Prawacana
Masalah pendidikan selalu menjadi isu
yang sangat penting, sehingga melahirkan berbagai macam pendapat dan perdebatan
mengenai arah dan orientasi pendidikan, bagaimana pendidikan direncanakan dan
dilaksanakan, dievaluasi dan seterusnya. Pendeknya, pendidikan merupakan isu
strategis yang turut menentukan kualitas sebuah bangsa. Pendidikan diharapkan
dapat bernilai sebagai proses pembelajaran, sekaligus sebagai pemberdayaan
kemampuan (ability) dan kesanggupan (capability) peserta
didiknya.
Pendidikan merupakan proses untuk mengembangkan setiap potensi manusia, baik jasmani,
rohani maupun akal menuju kesempurnaan dan kelengkapan agar menjadi manusia sesungguhnya.[1] Pada hakikatnya, keseluruhan potensi yang
ada pada diri manusia yang dikembangkan dalam proses pendidikan bertujuan agar
seluruh kehidupannya dapat berjalan dengan baik dan bermanfaat bagi dirinya,
masyarakatnya serta bagi negaranya. Atau dengan kata lain, agar manusia dapat
memperkukuh dan memperkuat hubungan antara manusia dengan Tuhannya (hablum minallah), manusia dengan manusia
(hablum minannas) dan manusia dengan
alam (hablum minal’alam).
Sebuah gagasan dan juga konsepsi pemikiran dari Abdurrahman
Mas’ud[2], dimana di dalamnya itu membahas dan sekaligus
menawarkan format pendidikan nondikotomik.
Dari format pendidikan nondikotomik tersebut, kemudian oleh Abdurrahaman
Mas’ud diramu dengan konsep paradigma humanisme
religiusnya sebagai tawaran paradigma dalam pendidikan.
Lesunya Intelektualitas dalam Islam
Seperti dijelaskan oleh Abdurahman Mas’ud
bahwa masih adanya public image
dimana Islamic learning identik dengan kejumudan, kemandegan dan kemunduran. Umat
Islam juga berpikir serba dikotomis dan hitam putih, seperti Islam vis a vis non Islam, Timur-Barat, ilmu
agama versus seculer sciences.[3]
Pemikiran dikotomis semacam ini merupakan cerminan inferior compleks bagi umat Islam, serta kehilangan jati diri dan
penghargaan diri (self-identity and
self-esteem). Konsekwensi logisnya adalah terjadinya proses marginalisasi
bagi umat Islam yang semakin menjadi jadi (the
marginalization of Islamic world continues).[4]
Terdapat empat faktor utama penyebab
kelesuan intelektualisme dalam Islam yang erat hubungannya dengan persoalan dikotomi.
Empat faktor tersebut menurut Mas’ud yaitu; (1) proses penyempitan makna fiqh
serta status faqih yang jauh berbeda dengan para pendiri mazhab; (2) pertentangan
antara wahyu dan akal; (3) keterpisahan antara kata dan perbuatan; dan, (4)
sekularisme dalam memandang budaya dan agama.[5]
Sesungguhnya dikotomi-dikotomi dalam
pendidikan yang ada selama ini, sebenarnya tidak mendapatkan tempat dalam Islam.
Karena Islam mengajarkan kesatuan antara dunia dan akhirat, wahyu dan akal,
serta agama dan sains. Pendidikan Islam tentu harus mengacu pada ajaran dasar
Islam itu sendiri yang tidak memilah-milah antara dunia dan akherat. ‘Addunya
limajra’atil akhirah’, dimana dunia merupakan ladang penanaman untuk
persiapan akherat, siapa yang menanan akan dapat’ adalah ajaran populer dalam Islam.
Do’a sapu jagat yang intinya memohon kebahagiaan dunia-akherat juga diucapkan
setiap muslim diseluruh dunia.[6]
Dalam konteks pendidikan Islam, dunia
dalam pembahasan disini tentu memiliki spektrum yang tidak sempit dan tidak
dikotomis. Bagi Rahman segala fasilitas untuk kepentingan pendidikan Islam,
termasuk akal, alam bumi-langit dan lingkungan sekitar.[7]
Dalam hal ini, Islam memandang bahwa alam adalah ciptaan Allah dan sekaligus
karya agung-Nya. Sebagai konsekwensinya dimana alam adalah pesan dan
tanda-tanda Allah akan kebenaran dan kekuasaan-Nya, dan alam merupakan wahyu
Allah yang tak tertulis.[8]
Dengan penjelasan tersebut di atas, sesungguhnya
Rahman menghendaki kebaikan-kebaikan manusia terhadap alam sekitar agar selalu
dipelihara dan dilestarikan oleh manusia. Dengan begitu, maka pendidikan menghendaki
adanya hubungan positif bagi manusia terhadap alam (hablum minal’alam).
