Prawacana
Keniscayaan yang tidak mungkin kita
elakkan, bahwa bumi sebagai hunian umat manusia adalah satu. Akan tetapi, Tuhan
menghendaki kemajemukan (pluralitas) bagi penghuni bumi, yaitu terdiri atas beragam suku, ras,
bahasa, kultur dan agama. Dengan pluralitas tersebut, sehingga perbedaan merupakan
sunnatullah yang beragam, yang tidak mungkin kita pungkiri
akan kepastiannya. Oleh sebab itu, penolakan terhadap pluralitas sama saja
pengingkaran terhadap ketentuan Allah Swt. Padahal, telah dijelaskan dengan
gamblang dalam firman-Nya, yaitu dalam Surat Al-Hujurat/49 Ayat 13, yang
artinya:
“Hai umat
manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal”.
Tradisi agama telah mendarah daging
dalam sejarah kehidupan umat manusia. Seperti halnya di Eropa dan Amerika,
yaitu dengan tradisi Kristen, Timur Tengah dengan tradisi Islam, China dengan tradisi Konfusianisme, Thailand dengan Budhisme, India dengan tradisi Hinduisme dan seterusnya. Di wilayah negara Timur
Tengah, ada tradisi Islam Sunni dan Syiah. Intinya bahwa dalam setiap wilayah
tradisi besar (high tradition), perlu untuk melihat tradisi kecil (law
tradition) yang menyertainya.
Begitu juga gambaran bangsa Indonesia, sebagai bangsa dengan masyarakatnya
yang sangat majemuk atau pluralis. Jika dilihat dari sudut horizontal, bangsa ini terdiri dari beragam bahasa, suku,
ras, budaya, nilai dan bahkan agama dengan keyakinan yang berbeda pula. Seperti halnya
mayoritas masyarakatnya, yaitu penganut agama Islam, di samping
masih terdapat banyak varian-varian organisasi sebagai wadah untuk
mengekspresikan diri dan menyampaikan aspirasi kelompoknya masing-masing. Ada
Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persis, Majelis
Mujahidin Indonesia (MMI), dan begitu seterusnya. Sementara jika
dilihat dari sudut vertikalnya, bisa diamati dari tingkat perbedaan pendidikan, ekonomi,
pemukiman, pekerjaan hingga tingkat sosial budaya.
Dengan
banyaknya jumlah baik etnis, suku, budaya, adat, bahasa, agama dan lain sebagainya, sewajarnya jika
kemajemukan masyarakat Indonesia,
adalah keniscayaan. Menafikkan keberadaan tradisi-tradisi agama di muka bumi—baik
Barat apalagi Timur—sebagai pekerjaan yang sia-sia, karena masing-masing
mempunyai hak hidup yang sama untuk mempertahankan tradisi dan identitasnya
sendiri-sendiri dengan berbagai cara yang dilakukan, asalkan cara itu masih berpegang
teguh pada kebhinekaan dan persatuan bangsa.
Masyarakat dengan pluralitas semacam ini, merupakan
fenomena unik dan menarik, namun bisa menjadi titik pangkal konflik, seperti yang banyak terjadi sejak
dahulu hingga kini. Di satu sisi, keragaman dapat diterima oleh masyarakat sebagai
keniscayaan yang disikapi dengan arif, sisi lain ternyata menimbulkan masalah
cukup kompleks. Karenanya, sikap dan pemahaman akan pluralisme, kemudian menjadi landasan bersama (common
platform) menjadi keniscayaan, tujuannya adalah
untuk menghindari terjadinya ketegangan maupun konflik.
Secara prinsipil, tujuan pluralisme adalah bentuk pengakuan terhadap wacana agama, kelompok, individu, komunitas, sekte dan segala macam
bentuk perbedaan, sebagai fakta yang harus diterima dan
dipelihara bersama-sama.[3] Jika sikap
seperti ini bisa dilakukan, tentu
saja tidak mungkin terjadi ketegangan
yang berujung pada konflik.
