Sunday, September 30, 2018

AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH

AHLUSSUNNAH WAL JAMA'AH

Prawacana[1]
Ahlussunnah wal Jama’ah atau yang sering kita kenal dengan Aswaja pada awal mulanya merupakan sebuah pemikiran teologis yang muncul dan dicetuskan oleh ulama Timur Tengah pada abad permulaan Islam. Kemunculan Aswaja tidak lain adalah identifikasi terhadap kelompok, golongan yang memiliki truth claim pengikut utama Nabi Muhammad Saw.  Golongan ini yang mengklaim diri sebagai kaum yang mengadopsi pola pikir dan nilai-nilai dasar ajaran Islam yang sesuai dengan kaidah perilaku Nabi. Truth claim tersebut dimunculkan dalam merespons terhadap hadits Nabi yang berbunyi: sataftariqu ummaty ‘ala tsalatsatin wa sab’ina firqatan, kulluhum fin nar, illa wahid’, dan satu itu adalah Ahlussunnah wal Jama’ah.
Doktrin yang ditanamkan Aswaja adalah senantiasa mengakomodir secara integral tiga dimensi agama sekaligus, yakni Iman, Islam dan Ikhsan. Dari ketiga dimensi tersebut masing-masing saling melengkapi satu dengan lainnya, berjalan seimbang dalam perilaku dan penghayatan keagamaan bagi umat. Dengan pemahaman atas doktrin  tersebut, sehingga metodologi pemikiran (manhajul al-fikr) dalam Aswaja selalu intens menanamkan empat nilai atau sikap didalamnya, yakni sikap tengah dan moderat (tawasuth), berimbang atau harmoni (tawazun), netral atau adil (ta’adul) dan toleran (tasamuh). Metodologi pemikiran Aswaja tersebut senantiasa menghindari sikap-sikap ekstrem (tatharuf), baik ekstrem kanan ataupun kiri. Inilah yang menjadi esensi identitas untuk mencirikan paham Aswaja dengan paham atau golongan lainnya.
Aswaja juga berkembang di Indonesia. Dalam perkembangannya di Indonesia, Aswaja memiliki akar historis yang begitu panjang, serta tidak bisa dilepaskan dari sejarah Islam itu sendiri. Dalam perspektif historis, banyaknya ahli keislaman Indonesia yang mengambil pelajaran secara langsung kepusat Islam di Timur Tengah dan para ulama Nusantara yang menjadi syeikh di Arab Saudi (Seperti Syeikh Nawawi al-Bantani) menjadi guru dari orang Indonesia yang belajar Islam di Arab Saudi. Ketika para muridnya kembali ke Indonesia kemudian mengembangkan Islam sebagaimana yang diperoleh dari gurunya tersebut. Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari adalah representasi nyata diantara murid yang belajar di Arab Saudi, yang kemudian mengembangkan Pesantren Tebu Ireng-Jombang, serta sebagai pendiri Jam’iyah Nahdlatul ‘Ulama.
Nahdlatul ‘Ulama (NU) adalah organisasi keagamaan terbesar di Indonesia. Berdirinya NU di Indonesia tidak lain bertujuan untuk memelihara ajaran Islam Aswaja agar tetap tegak di bumi Indonesia. Oleh karena itu, antara NU dan Aswaja mempunyai hubungan erat dan tidak bisa dipisahkan. Atau dengan kata lain, NU sebagai organisasi merupakan alat untuk menegakkan Aswaja, dan Aswaja merupakan aqidah pokok dari NU itu sendiri.
Seiring dengan derasnya perkembangan ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang sehingga menuntut kita agar terus memacu diri untuk mengkaji Aswaja dari berbagai aspeknya, sehingga warga Nahdliyin dapat memahami, memperdalam, menghayati dan mengejawantahkan warisan para ulama yang berserakan dalam tumpukan kutub al turast. Oleh karenanya, sejak mulai tahun 1980 sampai awal 1990, diskursus wacana Aswaja mulai ramai diperbincangkan kembali, mula-mula memang perbincangan ini masih dikategorikan bagi kalangan NU, terutama yang tergabung dalam wadah organisasi kemahasiswaan, yaitu Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Perbincangan Aswaja tersebut kemudian muncul protes dari kalangan NU itu sendiri, baik kalangan tua, para kyai dan sesepuh NU yang otentik, karena keberanian anak mudanya mengotak-atik ideologi keberagamaan yang menurutnya mengungkung masyarakat muslim, terutama warga NU.
Pada mulanya, diskursif wacana dan perbincangan kembali Aswaja baru seputar pertanyaan tentang, mengapa Aswaja menghambat perkembangan intelektual masyarakat? Kemudian diskursif mengenai doktrin ini sampai pada kesimpulan bahwa kemandegan berfikir NU karena mengadopsi paham Aswaja secara qaulan (kemasan praktis pemikiran Aswaja). Memang, pergulatan intelektual muda NU ini sering bersetuhan dan berkenalan dengan berbagai literatur-literatur baru karangan cendekiawan-cendekiawan muslim yang lebih progresif dan radikal, misalnya Ali Syari’ati, sampai tokoh ‘kiri Islam’ yang paling digemari awal 1990-an yaitu Hasan Hanafi, teolog modern asal Mesir dari aliran Sunni.
Pergulatan pemikiran dikalangan intelektual muda NU ini, meskipun terbilang centil dan berani, akan tetapi harus diakui bahwa paradigma yang digunakan mereka dalam melakukan interpretasi Aswaja patut untuk dihormati. Karena yang dilakukan mereka adalah wujud tafsir dalam memahami Aswaja di era globalisasi. Namun perlu digaris bawahi juga bahwa PMII sebagai organisasi kemahasiswaan, keislaman dan keindonesiaan mereka tetap komitmen dalam memperjuangkan nilai dan ideologi Aswaja dalam dunia pergerakannya, dan memposisikan Aswaja sebagai upaya dalam memahami, menghayati dan mengamalkan Islam. PMII juga menjadikan Aswaja sebagai manhaj al-fikr, manhaj al-harokah, dan sekaligus manhaj al-taghayyur al-ijtima’i (perubahan sosial) untuk mendekonstruksikan sekaligus merekonstruksi bentuk-bentuk pemahaman dan aktualisasi ajaran-ajaran agama yang toleran, humanis, anti-kekerasan dan kritis transformatif.
