Thursday, October 31, 2019

INTELLECTUAL COMMUNITY PMII YANG TERLUPAKAN

INTELLECTUAL COMMUNITY PMII YANG TERLUPAKAN

Tulisan ini sebenarnya bukanlah narasi ilmiah-intelektual yang patut untuk dikaji secara serius apalagi bersifat mendalam, karena—narasinya yang biasa-biasa saja—yang juga oleh penulis lebih diarahkan pada kerangka refleksi, sekaligus keengganan pribadi penulis untuk menyalahkan siapapun, terlebih bagi kader PMII yang sedang berproses. Bagi pribadi penulis, bentuk respons diri atau mungkin kritik konstruktif, adalah bagian dari upaya memberikan kontribusi nyata bagi PMII, walaupun dalam dan hanya sebatas narasi kritik deskriptif terhadap perjalanan PMII hari ini. Barangkali tidak secara sistematis membahas kaitan teologi kita dengan gaya intelektualitas di PMII, namun saya berharap bahwa refleksi ini bisa menjadi representasi mendasar dari kegalaun ini.

Kegalauan saya yang dimaksud, lebih tertuju pada perkembangan komunitas intelektual (intellectual community) yang digelorakan PMII hari ini, yang terlihat kering, lesu dan bahkan miskin intelektual. Terlihat generasi kader sekarang, gairah berwacana intelektual semakin surut dan bahkan redup, karena basis dan khazanah intelektual serta potensi-potensi kader PMII yang begitu besar belum mampu digerakkan. Sementara, dalam setiap jenjang pengkaderan selalu diteriakkan kultur diskusi, berfikir kritis hingga arah gerakan aksi, akan tetapi jati diri kader lupa akan kesadaran intelektual.

Dalam beberapa dekade terakhir ini, kegiatan PMII cenderung normatif. Faktanya bahwa kegiatan-kegiatan PMII hanya sebatas kegiatan seremonial belaka, seperti pelantikan pengurus, sekolah atau pelatihan yang tidak terkonsep dengan baik, serba mendadak, literature ilmiah yang minim, dan lebih-lebih dibeberapa kegiatan hanya terfokus pada ruang tradisi keagamaan, seperti tahlilan, ziarah kubur dan kegiatan nonformal lainnya. Sedangkan, pendalaman intelektualisme kader tidak dijalankan secara masif.

Kegiatan keagamaan, sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan akan hilang eksistensinya dan menjauh dari tradisi-tradisi individu warga pergerakan. Karena, warga PMII sebagai organisasi mahasiswa yang berbasis sosial NU dan pesantren, adalah kelompok gerakan mahasiswa yang paling otoritatif mewarisi tradisi pemahaman keagamaan Islam Nusantara. Hal ini tidak terlepas dari tradisi pesantren yang menekankan pada penguasaan khazanah klasik, kualitas individu dan sosial, baik dalam pendekatan fikih maupun tasawuf.

Pada konteks kekinian, kesadaran intelektual PMII perlu direkonstruksi ulang. Kajian-kajian pemikiran, forum diskusi dan mediasi intelektual harus dihidupkan kembali. Pemikiran liar dan kritis terhadap arus pemikiran Islam kontemporer harus lebih ditingkatkan. Sikap kritis paling lugas diambil kader PMII hari ini adalah mengembangkan semangat dan corak pemikiran berbasis intelektual untuk menguatkan gagasan yang mampu melahirkan eksplorasi gagasan intelektual yang mendalam. Karena, dinamika berfikir menjadi sandaran utama dalam kerja pergerakan. Karenanya juga, rajutan kebebasan berfikir yang dibangun di atas nalar kritis yang berpadu dengan input mayoritas kader PMII yang tradisionalisme berbasis pesantren, berlatarbelakang disiplin ilmu agama dan sosial humaniora, kesemuanya itu akan menyemburatkan corak pemikiran tradisional progresif-transformatif.