Masyarakat kita adalah sebagai masyarakat bangsa yang heterogen yang
sedang tumbuh, tentu sulit untuk mengembangkan sikap saling pengertian yang mendalam, antara
beranekaragam unsur-unsur etnis, suku,
budaya, bahasa dan agama. Paling tidak, saling pengertian barulah
tercapai bersifat nominal belaka. Pola hubungan seperti ini, dengan sendirinya
tidak akan memiliki daya tahan ampuh terhadap berbagai tekanan dan perkembangan
dari luar, seperti perkembangan politik, ekonomi, sosial dan budaya. Sehingga, kerukunan
yang ada hanyalah kondisi yang rapuh.
Seringkali berbagai benturan maupun
konflik yang terjadi di negeri ini, yang mendapat sorotan tajam adalah
mengenai benturan konflik persoalan tentang pluralisme agama. Banyak bukti di negeri kita ini, kerusuhan yang
berlatarbelakang suku, adat, ras dan agama (Sara). Salah satu bukti kerusuhan
yang ditandai oleh friksi dan tensi krusial dengan warna keagamaan, misalnya
konflik di Maluku, yang ditengarai sebagai konflik Sara
yang melibatkan dua komunitas agama.
Kemudian konflik komunal di Poso, yang menyeret dua komunitas yang berlainan
agama (Islam-Nasrani) dalam rentang yang cukup lama, dengan korban jiwa,
korban harta benda, dan kerugian lain yang cukup besar.
Kemudian konflik muncul kembali, yaitu konflik pasca penyerangan terhadap
Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Cikeusik Pandeglang, pada awal tahun
2011. Kekerasan kembali pecah di Temanggung Jawa Tengah, ada tiga Gereja yang rusak, puluhan
kendaraan dibakar, dan beberapa bangunan dirusak.
Kemudian di tahun 2019 ini, di beberapa minggu terakhir, jagat maya diramaikan
dengan berita dan video kerusuhan di Fakfak, Timika Mimika, Papua Barat. Kerusuhan dengan duduk perkaranya, yaitu persoalan dan
protes atas rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, Jawa Timur. Protes
dan unjuk rasa yang dilakukan oleh sekelompok massa, yang berujung pada
anarkisme dan pembakaran kantor Dewan Adat dan Pasar (Trumbuni), serta beberapa
fasilitas umum lainnya.
Kejadian dan tragedi konflik kemanusiaan tersebut, menandakan
betapa suramnya toleransi dalam kehidupan beragama masyarakat bangsa
kita. Konflik dengan kekerasan yang bernuansa
suku, ras dan agama tersebut, sebenarnya antara
satu wilayah dengan wilayah lain tidaklah sama. Memang, harus diakui bahwa ada
motif tertentu di luar faktor-faktor itu semua, seperti faktor ekonomi, sosial,
kultural, politik dan keamanan, turut serta menjadi bagian yang melahirkan perseteruan
dan konflik bernuansa suku, ras dan agama.
Namun, tidak bisa dipungkiri juga bahwa konflik suku,
ras dan konflik antar umat agama, acapkali dipicu oleh perbedaan doktrinal yang dipelihara sebagai keyakinan
yang absolut, sehingga faktor ‘agama’ menduduki
posisi krusial. Alasannya adalah bahwa kekuatan utama warisan sejarah dan
kebencian primordial, dipersepsi sebagai tradisi agama dan memori konflik agama
di masa lampau,[9] sehingga konflik
kekerasan yang ada di Indonesia, ‘agama’ dinilai sebagai faktor determinan
terjadinya konflik.
Dalam suasana dan pemikiran sebagaimana
tergambarkan di atas, ‘agama’ seringkali menjadi titik singgung paling sensitif dan
eksklusif dalam pergaulan pluralitas masyarakat, karena masing-masing
pihak mengklaim terhadap agama yang dianutnya itu paling benar, sedangkan agama
lain itu salah, tersesat dan terancam hak hidupnya. Persepsi ini menunjukkan
bahwa perbedaan merupakan sesuatu yang buruk dan menakutkan,
sudah begitu mendarah daging dalam jiwa umat beragama, sehingga konflikpun tidak terpungkiri sebagai
alternatif jalan bagi pemecahan masalah. Akibatnya, kesengsaraan pun dialami
oleh diberbagai pihak, baik yang bertikai maupun
yang tidak mengetahui sama sekali. Dampak dari sebuah konflik tersebut adalah
kerugian yang menyeluruh dari berbagai pihak, dan lagi-lagi masyarakat kecil
sebagai korban dan harus menanggung akibat-akibat yang ditimbulkan dari konflik
yang ada tersebut.