A.      Kilas Historis Ahlussunnah wal Jama’ah
Istilah Ahlussunnah wal Jamaah tidak dikenal di zaman Nabi Muhammad Saw maupun di masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin, bahkan tidak dikenal di zaman pemerintahan Bani Umayyah (41-133 H/611-750 M). Terma Ahlussunnah wal Jama’ah sebetulnya merupakan diksi baru, atau sekurang-kurangnya tidak pernah digunakan sebelumnya di masa Nabi dan pada periode Sahabat.[2]
Jika dilacak akar historis Aswaja adalah berawal dari cerita pertengkaran. Tepatnya pertengkaran politik yang bermula setelah Nabi Saw wafat. Pertengkaran atau pertikaian muncul disaat para Sahabat mulai menentukan siapa yang layak mengganti Nabi sebagai penguasa politik. Kemudian berlanjut pada terbunuhnya Usman, menyusul perang antara Ali dan Aisyah, istri Nabi (Perang Jamal), dan perang antara Ali dan Muawiyah (Perang Siffin). Persoalannya kemudian melebar kemana-mana. Tidak hanya siapa pengganti Nabi, siapakah yang benar diantara yang bertikai, dan siapakah yang salah? Hingga pemahaman tentang patutkah Sahabat dianggap berdosa dan kafir?
Pertikaian dan konflik tersebut di atas, kemudian melahirkan situasi disorientasi dan krisis nilai dikalangan umat Islam pada masa itu. Situasi dan kondisi inilah yang akhirnya dapat disebut dengan ‘Fitnah Kubra’, yaitu suatu keadaan yang membuat semua orang kehilangan teladan, keteladanan, pegangan dan saudara mana yang harus diikuti dan dapat dijadikan sebagai hujjah, panutan  dan tuntunan.
Dari pihak-pihak yang bertikai tersebut kemudian muncul kelompok ketiga yang menyatakan dirinya itu netral dan tidak berpihak pada salah satu kubu. Mereka mengasingkan diri dan menyerukan satu seruan moralitas dengan kegitan politis, ilmu dan amal ibadah, seperti Abdullah Bin-Umar, Abu Musa al-Asy’ari, Saad Abu Waqash, Muhammad Bin Maslamah dan sebagainya, serta pengikut Ali setelah terjadinya ‘Amul Jama’ah pada tahun 40 H.[3]
Kelompok ini yang disebut oleh para sejarahwan klasik dengan berbagai macam identitas. Ada yang menyebutnya kelompok Mur’jiah karena menyerahkan dan menangguhkan perkara iman sepenuhnya kepada Allah Swt. Ada yang menyebutnya Mu’tazilah, karena mengasingkan diri dari gelenggang politik dan tidak berpihak pada salah satu yang bertikai, dan ada juga yang menyebutnya dengan  Ahlussunnah, karena berpegang teguh pada ajaran sunnah Nabi Saw.
Namun pada intinya bahwa kelompok ini menanam benih-benih imajinasi sosial dalam agama (soft politics), yang berimajinasi tentang harmoni dan ketertiban sosial, solidaritas dan persatuan umat Islam (jama’ah), yang selanjutnya dikenal sebagai cikal bakal Ahlussunnah wal Jama’ah yang mendambakan stabilitas politik negara.[4]
Jika ditelisik secara sederhana, historisitas kemunculan Aswaja bisa ditelusuri sejak pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Pada masa pemerintahan Usman, ada seorang Gubernur Syiria bernama Muawiyah bin Abi Sufyan, ketika Ali terpilih menjadi khalifah secara demokratis, Muawiyah tidak setuju dan melakukan pemberontakan hingga terjadilah perang antara keduanya (Muawiyah-Ali) yang terjadi sekitar tahun 35-40 H, dan dalam perang tersebut dimenangkan oleh Ali. Ketika pasukan Muawiyah hampir terdesak, kemudian mengibarkan bendera putih tanda menyerah dengan al-Qur’an diatas untuk meminta perdamaian.
Dalam perdamaian tersebut, terjadilah perundingan yang dikenal dengan nama tahkim (Arbitrase). Dalam perundingan tersebut, dari pihak Ali diutuslah Abu Musa al-Asy’ari adalah orang tua (kasepuhan) dan seorang tokoh ulama. Kemudian pihak Muawiyah diutus seorang pilitisi dengan nama Amru bin Ash. Dalam perundingan tersebut, pertama-tama terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak bahwa pemerintahan kosong atau tidak diduduki, baik oleh pemerintah yang sah (yang pada waktu itu dijabat oleh Ali) maupun Muawiyah. Karena kelicikan dari Amru bin Ash—yang berlatarbelakang seorang politisi—dalam perundingan tersebut dimenangkan oleh pihak Muawiyah, padahal semula jabatan khalifah dipegang dan diduduki secara sah oleh Ali bin Abi Thalib.
Inti dari penjelasan tersebut diatas bahwa ketika perang dimenangkan oleh Ali, namun ketika saat perundingan dimenangkan pihak Muawiyah karena taktik politik yang dilancarkan oleh Amru bin Ash. Dengan perundingan inilah kemudian umat Islam terpecah menjadi tiga golongan, yaitu pengikut Ali yang setia, atau yang dikenal dengan golongan Syiah, kemudian yang menolak Ali dan Muawiyah lebih dikenal dengan Khawarij, dan yang terakhir adalah kelompok pendukung Muawiyah, dan peristiwa ini terjadi sekitar akhir 40-an H.
Periode selanjutnya Muawiyah berkuasa, dan untuk melanggengkan kekuasaannya tersebut, Muawiyah—atau dikenal dengan Bani Umayyah—membuat aliran keagamaan yang disebut dengan aliran Jabariyah dengan doktrin ajarannya yaitu; “semua yang terjadi dalam dunia ini adalah kehendak Allah. Termasuk Muawiyah menang dari Ali itu juga dikehendaki oleh Allah”. Pendek kata, dalam doktrin Jabariyah dengan pemahaman bahwa apapun yang dilakukan manusia adalah sudah dikehendaki dan diinginkan oleh Allah. Dengan doktrin dan pemahaman ini, kemudian dalam kehidupan masyarakat muncul banyak pengemis, ekonomi hancur, masyarakat banyak yang tidak berusaha karena lebih menjalankan rutinitas ritual dan tidak mau mencari rizki.
Sebagai perimbangan dan anti tesis atas paham Jabariyah tersebut, kemudian muncul paham Qodariyah yang dipelopori oleh cucu Ali bin Abi Thalib dengan nama Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib dengan paham yang sebaliknya, bahwa; “manusia ini yang berkehendak atau yang berkuasa, dan Allah tidak turut campur terhadap apa yang dilakukan oleh manusia. Karena manusia berkehendak, maka Allah tidak turut campur dan manusia harus bertanggungjawab terhadap perbuatannya”. Dari sinilah kemudian mulai ada reformasi (pembaharuan), yang kemudian Bani Umayyah tumbang dan mampu digulingkan, selanjutnya digantikan oleh Bani Abbasiyah.
Aliran Qodariyah pada masa Bani Abbasiyah benar-benar dijadikan sebagai spirit pembangunan negara yang turunannya dengan sedikit modifikasi, atau yang kita kenal dengan paham Mu’tazilah. Karena akal lebih mendominasi dalam pandangan dan prinsip Mu’tazilah, sehingga menimbulkan kebablasan dalam berfikirnya, karena semuanya diukur dengan akal dan kehendak manusia (akal mutlak). Sampai kemudian terjadi peristiwa―ketika salah satu dari keturunan Bani Abbasiyah, yaitu masa khalifah Al-Ma’mun―dimana paham Mu’tazilah dijadikan sebagai paham resmi negara, sehingga timbul banyak korban bagi mereka yang tidak sepaham. Peristiwa tersebut dikenal dengan Mihnah (inquisition).[5]
Saat runtuhnya Mu’tazilah dan bangkitnya khalifah al-Mutawakil, dia membuang mazhab Mu’tazilah, karena terlalu over dan masyarakat sudah jenuh dengan gerakannya. Mutawakil kemudain condong membela mazhab Ahli Hadits, yaitu mazhabnya Ahmad bin Hambal.[6]
Selanjutnya, pada akhir abad ke-3 Hijrah muncullah dua tokoh yang menonjol, yaitu Abu Hasan Al Asy’ari (di Basrah) dan Abu Mansur Al Maturidi (di Samarkand). Al Asy’ari belajar bersama gurunya, yaitu Abu Ali al-Jubbai selama 40 tahun. Sehingga termasuk tokoh Mu’tazilah, yang karena kepintaran dan kemahirannya sering mewakili gurunya dalam berdiskusi.[7] Tetapi kemudian Asy’ari meninggalkan gurunya dan paham Mu’tazilah, karena adanya perbedaan pandangan dengan gurunya, serta membentuk paham dan mazhab baru.[8] Dan jadilah pendapat Asy’ari itu dengan mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah.[9]
Memang, untuk kepentingan umat dan agama, Asy’ari kompromikan antara nash dan akal. Sebab, berpegang pada nash secara harfiah dan mengharamkan penggunaan akal adalah keliru. Tetapi sebaliknya, memperturutkan pendapat akal semata untuk menyusun pendapat berkaitan dengan aqidah adalah suatu kesalahan yang fatal. Al-Qur’an dan as-Sunnah juga tidak mengabaikan akal dan tidak mengharamkan wajar. Penggunaan akal dalam memaknai dan membela syari’ah adalah suatu kemestian, dan bukan suatu kesesatan. Al-Asy’ari memperoleh kedudukan dan mempunyai banyak pendukung dan pembelaan dari penguasa. Ia mengalahkan musuh-musuhnya, baik Mu’tazilah maupun kaum yang lain, serta orang-orang kafir.
Kebanyakan ulama pada masanya menggelari al-Asy’ari sebagai imam Ahlussunnah wal Jamaah.[10] Sehingga aliran ini muncul tidak lain adalah keberanian dan usaha Abu Hasan al-Asy’ari disekitar tahun 300 H.[11] Disamping ada juga yang menyebutkan bahwa sebutan Ahlussunnah sudah dipakai sebelum Asy’ari, yaitu terhadap mereka yang apabila menghadapi sesuatu peristiwa, maka dicari hukumnya dari bunyi nash al-Qur’an dan Hadits, dan apabila tidak didapatinya maka mereka diam saja karena tidak berani melampauinya. Mereka lebih terkenal dengan sebutan ahli hadits yang sudah ada semenjak zaman sahabat, kemudian dilanjutkan sampai masa tabi’in.[12]
B.      Definisi Ahlussunnah wal Jama’ah
Ahlussunnah wal Jamaah atau yang biasa disingkat dengan Aswaja secara bahasa berasal dari kata ‘Ahlun yang artinya keluarga, golongan atau pengikut. ‘Ahlussunnah berarti orang yang mengikuti sunnah, baik perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi Saw. Sedangkan ‘al-Jama’ah adalah sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Jika dikaitkan dengan madzhab, memiliki arti sekumpulan orang yang berpegang teguh pada salah satu imam madzhab dengan tujuan untuk mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat.[13]
Sedangkan secara istilah, Aswaja berarti golongan umat Islam yang dalam bidang tauhid menganut pemikiran Imam Abu Hasan al-Asyari dan Abu Mansur al-Maturidi, sedangkan dalam bidang fiqih menganut Imam Madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali), serta dalam bidang tasawuf menganut Imam al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi.[14]
Maka dari itu, dalam pengertian yang lebih sederhana dapat diartikan bahwa Ahlusunnah wal Jama’ah adalah paham yang dalam masalah aqidah  mengikuti Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi. Dalam praktek peribadatan mengikuti salah satu empat madzhab, yaitu madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali, dan dalam bertasawuf mengikuti Imam Abu Qosim al-Junaidi dan Imam Abu Hamid al-Ghazali.