Selanjutnya, dekonstruksi dan rekonstruksi pemahaman ajaran agama, Aswaja sebagai manhajul fikr, pribumisasi Islam, pluralisme, kritik wacana agama, perjuangan keislaman dan kebangsaan lewat gerakan sosio-kultural adalah beberapa item telah lahir dan digandrungi warga PMII[1], dan menjadi sejarah pergulatan pemikiran kaum muda ini dalam kancah percaturan pemikiran keagamaan. Sehingga patut untuk direfleksikan bersama bagi warga PMII bahwa sosok kader muda intelektual PMII adalah mereka lahir dan dibesarkan oleh kultur dan tradisi Aswaja.

Adalah kita (PMII), anak muda kaum tradisionalis yang selama ini dicap sebagai kelompok marginal dalam belantara perkembangan pemikiran keagamaan di Indonesia, diam-diam ternyata selama ini lebih liberal, progresif-transformatif terhadap segala bentuk turats peninggalan klasik, ketimbang mereka anak muda yang mengklaim diri lebih modernis dan terdidik. Dengan demikian, di tangan kaum muda progresif (warga PMII) telah merubah dirinya menjadi teks yang hidup, terbuka, kenyal dan memiliki adaptasi yang tinggi terhadap tuntutan dan perubahan zaman.

Benar adanya bahwa PMII hari ini tidaklah seperti dulu lagi, dan mungkin karena konteks zaman yang berbeda. Akan tetapi, perlu disadari bersama bahwa tanggungjawab PMII dalam membangun kesadaran intelektual sangatlah besar. Karena, PMII terdiri dari mahasiswa yang akan memimpin dan memompa gagasan intelektual di ranah kampus. Itulah mengapa PMII harus membuktikan diri bahwa ia adalah sentrum gerakan sekaligus sentral dan simpul jaringan intelektual. Dengan adanya fenomena sumberdaya kader PMII yang berbasis intelektualitas, harapan besarnya akan terlahir intelektual progresif-transformatif, walaupun secara sosiologis mereka adalah anak kampung pedesaan yang tumbuh dalam suasana desa, kaum sarungan yang lekat dengan tradisi dan dengan semangat tradisionalisme.

Banyak kalangan menyanjung bahwa lahirnya Indonesia baru di tahun 2025 adalah milik kaum tradisionalis—yang di dalamnya (mungkin) ada PMII. Jika besok benar terjadi, peristiwa ini menandakan bahwa gerbong kultural tradisional merangsek perlahan menuju sentrum. Kaum sarungan mulai diperebutkan, dijadikan idola bahkan diperdagangkan; seperti sekarang ini yang sudah terlihat dalam percaturan politik nasional. Di sisi lain, orang mulai percaya bahwa kebangkitan intelektual kaum tradisionalis telah terjadi. Optimisme baru tersebut terbangun selaras dengan bermunculannya kultur hibrida kaum tradisional yang jumlahnya kian hari kian bertambah.[]



[1] Kecendrungan PMII dekade 80-an dan 90-an begitu gandrung dengan paradigma pemikiran dan gerakan kiri. Keakraban dengan pemikiran filsafat rasionalisme, materialisme, sosialisme, dan historisisme, tidak hanya bersumberkan dari sumber aslinya di barat, tetapi juga dari kalangan pemikir muslim sendiri yang berhaluan kiri, seperti Hasan Hanafi, Ali Syariati, Asghar Ali Engginer dan pemikir kiri Islam lainnya.

