Sunday, April 28, 2019

PENDIDIKAN NON-DIKOTOMIK (Analisis Pemikiran Abdurrahman Mas’ud)

Prawacana
Masalah pendidikan selalu menjadi isu yang sangat penting, sehingga melahirkan berbagai macam pendapat dan perdebatan mengenai arah dan orientasi pendidikan, bagaimana pendidikan direncanakan dan dilaksanakan, dievaluasi dan seterusnya. Pendeknya, pendidikan merupakan isu strategis yang turut menentukan kualitas sebuah bangsa. Pendidikan diharapkan dapat bernilai sebagai proses pembelajaran, sekaligus sebagai pemberdayaan kemampuan (ability) dan kesanggupan (capability) peserta didiknya.

Pendidikan merupakan proses untuk mengembangkan setiap potensi manusia, baik jasmani, rohani maupun akal menuju kesempurnaan dan kelengkapan agar menjadi manusia sesungguhnya.[1] Pada hakikatnya, keseluruhan potensi yang ada pada diri manusia yang dikembangkan dalam proses pendidikan bertujuan agar seluruh kehidupannya dapat berjalan dengan baik dan bermanfaat bagi dirinya, masyarakatnya serta bagi negaranya. Atau dengan kata lain, agar manusia dapat memperkukuh dan memperkuat hubungan antara manusia dengan Tuhannya (hablum minallah), manusia dengan manusia (hablum minannas) dan manusia dengan alam (hablum minal’alam).

Sebuah gagasan dan juga konsepsi pemikiran dari Abdurrahman Mas’ud[2], dimana di dalamnya itu membahas dan sekaligus menawarkan format pendidikan nondikotomik. Dari format pendidikan nondikotomik tersebut, kemudian oleh Abdurrahaman Mas’ud diramu dengan konsep paradigma humanisme religiusnya sebagai tawaran paradigma dalam pendidikan.

Lesunya Intelektualitas dalam Islam
Seperti dijelaskan oleh Abdurahman Mas’ud bahwa masih adanya public image dimana Islamic learning identik dengan kejumudan, kemandegan dan kemunduran. Umat Islam juga berpikir serba dikotomis dan hitam putih, seperti Islam vis a vis non Islam, Timur-Barat, ilmu agama versus seculer sciences.[3] Pemikiran dikotomis semacam ini merupakan cerminan inferior compleks bagi umat Islam, serta kehilangan jati diri dan penghargaan diri (self-identity and self-esteem). Konsekwensi logisnya adalah terjadinya proses marginalisasi bagi umat Islam yang semakin menjadi jadi (the marginalization of Islamic world continues).[4]

Terdapat empat faktor utama penyebab kelesuan intelektualisme dalam Islam yang erat hubungannya dengan persoalan dikotomi. Empat faktor tersebut menurut Mas’ud yaitu; (1) proses penyempitan makna fiqh serta status faqih yang jauh berbeda dengan para pendiri mazhab; (2) pertentangan antara wahyu dan akal; (3) keterpisahan antara kata dan perbuatan; dan, (4) sekularisme dalam memandang budaya dan agama.[5]

Sesungguhnya dikotomi-dikotomi dalam pendidikan yang ada selama ini, sebenarnya tidak mendapatkan tempat dalam Islam. Karena Islam mengajarkan kesatuan antara dunia dan akhirat, wahyu dan akal, serta agama dan sains. Pendidikan Islam tentu harus mengacu pada ajaran dasar Islam itu sendiri yang tidak memilah-milah antara dunia dan akherat. ‘Addunya limajra’atil akhirah’, dimana dunia merupakan ladang penanaman untuk persiapan akherat, siapa yang menanan akan dapat’ adalah ajaran populer dalam Islam. Do’a sapu jagat yang intinya memohon kebahagiaan dunia-akherat juga diucapkan setiap muslim diseluruh dunia.[6]

Dalam konteks pendidikan Islam, dunia dalam pembahasan disini tentu memiliki spektrum yang tidak sempit dan tidak dikotomis. Bagi Rahman segala fasilitas untuk kepentingan pendidikan Islam, termasuk akal, alam bumi-langit dan lingkungan sekitar.[7] Dalam hal ini, Islam memandang bahwa alam adalah ciptaan Allah dan sekaligus karya agung-Nya. Sebagai konsekwensinya dimana alam adalah pesan dan tanda-tanda Allah akan kebenaran dan kekuasaan-Nya, dan alam merupakan wahyu Allah yang tak tertulis.[8]

