Saturday, May 18, 2019

MELACAK PEMIKIRAN PLURALISME ABDURRAHMAN WAHID

MELACAK PEMIKIRAN PLURALISME ABDURRAHMAN WAHID
PRAWACANA
Diskursus mengenai pluralisme[1] dari dulu hingga kini belumlah cukup menuai solusi konseptual dalam perdebatannya. Terdapat benturan interpretasi yang menganga antara yang pro dan kontra tetang makna pluralisme itu sendiri. Narasi deskriptif perihal wacana pluralisme, sekularisme dan liberalisme sering kali difatwakan oleh sebagian kalangan sebagai paham yang haram dengan berbagai alasan menukik. Jika pluralisme dipahami sebagai polemik agama, maka sudah barang tentu perseteruan dan pertentangan sosial yang ada seringkali dipicu oleh faktor agama.[2] Dalam realitas hari ini, memang faktor agama masih menjadi titik singgung kerawanan sumber perpecahan, semata-mata bukan karena ingin berdiri sendiri, tetapi sering dijadikan sebagai pelengkap dari konflik yang dipicu oleh perselingkuhan dan kesenjangan sosial maupun ekonomi.
Polemik pluralisme sesungguhnya sering disalahartikan oleh beberapa kalangan yang kontra. Seharusnya polemik itu tidak perlu lagi terjadi, mengingat pluralisme yang dipahami bukanlah pluralisme sebagaimana oleh kalangan yang pro promosikan dan didukung selama ini.[3] Terlihat kontradiksi makna dan kesalahpahaman makna antara yang pro dan kontra. Kesalahpahaman tersebut kemudian beruntut mulai dari seorang, kemudian timbul dalam suatu kelompok secara luas.
Perbedaan pendapat sejatinya adalah hal yang lumrah, mengingat keragaman adalah suatu kodrat yang bergerak dalam lintasan waktu dan sebagai bentuk keniscayaan Tuhan. Tidak jarang perbedaan pendapat ini terjadi dalam diri manusia itu sendiri sebagai makhluk yang berfikir, dan seharusnya menggunakan akal pikirannya, terus belajar dan berlaku sepanjang hidupnya (long life education). Bisa saja apa yang kita pahami sekarang adalah suatu benar, besok atau dalam kurun waktu tertentu bisa saja salah karena diperolehnya suatu informasi yang up to date dengan menunjukan kekeliruan yang awal diyakini benar dan akan terus seperti itu.
Terdapat narasi yang menggambarkan bahwa pluralisme ditafsirkan sebagai salah satu faktor yang dapat menimbulkan konflik-konflik sosial, baik karena bertolak dari satu kepentingan (vestest interest) keagamaan yang sempit, maupun yang bertolak dari supremasi budaya kelompok masyarakat tertentu. Pandangan semacam ini tidak dapat disalahkan, karena dalam banyak kasus—di beberapa negara—terjadinya konflik adalah dilatarbelakangi persoalan pluralisme.[4] Masalahnya kemudian, antara pro-kontra atas problem yang mengemuka mengenai pluralisme selanjutnya menjadi hiruk pikuk persoalan yang serius. Sehingga melahirkan pertentangan sikap pluralis[5] dan sikap anti-pluralis, dan akan memunculkan ketegangan dan pertentangan sikap yang membawa implikasi pada tingkat praktis. Salah satunya adalah sikap yang mudah menyalahkan orang lain dan fanatik buta terhadap agama, serta tindakan menafikan hak orang lain dengan segala keutuhan identitasnya. Dewasa ini, hal demikianlah yang sering terjadi. Contoh pluralisme agama misalnya, bagi kalangan—dengan sikap anti pluralis—ingin memaksakan kebenaran agamanya dan mendesak kehadiran orang lain yang berbeda agama—atau bahkan antar pemeluk agama—agar meyakini kebenaran (agama) nya, karena merasa bahwa agama yang dianutnya adalah yang paling benar dan absolute. Tidak sedikit, polemik ini kemudian dibenturkan dengan politik sebagai alat untuk mengabadikan kepentingan dan kekuasaan.