Karena alam adalah karya ilahi, sehingga
wajib bagi manusia untuk mencintai dan memelihara alam tersebut. Dengan begitu,
maka alam memiliki makna yang positif dan mahal, bukanlah roh jahat. Hidup di alam
ini juga bukanlah sebuah siksaan bagi manusia yang menyebabkan manusia terpuruk.
Karena Allah, alam dan manusia berada dalam domain
of pure.[9]
Dari penjelasan tersebut di atas, sesungguhnya
Rahman ingin menjelaskan tetang hakikat pada diri manusia yang di dalam nya
memiliki satu kesatuan yang utuh, yang mencakup tentang hubungan positif antara
manusia dengan Tuhannya (hablum minallah),
hubungan manusia dengan manusia (hablum
munannas), dan selanjutnya hubungan manusia dengan alam (hablum minal’alam).
Islam dan Kesatuan Ilmu Pengetahuan
Islam sangat melindungi dan merawat
sama baiknya antara agama (wahyu) dan akal. Syari’at Islam melindungi dengan
ketat atas lima hal yang merupakan fitrah bagi manusia itu sendiri, yakni akal,
harta benda, keluarga, martabat-kehormatan, nyawa dan agama.[10]
Dari sini dapat di indikasikan bahwa tidak adanya pembedaan dan dikotomi di
dalam Islam itu sendiri. Dalam konteks pendidikan Islam, idealnya harus
melepaskan diri dari berbagai pandangan dikotomis. Intinya bahwa pendidikan
Islam harus memperhatikan dan mengembangkan serta mengasah reasoning (quwwatin
natiqoh) dan kemampuan berfikir yang dimiliki oleh manusia. Kemampuan
intelektual manusia dapat melahirkan ilmu pengetahuan, rasa malu, membedakan
yang baik dan buruk serta benar dan salah, dan mengolah dengan bijak
kecenderungan positif dan negatif.[11]
Pada akhirnya hal itu akan mendorong manusia untuk mengambil keputusan dengan
penuh kesadaran diri demi sesuatu yang terbaik bagi dirinya. Dengan demikian,
proses pendidikan mengupayakan kesempurnaan eksistensi kita sebagai makhluk
yang paling mulia dengan kesempurnaan jiwa.[12]
Perspektif Paradigma Humanisme Religius
Salah satu faktor yang menyebabkan
kemunduran umat Islam—khususnya
dalam bidang pendidikan—adalah karena
ketidakseimbangan pemahaman ajaran habl minallah dan habl minannas.
Bukankah krisis negeri kita yang berkepanjangan ini sebagian diakibatkan oleh
ketidakseimbangan pemahaman ajaran hablum
minallah dan hablum minannas, yang
dalam tafsir Muhammad Asad disebut sebagai in
bond with God and in bond with people.[13]
Karena itulah Rahman menawarkan konsep humanisme
religius (religious humanism)[14],
yaitu sebuah konsep humanisme religius
yang meniscayakan kesatuan dan keselarasan antara ajaran-ajaran agama yang
bersifat transenden dengan nilai-nilai kemanusiaan secara luas yang menjadi
pegangan hidup manusia.