Dengan penjelasan tersebut di atas, sesungguhnya Rahman menghendaki kebaikan-kebaikan manusia terhadap alam sekitar agar selalu dipelihara dan dilestarikan oleh manusia. Dengan begitu, maka pendidikan menghendaki adanya hubungan positif bagi manusia terhadap alam (hablum minal’alam). Karena alam adalah karya ilahi, sehingga wajib bagi manusia untuk mencintai dan memelihara alam tersebut. Dengan begitu, maka alam memiliki makna yang positif dan mahal, bukanlah roh jahat. Hidup di alam ini juga bukanlah sebuah siksaan bagi manusia yang menyebabkan manusia terpuruk. Karena Allah, alam dan manusia berada dalam domain of pure.[9]

Dari penjelasan tersebut di atas, sesungguhnya Rahman ingin menjelaskan tetang hakikat pada diri manusia yang di dalam nya memiliki satu kesatuan yang utuh, yang mencakup tentang hubungan positif antara manusia dengan Tuhannya (hablum minallah), hubungan manusia dengan manusia (hablum munannas), dan selanjutnya hubungan manusia dengan alam (hablum minal’alam).

Islam dan Kesatuan Ilmu Pengetahuan
Islam sangat melindungi dan merawat sama baiknya antara agama (wahyu) dan akal. Syari’at Islam melindungi dengan ketat atas lima hal yang merupakan fitrah bagi manusia itu sendiri, yakni akal, harta benda, keluarga, martabat-kehormatan, nyawa dan agama.[10] Dari sini dapat di indikasikan bahwa tidak adanya pembedaan dan dikotomi di dalam Islam itu sendiri. Dalam konteks pendidikan Islam, idealnya harus melepaskan diri dari berbagai pandangan dikotomis. Intinya bahwa pendidikan Islam harus memperhatikan dan mengembangkan serta mengasah reasoning (quwwatin natiqoh) dan kemampuan berfikir yang dimiliki oleh manusia. Kemampuan intelektual manusia dapat melahirkan ilmu pengetahuan, rasa malu, membedakan yang baik dan buruk serta benar dan salah, dan mengolah dengan bijak kecenderungan positif dan negatif.[11] Pada akhirnya hal itu akan mendorong manusia untuk mengambil keputusan dengan penuh kesadaran diri demi sesuatu yang terbaik bagi dirinya. Dengan demikian, proses pendidikan mengupayakan kesempurnaan eksistensi kita sebagai makhluk yang paling mulia dengan kesempurnaan jiwa.[12]

Perspektif Paradigma Humanisme Religius
Salah satu faktor yang menyebabkan kemunduran umat Islamkhususnya dalam bidang pendidikanadalah karena ketidakseimbangan pemahaman ajaran habl minallah dan habl minannas. Bukankah krisis negeri kita yang berkepanjangan ini sebagian diakibatkan oleh ketidakseimbangan pemahaman ajaran hablum minallah dan hablum minannas, yang dalam tafsir Muhammad Asad disebut sebagai in bond with God and in bond with people.[13] Karena itulah Rahman menawarkan konsep humanisme religius (religious humanism)[14], yaitu sebuah konsep humanisme religius yang meniscayakan kesatuan dan keselarasan antara ajaran-ajaran agama yang bersifat transenden dengan nilai-nilai kemanusiaan secara luas yang menjadi pegangan hidup manusia.

Humanisme religius menurut Rahman adalah solusi bagi dunia pendidikan Islam dimana konsepsi pendidikan yang tidak mengabaikan pentingnya pendidikan alam, lingkungan, akal, serta pengembangan potensi individu secara maksimal sesuai dengan ajaran dasar Islam yang tidak membeda-bedakan elemen-elemen tersebut.[15] Pendidikan Islam yang diajarkan Nabi Muhammad juga memberi respon dan solusi positif terhadap permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan fitrah individu dan kelompok. Nabi juga meneladankan pendidikan manusia seutuhnya (insane kamil) dengan mendahulukan pembangunan tauhid (character building), serta menawarkan penajaman kepekaan sosial yang bersumber dari wahyu, hati nurani, akal, jiwa, dan realitas sosial.[16]

