Thursday, October 31, 2019

INTELLECTUAL COMMUNITY PMII YANG TERLUPAKAN


Tulisan ini sebenarnya bukanlah narasi ilmiah-intelektual yang patut untuk dikaji secara serius apalagi bersifat mendalam, karena—narasinya yang biasa-biasa saja—yang juga oleh penulis lebih diarahkan pada kerangka refleksi, sekaligus keengganan pribadi penulis untuk menyalahkan siapapun, terlebih bagi kader PMII yang sedang berproses. Bagi pribadi penulis, bentuk respons diri atau mungkin kritik konstruktif, adalah bagian dari upaya memberikan kontribusi nyata bagi PMII, walaupun dalam dan hanya sebatas narasi kritik deskriptif terhadap perjalanan PMII hari ini. Barangkali tidak secara sistematis membahas kaitan teologi kita dengan gaya intelektualitas di PMII, namun saya berharap bahwa refleksi ini bisa menjadi representasi mendasar dari kegalaun ini.

Kegalauan saya yang dimaksud, lebih tertuju pada perkembangan komunitas intelektual (intellectual community) yang digelorakan PMII hari ini, yang terlihat kering, lesu dan bahkan miskin intelektual. Terlihat generasi kader sekarang, gairah berwacana intelektual semakin surut dan bahkan redup, karena basis dan khazanah intelektual serta potensi-potensi kader PMII yang begitu besar belum mampu digerakkan. Sementara, dalam setiap jenjang pengkaderan selalu diteriakkan kultur diskusi, berfikir kritis hingga arah gerakan aksi, akan tetapi jati diri kader lupa akan kesadaran intelektual.

Dalam beberapa dekade terakhir ini, kegiatan PMII cenderung normatif. Faktanya bahwa kegiatan-kegiatan PMII hanya sebatas kegiatan seremonial belaka, seperti pelantikan pengurus, sekolah atau pelatihan yang tidak terkonsep dengan baik, serba mendadak, literature ilmiah yang minim, dan lebih-lebih dibeberapa kegiatan hanya terfokus pada ruang tradisi keagamaan, seperti tahlilan, ziarah kubur dan kegiatan nonformal lainnya. Sedangkan, pendalaman intelektualisme kader tidak dijalankan secara masif.

Kegiatan keagamaan, sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan akan hilang eksistensinya dan menjauh dari tradisi-tradisi individu warga pergerakan. Karena, warga PMII sebagai organisasi mahasiswa yang berbasis sosial NU dan pesantren, adalah kelompok gerakan mahasiswa yang paling otoritatif mewarisi tradisi pemahaman keagamaan Islam Nusantara. Hal ini tidak terlepas dari tradisi pesantren yang menekankan pada penguasaan khazanah klasik, kualitas individu dan sosial, baik dalam pendekatan fikih maupun tasawuf.

Pada konteks kekinian, kesadaran intelektual PMII perlu direkonstruksi ulang. Kajian-kajian pemikiran, forum diskusi dan mediasi intelektual harus dihidupkan kembali. Pemikiran liar dan kritis terhadap arus pemikiran Islam kontemporer harus lebih ditingkatkan. Sikap kritis paling lugas diambil kader PMII hari ini adalah mengembangkan semangat dan corak pemikiran berbasis intelektual untuk menguatkan gagasan yang mampu melahirkan eksplorasi gagasan intelektual yang mendalam. Karena, dinamika berfikir menjadi sandaran utama dalam kerja pergerakan. Karenanya juga, rajutan kebebasan berfikir yang dibangun di atas nalar kritis yang berpadu dengan input mayoritas kader PMII yang tradisionalisme berbasis pesantren, berlatarbelakang disiplin ilmu agama dan sosial humaniora, kesemuanya itu akan menyemburatkan corak pemikiran tradisional progresif-transformatif.

Selanjutnya, dekonstruksi dan rekonstruksi pemahaman ajaran agama, Aswaja sebagai manhajul fikr, pribumisasi Islam, pluralisme, kritik wacana agama, perjuangan keislaman dan kebangsaan lewat gerakan sosio-kultural adalah beberapa item telah lahir dan digandrungi warga PMII[1], dan menjadi sejarah pergulatan pemikiran kaum muda ini dalam kancah percaturan pemikiran keagamaan. Sehingga patut untuk direfleksikan bersama bagi warga PMII bahwa sosok kader muda intelektual PMII adalah mereka lahir dan dibesarkan oleh kultur dan tradisi Aswaja.

Adalah kita (PMII), anak muda kaum tradisionalis yang selama ini dicap sebagai kelompok marginal dalam belantara perkembangan pemikiran keagamaan di Indonesia, diam-diam ternyata selama ini lebih liberal, progresif-transformatif terhadap segala bentuk turats peninggalan klasik, ketimbang mereka anak muda yang mengklaim diri lebih modernis dan terdidik. Dengan demikian, di tangan kaum muda progresif (warga PMII) telah merubah dirinya menjadi teks yang hidup, terbuka, kenyal dan memiliki adaptasi yang tinggi terhadap tuntutan dan perubahan zaman.

Benar adanya bahwa PMII hari ini tidaklah seperti dulu lagi, dan mungkin karena konteks zaman yang berbeda. Akan tetapi, perlu disadari bersama bahwa tanggungjawab PMII dalam membangun kesadaran intelektual sangatlah besar. Karena, PMII terdiri dari mahasiswa yang akan memimpin dan memompa gagasan intelektual di ranah kampus. Itulah mengapa PMII harus membuktikan diri bahwa ia adalah sentrum gerakan sekaligus sentral dan simpul jaringan intelektual. Dengan adanya fenomena sumberdaya kader PMII yang berbasis intelektualitas, harapan besarnya akan terlahir intelektual progresif-transformatif, walaupun secara sosiologis mereka adalah anak kampung pedesaan yang tumbuh dalam suasana desa, kaum sarungan yang lekat dengan tradisi dan dengan semangat tradisionalisme.

Banyak kalangan menyanjung bahwa lahirnya Indonesia baru di tahun 2025 adalah milik kaum tradisionalis—yang di dalamnya (mungkin) ada PMII. Jika besok benar terjadi, peristiwa ini menandakan bahwa gerbong kultural tradisional merangsek perlahan menuju sentrum. Kaum sarungan mulai diperebutkan, dijadikan idola bahkan diperdagangkan; seperti sekarang ini yang sudah terlihat dalam percaturan politik nasional. Di sisi lain, orang mulai percaya bahwa kebangkitan intelektual kaum tradisionalis telah terjadi. Optimisme baru tersebut terbangun selaras dengan bermunculannya kultur hibrida kaum tradisional yang jumlahnya kian hari kian bertambah.[]



[1] Kecendrungan PMII dekade 80-an dan 90-an begitu gandrung dengan paradigma pemikiran dan gerakan kiri. Keakraban dengan pemikiran filsafat rasionalisme, materialisme, sosialisme, dan historisisme, tidak hanya bersumberkan dari sumber aslinya di barat, tetapi juga dari kalangan pemikir muslim sendiri yang berhaluan kiri, seperti Hasan Hanafi, Ali Syariati, Asghar Ali Engginer dan pemikir kiri Islam lainnya.
Previous Post
Next Post

Penulis yang mengabdikan tulisannya bagi amal jariyah pemikiran. Tokoh favorit sekaligus panutannya adalah Gus Dur