Dari berbagai peristiwa dan tragedi
konflik agama, telah memberi gangguan yang cukup serius terhadap tekad
bersama masyarakat dalam membangun bangsa ini, yaitu bangsa (Indonesia) yang pluralis dan toleran, baik dalam kerangka kehidupan bangsa
yang berbudaya, mandiri secara sosial-politik, hingga antar maupun intern umat
beragama, dan aspek-aspek kehidupan yang lain.
Terlepas dari provokator dan lain
sebagainya, yang menjadi sasaran kesalahan dalam setiap kekacauan. Namun yang
jelas, umat beragama masyarakat bangsa ini belum memiliki kontrol emosi yang
memadai, dan masih diliputi rasa sentimen keagamaan dan fanatisme berlebih, sudah begitu mendarahdaging dan
mengakar dalam masyarakat bangsa ini, sehingga mudah terpancing emosi untuk
melakukan tindakan anarkis.
Sentimen keagamaan dan fanatisme konservatif memberikan andil besar terhadap
munculnya konflik dan tragedi kerusuhan. Fenomena konflik dan kekerasan tersebut, juga disebabkan oleh
karena pengetahuan masyarakat yang
masih dangkal dan belum memiliki pengetahuan agama yang cukup luas dalam memahami sumber-sumber
otoritatif agama. Pembacaan atas teks agama sangat
dangkal-partikulatif-harfiah, yang kemudian membuat generalisasi atasnya. Pembacaan
atas teks seperti ini, sama saja telah mereduksi ilmu Tuhan yang maha tak
terbatas, dengan menyalahkan pemahaman pihak lain, dan merupakan bentuk kebodohan
yang nyata, sekaligus kekeliruan besar terhadap teks-teks suci Al-Qur’an dalam Islam.
Dari berbagai fenomena maupun tragedi
kerusuhan yang berujung pada konflik berlatarbelakang agama tersebut, setidaknya
dapat dijadikan vonis awal bahwa sampai saat ini kesadaran pluralitas beragama masyarakat, benar-benar
belum menyentuh sisi kesadaran paling inti pada diri masing-masing pemeluk agama.
Artinya, slogan-slogan tentang agama yang mengajarkan cinta kasih, perdamaian
dan tidak mengajarkan tindakan kejahatan dalam bentuk apapun hanyalah omong
kosong belaka. Harusnya, korelasi dari fungsi teologis, ritualistik dan sosiologis
yang terbangun atas dasar misi keagamaan, bisa mewarnai perilaku dan
karya-karya kemanusiaan dalam gerakan-gerakan
sosial sebuah agama.
Menanamkan kesadaran dan membangun kebesaran
hati atas pengakuan terhadap pluralisme, bisa dimulai dari tingkat struktur dan
kultur masyarakat, yaitu dengan membenahi kesepakatan yang telah ada dalam
berbangsa dan bernegara, sehingga akan terwujud sistem sosial mayarakat dan
peraturan yang lebih baik. Untuk itu, perlunya dialog teologis antar maupun intern umat beragama
dengan di dasari kajian kritis terhadap diri sendiri, selanjutnya diikuti dialog aksi.
Pendidikan merupakan agen perubahan
kebudayaan (cultural broker) bagi masyarakat. Karenanya, pendidikan sebagai sarana
strategis untuk menciptakan dialog secara kontinuitas,
yaitu membangun kesadaran saling mengenal, saling memiliki dan cinta kasih. Begitu
pun pendidikan Islam, agar melakukan serangkaian evaluasi dan pembenahan kependidikannya,
yaitu melalui sistem pendidikannya dengan paradigma pendidikan pluralis, yaitu suatu cara pandang pendidikan
yang menghargai akan nilai-nilai kemanusiaan dan toleransi. Bukan
berarti ingin menonjolkan sifat-sifat liberal bagi pendidikan Islam, namun lebih pada upayanya dalam membangun suatu pemahaman dan
kesadaran bagi peserta didik tentang pentingnya nilai
kemanusiaan, toleransi dan penghormatan tulus bagi umat agama lain, sehingga mereka
bisa mengejawantahkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan bermasyarakat
berbangsa dan bernegara.
