‘Ulama.
Nahdlatul ‘Ulama (NU)
adalah organisasi keagamaan terbesar di
Indonesia. Berdirinya NU di Indonesia tidak lain bertujuan untuk
memelihara ajaran Islam Aswaja agar tetap tegak di bumi Indonesia.
Oleh karena itu, antara NU dan Aswaja mempunyai hubungan erat dan tidak bisa dipisahkan.
Atau dengan kata lain, NU
sebagai organisasi merupakan alat untuk menegakkan Aswaja, dan Aswaja
merupakan aqidah
pokok dari NU itu sendiri.
Seiring dengan
derasnya perkembangan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang sehingga menuntut
kita agar terus memacu diri untuk mengkaji Aswaja dari berbagai aspeknya, sehingga
warga Nahdliyin dapat memahami, memperdalam, menghayati dan mengejawantahkan
warisan para ulama yang berserakan dalam tumpukan kutub al turast. Oleh karenanya, sejak
mulai tahun 1980 sampai awal 1990, diskursus wacana Aswaja mulai ramai
diperbincangkan kembali, mula-mula memang perbincangan ini masih dikategorikan bagi
kalangan NU, terutama yang tergabung dalam wadah organisasi kemahasiswaan, yaitu
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Perbincangan Aswaja tersebut kemudian
muncul protes dari kalangan NU itu sendiri, baik kalangan tua, para kyai dan sesepuh
NU yang otentik, karena keberanian anak mudanya mengotak-atik ideologi
keberagamaan yang menurutnya mengungkung masyarakat muslim, terutama warga NU.
Pada mulanya, diskursif wacana dan perbincangan kembali
Aswaja baru seputar pertanyaan tentang, mengapa Aswaja menghambat perkembangan
intelektual masyarakat? Kemudian diskursif mengenai doktrin ini sampai pada
kesimpulan bahwa kemandegan berfikir NU karena mengadopsi paham Aswaja secara qaulan (kemasan praktis pemikiran Aswaja).
Memang, pergulatan intelektual muda NU ini sering bersetuhan dan berkenalan
dengan berbagai literatur-literatur baru karangan cendekiawan-cendekiawan
muslim yang lebih progresif dan radikal, misalnya Ali Syari’ati, sampai tokoh ‘kiri
Islam’ yang paling digemari awal 1990-an yaitu Hasan Hanafi, teolog modern asal
Mesir dari aliran Sunni.
Pergulatan pemikiran
dikalangan intelektual muda NU ini, meskipun terbilang centil dan berani, akan tetapi harus diakui bahwa paradigma yang
digunakan mereka dalam melakukan interpretasi Aswaja patut untuk dihormati.
Karena yang dilakukan mereka adalah wujud tafsir dalam memahami Aswaja di era
globalisasi. Namun perlu digaris bawahi juga bahwa PMII sebagai organisasi
kemahasiswaan, keislaman dan keindonesiaan mereka tetap komitmen dalam
memperjuangkan nilai dan ideologi Aswaja dalam dunia pergerakannya, dan
memposisikan Aswaja sebagai upaya dalam memahami, menghayati dan mengamalkan
Islam. PMII juga menjadikan Aswaja sebagai manhaj al-fikr, manhaj al-harokah, dan sekaligus manhaj
al-taghayyur al-ijtima’i (perubahan sosial) untuk mendekonstruksikan
sekaligus merekonstruksi bentuk-bentuk pemahaman dan aktualisasi ajaran-ajaran
agama yang toleran, humanis, anti-kekerasan dan kritis transformatif.
A.
Kilas Historis
Ahlussunnah wal Jama’ah
Istilah Ahlussunnah wal
Jamaah tidak dikenal di zaman Nabi Muhammad Saw maupun di masa pemerintahan
Khulafaur Rasyidin, bahkan tidak dikenal di zaman pemerintahan Bani Umayyah
(41-133 H/611-750 M). Terma Ahlussunnah wal Jama’ah sebetulnya merupakan diksi baru, atau sekurang-kurangnya
tidak pernah digunakan sebelumnya di masa Nabi dan pada periode Sahabat.[2]
Jika dilacak akar historis Aswaja adalah
berawal dari cerita pertengkaran. Tepatnya pertengkaran politik yang bermula
setelah Nabi Saw wafat. Pertengkaran atau pertikaian muncul disaat para Sahabat
mulai menentukan siapa yang layak mengganti Nabi sebagai penguasa politik.
Kemudian berlanjut pada terbunuhnya Usman, menyusul perang antara Ali dan Aisyah,
istri Nabi (Perang Jamal), dan perang antara Ali dan Muawiyah (Perang Siffin).
Persoalannya kemudian melebar kemana-mana. Tidak hanya siapa pengganti Nabi, siapakah
yang benar diantara yang bertikai, dan siapakah yang salah? Hingga pemahaman
tentang patutkah Sahabat dianggap berdosa dan kafir?
Pertikaian dan konflik tersebut di atas,
kemudian melahirkan situasi disorientasi
dan krisis nilai dikalangan umat Islam pada masa itu. Situasi dan kondisi
inilah yang akhirnya dapat disebut dengan ‘Fitnah Kubra’, yaitu suatu keadaan
yang membuat semua orang kehilangan teladan, keteladanan, pegangan dan saudara
mana yang harus diikuti dan dapat dijadikan sebagai hujjah, panutan dan
tuntunan.
Dari pihak-pihak yang bertikai tersebut kemudian
muncul kelompok ketiga yang menyatakan dirinya itu netral dan tidak berpihak
pada salah satu kubu. Mereka mengasingkan diri dan menyerukan satu seruan
moralitas dengan kegitan politis, ilmu dan amal ibadah, seperti Abdullah
Bin-Umar, Abu Musa al-Asy’ari, Saad Abu Waqash, Muhammad Bin Maslamah dan
sebagainya, serta pengikut Ali setelah terjadinya ‘Amul Jama’ah pada tahun 40
H.[3]
Kelompok ini yang disebut oleh para
sejarahwan klasik dengan berbagai macam identitas. Ada yang menyebutnya
kelompok Mur’jiah karena menyerahkan dan menangguhkan perkara iman sepenuhnya
kepada Allah Swt. Ada yang menyebutnya Mu’tazilah, karena mengasingkan diri
dari gelenggang politik dan tidak berpihak pada salah satu yang bertikai, dan ada
juga yang menyebutnya dengan Ahlussunnah,
karena berpegang teguh pada ajaran sunnah Nabi Saw.
Namun pada intinya bahwa kelompok ini menanam
benih-benih imajinasi sosial dalam agama (soft
politics), yang berimajinasi tentang harmoni dan ketertiban sosial,
solidaritas dan persatuan umat Islam (jama’ah),
yang selanjutnya dikenal sebagai cikal bakal Ahlussunnah wal Jama’ah yang
mendambakan stabilitas politik negara.[4]
Jika ditelisik secara sederhana, historisitas kemunculan
Aswaja bisa ditelusuri sejak pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Pada masa
pemerintahan Usman, ada seorang Gubernur Syiria bernama Muawiyah bin Abi
Sufyan, ketika Ali terpilih menjadi khalifah secara demokratis, Muawiyah tidak
setuju dan melakukan pemberontakan hingga terjadilah perang antara keduanya
(Muawiyah-Ali) yang terjadi sekitar tahun 35-40 H, dan dalam perang tersebut
dimenangkan oleh Ali. Ketika pasukan Muawiyah hampir terdesak, kemudian
mengibarkan bendera putih tanda menyerah dengan al-Qur’an diatas untuk meminta
perdamaian.
Dalam perdamaian tersebut, terjadilah
perundingan yang dikenal dengan nama tahkim (Arbitrase). Dalam
perundingan tersebut, dari pihak Ali diutuslah Abu Musa al-Asy’ari adalah orang
tua (kasepuhan) dan seorang tokoh ulama. Kemudian pihak Muawiyah diutus seorang
pilitisi dengan nama Amru bin Ash. Dalam perundingan tersebut, pertama-tama
terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak bahwa pemerintahan kosong atau
tidak diduduki, baik oleh pemerintah yang sah (yang pada waktu itu dijabat oleh
Ali) maupun Muawiyah. Karena kelicikan dari Amru bin Ash—yang berlatarbelakang
seorang politisi—dalam perundingan tersebut dimenangkan oleh pihak Muawiyah,
padahal semula jabatan khalifah dipegang dan diduduki secara sah oleh Ali bin
Abi Thalib.
Inti dari penjelasan tersebut diatas bahwa
ketika perang dimenangkan oleh Ali, namun ketika saat perundingan dimenangkan pihak
Muawiyah karena taktik politik yang dilancarkan oleh Amru bin Ash. Dengan
perundingan inilah kemudian umat Islam terpecah menjadi tiga golongan, yaitu
pengikut Ali yang setia, atau yang dikenal dengan golongan Syiah, kemudian yang
menolak Ali dan Muawiyah lebih dikenal dengan Khawarij, dan yang terakhir adalah
kelompok pendukung Muawiyah, dan peristiwa ini terjadi sekitar akhir 40-an H.
Periode selanjutnya Muawiyah berkuasa, dan
untuk melanggengkan kekuasaannya tersebut, Muawiyah—atau dikenal dengan Bani
Umayyah—membuat aliran keagamaan yang disebut dengan aliran Jabariyah dengan
doktrin ajarannya yaitu; “semua yang terjadi dalam dunia ini adalah kehendak
Allah. Termasuk Muawiyah menang dari Ali itu juga dikehendaki oleh Allah”.
Pendek kata, dalam doktrin Jabariyah dengan pemahaman bahwa apapun yang
dilakukan manusia adalah sudah dikehendaki dan diinginkan oleh Allah. Dengan
doktrin dan pemahaman ini, kemudian dalam kehidupan masyarakat muncul banyak
pengemis, ekonomi hancur, masyarakat banyak yang tidak berusaha karena lebih
menjalankan rutinitas ritual dan tidak mau mencari rizki.
Sebagai perimbangan dan anti tesis atas paham
Jabariyah tersebut, kemudian muncul paham Qodariyah yang dipelopori oleh cucu
Ali bin Abi Thalib dengan nama Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Abi
Thalib dengan paham yang sebaliknya, bahwa; “manusia ini yang berkehendak
atau yang berkuasa, dan Allah tidak turut campur terhadap apa yang dilakukan
oleh manusia. Karena manusia berkehendak, maka Allah tidak turut campur dan
manusia harus bertanggungjawab terhadap perbuatannya”. Dari sinilah
kemudian mulai ada reformasi (pembaharuan), yang kemudian Bani Umayyah tumbang
dan mampu digulingkan, selanjutnya digantikan oleh Bani Abbasiyah.
Aliran Qodariyah pada masa Bani Abbasiyah
benar-benar dijadikan sebagai spirit pembangunan negara yang turunannya dengan
sedikit modifikasi, atau yang kita kenal dengan paham Mu’tazilah. Karena akal
lebih mendominasi dalam pandangan dan prinsip Mu’tazilah, sehingga menimbulkan
kebablasan dalam berfikirnya, karena semuanya diukur dengan akal dan kehendak
manusia (akal mutlak). Sampai kemudian terjadi peristiwa―ketika salah satu dari
keturunan Bani Abbasiyah, yaitu masa khalifah Al-Ma’mun―dimana paham Mu’tazilah
dijadikan sebagai paham resmi negara, sehingga timbul banyak korban bagi mereka
yang tidak sepaham. Peristiwa tersebut dikenal dengan Mihnah (inquisition).[5]
Saat runtuhnya Mu’tazilah dan bangkitnya
khalifah al-Mutawakil, dia membuang mazhab Mu’tazilah, karena terlalu over dan
masyarakat sudah jenuh dengan gerakannya. Mutawakil kemudain condong membela mazhab
Ahli Hadits, yaitu mazhabnya Ahmad bin Hambal.[6]
Selanjutnya, pada akhir abad ke-3 Hijrah
muncullah dua tokoh yang menonjol, yaitu Abu Hasan Al Asy’ari (di Basrah) dan
Abu Mansur Al Maturidi (di Samarkand). Al Asy’ari belajar bersama gurunya,
yaitu Abu Ali al-Jubbai selama 40 tahun. Sehingga termasuk tokoh Mu’tazilah,
yang karena kepintaran dan kemahirannya sering mewakili gurunya dalam
berdiskusi.[7]
Tetapi kemudian Asy’ari meninggalkan gurunya dan paham Mu’tazilah, karena
adanya perbedaan pandangan dengan gurunya, serta membentuk paham dan mazhab
baru.[8]
Dan jadilah pendapat Asy’ari itu dengan mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah.[9]
Memang, untuk kepentingan umat dan agama, Asy’ari
kompromikan antara nash dan akal. Sebab, berpegang pada nash secara harfiah dan mengharamkan penggunaan akal adalah keliru.
Tetapi sebaliknya, memperturutkan pendapat akal semata untuk menyusun pendapat
berkaitan dengan aqidah adalah suatu kesalahan yang fatal. Al-Qur’an dan as-Sunnah
juga tidak mengabaikan akal dan tidak mengharamkan wajar. Penggunaan akal dalam
memaknai dan membela syari’ah adalah suatu kemestian, dan bukan suatu
kesesatan. Al-Asy’ari memperoleh kedudukan dan mempunyai banyak pendukung dan
pembelaan dari penguasa. Ia mengalahkan musuh-musuhnya, baik Mu’tazilah maupun
kaum yang lain, serta orang-orang kafir.
Kebanyakan ulama pada masanya menggelari
al-Asy’ari sebagai imam Ahlussunnah wal Jamaah.[10]
Sehingga aliran ini muncul tidak lain adalah keberanian dan usaha Abu Hasan al-Asy’ari
disekitar tahun 300 H.[11]
Disamping ada juga yang menyebutkan bahwa sebutan Ahlussunnah sudah dipakai
sebelum Asy’ari, yaitu terhadap mereka yang apabila menghadapi sesuatu
peristiwa, maka dicari hukumnya dari bunyi nash al-Qur’an dan Hadits, dan
apabila tidak didapatinya maka mereka diam saja karena tidak berani
melampauinya. Mereka lebih terkenal dengan sebutan ahli hadits yang sudah ada
semenjak zaman sahabat, kemudian dilanjutkan sampai masa tabi’in.[12]
B.
Definisi Ahlussunnah
wal Jama’ah
Ahlussunnah
wal Jamaah atau yang biasa disingkat dengan Aswaja secara bahasa berasal dari
kata ‘Ahlun’ yang artinya keluarga, golongan atau
pengikut. ‘Ahlussunnah’ berarti orang yang
mengikuti sunnah, baik perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi Saw. Sedangkan ‘al-Jama’ah’ adalah sekumpulan orang
yang memiliki tujuan. Jika dikaitkan dengan madzhab, memiliki arti sekumpulan
orang yang berpegang teguh pada salah satu imam madzhab dengan tujuan untuk mendapatkan
keselamatan dunia dan akhirat.[13]
Sedangkan
secara istilah, Aswaja berarti golongan umat Islam yang dalam bidang tauhid menganut
pemikiran Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi,
sedangkan dalam bidang fiqih menganut Imam Madzhab empat (Hanafi, Maliki,
Syafi’i, Hambali), serta dalam bidang tasawuf menganut Imam al-Ghazali dan Junaid
al-Baghdadi.[14]
Maka
dari itu, dalam pengertian yang lebih sederhana dapat diartikan bahwa
Ahlusunnah wal Jama’ah adalah paham yang dalam masalah aqidah mengikuti Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu
Mansur al-Maturidi. Dalam praktek peribadatan mengikuti salah satu empat
madzhab, yaitu madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali, dan dalam bertasawuf
mengikuti Imam Abu Qosim al-Junaidi dan Imam Abu Hamid al-Ghazali.
Konsep Aswaja sudah
dianggap final dikalangan tua, tidak demikian dikalangan NU muda bahwa
interpretasi konsep Aswaja menjadi sebuah kehausan, bukan saja untuk
mengaktualisasikan konsep itu dengan perubahan-perubahan yang begitu cepat,
tetapi juga sebagai kritik historis atas kebenaran konsep yang selama ini diyakini
dan diamalkan.
Menurut Said Aqil
Siradj, Aswaja adalah kelompok yang bersikap netral (tengah-tengah) tidak
memihak pada salah satu partai yang ada, dan lebih berorientasi pada kegiatan
ilmiah dan amal ibadah.[15]
Metodologi berfikir keagamaan yang mencakup segala aspek kehidupan dan berdiri
diatas prinsip keseimbangan dalam aqidah, penengah dan perekat dalam kehidupan
sosial, serta keadilan toleransi di dalam politik. Mengikuti dan memegang teguh
dengan apa yang telah ditetapkan oleh Rasul dan Sahabatnya.[16]
Harun Nasution mendefinisikan
Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai golongan yang berpegang pada Sunnah lagi
merupakan mayoritas, sebagai lawan dari golongan Mu’tazilah yang bersifat
minoritas dan teologi berpegang pada Sunnah. sedangkan Ahmad Amin, Aswaja
adalah kaum yang percaya dan menerima hadits shahih tanpa memilih dan
interpretasi.[17]
Sedangkan Faham Sunni,
menurut Masdar F. Mas’udi adalah keagamaan yang berwatak keseimbangan (ahlul istqomah atau yang dalam hal ini
dipahami sebagai ummatan wasathan)
yang bersedia memahami segala sesatu, bukan dalam kaca mata kuda dan kaca mata
hitam-putih. Nuansa-nuansa itu adalah aspirasi sejarah dan budaya, serta semua
manusia hidup terlibat didalamnya.[18]
Selanjutnya, proses Islamisasi
yang dilakukan Wali Songo, bukan sekedar mengajak masyarakat masuk Islam,
tetapi juga mengubah struktur sosial masyarakat menuju tatanan sosial yang
lebih adil, manusiawi dan berakar pada transisi masyarakat setempat. Transisi
keagaman itulah yang kini dikenal dengan sebutan Ahlussunnah wal Jama’ah atau Aswaja,
dengan kekuatan basisnya yaitu pesantren dan ulama.[19]
Jika ditilik dari
berbagai konsep tersebut di atas, Ahlussunnah wal Jama’ah dapat multi-dimensional,
sehingga dengan memperhatikan konsep-konsep yang ada, maka Ahlussunnah wal Jama’ah
dapat bermakna sebagai golongan, pakar dan tradisi atau manhaj serta potensi. Untuk itu, jikalau boleh disimpulkan, secara
sederhana Ahlussunnah wal Jama’ah adalah golongan yang dasar keagamaannya
menganut dan bersumber pada al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan ijma’ Sahabat, serta melaksanakan tradisi profetik Nabi Muhammad Saw dan tradisi masyarakat Islam yang Islami
yang mengembangkan prinsip tasamuh, tawasuth, tawazun dan ta’adul dalam
segala aspek kehidupannya.
C.
Nilai-Nilai Ahlussunnah wal Jama’ah
Paham
Ahlussunnah wal Jama’ah harus diterapkan dalam tatanan kehidupan nyata di
masyarakat, serta sebagai upaya mereformulasikan Aswaja sebagai metode berfikir
(manhaj al-fikr)
keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan manusia yang berdasarkan atas
dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan toleransi, tidak lain dan tidak bukan
adalah dalam rangka memberikan warna baru terhadap cetak biru (blue print) yang sudah mulai tidak menarik
lagi dihadapan dunia modern. Oleh karenanya, reformulasi Aswaja sebagai manhaj al-fikr dapat dimanifestasikan dengan
serangkaian sikap yang bertumpu pada karakter dan prinsip-prinsip tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun
(keseimbangan), dan ta’adul (tegak,
lurus, adil).
1.
Tawasuth
(Moderat)
Tawasuth yaitu sikap tengah yang berintikan
prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus
ditengah-tengah kehidupan masyarakat, dan selalu bersifat membangun serta
menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat ekstrim.
Untuk itu, tawasuth bukanlah
kompromistis dengan mencampuradukkan semua unsur (sinkretisme), juga bukan mengucilkan diri dengan menolak pertemuan
semua unsur apapun, tetapi penolakan terhadap segala hal (sikap, tindakan, cara
berfikir, pemahaman, sifat) yang berlebihan (ekstrime), baik ekstrim positif maupun ekstrim negatif. Tawasuth memprioritaskan dan
mengorientasikan sikap, tindakan dan sifat-sifat manusia maupun masyarakat
selalu dalam keadaan yang tepat.[20]
Disamping bersikap tengah-tengah antara
pemahaman tekstual dengan nasionalisme yang berlebihan,[21]
agar tidak liberal, ada inovasi pembaruan tapi masih ada jalur bersambung
dengan nash Qur’an[22]
tetap dijunjung tinggi, serta hadits shahih juga dijunjung tinggi.[23]
Oleh karenanya, Sunni adalah manhaj tawasuth, baik dalam aqidah, fiqih
maupun akhlak.[24]
2.
Tasamuh (Toleran)
Tasamuh dapat diartikan
sebagai sikap
toleran terhadap perbedaan pandangan, terutama dalam hal-hal yang bersifat furu'iyah,
sehingga dapat hidup berdampingan secara
damai dengan pihak lain walaupun aqidah, cara pikir, dan budaya berbeda. Atau
dengan kata lain, tasamuh berarti lapang dada,
yaitu suatu sikap untuk memberi kesempatan atau peluang kepada pihak lain
dengan seperlunya dengan mengorbankan kepentingan sendiri. Ini semua bersandar
pada al-Qur’an dalam surat al-Hasr ayat 9 yang artinya: “Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah yang telah
beriman sebelum kedatangan orang kaum Muhajirin, mereka mencintai kaum
Muhajirin tanpa pamrih apa yang telah mereka berikan. Mereka telah mengutamakan
para Muhajirin tersebut atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam
kerusakan.[25]
Oleh karenanya,
Sikap tasamuh menuntut pihak-pihak yang kuat maupun
mayoritas bersedia berkorban untuk melindungi dan mendukung kesejahteraan dan
hak-hak mereka yang lemah maupun yang minoritas, serta memberikan pengakuan dan
penghormatan yang jujur bahwa pihak maupun kepentingan pihak yang lemah maupun
minor itu daam masyarakat adalah sama esensialnya dengan kepentingan dan hak
mereka yang kuat maupun mayoritas. Tasamuh juga memberikan pengakuan dan penghargaan yang sama atas hak
hidup dan berkembangnya berbagai kebudayaan, ajaran agama, ideologi, maupun
aliran (mazhab) pemikiran, meskipun hanya dianut sekelompok minoritas di dalam
masyarakat.[26]
3.
Tawazun (Keseimbangan)
Tawazun berarti tidak berat sebelah, tidak
kelebihan suatu unsur atau kekurangan unsur yang lain. Oleh karena itu, tawazun
itu menuntut:
a.
Baik
yang menyangkut segi hukum, politik dan kekuasaan. Tidak boleh terjadi
perlakuan sewenang-wenangan dan diskriminasi terhadap berbagai norma, ideologi
dan agama yang hidup didalam masyarakat.
b.
Mempertimbangkan
secara fair, adil dan rasional
terhadap semua pihak dengan segenap dan kepentingannya, dan semua norma,
ideologi, maupun ajaran agama yang berlaku.
Adanya keseimbangan dalam berbagai kehidupan
manusia dan masyarakat yaitu keseimbangan dimensi wahyu dan rasio manusia
(mengenai interpretasi wahyu). Keseimbangan antara kepentingan dunia dan
kepentingan akhirat, keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan sosial,
antara masa lalu dan masa depan, antara hak dan kewajiban.[27]
4.
Ta’adul/ I’tidal (Keadilan)
I’tidal sama dengan adil,
yaitu menempatkan segala sesuatu pada tempatnya (proporsinya).[28]
Sedangkan adil itu sendiri berarti mewujudkan kesamaan dan keseimbangan
diantara hak dan kewajiban. Hak setiap orang harus diberikan sebagaimana
mestinya. Kebahagiaan barulah dirasakan oleh manusia bilamana hak-hak mereka
dijamin dalam masyarakat, hak setiap orang dihargai, dan golongan yang kuat
mengayomi yang lemah. Keadilan adalah sunnatullah
dalam alam. Tanpa keadilan, timbullah kekacauan dan kegoncangan dalam
masyarakat, seperti putusnya hubungan cinta kasih sesama manusia, serta
tertanamnya rasa dendam, kebencian, iri, dengki, dan sebagainya dalam hati
manusia dan menimbulkan permusuhan yang menyebabkan kehancuran. Kelangsungan
hidup masyarakat memang didasarkan dengan penegakan keadilan.
Oleh karena itu, i’tidal mengandaikan norma-norma yang legitim, yang mengatasi dan menjunjung pluralisme dalam masyarakat.
I’tidal menjamin semua pihak dalam
masyarakat bertindak menurut norma yang legitim
dengan tetap mempertimbangkan kepentingan dan hak masing-masing individu maupun
kelompok, menjiwai hukum positif, perilaku kekuasaan dalam masyarakat dan
segenap otoritas yang hidup ditengah-tengah masyarakat. Penerapan keadilan
secara normatif akan melahirkan hukum yang adil serta mendorong terwujudnya
keadilan dalam masyarakat.[29]
D.
Aswaja Sebagai Mazhab,
dan Manhaj al-Fikr
Sebagaimana
dijelaskan oleh KH. Hasyim Asy’ari
dalam al-qanun al-asasi bahwa
faham Ahlussunnah wal
Jama’ah versi Nahdlatul Ulama’ yaitu mengikuti Abu
Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi secara teologis, mengikuti salah
satu empat madzhab fiqh (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) secara fiqhiyah,
dan bertasawuf sebagaimana yang difahami oleh Imam al-Ghazali atau Imam Junaid
al-Baghdadi.
Untuk itu, penjelasan KH.
Hasyim Asy’ari tentang Ahlussunnah wal Jama’ah versi Nahdlatul Ulama’ dapat difahami
sebagai berikut:
1.
Penjelasan aswaja KH Hasyim Asy’ari, jangan
dilihat dari pandangan ta’rif menurut
ilmu manthiq yang harus jami’ wa mani’, tapi itu merupakan
gambaran yang akan lebih mudah kepada masyarakat untuk bisa mendapatkan
pembenaran dan pemahaman secara jelas. Karena secara definitif tentang Aswaja, para
ulama berbeda secara redaksional, tapi muaranya sama, yaitu ‘maa
ana alaihi wa ashabii.’
2.
Penjelasan Aswaja versi KH. Hasyim Asy’ari
merupakan implementasi dari sejarah berdirinya kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah
sejak masa pemerintahan Abbasiyah yang kemudian terakumulasi menjadi firqah yang berteologi Asy’ariyah dan
Maturidiyah, berfiqh madzhab yang empat dan bertasawuf mengikuti al-Ghazali dan
al-Baghdadi.
3.
Merupakan ‘Perlawanan’ terhadap gerakan ‘wahabiyah’
(Islam modernis) di Indonesia waktu itu yang mengumandangkan konsep kembali
kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, dalam arti anti madzhab, anti taqlid, dan anti
TBC (tahayyul, bid’ah dan khurafat). Sehingga dari penjelasan Aswaja versi NU
dapat difahami bahwa untuk memahami al-Qur’an dan as-Sunnah perlu penafsiran
para ulama yang memang ahlinya. Karena sedikit sekali kaum muslimin mampu
berijtihad, untuk itu KH. Hasyim Asy’ari merumuskan kitab Qanun
Asasi (prinsip dasar), kemudian muqallid atau muttabi’, baik mengakui atau tidak.[30]
Oleh karena itu, maka
KH. Hasyim Asy’ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip
dasar), dan juga kitab I’tiqad Ahlussunnah
wal Jamaah.
Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam Khittah
NU, yang dijadikan dasar dan rujukan sebagai warga NU dalam berpikir dan
bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
Khusus untuk
membentengi keyakinan warga NU agar tidak terkontaminasi oleh paham-paham sesat
yang dikampanyekan oleh kalangan modernis, KH. Hasyim Asy'ari menulis kitab ‘Risalah
Ahlusunah wal Jama’ah’ yang secara khusus
menjelaskan soal bid’ah dan sunnah. Sikap lentur NU sebagai titik pertemuan
pemahaman aqidah, fikih, dan tasawuf versi Ahlusunah wal Jama’ah telah berhasil
memproduksi pemikiran keagamaan yang fleksibel, mapan, dan mudah diamalkan
pengikutnya.[31]
Selanjutnya, dengan derasnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan globalisasi dalam berbagai bidang menuntut warga
NU agar terus membaca konstalasi global, baik dalam dunia politik, sosial,
ekonomi dan budaya sehingga mengkaji Ahlussunah wal Jama’ah dari berbagai
aspeknya menjadi keniscayaan. Tujuannya adalah agar Aswaja tetap kontekstual
dengan perkembangan zaman, tidak baku, tidak mengkristal dan mandeg pemikirannya.
Nahdlatul Ulama’ dalam
menjalankan paham Aswaja pada
dasarnya menganut lima prinsip, yakni at-Tawazun (keseimbangan), at-Tasamuh
(toleran), at-Tawasuth
(moderat), at-Ta'adul
(adil, patuh pada hukum), dan amar
makruf nahi mungkar. Dalam masalah sikap toleran pernah dicontohkan
oleh pendiri NU KH. Hasyim
Asy'ari saat muncul perdebatan tentang perlunya negara Islam atau tidak di
Indonesia. Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari mengatakan, selama umat Islam
diakui keberadaan dan peribadatannya,
negara Islam atau bukan, tidak menjadi soal. Sebab, negara Islam bukan
persoalan final dan masih menjadi perdebatan.[32]
Lain dengan kebanyakan
para Ulama’ NU di Indonesia yang menganggap Aswaja sebagai upaya pembakuan atau
menginstitusikan prinsip-prinsip tawassuth
(moderat), tasamuh (toleran), tawazzun (seimbang) dan ta’addul (Keadilan). Maka Said Aqil
Shiroj dalam mereformulasikan Aswaja adalah sebagai metode berfikir (manhaj
al-fikr) keagamaan yang mencakup semua aspek
kehidupan manusia yang berdasarkan atas dasar moderasi, menjaga keseimbangan
dan toleransi, tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka memberikan warna
baru terhadap cetak biru (blue print)
yang sudah mulai tidak menarik lagi dihadapan dunia modern.
Hal yang mendasari imunitas (daya tahan) keberadaan paham
Ahlussunnah wal
Jama’ah adalah, sebagaimana dikutip oleh Said Aqil Siradj, bahwa Ahlussunnah
wal Jama’ah adalah; “Orang-orang
yang memiliki metode berfikir keagamaan
yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan
atas dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan,
keadilan dan toleransi”.[33]
Prinsip dasar yang
menjadi ciri khas paham Aswaja adalah tawasuth,
tawazzun, ta’adul, dan tasamuh;
moderat, seimbang
dan netral,
serta toleran. Sikap pertengahan seperti inilah yang dinilai paling selamat. Ini semua
telah terangkum dan dijelaskan dalam al-Qur’an bahwa umat Nabi Muhammad Saw
adalah umat wasath, umat pertengahan yang adil
(QS. Al-Baqarah : 143).
Harus diakui bahwa
pandangan Said Aqil Siradj tentang Aswaja yang dijadikan sebagai manhaj
al-fikr memang banyak mendapatkan tentangan dari berbagai pihak, meskipun juga
tidak sedikit yang memberikan apresiasi. Apalagi sejak kyai Said mengeluarkan
karyanya yang berjudul: “Ahlussunnah wal
Jama’ah; Sebuah Kritik Historis”.
Meskipun banyak sekali
yang menentang pemikiran Kang Said dalam memahami Aswaja dalam konteks saat
ini, akan tetapi harus diakui bahwa paradigma yang digunakan Said Aqil Siradj dalam
menafsiri Aswaja patut diapresiasi. Karena, selain membuka kran wacana warga
Nahdliyin juga yang dilakukannya merupakan wujud tafsir dalam memahami Aswaja
di era modern dan kontekstual sesuai dengan kondisi zaman.
Selain dari pada itu,
salah satu karakter Aswaja adalah selalu bisa beradaptasi dengan situasi dan
kondisi, oleh karena itu Aswaja tidaklah jumud,
tidak kaku, tidak eksklusif, dan juga tidak elitis,
apa lagi ekstrime. Sebaliknya, Aswaja
bisa berkembang dan sekaligus dimungkinkan bisa mendobrak kemapanan yang sudah
kondusif. Tentunya perubahan tersebut harus tetap mengacu pada paradigma dan
prinsip al-shalih wa al-ahslah.
Karena implementasi dari qaidah ‘al-muhafadhoh ala
qodim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid
al-ashlah’, adalah menyamakan langkah sesuai dengan
kondisi yang berkembang pada masa kini dan masa yang akan datang.[34]
Pada perkembangan berikutnya, lahirlah doktrin
Aswaja ala NU yang dengan tekstual menjadikan al-Qur’an dan Hadits
sebagai landasan utamanya, serta fiqih (ijma’,
qiyas dan maslahatul mursalah) sebagai landasan kontekstualnya. Sehingga dari
kedua landasan tersebut, lahir dialektika antara teks dan konteks dalam
mengambil keputusan, tindakan, pemikiran dan lainnya. Maka tidak lain bahwa
pola pikir yang dikedepankan adalah menolak bahaya (madharat) dan
mendatangkan kebaikan (maslahah) dengan mengedepankan prinsip umum
yaitu; “al muhâfazhah alâ al qadîm al shalîh wa al akhzu bil jadidî al
ashlâh”, menjaga tradisi lama yang baik dan mengembangkan (kreatif) sesuatu
baru yang lebih baik.
Selanjutnya, PMII memaknai Aswaja sebagai manhaj
al-fikr, yaitu metode berfikir yang digariskan oleh para Sahabat Nabi dan
Tabi’in yang sangat erat kaitannya dengan situasi politik dan sosial yang
meliputi masyarakat muslim waktu itu. Dari manhajul fikr inilah kemudian
lahir pemikiran-pemikiran keislaman, baik dibidang aqidah, syari’ah maupun
akhlak (tasawuf) yang―walaupun
beraneka ragam―tetap berada dalam satu ruh, yakni ruh pergerakan.
PMII juga memaknai Aswaja sebagai manhaj
al-taghayyur al-ijtima’i, yaitu pola perubahan sosial kemasyarakatan yang
sesuai dengan nafas perjuangan Rasulullah Saw dan para Sahabatnya. Pola
perubahan ini akan kita lihat nanti dalam arus sejarah peradaban masyarakat
muslim. Inti yang menjadi ruh pergerakan dan pemikiran Aswaja ala PMII, yakni
sebagai manhajul fikr maupun al-taghayyur al-ijtima’i adalah
tidak lain merupakan segala sesuatu yang datang dari Rasul dan para Sahabatnya
(ma ana ‘alaihi wa ashabi). Dari inti tersebut kemudian diejawantahkan
dalam empat nilai didalamnya, yakni nilai tawasuth (moderat), tasammuh
(toleran), tawazun (keseimbangan) dan ta’adul (keadilan).
Bagi PMII, dengan memandang gagasan Aswaja
sebagai manhajul fikr, dirasa sangat perlu dan relevan dalam konteks
perkembangan zaman, selain karena alasan muatan doktrinal Aswaja yang selama
ini dipahami dan ditafsirkan terkesan terlalu kaku. Maka dari itu bagi PMII,
Aswaja dipahami dan dijadikan sebagai manhaj,
sehingga Aswaja menjadi lebih fleksibel dan memungkinkan bagi pengamalannya
untuk menciptakan ruang dialektika, kreativitas serta mampu menciptakan
ikhtiar-ikhtiar baru untuk menjawab tantangan dan perkembangan zaman yang
semakin hari semakin kompleks.
Dari beberapa penjelasan dan uraian tersebut
diatas, maka Aswaja bagi PMII adalah menjadi ruang untuk menunjukkan bahwa
Islam adalah agama yang sempurna bagi setiap waktu, tempat dan zaman. Islam
tidak diturunkan untuk sebuah masa dan tempat tertentu. Kehadirannya dibutuhkan
sepanjang masa dan akan selalu relevan. Namun, relevansi dan makna tersebut
sangat tergantung kepada kita—pemeluk dan penganutnya—dalam memperlakukan dan
mengamalkan Islam. Maka dari itu, disini PMII sekali lagi melihat bahwa Aswaja
merupakan pilihan paling tepat ditengah kenyataan masyarakat kepulauan
Indonesia yang beragam dalam etnis, budaya maupun agama.
E.
Konklusi
Secara konvensional,
Aswaja dinisbatkan pada produk-produk hukum fiqh, pengalaman dan pemikiran
tasawuf dan teologi. Pada masa sekarang pemahaman Aswaja semacam itu dinilai
kurang relevan. Lebih relevan untuk mengkaji metode yang dipergunakan para ‘ulama salaf dalam merumuskan
hukum fiqh atau pemikirannya. Sehingga bukan lagi kodifikasi produk pemikiran, Aswaja menjadi sebuah metode (manhaj). Bagaimanapun para ‘ulama salaf yang menjadi
rujukan Aswaja konvensional juga hidup dalam setting sosio-politik tertentu di era kekhalifahan Islam, sebagaimana
misal Hasan al-Bashri, salah satu
tokoh penting dalam rujukan Aswaja. Bahkan seluruh ‘ulama fiqh dari empat madzhab
wafat akibat konflik politik. Mempelajari latarbelakang dan konteks sosio-politik
tersebut sangat membantu dalam memahami Aswaja sebagai metode berpikir (manhaj al-fikr). Sehingga Aswaja menjadi lebih
fleksibel dan memungkinkan bagi pengamalannya untuk menciptakan ruang
dialektika, kreativitas serta mampu menciptakan ikhtiar-ikhtiar baru untuk
menjawab tantangan dan perkembangan zaman yang semakin hari semakin kompleks.
Daftar Pustaka
Amad
Baso. NU Studies. Jakarta: Erlangga, 2006.
Ali Khaidar. Nahdlatul
Ulama dan Islam Indonesia; Pendekatan Fiqih dalam Politik.
Jakarta: Gramedia, 1995.
A.
Hanafi. Pengantar Teologi Islam. Jakarta:
Pustaka Baru, 2003.
Harun
Nasution. Teologi Islam. Jakakarta: UI Press, 2002.
HS.
Mastuki. Kiai Menggugat; Mengganti Pemikiran Kang Said. Jakarta: Pustaka
Ciganjur, 1999.
KH. Hasyim Asy’ari. Al-Qanun
Al-Asasi; Risalah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, terjemah oleh Zainul
Hakim. Jember: Darus Sholah, 2006.
Marwan Ja’far. Ahlussunnah
Wal Jama’ah; Telaah Historis dan Kontekstual. Yogyakarta:
LKiS, 2010.
Muhammad Idrus Ramli. Pengantar Sejarah Ahlussunah Wal Jama’ah. Surabaya: Khalista, 2011.
M.
Nur Hasan. Ijtihad Politik NU. Yogyakarta:
Manhaj, 2010.
Nur
Sayyid Santoso Kristeva. Sejarah Teologi Islam dan Akar Pemikiran
Ahlussunnah Wal Jama’ah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014.
Nu’man
Abbas. Al Asy’ari; Misteri Perbuatan
Manusia dan Takdir Tuhan. Jakarta: Erlangga, tt.
Said Aqil Siradj. Ahlussunnah
wal Jama’ah; Sebuah Kritik Historis. Jakarta: Pustaka
Cendikia Muda, 2008.
[1] Disampaikan dalam acara Masa
Penerimaan Anggota Baru (MAPABA), Pengurus Komisariat Jokosangkrip IAINU
Kebumen Masa Khidmat 2017-2018, Pada Hari Jum’at, 28 September 2018 di Pondok
Pesantren Miftahul Ulum, Lirap, Petanahan-Kebumen.
[2] Said Aqil Siradj, Ahlussunnah wal
Jama’ah; Sebuah Kritik Historis, (Jakarta: Pustaka Cendikia Muda, 2008),
hlm. 6.
[3] Amad Baso, NU Studies,
(Jakarta: Erlangga, 2006), hlm. 69.
[4] Ibid.,
hlm. 67-70.
[5] Nur Sayyid Santoso Kristeva, Sejarah
Teologi Islam dan Akar Pemikiran Ahlussunnah Wal Jama’ah, Cet. I,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), hlm. 165-169. Mihnah itu timbul sehubungan
dengan paham-paham khalq al-Qur’an.
Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah yang tersusun
dari suara dan huruf-huruf, dan al-Qur’an itu makhluk, dalam arti diciptakan
Tuhan. Karena diciptakan berarti ia sesuatu yang baru, jadi tidak qadim. Jika al-Qur’an itu qadim, maka akan timbul kesimpulan bahwa
ada yang qadim selain Allah, dan ini
musyrik (syirik) hukumnya. Al-Ma’mun kemudian mengintruksikan kepada para gubernur
supaya diadakan pengujian terhadap aparat pemerintah (mihnah) tentang keyakinan mereka tentang ini. Orang yang mempunyai
keyakinan bahwa al-Qur’an adalah qadim
tidak dapat dipakai untuk menempati posisi penting dalam pemerintahan, terutama
untuk jabatan qadi. Dalam
pelaksanaannya, bukan hanya para aparat pemerintah yang diperiksa, tetapi juga
tokoh-tokoh masyarakat. Sejarah mencatat banyak tokoh dan pejabat pemerintahan
disiksa, diantaranya adalah Imam Hambali. Ada juga ulama yang dibunuh karena
tidak sepaham dengan aliran Mu’tazilah, seperti al-Khuzzai dan al-Buwaiti.
[6] HS. Mastuki, Kiai Menggugat;
Mengganti Pemikiran Kang Said, (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999), hlm. 2-3.
[7] Nu’man Abbas, Al Asy’ari; Misteri Perbuatan Manusia dan Takdir Tuhan, (Jakarta:
Erlangga, tt.), hlm. 105.
[8] Ibid.,
hlm. 106.
[9] Ibid.,
hlm. 108.
[10] Ibid.,
hlm. 112-113
[11] Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakakarta:
UI Press, 2002), hlm. 65.
[12] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Jakarta: Pustaka Baru, 2003), hlm. 160.
[14] Ali
Khaidar, Nahdlatul Ulama dan Islam Indonesia;
Pendekatan Fiqih dalam Politik, (Jakarta: Gramedia,
1995), hlm. 69-70.
[15] HS. Mastuki, Op. cit., hlm. 2.
[16] Ibid.,
hlm. 21-22.
[17] Harun Nasution, Op. cit., hlm. 21-22.
[18] Masdar F. Mas’udi, NU dan Theologi
Asyariah, dalam Ahmad Baso, NU Studies, (Jakarta: Erlangga, 2006).
hlm. 32.
[19] Ibid., hlm. 387.
[20] M. Nur Hasan, Ijtihad Politik NU, (Yogyakarta: Manhaj, 2010), hlm. 72.
[21] HS. Mastuki, Op. cit.,hlm. 15.
[22] Ibid.,
hlm. 34.
[23] Ibid.,
hlm. 15.
[24] Ibid.,
hlm. 13.
[25] M. Nur
Hasan, Op. cit., hlm. 76.
[26] Ibid., hlm. 77.
[27] KH. Ahmad
Sidik, Pedoman Berfikir NU, dalam Ibid., hlm. 72.
[28] Ibid., hlm. 65.
[29] Ibid., hlm. 68.
[30] KH.
Hasyim Asy’ari, Al-Qanun Al-Asasi; Risalah Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah, terjemah oleh Zainul Hakim, (Jember: Darus
Sholah, 2006), hlm. 16.
[31] Marwan
Ja’far, Ahlussunnah Wal Jama’ah; Telaah Historis
dan Kontekstual, Cet. I, (Yogyakarta:
LKiS, 2010), hlm. 81.
[32] Ibid.,
hal. 81.
[33] Said
Aqil Siradj, dalam Muhammad Idrus Ramli, Pengantar
Sejarah Ahlussunah Wal Jama’ah, (Surabaya: Khalista, 2011), hlm. 8.