Bermacam-macam agama di dunia ini, bukanlah sekat dan penghalang manusia untuk berbuat kebajikan, kenal-mengenal dan saling tolong menolong, serta sebagai khazanah dan rahmat agar kehidupan manusia dinamis dan tidak monoton. Dengan demikian, memaksakan kehendak suatu agama kepada orang lain dengan cara apapun, disamping bertentangan dengan misi dan ajaran agama itu sendiri, juga merupakan sumber konflik dan penderitaan manusia, serta kerusakan dimuka bumi. Sejatinya, ajaran teologis menunjukan bahwa setiap agama mengandung misi suci dan mengajak seluruh umat manusia mencapai realitas tertinggi (ultimate reality) melalui kesadaran transendental yang dimiliki. Demikian juga yang berhubungan dengan konteks kemanusiaan bahwa setiap agama mengajarkan komitmen kebersamaan (egalitarianisme) dalam hidup dengan keharusan mengesampingkan unsur-unsur primordialisme yang menyelimuti manusia.
Selanjutnya, dalam kaca sejarah aksi pembantaian, pembakaran dan pengusiran warga pendatang atau etnis minoritas, masih saja berlangsung sampai dewasa ini dengan dalih atas nama agama, budaya dan etnisitas seseorang maupun suatu kelompok berhak dan boleh berbuat apapun. Potret Indonesia dalam sejarah masih bergambar sama sampai saat ini. Jika hal ini masih berlangsung hingga kini, bukan tidak mungkin Indonesia di masa depan bagaikan sedang menanti alam kegelapan yang tidak jelas lagi mana kesantunan dan mana kesadisan, apa yang disebut benar dan salah juga tidak jelas. Hal ini tidak lain adalah bentuk kekosongan masyarakat akan pemahaman pluralisme yang salah dipahami. Untuk itu, pemahaman terkait pluralisme[6] dan pluralitas[7] perlu dikaji dengan seksama agar tidak lagi membawa polemik yang nota bene adalah kesalahpahaman yang berujung pada anti pluralis.
Dengan demikian, diskursus mengenai pluralisme yang sering dipahami dan dapat dimengerti, harus disikapi dengan bijaksana. Dan permasalahan yang akan menyeret pada sikap eksklusif pada individu maupun kelompok, intoleransi, pelanggaran hak asasi manusia dalam ranah apapun dapat terselesaikan. Hal ini tidak lain merupakan apa yang menjadi cita-cita Gus Dur[8] dalam melihat pluralisme sebagai diskursus yang sangat vital guna terciptanya kerukunan, kententraman, kenyamanan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena jika pluralisme masih saja dipahami dengan keliru, tidak lain hal ini akan membawa kehancuran sebuah bangsa.

A.      PROFIL ABDURRAHMAN WAHID
1.         Biografi
K.H. Abdurrahman Wahid adalah putra pertama dari enam bersaudara dari pasangan K.H. Wahid Hasyim dan Ny. Hj. Solichah, cucu dari Hadhratus Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari pendiri Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Abdurrahman Wahid lahir pada hari keempat bulan delapan (Agustus). Terdapat kepercayaan bahwa Gus Dur lahir pada 4 Agustus.[9] Perlu diketahui juga bahwa tanggal itu adalah menurut kalender Islam, yakni pada bulan Sya’ban, bulan kedelapan dalam penanggalan Islam. Sebenarnya, tanggal 4 Sya’ban 1940 tanggal 7 September. Abdurahman Wahid dilahirkan di Denanyar, dekat kota Jombang Jawa Timur di rumah Pesantren milik kakek dari pihak ibunya, Kiai Bisri Syansuri.[10] Abdurrahman Wahid dilahirkan dengan nama Abdurrahman Ad-Dakhil. Karena kata ‘Ad-Dakhil’ tidak cukup dikenal, kemudian namanya diganti nama ‘Wahid’.[11] Namun kemudian, Abdurrahman Wahid lebih akrab disapa dengan panggilan Gus Dur.
Gus Dur merupakan tokoh panutan yang sangat dihormati oleh banyak kalangan, karena bentuk pengabdiannya dan dedikasinya terhadap masyarakat, bangsa dan negara, serta pemikiran inovatifnya terhadap demokrasi dan Islam yang toleran. Gus Dur juga dikenal sebagai tokoh yang berdedikasi tinggi dalam memperjuangkan atau membela kaum minoritas dan penegak Hak Asasi Manusia (HAM). Ia sangat akrab disebut sebagai Bapak Pluralisme.[12]
Selanjutnya, Gus Dur juga sosok pemikir yang penuh teka-teki dan kontroversial dalam hal pemikiran dan tindakan, sehingga ia sering banyak disalahpahami oleh banyak kalangan. Kendati demikian, kesalahpahaman itu sebagian besar disebabkan oleh karena posisi Gus Dur yang sangat unik dalam masyarakat Indonesia karena Gus Dur adalah Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan pengkritik yang konsisten terhadap rezim Soeharto dengan mengkampanyekan ide-de pembaharuan demokratik.[13] Gus Dur memainkan banyak peran dalam masyarakat Indonesia, selain dipandang sebagai sosok individu yang religius oleh banyak kalangan, ia juga sebagai sosok kelas menengah terdidik sebagai politisi sekuler atau intelektual liberal.
2.        Latar Belakang Keluarga
Gus Dur lahir dari keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas muslim Jawa Timur. Secara genealogi, Gus Dur memiliki keturunan ‘darah biru’, dan menurut Clifford Geertz, ia termasuk golongan santri dan priyai sekaligus. Baik dari garis keturunan Ayahnya maupun Ibunya. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asy’ari adalah pendiri Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Sementara kakek dari pihak ibunya yaitu K.H. Bisri Syansuri adalah pengajar Pesantren pertama yang mengajar kelas perempuan. Sedangkan Ayah dari Gus Dur (K.H. Wahid Hasyim) terlibat dalam gerakan nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya Hj. Sholechah, adalah putri pendiri pondok pesantren Denanyar Jombang. Saudaranya adalah Shalahudin Wahid dan Lili Wahid. Ia menikah dengan Sinta Nuriah dan di karuniai empat orang puteri: Alisa, Yenny, Anita, dan Inayah.[14]
K.H. Wahid Hasyim ayah Gus Dur adalah sosok yang dikenal memiliki keilmuan dan wawasan yang luas, disamping ilmu keagaman dan sebagai tokoh intelektual Islam, serta sebagai seorang nasionalis. Hal ini dapat di lihat dari kiprahnya dalam berpolitik memperjuangkan kemerdekaan. K.H. Wahid Hasyim pernah menjadi mentri agama RI pertama dan aktif dalam panitia sembilan yang merumuskan “Piagam Jakarta”.[15]
Kakek Gus Dur dari pihak Ayah, yaitu Hadratus Syaih K.H. Hasyim Asy’ari adalah sosok yang sangat dihormati di kalangan NU. Selain sebagai tokoh pendiri NU, juga sebagai pemimpin Islam dalam masyarakat pedesaan tradisional. Selain itu, Beliau juga dikenal sebagai seorang guru yang banyak memberi inspirasi dan sekaligus sebagai seorang terpelajar, serta sosok seorang nasionalis yang teguh dalam berpendirian, banyak dari teman-temannya merupakan tokoh-tokoh terkemuka gerakan nasionalis pada periode sebelum perang.[16] K.H. Hasyim Asy’ari juga seorang ulama ahli hadits pemegang ijazah Hadist Bukhari-Muslim ke-24 di dunia.
Sedangkan Kakek Gus Dur dari pihak ibu (Ny. Hj. Sholichah) adalah dari keturunan Kiai Syansuri. Beliau dipandang sangat penting dalam pendirian NU bersama K.H. Hasyim Asy’ari. Meski beliau tidak setenar K.H. Hasyim Asy’ari, namun sebagai sosok yang kharismatik dikalangan masyarakat. Beliau adalah pendiri Pondok Pesantren Denanyar, yang pada perkembangannya bahwa pondok ini sama terkenalnya dengan pondok yang didirikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari. Pondok Denanyar ini terkenal karena pendekatan yang teratur dan berdisiplin terhadap keilmuan dan kehidupan bersama.
Gus Dur pada masa kecilnya sama seperti anak-anak kecil lainnya. Ia sering menunjukan kenakalannya. Sebagai contoh, Gus Dur sering mendapat hukuman dengan diikat di tiang bendera akibat kenakalannya dan sifatnya kurang sopan. Selain itu, ia juga pernah mengalami dua kali patah tulang karena hobinya yang suka memanjat pohon. Bahkan dalam ceritanya, Gus Dur pernah jatuh dari pohon karena ketiduran di atas pohon kemudian menggelinding jatuh. Dan masih banyak lagi kisah sewaktu Gus Dur kecil.
Berlatarbelakang lahir dari kalangan keluarga pesantren dan dekat dengan tokoh-tokoh penting yang sering berkunjung untuk menemui ayahnya, sehingga menjadikan langkah awal Gus Dur dalam menempuh karirnya. Pesantren sebagai langkah awal, dimana Gus Dur ditempa berbagai ilmu agama. Tidak heran jika Gus Dur memiliki keilmuan yang mumpuni dalam aspek agama, hukum dan lain-lain. Untuk itu, tidak heran jika Gus Dur mampu menjadi tokoh nasional karena dilahirkan dari lingkungan keluarga yang cukup dipandang seperti yang dijelaskan di atas, disamping kemampuan dan kecerdasannya yang melebihi di atas rata-rata.
3.         Latar Belakang Pendidikan
Gus Dur yang lahir dari keluarga berlatarbelakang pesantren, sudah semestinya ia mulai menempuh pendidikan awalnya di pondok pesantren. Gus Dur belajar mengaji dan membaca al-Qur’an pada kakeknya K.H. Hasyim Asy’ari. Seperti kebanyakan lainnya atau mungkin menjadi tradisi, Gus Dur tinggal bersama kakeknya, karena kesibukan ayahnya sebagai tokoh nasionalis, namun bukan berati tidak tinggal dengan ayahnya.
Gus Dur memulai pendidikan dasarnya di Sekolah Dasar KRIS di Jakarta Pusat. Ia mengikuti pelajaran di kelas tiga dan kemudian di kelas empat. Akan tetapi ia kemudian pindah ke Sekolah Dasar Matraman Perwari yang terletak di dekat rumah keluarga mereka yang baru di Matraman Jakarta Pusat.[17] Pada fase ini pendidikan yang tempuh Gus Dur hampir sepenuhnya bersifat sekuler. Akan tetapi karena Gus Dur lahir dari latarbelakang keluarga pesantren, tentu Gus Dur telah belajar ilmu agama seperti mempelajari bahasa Arab, meski tidak secara mendalam dan cukup pengetahuan untuk membaca al-Qur’an. Selama tinggal di Jakarta inilah, Gus Dur sudah mulai menemukan hobinya, yaitu kegilaannya dalam membaca. Tampak kegilaannya bila ada sesuatu yang tidak ditemukan, Gus Dur pergi ke toko buku untuk membeli buku apa yang dia cari. Dan ketika keluar rumah, Gus Dur sangat anti untuk tidak membawa buku. Sehingga dapat dikatakan bahwa teman yang selalu ada pada dirinya adalah buku.
Selanjutnya, Gus Dur melanjutkan pendidikannya ke Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Yogyakarta pada tahun 1957. Selama belajar di SMEP, Gus Dur juga mondok di Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta asuhan K.H. Ali Ma’shum. Di sini Gus Dur belajar memperdalam bahasa Arab dan memperdalam ilmu agama lainnya. Pada dasarnya, Gus Dur adalah siswa yang cukup cemerlang di banding dengan siswa-siswa lainnya. Namun, selama menempuh pendidikan tingkat ini, prestasi Gus Dur tidak begitu cemerlang, sebab Gus Dur sering bermalas-malasan dan sering menonton pertandingan sepak bola. Ia merasa bosan dengan pelajaran-pelajaran yang diterimanya dikelas, ia merasakan bahwa pelajaran yang diberikan tidak cukup menantang. Oleh karena itu, Gus Dur terpaksa mengulang kelas satu karena gagal dalam ujian.[18] Meski demikian, selama belajar di SMEP Gus Dur tetap aktif membaca sebagai hobinya dan belajar bahasa asing.
Di kota Yogya inilah Gus Dur banyak melahap buku-buku karya-karya tokoh besar dalam bahasa asing. Minat bacaannya yang luas dari Das Kapital karya Karl Marx, filsafat Plato, Thales, dan Romantisme Revolusioner karangan Lenin Vladimir Ilyeh (1870-1924), tokoh revolusioner Rusia dan pendiri Uni Soviet sampai beragam novel ia baca. Dengan kegilaan baca tersebut sehingga memungkinkan Gus Dur menjadi sosok yang berwawasan luas.[19]
Setelah tamat dari SMP di Yogyakarta pada 1957, Gus Dur mulai memfokuskan pendidikannya secara penuh di pesantren. Kemudian Gus Dur pindah ke Magelang, tepatnya Pesantren Tegalrejo di bawah asuhan Kiai kharismatik, yaitu Kiai Khudori. Selama menempuh pendidikan di Magelang, Gus Dur secara penuh mengikuti alur dan keilmuan di dalamnya. Karena pada dasarnya Gus Dur adalah orang yang cerdas dan memiliki kelebihan, yaitu ingatan yang kuat. Gus Dur dapat dengan mudah menerima segala sesuatu yang diajarkan dalam pesantren. Proses pendidikan di pondok Tegalrejo ini Gus Dur hanya menempuh waktu kurang lebih dua tahun, yaitu sampai 1959. Tentu hal ini berbeda dengan santri-santri lainnya yang pada umumnya mampu di selesaikan dalam waktu empat tahun.