Memang, hal ini menjadi tugas berat
bagi dunia pendidikan Islam. Karena di satu sisi, pendidikan Islam dihadapkan pada kehidupan
modern yang
menuntut kemampuan intelektual untuk merespon secara positif dan kreatif
terhadap perubahan yang terjadi, tanpa harus melepaskan diri dari substansi dan
prinsip-prinsip universal agama. Pluralitas masyarakat bangsa
Indonesia, di sisi lain juga menuntut sikap
keberagamaan yang toleran, inklusif dan pluralis.
Maka, perlunya bagi dunia pendidikan Islam untuk membangun paradigma
kependidikannya menuju paradigma pendidikan pluralis, tujuannya agar peserta didiknya
memiliki kesadaran tentang pentingnya perdamaian dan sikap hormat menghormati
antar sesama, baik antar maupun intern umat beragama, serta persaudaraan sesama
bangsa dan persaudaraan sesama manusia. Dengan model paradigma pendidikan ini, sehingga
pendidikan Islam menjelma menjadi
“pendidikan Islam pluralis”, yaitu sebagai satu-satunya pendidikan yang dalam proses
kependidikannya mengembangkan moralitas universal yang ada dalam agama-agama, serta sebagai pendidikan yang merespons positif dan
kreatif terhadap perubahan dan sikap keberagamaan yang toleran dan pluralis.
Sikap keberagamaan yang toleran dan pluralis tersebut, diekspresikan secara
nyata oleh Gus Dur, karena ia sebagai tokoh budaya, tokoh
agama, serta politikus yang mampu mempeluangi keragaman dengan sikap perdamaian,
sekaligus tokoh besar pejuang dan Bapak pluralisme di Indonesia yang bisa diterima
di semua kalangan agama, baik minoritas maupun mayoritas.
Sebagai seorang tokoh yang berasal dari
kalangan tradisionalis, Gus Dur dalam membangun sintesis untuk melahirkan
gagasan baru (pluralisme) sebagai upayanya dalam menjawab perubahan-perubahan aktual,
tidak hanya menggunakan pemikiran Islam tradisional, namun juga menggunakan metodologi teori hukum (ushul
al-fiqh) dan kaidah hukum (qawaid
fiqhiyah), serta pemikiran kesarjaan
Barat karena basis intelektualnya yang cukup bersaja.
Dalam konteks pendidikan Islam, suatu keharusan bagi umat Islam dan pendidikan Islam, jika dididik mereka agar dan untuk mengenal dinamika sosial,
kultural, politik, ekonomi dan dinamika edukasinya sendiri. Mereka harus
dididik untuk bisa mendialogkan kemaslahatan umat dan hak demokrasinya, serta
diberi kesempatan dengan menghilangkan kesan didikte. Gus Dur mengatakan: “Dalam sejarah menunjukan bahwa
kebesaran Islam bukan karena ideologi atau politik, melainkan justru melalui
tasawuf, perdagangan dan pengajaran. Jadi, antara tingkat kualitas pendidikan
dan ukhuwah Islamiyah dapat menjadi umpan balik”.
Kalau tingkat pendidikan seseorang tinggi atau cara berfikirnya demokratis, sehingga
menjadikan mereka tidak mudah untuk menghakimi, dan mampu menempatkan perbedaan
pendapat sebagai kawan berfikir. Dengan demikian, maka umat Islam akan semakin
banyak memperoleh nilai tambah dalam hidupnya, yaitu sejumlah alternatif untuk
menemukan kebenaran dan memecahkan berbagai problem sosial kultural yang ada di
setiap masanya.[]
Referensi: