Thursday, September 06, 2018

MELAMPAUI PLURALISME DAN PENDIDIKAN


Tradisi agama telah mendarah daging dalam sejarah kehidupan umat manusia. Eropa dan Amerika dengan tradisi Kristen, Timur Tengah dengan tradisi Islam, China dengan tradisi Konfusianisme, Thailand dengan Budhisme, India dengan tradisi Hinduisme dan masih banyak lagi tradisi keagamaan lain yang belum bisa penulis sebutkan satu persatu disini. Namun pada intinya bahwa dalam setiap wilayah tradisi besar (high tradition), perlunya melihat tradisi kecil (law tradition) yang menyertainya.
Sebagaimana kita lihat, di Timur Tengah ada tradisi Islam Sunni dan Syiah, begitu juga bangsa Indonesia sebagai suatu bangsa yang besar, karena masyarakat didalamnya itu sangat majemuk (pluralis). Dilihat dari sudut horizontal terdiri dari beragam suku dan ras yang mempunyai budaya, bahasa, nilai dan agama atau keyakinan yang berbeda. Sementara dilihat dari sudut vertikalnya dapat diamati dari tingkat perbedaan pendidikan, ekonomi, pemukiman, pekerjaan dan tingkat sosial budaya. Begitupun masyarakatnya yang didalamnya itu menganut agama Islam (Islam Sunni) menjadi mayoritas, disamping masih banyak terdapat bermacam-macam organisasi keagamaan yang dijadikan sebagai wadah untuk mengekspresikan diri dan menyampaikan aspirasi kelompok mereka. Ada NU (Nahdlatul Ulama), Muhammadiyah, Persis, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI) dan begitu seterusnya.
Dengan banyaknya jumlah baik etnis, suku, agama, adat, bahasa daerah, maka sewajarnya jika kemajemukan masyarakat Indonesia[1] merupakan keniscayaan. Oleh karenanya, menafikkan keberadaan tradisi-taradisi agama dimuka bumi, baik barat apalagi timur merupakan pekerjaan yang sia-sia. Sebab masing-masing mempunyai hak hidup yang sama, mempertahankan tradisi dan identitasnya masing-masing dengan berbagai cara yang dilakukan. Untuk itu, cara yang paling ampuh untuk melestariakan dan merawat tradisi, agama, budaya dan lainnya adalah lewat jalur pendidikan. Sebab pendidikan adalah alat yang paling efektif utuk meneruskan, melanggengkan dan mengonservasi (mengawetkan) tradisi dari satu generasi kegenerasi selanjutnya dan dari abad yang satu keabad yang lain.
Permasalahan dan juga persoalan pokok yang sering terjadi dan dihadapi para pendidik dan penggerak sosial-keagamaan dengan kondisi yang begitu majemuk dan pluralis adalah bagaimana caranya agar masing-masing tradisi keagamaan tetap dapat mengawetkan, memelihara, melanggengkan, mengalihgenerasikan, serta mewariskan kepercayaan dan tradisi yang diyakini tersebut sebagai suatu kebenaran yang mutlak, namun pada saat yang sama harus menyadari sepenuhnya keberadaan kelompok tradisi keagamaan yang lain, serta berbuat dan melakukan hal yang serupa. Selain untuk memperkuat identitas diri dan kelompoknya, perlunya upaya agar masing-masing budaya dan tradisi yang ada tetap menjaga kebersamaan, kohesi sosial dan keutuhan bersama.
Di era golabal-plural-multikultural seperti sekarang ini, setiap saat bisa saja terjadi peristiwa yang tidak terbayangkan dan tidak terduga sama sekali. Kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi-informasi juga berimplikasi pada melebarnya perbedaan tingkat pendapatan ekonomi antara negara kaya dengan negara miskin. Kontak-kontak budaya semakin cepat dan pergesekan kultur dan tradisipun tak terhindarkan, dan bahkan hampir-hampir tidak lagi mengenal batas-batas geografis secara konvensional. Adanya internet dan menjamurnya android atau smart phone bagi masyarakat saat ini menjadikan anak didik memperoleh pengetahuan yang lebih cepat dari pada guru yang biasanya masih menggunakan cara-cara konvensional.
Memang, Abad ini dapat ditandai dengan dan oleh fenomena baru tentang kebangkitan agama-agama. Sehingga para ahli sosiologi agama hari ini harus benar-benar bekerja keras untuk memahami dan menjelaskan apa yang sesunggunya terjadi. Sebab, tesis-tesis terdahulu menyatakan bahwa semakin modern dan semakin fungsional tingkat budaya manusia maka akan semakin ditinggalkanlah agama, namun yang terjadi malah sebaliknya. Tidak dapat dipungkiri dan ditutup-tutupi oleh siapapun bahwa fenomena modernitas yang belakangan ini terjadi ternyata berbarengan dengan munculnya fenomena kebangkitan agama-agama dunia. Ini semua dapat ditandai dengan munculnya fenomena baru tentang watak primordialisme, sektarianisme dan radikalisme.
Para pendidik agama dan penggerak dakwah sosial keagamaan kemudian terkejut. Mengapa program transmisi  dan konservasi nilai-nilai keagamaan yang begitu mulia dan berharga diberbagai tradisi keagamaan, namun berubah menjadi ‘intoleransi’ dan ‘konfrontasi’. Mengapa konfrontasi kekerasan yang mengatasnamakan agama terjadi dimana-mana, seperti Irlandia, Palestina, Thailan Selatan, Madrid, Casablanca, Nigeria dan Afganistan.[2] Begitu juga banyak bukti dinegeri ini (Indonesia), kerusuhan yang berlatarbelakang SARA (suku, adat, ras dan agama). Salah satu buktinya adalah terjadinya kerusuhan yang terjadi di Indonesia yang ditandai oleh friksi dan tensi krusial akhir-akhir ini.
Konflik atau ketegangan yang terjadi hari ini memberikan indikasi bahwa betapa suramnya toleransi dalam kehidupan masyarakat kita. Paling tidak, tentu saling pengertian dapat tercapai barulah bersifat nominal belaka. Pola hubungan seperti itu dengan sendirinya tidak memiliki daya tahan yang ampuh terhadap berbagai tekanan yang datang dari perkembangan politik, ekonomi dan  budaya, sehingga kerukunan yang ada hanyalah kondisi yang rapuh.
Jika dilacak secara mendalam penyebab konflik yang terjadi antara satu wilayah dengan wilayah yang lain tidaklah sama. Ada yang dipicu oleh faktor kesenjangan ekonomi, perseteruan politik, perebutan kekuasaan, atau agama. Namun demikian, dari sebagian besar konflik dan kekerasan yang ada di Indonesia, ‘agama’ dinilai menjadi salah satu faktor yang cukup determinan terjadinya konflik.[3]
Dalam suasana seperti ini, agama seringkali menjadi titik singgung paling sensitif dan eksklusif dalam pergaulan pluralitas masyarakat. Masing-masing pihak mengklaim  bahwa dirinyalah yang paling benar (truth claim), sedangkan pihak lain adalah salah. Persepsi bahwa perbedaan adalah merupakan sesuatu yang buruk, suatu hal yang menakutkan, sudah begitu mendarah daging dalam jiwa umat beragama. Perbedaan ternyata belum sepenuhnya disadari sebagai kekayaan dan kenyataan hidup yang begitu indah, namun malah menjadi sarana untuk berperilaku destruktif-anarkis. Penyelesaian dengan kepala dingin, mengedepankan dialog, jalan damai, dan berbasis nilai kemanusiaan ternyata belum menjadi pilihan utama.
Oleh karenanya, untuk mendapatkan suasana yang toleran serta penghormatan yang tulus bagi masing-masing pemeluk agama, maka kiranya melanjutkan usaha untuk saling mengetahui secara lebih baik dengan usaha menerapkan mekanisme dialog pada seluruh tingkatan, khususnya level akar rumput, serta memperhatikan masalah-masalah dan keluhan-keluhan yang ada diberbagai komunitas.[4] Hubungan timbal balik dengan mengajukan gagasan serta mendengarkan gagasan orang lain adalah solusi penting yang akan melahirkan prinsip musyawarah (dialog), baik dialog secara langsung antar perseorangan dalam pergaulan sehari-hari maupun secara tidak langsung, yakni melalui mekanisme dan pelembagaan yang dipilih dan ditetapkan bersama. Inilah prinsip penting yang diajarkan oleh agama, sebab prinsip dasar yang diajarkan dalam agama sebagai pangkal kebijaksanaan adalah musyawarah (ra’sul hikmah al-masyurah).[5]
Pendidikan adalah salah satu bentuk perwujudan kebudayaan manusia yang dinamis dan syarat akan perkembangan. Karena itu, perubahan atau perkembangan adalah hal yang memang seharusnya terjadi dan harus sejalan dengan perubahan budaya kehidupan. Dalam Islam, tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan adalah membentuk insan kamil, yakni manusia paripurna yang memiliki kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual sekaligus. Tujuan seperti ini tidak mungkin tercapai dan terwujud tanpa sistem dan proses yang baik. Oleh karena itu, pentingnya bagi dunia pendidikan Islam untuk merumuskan dan merancang bangunan pemikiran kependidikannya dengan sistem pendidikan yang sistemik demi keberlangsungan hidup dan kehidupan umat manusia, sehingga dunia pendidikan Islam mampu menghasilkan manusia-manusia paripurna, yang akan mengemban tugas mensejahterakan dan memakmurkan kehidupan di muka bumi ini, bermoral etis, hidup dalam suasana pluralis, demokratis serta menghormati hak-hak orang lain, bukan sebagai manusia perusak atau pembuat kekacauan  di muka bumi.




[1] Seperti diketahui bahwa Bangsa Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan jumlah pulau terbesar di Dunia yang mencapai 17.667 pulau besar dan kecil. Dengan jumlah pulau sebanyak ini, maka wajarlah jika kemajemukan masyarakat di Indonesia merupakan suatu keniscayaan. Dengan keadaan yang begitu majemuk, warga Negara Indonesia seperti dikatan Usman Pelly dapat disatukan bahasa komunikasinya dengan bahasa nasional (Bahasa indonesia) meskipun dalam kenyataanya terdapat 350 kelompok etnis, adat istiadat, dan cara-cara sesuai dengan kondisi lingkungan tertentu. Lihat: Ali Maksum dan Luluk Yunan Ruhendi, Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post Modern; Mencari Visi Baru atas Realitas Baru Pendidikan Kita, Cet. I, (Yogyakarta: Ircisod, 2004), hlm. 189-190.
[2] M. Amin Abdullah, Pendidikan Agama Era Multikultural-Multireligius, (Jakarta: PSAP Muhammadiyah, 2005), hlm. 5.
[3] Ibid., hlm. 15-16.
[4] Franz Magniz Suseno, dkk., Memahami Hubungan antar Agama, Cet. I, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2007), hlm. 22.
[5] Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Cet. I, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 59.

Previous Post
Next Post

Penulis yang mengabdikan tulisannya bagi amal jariyah pemikiran. Tokoh favorit sekaligus panutannya adalah Gus Dur