Humanisme religius menurut Rahman adalah
solusi bagi dunia pendidikan Islam dimana konsepsi pendidikan yang tidak
mengabaikan pentingnya pendidikan alam, lingkungan, akal, serta pengembangan
potensi individu secara maksimal sesuai dengan ajaran dasar Islam yang tidak
membeda-bedakan elemen-elemen tersebut.[15]
Pendidikan Islam yang diajarkan Nabi Muhammad juga memberi respon dan solusi
positif terhadap permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan fitrah
individu dan kelompok. Nabi juga meneladankan pendidikan manusia seutuhnya (insane kamil) dengan
mendahulukan pembangunan tauhid (character
building), serta menawarkan penajaman kepekaan sosial yang bersumber
dari wahyu, hati nurani, akal, jiwa, dan realitas sosial.[16]
Dalam konteks pendidikan Islam, humanisme
religius ini di definisikan sebagai proses pendidikan yang lebih memerhatikan
aspek potensi manusia sebagai makhluk sosial dan sekaligus makhluk religius (khalifatullah dan ‘abdullah), serta sebagai individu yang
diberi kesempatan oleh Tuhan untuk mengembangkan potensi-potensinya. Humanisme
religius juga dimaknai sebagai kekuatan atau potensi individu untuk mengukur
dan mencapai ranah ketuhanan dan penyelesaian permasalahan-permasalahan sosial.[17]
Pendidikan nondikotomik bagi Abdurahman
Mas’ud merupakan sebuah model pendidikan yang mengintregasikan antara dua hal,
yaitu bukan hanya semata-mata memiliki orientasi kepada ilmu-ilmu keduniaan (duniawi) saja, melainkan juga
berorientasi pada ilmu-ilmu agama (ukhrowi)
yang pada akhirnya mampu menciptakan generasi sebagai makhluk atau manusia yang
paling mulia (paripurna) dengan
kesempurnaan jiwanya, yaitu konsep humanisme religius yang mengutamakan akan
pentingnya hablum minallah, hablum minannas, alam, lingkungan, akal, serta
pengembangan potensi individu secara maksimal sesuai dengan ajaran dasar agama
(religion) tentang pentingnya pembangunan
tauhid (character building) yang
bersumber dari wahyu, hati nurani, akal, jiwa, serta
realitas sosial.
Konklusi
Konsepsi pendidikan non-dikotomik merupakan
role model pendidikan
yang menempatkan pola berfikir pendidikan yang tidak sempit dan tidak dikotomis.
Humanisme religius adalah alternatif paradigma pendidikan yang membangun
sebuah konsepsi kesadaran tentang pentingnya pendidikan alam, lingkungan, akal,
serta pengembangan potensi individu secara maksimal, menuju makhluk sosial dan
religius (khalifatullah dan ‘abdullah), atau proses tahzibul akhlaq untuk membentuk kesadaran jiwa akan keberadaannya
sebagai esensi yang berasal dari zat yang maha tinggi, dan sekaligus sebagai makhluk yang paling mulia (insan kamil) dengan kesempurnaan jiwa,
yaitu mampu mengasah reasoning (quwwatin natiqoh), berfikir untuk melahirkan
ilmu pengetahuan, rasa malu, membedakan yang benar (haq) dan salah (bathil),
serta mengolah dengan bijak kecenderungan positif maupun negatif.
Referensi:
AzyumardiAzra. (2012). Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Ditengah Tantangan Milenium
III. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Abdurrahman Mas’ud. (2002). Menggagas Format
Pendidikan Nondikotomik; Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam.
Yogyakarta: Gama Media.
[1] Azyumardi Azra,
Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi
Ditengah Tantangan Milenium III, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hal. 2.
[2] Prof. Abdurrahman Mas’ud, M.A., Ph.D. Lahir
di Kudus 16 April 1960 (tepat 1 hari sebelum menjelang Kelahiran PMII
di Indonesia, 17 April 1960). Beliau mendapatkan pendidikan formal pertama
kalinya di Radlatuil Athfal NU pada usia
enam tahun, tepatnya pada tahun 1966. pada tahun 1968 ia masuk di Madrasah Qidsiyah
Kudus, Ia harus berada di tingkat shifir dulu selama dua tahun dan selanjutnya
baru Tingkat Dasar (MI), Tsanawiyah dan Aliyah selama dua belas tahun
(1968-1980). Setelah lulus Madrasah Aliyah, beliau meneruskan jenjang
pendidikan perkuliahan dengan mendapat gelar Dokterandes (Drs) diperoleh pada
tahun 1987 di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan beliau aktif di Organisasi
Ekstra kampus, yaitu Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Ciputat hingga
di angkat menjadi Ketua Cabang PMII Ciputat. Di massa kuliahnya, beliau pernah
mengikuti Workshop Non-Government Organization (NGO) di Philipina selama dua
bulan pada tahun 1986.
[3] Abdurrahman
Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan
Nondikotomik; Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta:
Gama Media, 2002). hal.
3
[4] Ibid.
[5] Ibid., hal.
5.
[6] Ibid.,
hal. 44.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[10] Ibid.,
hal. 47.
[11] Ibid.,
hal. 53.
[12] Ibid.
[13] Ibid.,
hal. 56.
[14] Ibid.
[15] Ibid.,
hal. 59-60.
[16] Ibid.,
hal. 62.
[17] Ibid.,
hal. 135.