Konsep Aswaja sudah dianggap final dikalangan tua, tidak demikian dikalangan NU muda bahwa interpretasi konsep Aswaja menjadi sebuah kehausan, bukan saja untuk mengaktualisasikan konsep itu dengan perubahan-perubahan yang begitu cepat, tetapi juga sebagai kritik historis atas kebenaran konsep yang selama ini diyakini dan diamalkan.
Menurut Said Aqil Siradj, Aswaja adalah kelompok yang bersikap netral (tengah-tengah) tidak memihak pada salah satu partai yang ada, dan lebih berorientasi pada kegiatan ilmiah dan amal ibadah.[15] Metodologi berfikir keagamaan yang mencakup segala aspek kehidupan dan berdiri diatas prinsip keseimbangan dalam aqidah, penengah dan perekat dalam kehidupan sosial, serta keadilan toleransi di dalam politik. Mengikuti dan memegang teguh dengan apa yang telah ditetapkan oleh Rasul dan Sahabatnya.[16]
Harun Nasution mendefinisikan Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai golongan yang berpegang pada Sunnah lagi merupakan mayoritas, sebagai lawan dari golongan Mu’tazilah yang bersifat minoritas dan teologi berpegang pada Sunnah. sedangkan Ahmad Amin, Aswaja adalah kaum yang percaya dan menerima hadits shahih tanpa memilih dan interpretasi.[17]
Sedangkan Faham Sunni, menurut Masdar F. Mas’udi adalah keagamaan yang berwatak keseimbangan (ahlul istqomah atau yang dalam hal ini dipahami sebagai ummatan wasathan) yang bersedia memahami segala sesatu, bukan dalam kaca mata kuda dan kaca mata hitam-putih. Nuansa-nuansa itu adalah aspirasi sejarah dan budaya, serta semua manusia hidup terlibat didalamnya.[18]
Selanjutnya, proses Islamisasi yang dilakukan Wali Songo, bukan sekedar mengajak masyarakat masuk Islam, tetapi juga mengubah struktur sosial masyarakat menuju tatanan sosial yang lebih adil, manusiawi dan berakar pada transisi masyarakat setempat. Transisi keagaman itulah yang kini dikenal dengan sebutan Ahlussunnah wal Jama’ah atau Aswaja, dengan kekuatan basisnya yaitu pesantren dan ulama.[19]
Jika ditilik dari berbagai konsep tersebut di atas, Ahlussunnah wal Jama’ah dapat multi-dimensional, sehingga dengan memperhatikan konsep-konsep yang ada, maka Ahlussunnah wal Jama’ah dapat bermakna sebagai golongan, pakar dan tradisi atau manhaj serta potensi. Untuk itu, jikalau boleh disimpulkan, secara sederhana Ahlussunnah wal Jama’ah adalah golongan yang dasar keagamaannya menganut dan bersumber pada al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan ijma’ Sahabat, serta melaksanakan tradisi profetik Nabi Muhammad Saw dan tradisi masyarakat Islam yang Islami yang mengembangkan prinsip tasamuh, tawasuth, tawazun dan ta’adul dalam segala aspek kehidupannya.
C.      Nilai-Nilai  Ahlussunnah wal Jama’ah
Paham Ahlussunnah wal Jama’ah harus diterapkan dalam tatanan kehidupan nyata di masyarakat, serta sebagai upaya mereformulasikan Aswaja sebagai metode berfikir (manhaj al-fikr) keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan manusia yang berdasarkan atas dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan toleransi, tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka memberikan warna baru terhadap cetak biru (blue print) yang sudah mulai tidak menarik lagi dihadapan dunia modern. Oleh karenanya, reformulasi Aswaja sebagai manhaj al-fikr dapat dimanifestasikan dengan serangkaian sikap yang bertumpu pada karakter dan prinsip-prinsip tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (keseimbangan), dan ta’adul (tegak, lurus, adil).
1.          Tawasuth (Moderat)
Tawasuth yaitu sikap tengah yang berintikan prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus ditengah-tengah kehidupan masyarakat, dan selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat ekstrim. Untuk itu, tawasuth bukanlah kompromistis dengan mencampuradukkan semua unsur (sinkretisme), juga bukan mengucilkan diri dengan menolak pertemuan semua unsur apapun, tetapi penolakan terhadap segala hal (sikap, tindakan, cara berfikir, pemahaman, sifat) yang berlebihan (ekstrime), baik ekstrim positif maupun ekstrim negatif. Tawasuth memprioritaskan dan mengorientasikan sikap, tindakan dan sifat-sifat manusia maupun masyarakat selalu dalam keadaan yang tepat.[20]
Disamping bersikap tengah-tengah antara pemahaman tekstual dengan nasionalisme yang berlebihan,[21] agar tidak liberal, ada inovasi pembaruan tapi masih ada jalur bersambung dengan nash Qur’an[22] tetap dijunjung tinggi, serta hadits shahih juga dijunjung tinggi.[23] Oleh karenanya, Sunni adalah manhaj tawasuth, baik dalam aqidah, fiqih maupun akhlak.[24]
2.         Tasamuh (Toleran)
Tasamuh dapat diartikan sebagai sikap toleran terhadap perbedaan pandangan, terutama dalam hal-hal yang bersifat furu'iyah, sehingga dapat hidup berdampingan secara damai dengan pihak lain walaupun aqidah, cara pikir, dan budaya berbeda. Atau dengan kata lain, tasamuh berarti lapang dada, yaitu suatu sikap untuk memberi kesempatan atau peluang kepada pihak lain dengan seperlunya dengan mengorbankan kepentingan sendiri. Ini semua bersandar pada al-Qur’an dalam surat al-Hasr ayat 9 yang artinya: Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah yang telah beriman sebelum kedatangan orang kaum Muhajirin, mereka mencintai kaum Muhajirin tanpa pamrih apa yang telah mereka berikan. Mereka telah mengutamakan para Muhajirin tersebut atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kerusakan.[25]
Oleh karenanya, Sikap tasamuh menuntut pihak-pihak yang kuat maupun mayoritas bersedia berkorban untuk melindungi dan mendukung kesejahteraan dan hak-hak mereka yang lemah maupun yang minoritas, serta memberikan pengakuan dan penghormatan yang jujur bahwa pihak maupun kepentingan pihak yang lemah maupun minor itu daam masyarakat adalah sama esensialnya dengan kepentingan dan hak mereka yang kuat maupun mayoritas. Tasamuh juga memberikan pengakuan dan penghargaan yang sama atas hak hidup dan berkembangnya berbagai kebudayaan, ajaran agama, ideologi, maupun aliran (mazhab) pemikiran, meskipun hanya dianut sekelompok minoritas di dalam masyarakat.[26]
3.         Tawazun (Keseimbangan)
Tawazun berarti tidak berat sebelah, tidak kelebihan suatu unsur atau kekurangan unsur yang lain. Oleh karena itu, tawazun itu menuntut:
a.    Baik yang menyangkut segi hukum, politik dan kekuasaan. Tidak boleh terjadi perlakuan sewenang-wenangan dan diskriminasi terhadap berbagai norma, ideologi dan agama yang hidup didalam masyarakat.
b.   Mempertimbangkan secara fair, adil dan rasional terhadap semua pihak dengan segenap dan kepentingannya, dan semua norma, ideologi, maupun ajaran agama yang berlaku.
Adanya keseimbangan dalam berbagai kehidupan manusia dan masyarakat yaitu keseimbangan dimensi wahyu dan rasio manusia (mengenai interpretasi wahyu). Keseimbangan antara kepentingan dunia dan kepentingan akhirat, keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan sosial, antara masa lalu dan masa depan, antara hak dan kewajiban.[27]
4.        Ta’adul/ I’tidal (Keadilan)
I’tidal sama dengan adil, yaitu menempatkan segala sesuatu pada tempatnya (proporsinya).[28] Sedangkan adil itu sendiri berarti mewujudkan kesamaan dan keseimbangan diantara hak dan kewajiban. Hak setiap orang harus diberikan sebagaimana mestinya. Kebahagiaan barulah dirasakan oleh manusia bilamana hak-hak mereka dijamin dalam masyarakat, hak setiap orang dihargai, dan golongan yang kuat mengayomi yang lemah. Keadilan adalah sunnatullah dalam alam. Tanpa keadilan, timbullah kekacauan dan kegoncangan dalam masyarakat, seperti putusnya hubungan cinta kasih sesama manusia, serta tertanamnya rasa dendam, kebencian, iri, dengki, dan sebagainya dalam hati manusia dan menimbulkan permusuhan yang menyebabkan kehancuran. Kelangsungan hidup masyarakat memang didasarkan dengan penegakan keadilan.
Oleh karena itu, i’tidal mengandaikan norma-norma yang legitim, yang mengatasi dan menjunjung pluralisme dalam masyarakat. I’tidal menjamin semua pihak dalam masyarakat bertindak menurut norma yang legitim dengan tetap mempertimbangkan kepentingan dan hak masing-masing individu maupun kelompok, menjiwai hukum positif, perilaku kekuasaan dalam masyarakat dan segenap otoritas yang hidup ditengah-tengah masyarakat. Penerapan keadilan secara normatif akan melahirkan hukum yang adil serta mendorong terwujudnya keadilan dalam masyarakat.[29]
D.     Aswaja Sebagai Mazhab, dan Manhaj al-Fikr
Sebagaimana dijelaskan oleh KH. Hasyim Asy’ari dalam al-qanun al-asasi bahwa faham Ahlussunnah wal Jama’ah versi Nahdlatul Ulama’ yaitu mengikuti Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi secara teologis, mengikuti salah satu empat madzhab fiqh (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) secara fiqhiyah, dan bertasawuf sebagaimana yang difahami oleh Imam al-Ghazali atau Imam Junaid al-Baghdadi.
Untuk itu, penjelasan KH. Hasyim Asy’ari tentang Ahlussunnah wal Jama’ah versi Nahdlatul Ulama’ dapat difahami sebagai berikut:
1.          Penjelasan aswaja KH Hasyim Asy’ari, jangan dilihat dari pandangan ta’rif menurut ilmu manthiq yang harus jami’ wa mani’, tapi itu merupakan gambaran yang akan lebih mudah kepada masyarakat untuk bisa mendapatkan pembenaran dan pemahaman secara jelas. Karena secara definitif tentang Aswaja, para ulama berbeda secara redaksional, tapi muaranya sama, yaitu ‘maa ana alaihi wa ashabii.’
2.         Penjelasan Aswaja versi KH. Hasyim Asy’ari merupakan implementasi dari sejarah berdirinya kelompok Ahlussunnah wal Jama’ah sejak masa pemerintahan Abbasiyah yang kemudian terakumulasi menjadi firqah yang berteologi Asy’ariyah dan Maturidiyah, berfiqh madzhab yang empat dan bertasawuf mengikuti al-Ghazali dan al-Baghdadi.
3.         Merupakan ‘Perlawanan’ terhadap gerakan ‘wahabiyah’ (Islam modernis) di Indonesia waktu itu yang mengumandangkan konsep kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, dalam arti anti madzhab, anti taqlid, dan anti TBC (tahayyul, bid’ah dan khurafat). Sehingga dari penjelasan Aswaja versi NU dapat difahami bahwa untuk memahami al-Qur’an dan as-Sunnah perlu penafsiran para ulama yang memang ahlinya. Karena sedikit sekali kaum muslimin mampu berijtihad, untuk itu KH. Hasyim Asy’ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian muqallid atau muttabi’, baik mengakui atau tidak.[30]
Oleh karena itu, maka KH. Hasyim Asy’ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), dan juga kitab I’tiqad Ahlussunnah wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU, yang dijadikan dasar dan rujukan sebagai warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
Khusus untuk membentengi keyakinan warga NU agar tidak terkontaminasi oleh paham-paham sesat yang dikampanyekan oleh kalangan modernis, KH. Hasyim Asy'ari menulis kitab ‘Risalah Ahlusunah wal Jama’ah yang secara khusus menjelaskan soal bid’ah dan sunnah. Sikap lentur NU sebagai titik pertemuan pemahaman aqidah, fikih, dan tasawuf versi Ahlusunah wal Jama’ah telah berhasil memproduksi pemikiran keagamaan yang fleksibel, mapan, dan mudah diamalkan pengikutnya.[31]
Selanjutnya, dengan derasnya perkembangan ilmu pengetahuan dan globalisasi dalam berbagai bidang menuntut warga NU agar terus membaca konstalasi global, baik dalam dunia politik, sosial, ekonomi dan budaya sehingga mengkaji Ahlussunah wal Jama’ah dari berbagai aspeknya menjadi keniscayaan. Tujuannya adalah agar Aswaja tetap kontekstual dengan perkembangan zaman, tidak baku, tidak mengkristal dan mandeg pemikirannya.
Nahdlatul Ulama’ dalam menjalankan paham Aswaja pada dasarnya menganut lima prinsip, yakni at-Tawazun (keseimbangan), at-Tasamuh (toleran), at-Tawasuth (moderat), at-Ta'adul (adil, patuh pada hukum), dan amar makruf nahi mungkar. Dalam masalah sikap toleran pernah dicontohkan oleh pendiri NU KH. Hasyim Asy'ari saat muncul perdebatan tentang perlunya negara Islam atau tidak di Indonesia. Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari mengatakan, selama umat Islam diakui keberadaan dan peribadatannya, negara Islam atau bukan, tidak menjadi soal. Sebab, negara Islam bukan persoalan final dan masih menjadi perdebatan.[32]
Lain dengan kebanyakan para Ulama’ NU di Indonesia yang menganggap Aswaja sebagai upaya pembakuan atau menginstitusikan prinsip-prinsip tawassuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazzun (seimbang) dan ta’addul (Keadilan). Maka Said Aqil Shiroj dalam mereformulasikan Aswaja adalah sebagai metode berfikir (manhaj al-fikr) keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan manusia yang berdasarkan atas dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan toleransi, tidak lain dan tidak bukan adalah dalam rangka memberikan warna baru terhadap cetak biru (blue print) yang sudah mulai tidak menarik lagi dihadapan dunia modern.
Hal yang mendasari imunitas (daya tahan) keberadaan paham Ahlussunnah wal Jama’ah adalah, sebagaimana dikutip oleh Said Aqil Siradj, bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah adalah; Orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan, keadilan dan toleransi”.[33]
Prinsip dasar yang menjadi ciri khas paham Aswaja adalah tawasuth, tawazzun, ta’adul, dan tasamuh; moderat, seimbang dan netral, serta toleran. Sikap pertengahan seperti inilah yang dinilai paling selamat. Ini semua telah terangkum dan dijelaskan dalam al-Qur’an bahwa umat Nabi Muhammad Saw adalah umat wasath, umat pertengahan yang adil (QS. Al-Baqarah : 143).
Harus diakui bahwa pandangan Said Aqil Siradj tentang Aswaja yang dijadikan sebagai manhaj al-fikr memang banyak mendapatkan tentangan dari berbagai pihak, meskipun juga tidak sedikit yang memberikan apresiasi. Apalagi sejak kyai Said mengeluarkan karyanya yang berjudul: “Ahlussunnah wal Jama’ah; Sebuah Kritik Historis”.
Meskipun banyak sekali yang menentang pemikiran Kang Said dalam memahami Aswaja dalam konteks saat ini, akan tetapi harus diakui bahwa paradigma yang digunakan Said Aqil Siradj dalam menafsiri Aswaja patut diapresiasi. Karena, selain membuka kran wacana warga Nahdliyin juga yang dilakukannya merupakan wujud tafsir dalam memahami Aswaja di era modern dan kontekstual sesuai dengan kondisi zaman.
Selain dari pada itu, salah satu karakter Aswaja adalah selalu bisa beradaptasi dengan situasi dan kondisi, oleh karena itu Aswaja tidaklah jumud, tidak kaku, tidak eksklusif, dan juga tidak elitis, apa lagi ekstrime. Sebaliknya, Aswaja bisa berkembang dan sekaligus dimungkinkan bisa mendobrak kemapanan yang sudah kondusif. Tentunya perubahan tersebut harus tetap mengacu pada paradigma dan prinsip al-shalih wa al-ahslah. Karena implementasi dari qaidah ‘al-muhafadhoh ala qodim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah’, adalah menyamakan langkah sesuai dengan kondisi yang berkembang pada masa kini dan masa yang akan datang.[34]
Pada perkembangan berikutnya, lahirlah doktrin Aswaja ala NU yang dengan tekstual menjadikan al-Qur’an dan Hadits sebagai landasan utamanya, serta fiqih (ijma’, qiyas dan maslahatul mursalah) sebagai landasan kontekstualnya. Sehingga dari kedua landasan tersebut, lahir dialektika antara teks dan konteks dalam mengambil keputusan, tindakan, pemikiran dan lainnya. Maka tidak lain bahwa pola pikir yang dikedepankan adalah menolak bahaya (madharat) dan mendatangkan kebaikan (maslahah) dengan mengedepankan prinsip umum yaitu; “al muhâfazhah alâ al qadîm al shalîh wa al akhzu bil jadidî al ashlâh”, menjaga tradisi lama yang baik dan mengembangkan (kreatif) sesuatu baru yang lebih baik.
Selanjutnya, PMII memaknai Aswaja sebagai manhaj al-fikr, yaitu metode berfikir yang digariskan oleh para Sahabat Nabi dan Tabi’in yang sangat erat kaitannya dengan situasi politik dan sosial yang meliputi masyarakat muslim waktu itu. Dari manhajul fikr inilah kemudian lahir pemikiran-pemikiran keislaman, baik dibidang aqidah, syari’ah maupun akhlak (tasawuf) yang―walaupun beraneka ragam―tetap berada dalam satu ruh, yakni ruh pergerakan.
PMII juga memaknai Aswaja sebagai manhaj al-taghayyur al-ijtima’i, yaitu pola perubahan sosial kemasyarakatan yang sesuai dengan nafas perjuangan Rasulullah Saw dan para Sahabatnya. Pola perubahan ini akan kita lihat nanti dalam arus sejarah peradaban masyarakat muslim. Inti yang menjadi ruh pergerakan dan pemikiran Aswaja ala PMII, yakni sebagai manhajul fikr maupun al-taghayyur al-ijtima’i adalah tidak lain merupakan segala sesuatu yang datang dari Rasul dan para Sahabatnya (ma ana ‘alaihi wa ashabi). Dari inti tersebut kemudian diejawantahkan dalam empat nilai didalamnya, yakni nilai tawasuth (moderat), tasammuh (toleran), tawazun (keseimbangan) dan ta’adul (keadilan).
Bagi PMII, dengan memandang gagasan Aswaja sebagai manhajul fikr, dirasa sangat perlu dan relevan dalam konteks perkembangan zaman, selain karena alasan muatan doktrinal Aswaja yang selama ini dipahami dan ditafsirkan terkesan terlalu kaku. Maka dari itu bagi PMII, Aswaja dipahami dan dijadikan sebagai manhaj, sehingga Aswaja menjadi lebih fleksibel dan memungkinkan bagi pengamalannya untuk menciptakan ruang dialektika, kreativitas serta mampu menciptakan ikhtiar-ikhtiar baru untuk menjawab tantangan dan perkembangan zaman yang semakin hari semakin kompleks.
Dari beberapa penjelasan dan uraian tersebut diatas, maka Aswaja bagi PMII adalah menjadi ruang untuk menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang sempurna bagi setiap waktu, tempat dan zaman. Islam tidak diturunkan untuk sebuah masa dan tempat tertentu. Kehadirannya dibutuhkan sepanjang masa dan akan selalu relevan. Namun, relevansi dan makna tersebut sangat tergantung kepada kita—pemeluk dan penganutnya—dalam memperlakukan dan mengamalkan Islam. Maka dari itu, disini PMII sekali lagi melihat bahwa Aswaja merupakan pilihan paling tepat ditengah kenyataan masyarakat kepulauan Indonesia yang beragam dalam etnis, budaya maupun agama.
E.       Konklusi
Secara konvensional, Aswaja dinisbatkan pada produk-produk hukum fiqh, pengalaman dan pemikiran tasawuf dan teologi. Pada masa sekarang pemahaman Aswaja semacam itu dinilai kurang relevan. Lebih relevan untuk mengkaji metode yang dipergunakan para ‘ulama salaf dalam merumuskan hukum fiqh atau pemikirannya. Sehingga bukan lagi kodifikasi produk pemikiran, Aswaja menjadi sebuah metode (manhaj). Bagaimanapun para ‘ulama salaf yang menjadi rujukan Aswaja konvensional juga hidup dalam setting sosio-politik tertentu di era kekhalifahan Islam, sebagaimana misal Hasan al-Bashri, salah satu tokoh penting dalam rujukan Aswaja. Bahkan seluruh ‘ulama fiqh dari empat madzhab wafat akibat konflik politik. Mempelajari latarbelakang dan konteks sosio-politik tersebut sangat membantu dalam memahami Aswaja sebagai metode berpikir (manhaj al-fikr). Sehingga Aswaja menjadi lebih fleksibel dan memungkinkan bagi pengamalannya untuk menciptakan ruang dialektika, kreativitas serta mampu menciptakan ikhtiar-ikhtiar baru untuk menjawab tantangan dan perkembangan zaman yang semakin hari semakin kompleks.

Daftar Pustaka
Amad Baso. NU Studies. Jakarta: Erlangga, 2006.
Ali Khaidar. Nahdlatul Ulama dan Islam Indonesia; Pendekatan Fiqih dalam Politik. Jakarta: Gramedia, 1995.
A. Hanafi. Pengantar Teologi Islam. Jakarta: Pustaka Baru, 2003.
Harun Nasution. Teologi Islam. Jakakarta: UI Press, 2002.
HS. Mastuki. Kiai Menggugat; Mengganti Pemikiran Kang Said. Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999.