Saturday, August 31, 2019

PENDIDIKAN ISLAM PLURALIS (Telaah Pemikiran Gus Dur)

PENDIDIKAN ISLAM PLURALIS (Telaah Pemikiran Gus Dur)
Prawacana

Keniscayaan yang tidak mungkin kita elakkan, bahwa bumi sebagai hunian umat manusia adalah satu. Akan tetapi, Tuhan menghendaki kemajemukan (pluralitas) bagi penghuni bumi, yaitu terdiri atas beragam suku, ras, bahasa, kultur dan agama. Dengan pluralitas tersebut, sehingga perbedaan merupakan sunnatullah yang beragam, yang tidak mungkin kita pungkiri akan kepastiannya. Oleh sebab itu, penolakan terhadap pluralitas sama saja pengingkaran terhadap ketentuan Allah Swt. Padahal, telah dijelaskan dengan gamblang dalam firman-Nya, yaitu dalam Surat Al-Hujurat/49 Ayat 13, yang artinya:
Hai umat manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal”.[1]
Tradisi agama telah mendarah daging dalam sejarah kehidupan umat manusia. Seperti halnya di Eropa dan Amerika, yaitu dengan tradisi Kristen, Timur Tengah dengan tradisi Islam, China dengan tradisi Konfusianisme, Thailand dengan Budhisme, India dengan tradisi Hinduisme dan seterusnya. Di wilayah negara Timur Tengah, ada tradisi Islam Sunni dan Syiah. Intinya bahwa dalam setiap wilayah tradisi besar (high tradition), perlu untuk melihat tradisi kecil (law tradition) yang menyertainya.
Begitu juga gambaran bangsa Indonesia, sebagai bangsa dengan masyarakatnya yang sangat majemuk atau pluralis. Jika dilihat dari sudut horizontal, bangsa ini terdiri dari beragam bahasa, suku, ras, budaya, nilai dan bahkan agama dengan keyakinan yang berbeda pula. Seperti halnya mayoritas masyarakatnya, yaitu penganut agama Islam, di samping masih terdapat banyak varian-varian organisasi sebagai wadah untuk mengekspresikan diri dan menyampaikan aspirasi kelompoknya masing-masing. Ada Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persis, Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan begitu seterusnya. Sementara jika dilihat dari sudut vertikalnya, bisa diamati dari tingkat perbedaan pendidikan, ekonomi, pemukiman, pekerjaan hingga tingkat sosial budaya.
Dengan banyaknya jumlah baik etnis, suku, budaya, adat, bahasa, agama dan lain sebagainya, sewajarnya jika kemajemukan masyarakat Indonesia,[2] adalah keniscayaan. Menafikkan keberadaan tradisi-tradisi agama di muka bumi—baik Barat apalagi Timur—sebagai pekerjaan yang sia-sia, karena masing-masing mempunyai hak hidup yang sama untuk mempertahankan tradisi dan identitasnya sendiri-sendiri dengan berbagai cara yang dilakukan, asalkan cara itu masih berpegang teguh pada kebhinekaan dan persatuan bangsa.
Masyarakat dengan pluralitas semacam ini, merupakan fenomena unik dan menarik, namun bisa menjadi titik pangkal konflik, seperti yang banyak terjadi sejak dahulu hingga kini. Di satu sisi, keragaman dapat diterima oleh masyarakat sebagai keniscayaan yang disikapi dengan arif, sisi lain ternyata menimbulkan masalah cukup kompleks. Karenanya, sikap dan pemahaman akan pluralisme, kemudian menjadi landasan bersama (common platform) menjadi keniscayaan, tujuannya adalah untuk menghindari terjadinya ketegangan maupun konflik.
Secara prinsipil, tujuan pluralisme adalah bentuk pengakuan terhadap wacana agama, kelompok, individu, komunitas, sekte dan segala macam bentuk perbedaan, sebagai fakta yang harus diterima dan dipelihara bersama-sama.[3] Jika sikap seperti ini bisa dilakukan, tentu saja tidak mungkin terjadi ketegangan yang berujung pada konflik.
Masyarakat kita adalah sebagai masyarakat bangsa yang heterogen yang sedang tumbuh, tentu sulit untuk mengembangkan sikap saling pengertian yang mendalam, antara beranekaragam unsur-unsur etnis, suku, budaya, bahasa dan agama. Paling tidak, saling pengertian barulah tercapai bersifat nominal belaka. Pola hubungan seperti ini, dengan sendirinya tidak akan memiliki daya tahan ampuh terhadap berbagai tekanan dan perkembangan dari luar, seperti perkembangan politik, ekonomi, sosial dan budaya. Sehingga, kerukunan yang ada hanyalah kondisi yang rapuh.
Seringkali berbagai benturan maupun konflik yang terjadi di negeri ini, yang mendapat sorotan tajam adalah mengenai benturan konflik persoalan tentang pluralisme agama. Banyak bukti di negeri kita ini, kerusuhan yang berlatarbelakang suku, adat, ras dan agama (Sara). Salah satu bukti kerusuhan yang ditandai oleh friksi dan tensi krusial dengan warna keagamaan, misalnya konflik di Maluku, yang ditengarai sebagai konflik Sara yang melibatkan dua komunitas agama.[4] Kemudian konflik komunal di Poso, yang menyeret dua komunitas yang berlainan agama (Islam-Nasrani) dalam rentang yang cukup lama, dengan korban jiwa, korban harta benda, dan kerugian lain yang cukup besar.[5] Kemudian konflik muncul kembali, yaitu konflik pasca penyerangan terhadap Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Cikeusik Pandeglang, pada awal tahun 2011. Kekerasan kembali pecah di Temanggung Jawa Tengah, ada tiga Gereja yang rusak, puluhan kendaraan dibakar, dan beberapa bangunan dirusak.[6] Kemudian di tahun 2019 ini, di beberapa minggu terakhir, jagat maya diramaikan dengan berita dan video kerusuhan di Fakfak, Timika Mimika, Papua Barat. Kerusuhan dengan duduk perkaranya, yaitu persoalan dan protes atas rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur. Protes dan unjuk rasa yang dilakukan oleh sekelompok massa, yang berujung pada anarkisme dan pembakaran kantor Dewan Adat dan Pasar (Trumbuni), serta beberapa fasilitas umum lainnya.[7]
Kejadian dan tragedi konflik kemanusiaan tersebut, menandakan betapa suramnya toleransi dalam kehidupan beragama masyarakat bangsa kita. Konflik dengan kekerasan yang bernuansa suku, ras dan agama tersebut, sebenarnya antara satu wilayah dengan wilayah lain tidaklah sama. Memang, harus diakui bahwa ada motif tertentu di luar faktor-faktor itu semua, seperti faktor ekonomi, sosial, kultural, politik dan keamanan, turut serta menjadi bagian yang melahirkan perseteruan dan konflik bernuansa suku, ras dan agama.[8] Namun, tidak bisa dipungkiri juga bahwa konflik suku, ras dan konflik antar umat agama, acapkali dipicu oleh perbedaan doktrinal yang dipelihara sebagai keyakinan yang absolut, sehingga faktor ‘agama’ menduduki posisi krusial. Alasannya adalah bahwa kekuatan utama warisan sejarah dan kebencian primordial, dipersepsi sebagai tradisi agama dan memori konflik agama di masa lampau,[9] sehingga konflik kekerasan yang ada di Indonesia, ‘agama’ dinilai sebagai faktor determinan terjadinya konflik.[10]
Dalam suasana dan pemikiran sebagaimana tergambarkan di atas, ‘agama’ seringkali menjadi titik singgung paling sensitif dan eksklusif dalam pergaulan pluralitas masyarakat, karena masing-masing pihak mengklaim terhadap agama yang dianutnya itu paling benar, sedangkan agama lain itu salah, tersesat dan terancam hak hidupnya. Persepsi ini menunjukkan bahwa perbedaan merupakan sesuatu yang buruk dan menakutkan, sudah begitu mendarah daging dalam jiwa umat beragama, sehingga konflikpun tidak terpungkiri sebagai alternatif jalan bagi pemecahan masalah. Akibatnya, kesengsaraan pun dialami oleh diberbagai pihak, baik yang bertikai maupun yang tidak mengetahui sama sekali. Dampak dari sebuah konflik tersebut adalah kerugian yang menyeluruh dari berbagai pihak, dan lagi-lagi masyarakat kecil sebagai korban dan harus menanggung akibat-akibat yang ditimbulkan dari konflik yang ada tersebut.
Dari berbagai peristiwa dan tragedi konflik agama, telah memberi gangguan yang cukup serius terhadap tekad bersama masyarakat dalam membangun bangsa ini, yaitu bangsa (Indonesia) yang pluralis dan toleran, baik dalam kerangka kehidupan bangsa yang berbudaya, mandiri secara sosial-politik, hingga antar maupun intern umat beragama, dan aspek-aspek kehidupan yang lain.
Terlepas dari provokator dan lain sebagainya, yang menjadi sasaran kesalahan dalam setiap kekacauan. Namun yang jelas, umat beragama masyarakat bangsa ini belum memiliki kontrol emosi yang memadai, dan masih diliputi rasa sentimen keagamaan dan fanatisme berlebih, sudah begitu mendarahdaging dan mengakar dalam masyarakat bangsa ini, sehingga mudah terpancing emosi untuk melakukan tindakan anarkis.
Sentimen keagamaan dan fanatisme konservatif memberikan andil besar terhadap munculnya konflik dan tragedi kerusuhan. Fenomena konflik dan kekerasan tersebut, juga disebabkan oleh karena pengetahuan masyarakat yang masih dangkal dan belum memiliki pengetahuan agama yang cukup luas dalam memahami sumber-sumber otoritatif agama. Pembacaan atas teks agama sangat dangkal-partikulatif-harfiah, yang kemudian membuat generalisasi atasnya. Pembacaan atas teks seperti ini, sama saja telah mereduksi ilmu Tuhan yang maha tak terbatas, dengan menyalahkan pemahaman pihak lain, dan merupakan bentuk kebodohan yang nyata, sekaligus kekeliruan besar terhadap teks-teks suci Al-Qur’an dalam Islam.[11]
Dari berbagai fenomena maupun tragedi kerusuhan yang berujung pada konflik berlatarbelakang agama tersebut, setidaknya dapat dijadikan vonis awal bahwa sampai saat ini kesadaran pluralitas beragama masyarakat, benar-benar belum menyentuh sisi kesadaran paling inti pada diri masing-masing pemeluk agama. Artinya, slogan-slogan tentang agama yang mengajarkan cinta kasih, perdamaian dan tidak mengajarkan tindakan kejahatan dalam bentuk apapun hanyalah omong kosong belaka. Harusnya, korelasi dari fungsi teologis, ritualistik dan sosiologis yang terbangun atas dasar misi keagamaan, bisa mewarnai perilaku dan karya-karya kemanusiaan dalam gerakan-gerakan sosial sebuah agama.[12]
Menanamkan kesadaran dan membangun kebesaran hati atas pengakuan terhadap pluralisme, bisa dimulai dari tingkat struktur dan kultur masyarakat, yaitu dengan membenahi kesepakatan yang telah ada dalam berbangsa dan bernegara, sehingga akan terwujud sistem sosial mayarakat dan peraturan yang lebih baik. Untuk itu, perlunya dialog teologis antar maupun intern umat beragama dengan di dasari kajian kritis terhadap diri sendiri, selanjutnya diikuti dialog aksi.
Pendidikan merupakan agen perubahan kebudayaan (cultural broker) bagi masyarakat. Karenanya, pendidikan sebagai sarana strategis untuk menciptakan dialog secara kontinuitas, yaitu membangun kesadaran saling mengenal, saling memiliki dan cinta kasih. Begitu pun pendidikan Islam, agar melakukan serangkaian evaluasi dan pembenahan kependidikannya, yaitu melalui sistem pendidikannya dengan paradigma pendidikan pluralis, yaitu suatu cara pandang pendidikan yang menghargai akan nilai-nilai kemanusiaan dan toleransi. Bukan berarti ingin menonjolkan sifat-sifat liberal bagi pendidikan Islam, namun lebih pada upayanya dalam membangun suatu pemahaman dan kesadaran bagi peserta didik tentang pentingnya nilai kemanusiaan, toleransi dan penghormatan tulus bagi umat agama lain, sehingga mereka bisa mengejawantahkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara.
Memang, hal ini menjadi tugas berat bagi dunia pendidikan Islam. Karena di satu sisi, pendidikan Islam dihadapkan pada kehidupan modern yang menuntut kemampuan intelektual untuk merespon secara positif dan kreatif terhadap perubahan yang terjadi, tanpa harus melepaskan diri dari substansi dan prinsip-prinsip universal agama. Pluralitas masyarakat bangsa Indonesia, di sisi lain juga menuntut sikap keberagamaan yang toleran, inklusif dan pluralis.
Maka, perlunya bagi dunia pendidikan Islam untuk membangun paradigma kependidikannya menuju paradigma pendidikan pluralis, tujuannya agar peserta didiknya memiliki kesadaran tentang pentingnya perdamaian dan sikap hormat menghormati antar sesama, baik antar maupun intern umat beragama, serta persaudaraan sesama bangsa dan persaudaraan sesama manusia. Dengan model paradigma pendidikan ini, sehingga pendidikan Islam menjelma menjadi “pendidikan Islam pluralis”, yaitu sebagai satu-satunya pendidikan yang dalam proses kependidikannya mengembangkan moralitas universal yang ada dalam agama-agama, serta sebagai pendidikan yang merespons positif dan kreatif terhadap perubahan dan sikap keberagamaan yang toleran dan pluralis.
Sikap keberagamaan yang toleran dan pluralis tersebut, diekspresikan secara nyata oleh Gus Dur, karena ia sebagai tokoh budaya, tokoh agama, serta politikus yang mampu mempeluangi keragaman dengan sikap perdamaian, sekaligus tokoh besar pejuang dan Bapak pluralisme di Indonesia yang bisa diterima di semua kalangan agama, baik minoritas maupun mayoritas.
Sebagai seorang tokoh yang berasal dari kalangan tradisionalis, Gus Dur dalam membangun sintesis untuk melahirkan gagasan baru (pluralisme) sebagai upayanya dalam menjawab perubahan-perubahan aktual, tidak hanya menggunakan pemikiran Islam tradisional, namun juga menggunakan metodologi teori hukum (ushul al-fiqh) dan kaidah hukum (qawaid fiqhiyah), serta pemikiran kesarjaan Barat karena basis intelektualnya yang cukup bersaja.
Dalam konteks pendidikan Islam, suatu keharusan bagi umat Islam dan pendidikan Islam, jika dididik mereka agar dan untuk mengenal dinamika sosial, kultural, politik, ekonomi dan dinamika edukasinya sendiri. Mereka harus dididik untuk bisa mendialogkan kemaslahatan umat dan hak demokrasinya, serta diberi kesempatan dengan menghilangkan kesan didikte. Gus Dur mengatakan: “Dalam sejarah menunjukan bahwa kebesaran Islam bukan karena ideologi atau politik, melainkan justru melalui tasawuf, perdagangan dan pengajaran. Jadi, antara tingkat kualitas pendidikan dan ukhuwah Islamiyah dapat menjadi umpan balik”.[13] Kalau tingkat pendidikan seseorang tinggi atau cara berfikirnya demokratis, sehingga menjadikan mereka tidak mudah untuk menghakimi, dan mampu menempatkan perbedaan pendapat sebagai kawan berfikir. Dengan demikian, maka umat Islam akan semakin banyak memperoleh nilai tambah dalam hidupnya, yaitu sejumlah alternatif untuk menemukan kebenaran dan memecahkan berbagai problem sosial kultural yang ada di setiap masanya.[]