Dalam konteks pendidikan Islam, humanisme religius ini di definisikan sebagai proses pendidikan yang lebih memerhatikan aspek potensi manusia sebagai makhluk sosial dan sekaligus makhluk religius (khalifatullah dan ‘abdullah), serta sebagai individu yang diberi kesempatan oleh Tuhan untuk mengembangkan potensi-potensinya. Humanisme religius juga dimaknai sebagai kekuatan atau potensi individu untuk mengukur dan mencapai ranah ketuhanan dan penyelesaian permasalahan-permasalahan sosial.[17]

Pendidikan nondikotomik bagi Abdurahman Mas’ud merupakan sebuah model pendidikan yang mengintregasikan antara dua hal, yaitu bukan hanya semata-mata memiliki orientasi kepada ilmu-ilmu keduniaan (duniawi) saja, melainkan juga berorientasi pada ilmu-ilmu agama (ukhrowi) yang pada akhirnya mampu menciptakan generasi sebagai makhluk atau manusia yang paling mulia (paripurna) dengan kesempurnaan jiwanya, yaitu konsep humanisme religius yang mengutamakan akan pentingnya hablum minallah, hablum minannas, alam, lingkungan, akal, serta pengembangan potensi individu secara maksimal sesuai dengan ajaran dasar agama (religion) tentang pentingnya pembangunan tauhid (character building) yang bersumber dari wahyu, hati nurani, akal, jiwa, serta realitas sosial.

Konklusi
Konsepsi pendidikan non-dikotomik merupakan role model pendidikan yang menempatkan pola berfikir pendidikan yang tidak sempit dan tidak dikotomis. Humanisme religius adalah alternatif paradigma pendidikan yang membangun sebuah konsepsi kesadaran tentang pentingnya pendidikan alam, lingkungan, akal, serta pengembangan potensi individu secara maksimal, menuju makhluk sosial dan religius (khalifatullah dan ‘abdullah), atau proses tahzibul akhlaq untuk membentuk kesadaran jiwa akan keberadaannya sebagai esensi yang berasal dari zat yang maha tinggi, dan sekaligus sebagai makhluk yang paling mulia (insan kamil) dengan kesempurnaan jiwa, yaitu mampu mengasah reasoning (quwwatin natiqoh), berfikir untuk melahirkan ilmu pengetahuan, rasa malu, membedakan yang benar (haq) dan salah (bathil), serta mengolah dengan bijak kecenderungan positif maupun negatif.


Referensi:
AzyumardiAzra. (2012). Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Ditengah Tantangan Milenium III. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Abdurrahman Mas’ud. (2002). Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik; Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam. Yogyakarta: Gama Media.



[1] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi Ditengah Tantangan Milenium III, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hal. 2.
[2] Prof. Abdurrahman Mas’ud, M.A., Ph.D. Lahir di Kudus 16 April 1960 (tepat 1 hari sebelum menjelang Kelahiran PMII di Indonesia, 17 April 1960). Beliau mendapatkan pendidikan formal pertama kalinya di Radlatuil Athfal  NU pada usia enam tahun, tepatnya pada tahun 1966. pada tahun 1968 ia masuk di Madrasah Qidsiyah Kudus, Ia harus berada di tingkat shifir dulu selama dua tahun dan selanjutnya baru Tingkat Dasar (MI), Tsanawiyah dan Aliyah selama dua belas tahun (1968-1980). Setelah lulus Madrasah Aliyah, beliau meneruskan jenjang pendidikan perkuliahan dengan mendapat gelar Dokterandes (Drs) diperoleh pada tahun 1987 di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan beliau aktif di Organisasi Ekstra kampus, yaitu Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Ciputat hingga di angkat menjadi Ketua Cabang PMII Ciputat. Di massa kuliahnya, beliau pernah mengikuti Workshop Non-Government Organization (NGO) di Philipina selama dua bulan pada tahun 1986.
[3] Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik; Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Gama Media, 2002). hal. 3
[4] Ibid.
[5] Ibid., hal. 5.
[6] Ibid., hal. 44.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Ibid., hal. 45.
[10] Ibid., hal. 47.
[11] Ibid., hal. 53.
[12] Ibid.
[13] Ibid., hal. 56.
[14] Ibid.
[15] Ibid., hal. 59-60.
[16] Ibid., hal. 62.
[17] Ibid., hal. 135.
Previous Post
Next Post

Penulis yang mengabdikan tulisannya bagi amal jariyah pemikiran. Tokoh favorit sekaligus panutannya adalah Gus Dur