KH. Hasyim Asy’ari. Al-Qanun Al-Asasi; Risalah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, terjemah oleh Zainul Hakim. Jember: Darus Sholah, 2006.
Marwan Ja’far. Ahlussunnah Wal Jama’ah; Telaah Historis dan Kontekstual. Yogyakarta: LKiS, 2010.
Muhammad Idrus Ramli. Pengantar Sejarah Ahlussunah Wal Jama’ah. Surabaya: Khalista, 2011.
M. Nur Hasan. Ijtihad Politik NU. Yogyakarta: Manhaj, 2010.
Nur Sayyid Santoso Kristeva. Sejarah Teologi Islam dan Akar Pemikiran Ahlussunnah Wal Jama’ah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014.
Nu’man Abbas. Al Asy’ari; Misteri Perbuatan Manusia dan Takdir Tuhan. Jakarta: Erlangga, tt.
Said Aqil Siradj. Ahlussunnah wal Jama’ah; Sebuah Kritik Historis. Jakarta: Pustaka Cendikia Muda, 2008.




[1] Disampaikan dalam acara Masa Penerimaan Anggota Baru (MAPABA), Pengurus Komisariat Jokosangkrip IAINU Kebumen Masa Khidmat 2017-2018, Pada Hari Jum’at, 28 September 2018 di Pondok Pesantren Miftahul Ulum, Lirap, Petanahan-Kebumen.
[2] Said Aqil Siradj, Ahlussunnah wal Jama’ah; Sebuah Kritik Historis, (Jakarta: Pustaka Cendikia Muda, 2008), hlm. 6.
[3] Amad Baso, NU Studies, (Jakarta: Erlangga, 2006), hlm. 69.
[4] Ibid., hlm. 67-70.
[5] Nur Sayyid Santoso Kristeva, Sejarah Teologi Islam dan Akar Pemikiran Ahlussunnah Wal Jama’ah, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), hlm. 165-169. Mihnah itu timbul sehubungan dengan paham-paham khalq al-Qur’an. Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah yang tersusun dari suara dan huruf-huruf, dan al-Qur’an itu makhluk, dalam arti diciptakan Tuhan. Karena diciptakan berarti ia sesuatu yang baru, jadi tidak qadim. Jika al-Qur’an itu qadim, maka akan timbul kesimpulan bahwa ada yang qadim selain Allah, dan ini musyrik (syirik) hukumnya. Al-Ma’mun kemudian mengintruksikan kepada para gubernur supaya diadakan pengujian terhadap aparat pemerintah (mihnah) tentang keyakinan mereka tentang ini. Orang yang mempunyai keyakinan bahwa al-Qur’an adalah qadim tidak dapat dipakai untuk menempati posisi penting dalam pemerintahan, terutama untuk jabatan qadi. Dalam pelaksanaannya, bukan hanya para aparat pemerintah yang diperiksa, tetapi juga tokoh-tokoh masyarakat. Sejarah mencatat banyak tokoh dan pejabat pemerintahan disiksa, diantaranya adalah Imam Hambali. Ada juga ulama yang dibunuh karena tidak sepaham dengan aliran Mu’tazilah, seperti al-Khuzzai dan al-Buwaiti.
[6] HS. Mastuki, Kiai Menggugat; Mengganti Pemikiran Kang Said, (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999), hlm. 2-3.
[7] Nu’man Abbas, Al Asy’ari; Misteri Perbuatan Manusia dan Takdir Tuhan, (Jakarta: Erlangga, tt.), hlm. 105.
[8] Ibid., hlm. 106.
[9] Ibid., hlm. 108.
[10] Ibid., hlm. 112-113
[11] Harun Nasution, Teologi Islam, (Jakakarta: UI Press, 2002), hlm. 65.
[12] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Jakarta: Pustaka Baru, 2003), hlm. 160.
[13] Said Aqil Siradj, Op. cit., hlm. 5.
[14] Ali Khaidar, Nahdlatul Ulama dan Islam Indonesia; Pendekatan Fiqih dalam Politik, (Jakarta: Gramedia, 1995), hlm. 69-70.
[15] HS. Mastuki, Op. cit., hlm. 2.
[16] Ibid., hlm. 21-22.
[17] Harun Nasution, Op. cit., hlm. 21-22.
[18] Masdar F. Mas’udi, NU dan Theologi Asyariah, dalam Ahmad Baso, NU Studies, (Jakarta: Erlangga, 2006). hlm. 32.
[19] Ibid., hlm. 387.
[20] M. Nur Hasan, Ijtihad Politik NU, (Yogyakarta: Manhaj, 2010), hlm. 72.
[21] HS. Mastuki, Op. cit.,hlm. 15.
[22] Ibid., hlm. 34.
[23] Ibid., hlm. 15.
[24] Ibid., hlm. 13.
[25] M. Nur Hasan, Op. cit., hlm. 76.
[26] Ibid., hlm. 77.
[27] KH. Ahmad Sidik, Pedoman Berfikir NU, dalam Ibid., hlm. 72.
[28] Ibid., hlm. 65.
[29] Ibid., hlm. 68.
[30] KH. Hasyim Asy’ari, Al-Qanun Al-Asasi; Risalah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, terjemah oleh Zainul Hakim, (Jember: Darus Sholah, 2006), hlm. 16.
[31] Marwan Ja’far, Ahlussunnah Wal Jama’ah; Telaah Historis dan Kontekstual, Cet. I, (Yogyakarta: LKiS, 2010), hlm. 81.
[32] Ibid., hal. 81.
[33] Said Aqil Siradj, dalam Muhammad Idrus Ramli, Pengantar Sejarah Ahlussunah Wal Jama’ah, (Surabaya: Khalista, 2011), hlm. 8.
[34] Said Aqil Siradj, Op. cit., hlm. 9.