Referensi:

Abdurrahman Wahid. 1993. Islam di Tengah Pergulatan. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Abd. Moqsith Ghazali. 2009. Argumen Pluralisme Agama; Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an. Jakarta: Kata Kita.
Ali Maksum & Luluk Yunan Ruhendi. 2004. Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modern: Mencari Visi Baru Atas Realitas Baru Pendidikan Kita. Yogyakarta: Ircisod.
Alpha Amirrachman (ed). 2007. Revitalisasi Kearifan Lokal; Studi Resolusi Konflik di Kalimantan Barat, Maluku dan Poso. Jakarta: Icip.
Andi Muh. Darlus. 2012. Konflik Komunal; Studi dan Rekonsiliasi Konflik Poso, (Jakarta: Buku Litera.
Departemen Agama Republik Indonesia. 1989. Al-Qur’an Dan Terjemahnya. Semarang: Toha Putra Semarang.
Faisal Ismail. 2003. Ketegangan Kreatif Peradaban Islam; Idealisme Versus Realisme. Jakarta: Bhakti Aksara Persada.
Ngainun Naim. 2011. Teologi Kerukunan; Mencari Titik Temu Dalam Keragaman. Yogyakarta: Teras.
Nur Khalik Ridwan. 2002. Pluralisme Borjuis; Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak Nur. Yogyakarta: Galang Press.
Kompas.com. 2019. Duduk Perkara Kerusuhan di Fakfak dan Timika, dalam
Th. Sumarthana, dkk. 2005. Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia. Yogyakarta: Institute Dian/ Interfidei.
Zakiyuddin Baidhawy. 2002. Ambivalensi Agama Konflik dan Nirkekerasan. Yogyakarta: Lesfi.



[1] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra Semarang, 1989), hlm. 847.
[2] Bangsa Indonesia sebagai negara kepulauan dengan jumlah pulau terbesar di dunia, yang mencapai 17.667 pulau besar dan kecil. Dengan jumlah pulau sebanyak ini, wajarlah jika kemajemukan masyarakat Indonesia suatu keniscayaan. Dengan kemajemukan ini, warga negara Indonesia bisa disatukan bahasa komunikasinya dengan bahasa nasional (bahasa Indonesia). Meskipun dalam kenyataanya, terdapat 350 kelompok etnis, adat istiadat, dan cara-cara sesuai dengan kondisi lingkungan tertentu. Lihat: Ali Maksum & Luluk Yunan Ruhendi, Paradigma Pendidikan Universal di Era Modern dan Post-Modern: Mencari Visi Baru Atas Realitas Baru Pendidikan Kita, (Yogyakarta: Ircisod. 2004), hlm. 189-190.
[3] Nur Khalik Ridwan, Pluralisme Borjuis; Kritik Atas Nalar Pluralisme Cak Nur, (Yogyakarta: Galang Press, 2002), hlm. 77.
[4] Alpha Amirrachman (ed.), Revitalisasi Kearifan Lokal; Studi Resolusi Konflik di Kalimantan Barat, Maluku dan Poso, (Jakarta: Icip, 2007), hlm. 110.
[5] Andi Muh. Darlus, Konflik Komunal; Studi dan Rekonsiliasi Konflik Poso, (Jakarta: Buku Litera, 2012), hlm. 27.
[6] Ngainun Naim, Teologi Kerukunan; Mencari Titik Temu Dalam Keragaman, (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. v.
[7] Kompas.com, Duduk Perkara Kerusuhan di Fakfak dan Timika, dalam
[8] Th. Sumarthana, dkk., Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Institute Dian/ Interfidei, 2005), hlm. 76.
[9] Zakiyuddin Baidhawy, Ambivalensi Agama Konflik dan Nirkekerasan, (Yogyakarta: Lesfi, 2002), hlm. 53-54.
[10] Ngainun Naim, Op. Cit., hlm. 15-16.
[11] Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama; Membangun Toleransi Berbasis Al-Qur’an, (Jakarta: Kata Kita, 2009), hlm. xv-xvi.
[12] Faisal Ismail, Ketegangan Kreatif Peradaban Islam; Idealisme Versus Realisme, (Jakarta: Bhakti Aksara Persada, 2003), hlm. 151.
[13] Abdurrahman Wahid, Islam di Tengah Pergulatan, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993), hlm. 133.