Selanjutnya, Gus Dur melanjutkan pendidikan pesantrennya ke Jombang pada tahun 1959 untuk belajar secara penuh di pesantren Tambakberas di bawah asuhan Kiai Wahab Chasbullah yang tidak lain adalah murid kakeknya (K.H. Hasyim Asy’ari), dan sekaligus keponakannya. Beliau adalah seorang tokoh kunci yang juga mempunyai banyak pengaruh terhadap kehidupan Gus Dur. Di sini Gus Dur mendapat dorongan untuk mengajar dan akhirnya Gus Dur sempat menjadi kepala Madrasah modern tempat di mana ia mengajar. Dari pesantren inilah minat Gus Dur bertambah, tidak hanya pada studi keagamaan, juga tertarik pada tradisi sufistik dan mistik kebudayaan dan tradisi Islam, hingga kemudian Gus Dur gemar berkunjung ke makam para wali, kiai, dan ulama untuk berziaroh.
Pada tahun 1960-an, ketika berusia 23 tahun, Gus Dur memperoleh kesempatan belajar ke Mesir melalui beasiswa Departemen Agama. Ketika itu, dia telah menyelesaikan gramatika bahasa Arab seribu bait yang sudah dihafal di luar kepala. Di negeri ini, Gus Dur mengambil spesialisasi bidang syari’ah, namun setelah tujuh tahun dia merasa tidak kerasan karena menurutnya tidak lebih dari pesantren.[20] Oleh karena itu, ia lebih memilih aktif di organisasi Perhimpunan Mahasiswa Indonesia dari pada menekuni belajar. Akhirnya ia pindah ke Irak untuk mengikuti kuliah di Universitas Baghdad, Fakultas Sastra. Di tempat inilah bakat empirisnya dapat tumbuh dengan pesat. Dia banyak membaca karya-karya fenomenal, seperti pemikiran Emile Durkheim dan lain-lain.[21]
Selama di Universitas Baghdad ini, Gus Dur menemukan banyak informasi sejarah lengkap tentang Indonesia. Selain itu, ia berkesempatan membaca karya-karya sastra dan budaya Arab serta filsafat dan pemikiran sosial Eropa. Di sini pula Gus Dur belajar tentang sejarah, tradisi dan komunitas Yahudi, hingga akhirnya ia bersahabat dengan Ramin, adalah seorang pemikir liberal dan terbuka dari komunitas kecil Yahudi Irak di Baghdad. Mereka berdua sering bertukar gagasan yang terkadang secara khusus di lakukan oleh mereka berdua saja. Dari Ramin lah, kemudian Gus Dur belajar menghormati Yudaisme dan memahami pandangan agama Yahudi serta keprihatinan politik dan sosial orang-orang Yahudi yang hidup dalam diaspora sebagai kaum minoritas yang sering disiksa.[22] Dari sinilah, dalam perjalannya Gus Dur selalu membela kaum minoritas yang tertindas, sehingga disini dapat dikatakan bahwa Gus Dur adalah seorang pejuang demokrasi dan HAM.
Setelah selesai menempuh pendidikan di Timur Tengah pada pertengahan 1970-an, Gus Dur berniat melanjutkan studi pascasarjananya di bidang perbandingan agama di Eropa. Namun karena terhambat oleh kendala universitas-universitas di Eropa tidak mengakui hasil studinya di Universitas Baghdad, sehingga ijazahnya tidak memperoleh pengakuan, hingga akhirnya Gus Dur mengurungkan niatnya untuk melanjutkan. Untuk mengurangi rasa kecewanya akhirnya kesempatan tersebut ia pergunakan untuk keliling Eropa sambil belajar bahasa Perancis, Jerman dan Inggris.
Sekembalinya ke Indonesia pada 4 mei 1971, Gus Dur kembali ke Pesantren Tebu Ireng Jombang. Karena kemampuannya dalam bidang ilmu agama Islam dan ilmu pengetahuan umum lainnya, Gus Dur terjun dalam dunia jurnalistik sebagai kaum cendekiawan Muslim yang progresif yang berjiwa sosial demokrat. Pada masa yang sama, Gus Dur terpanggil untuk berkeliling Pesantren dan Madrasah di seluruh Jawa. Hal ini dimaksudkan demi menjaga agar nilai-nilai tradisional Pesantren tidak tergerus, sebab Gus Dur melihat banyaknya serangan terhadap nilai tradisionalis dalam Pesantren, pada saat yang sama Gus Dur mengurungkan niatnya untuk kembali ke Eropa untuk mengembangkan Pesantren.
Sebenarnya masih begitu banyak cerita perjalan Gus Dur, mulai dari ia mengajar di Fakultas Ushuluddin Universitas Tebu Ireng Jombang. Tiga tahun diangkat menjadi Sekretaris Pesantren, di tahun yang sama 1971 ia mulai aktif menulis. Melalui gagasan dan pemikiran lewat tulisannya kemudian mendapat perhatian dari kaum intelektual seperti Djohan Efendi, Cak Nur. Kemudian Gus Dur bergabung dalam rangkaian forum akademik dan kelompok-kelompok kajian. Dari sinilah kemudian Gus Dur mulai di undang untuk menjadi narasumber di sejumlah forum diskusi.
Pada tahun 1980 Gus Dur dipercaya sebagai Wakil Khatib Syuriah PBNU, dan secara aklamasi Gus Dur dipilih menjadi Ketua Umum PBNU oleh tim ahl halli wa al-‘aqdi yang diketuai K.H. As’ad Syamsul Arifin pada Muktamar ke-27 di Situbondo. Jabatan tersebut kembali di kukuhkan pada Muktamar ke-28 di Pesantren Krapyak Yogyakarta (1989) dan Muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994). Kemudian jabatan menjadi Ketua Umum PBNU dilepas saat Gus Dur terpilih menjadi Presiden RI ke-4. Saat menjabat sebagai presiden, bukan Gus Dur namanya bila tidak menimbulkan kontroversi, baik dari pemikiran dan tindakan yang dilakukan.
Dari paparan di atas, memberikan gambaran betapa rumitnya dan kompleksnya perjalan Gus Dur dalam meniti kehidupan. Pertemuan Gus Dur dengan berbagai tokoh yang berlatarbelakang ideologi, budaya, strata sosial, kepentingan dan pemikiran yang berbeda baik yang nasionalis, komunis dan lain sebagainya. Selain itu, Gus Dur dalam pemahaman mengenai keagamaan dan ideologi, mulai dari fundamentalis, tradisionalis, ideologis, modernis, liberalis sampai sekuler. Ia banyak melintasi batas keilmuan yang kompleks. Dari segi kultural, ia bersentuhan dengan budaya Barat yang terkenal terbuka, modern dan liberal yang tentu berlawanan dengan budaya Timur yang santun, tertutup dan banyak candaan atau basa-basi. Sehingga tidak heran, jika Gus Dur terlihat dinamis dan kontroversial, sebagaimana dijelaskan di atas bahwa Gus Dur sulit dipahami oleh sebagian khalayak orang.
4.        Karya Intektual dan Penghargaan
Gus Dur adalah seorang tokoh cendekiawan muslim, tokoh politik, tokoh agama, negarawan dan sebagai Guru Bangsa. Banyak pemikiran yang dicurahkan dalam bentuk tulisan-tulisan baik berupa opini, artikel, atau essai yang di muat dalam berbagai media massa maupun sejumlah buku yang telah diterbitkan. Gus Dur menawarkan pandangan baru untuk menjawab permasalahan trend saat itu. Sebagian tulisannya, Gus Dur mengirimkan untuk majalah Horizon, Budaya Jawa, Tempo, Kompas dan lain-lain. Atas intensitasnya dalam menulis, Gus Dur mendapat sambutan sangat baik setelah LP3ES menerbitkan Jurnal Prisma yang mengedepankan pemikiran yang kritis. Bagi Gus Dur, menulis atau berceramah bukan sekedar menebarkan ide-ide segar kepada masyarakat, melainkan juga berfungsi sebagai perlawanan kultural terhadap rezim yang berkuasa. Hingga tahun 2000, Incress mengumpulkan 493 tulisan Gus Dur terbagi dalam berbagai bentuk.[23]
Setelah tahun 2000, terbit 3 buku kumpulan tulisan Gus Dur lainnya, yaitu Kumpulan kolom dan artikel Abdurrahman Wahid Selama Era Lengser (60 artikel), Gus Dur Bertutur (2 artikel), dan Universalisme dan Kosmopolitasnisme Peradaban Islam (20 ertikel yang dimuat di Kompas). Spektrum intelektualitas Gus Dur mengalami perluasan dari waktu ke waktu, terutama wacana yang dikembangkannya. Temuan Incress (2000) mengidentifikasi perkembangan tersebut sesuai dengan periodesasi persepuluh tahun, mulai 1970-2000.[24]
Selama masa hidupnya, Gus Dur telah banyak menerima penghargaan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, diantaranya adalah:
a.         Pada 1993, Gus Dur menerima pengharagaan Ramon Magsysay Award, sebuah “Nobel Asia” dari pemeritah Filipina. Penghargaan ini diberikan karena Gus Dur dinilai berhasil membangun landasan yang kokoh bagi toleransi umat beragama, pembangunan ekonomi yang adil, dan tegaknya demokrasi di Indonesia.
b.        Pada akhir 1994, Gus Dur terpilih sebagai salah seorang Presiden WCRP (Word Council for Religion and Peace), atau Dewan Dunia untuk Agama dan Perdamaian.
c.         Pada tahun 1996 dan 1997, majalah Asiaweek memasukkan Gus Dur dalam daftar orang terkuat di Asia. Gus Dur menjadi pemimpin besar dan di akui dunia karena pemikirannya dan gerakan sosial yang di bangunnya mempunyai dampak yang luas terhadap demokrasi, keadilan dan toleransi keagamaan di Indonesia.
d.        Dia ditahbiskan sebagai “Bapak Tionghoa” oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, pada 10 Maret 2004.
e.         Pada 11 Agustus 2006, Gadis Arivia dan Gus Dur mendapatkan Tasrif Award-AJI sebagai pejuang kebebasan Pers 2006. Gus Dur dan Gadis di nilai memiliki semangat, visi dan komitmen dalam memperjuangkan kebebasan berekspresi, persamaan hak, semangat keberagamaan dan demokrasi di Indonesia.
f.          Gus Dur mendapat penghargaan dari Simon Wiethemthal Center, sebuah yayasan bergerak di bidang penegakan HAM Israel, karena dianggap sebagai salah satu tokoh yang peduli dalam persoalan HAM.
g.         Gus Dur memperoleh penghargaan dari Mebal Valor yang berkantor di Los Angles karena dinilai memiliki keberanian membela kaum minoritas.
h.        Dia juga memperoleh penghargaan dari Universitas Temple dan namanya diabadikan sebagai nama kelompok studi Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Studies.[25]
Selain itu, Gus Dur juga memperoleh banyak gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dari berbagai Perguruan Tinggi ternama di berbagai negara, antara lain:
a.         Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan dari Netenya University, Israel (2003).
b.        Doktor Kehormatan bidang Hukum dari Konkuk University, Seoul, Korea Selatan (2003).
c.         Doktor Kehormatan dari Sun Moon University, Seoul, Korea Selatan (2003).
d.        Doktor Kehormatan dari Soka Gakkai University, Tokyo, Jepang (2002).
e.         Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum dari Thammasat University, Bangkok, Thailand (2000).
f.          Doktor Kehormatan dari Asian Institute of Technology, Bangkok, Thailand (2000).
g.         Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Sorbone University, Paris, Perancis (2000).
h.        Doktor Kehormatan dari Chualongkorn University, Bangkok, Thailand (2000).
i.          Doktor Kehormatan dari Twente University, Belanda (2000).
j.           Doktor kehormatan dari Jawaharlal Nehru Universit, India (2000).[26]

B.      LANDASAN PEMIKIRAN PLURALISME ABDURRAHMAN WAHID
Secara implisit, landasan pemikiran pluralisme Gus Dur dapat penulis klasifikasikan kedalam lima titik fokus pemikiran yang melandasi peta pemikiran pluralismenya. Pertama adalah Ke-Islaman; kedua, Demokrasi; ketiga, Kemajemukan; keempat, Kebangsaan; dan, kelima, Ke-Indonesiaan. Adapun penjelasannya dapat penulis uraikan sebagai berikut:
1.         Ke-Islaman
Bagi Gus Dur, nilai ke-Islaman adalah pondasi penting dalam melihat makna dan substansi pluralisme itu sendiri. Karena secara normatif transendental Islam adalah agama yang toleran, saling menghargai, penebar kasih sayang dan menghargai perbedaan.[27] Dengan semangat nilai keislaman inilah, sehingga keempat dasar (demokrasi, kemajemukan, kebangsaan, keindonesiaan) yang menjadi landasan pemikiran pluralismenya bertumpu pada nilai keislaman, serta sebagai tolok ukurnya. Begitu halnya ketika Gus Dur melihat polarisasi hubungan agama dengan negara, agama dengan sosial, agama dengan hukum, agama dengan ideologi, agama dangan kemanusiaan dan lain sebagainya. Artinya bahwa Islam dalam pandangan Gus Dur adalah sebuah agama yang bersifat inklusif (terbuka), yang dalam kitab sucinya berisikan aspek etik-moral dan sebagai pedoman kehidupan umat manusia, namun tidak menunjukan secara detail pembahasan terhadap setiap objek permasalahan manusia, sehingga perlu dilakukan ijtihad atau pengembangan sesuai dengan perkembangan zaman.[28]
Dalam pandangan Gus Dur, ia tidak menilai bahwa Islam sebagai agama yang eksklusif (tertutup), yang artinya Islam bukan hanya suatu agama yang berisikan pedoman hidup, melainkan Islam dilihat sebagai suatu sistem hukum yang lengkap, sebuah ideologi universal dan sistem yang sempurna yang mampu memecahkan seluruh permasalahan kehidupan umat manusia. Dengan pandangan ini, kemudian memunculkan Islam itu sebagai agama, negara dan dunia. Dan jika kita ambil contoh dalam aspek negara di negri ini, sangat bertentangan dengan realitas bangsa Indonesia yang beragam dan pluralistik.
Melihat pemahaman akan konteks keberagaman yang menjadi sunnatullah,[29] harus dipahami dan diyakini setiap umat, terkhusus adalah umat muslim dan umat lainnya, bahwa kesadaran keberagaman inilah yang menjadi kunci keharmonisan dalam keberlangsungan kehidupan. Di lihat dari sisi Islam itu sendiri, Gus Dur berpendapat bahwa orientasi paham keislaman sebenarnya adalah kepentingan orang kecil dalam hampir seluruh persoalannya. Kata maslahah ‘ammah yang berarti kesejahteraan umum.[30] Dalam kerangka dasar pemikiran ini, sesungguhnya Gus Dur mengajak kita dalam konsepsi bahwa Islam diturunkan tidak lain adalah untuk membawa perdamaian, ketenangan, dan kesejahteraan. Secara implisit apa yang dipaparkan tersebut menjadi pedoman bagi Gus Dur dalam pluralismenya dengan pendekatan nilai keislaman dan kemanusiaan.
2.        Demokrasi
Demokrasi adalah salah satu konsep pemikiran pluralisme yang dibawa Gus Dur, dimana demokrasi yang dibawanya berlandaskan pada konsep humanisme. Dalam beberapa pemahaman, gerakan agama dalam proses demokratisasi di nilai memiliki hubungan yang erat. Namun perlu digaris bawahi, antara agama dengan demokrasi mempunyai konsep yang berbeda, dalam aspek kemanusiaan yang secara garis besar setiap agama (khususnya Islam) mengajarkan akan nilai untuk saling menghargai, dan hal demikian sama dengan apa yang dibawa oleh demokrasi. Dalam hal ini Gus Dur menawarkan sebuah pemahaman bahwa demokrasi menyamakan derajat dan kedudukan semua warga negara di mata undang-undang, dengan tidak memandang asal-usul etnis, agama, jenis kelamin dan bahasa ibu. Sedangkan tiap-tiap agama tentu lebih dahulu cenderung untuk mencari perbedaan atas dasar hal tersebut, minimal perbedaan agama dan keyakinan.[31]
Hakikat demokrasi menurut Gus Dur, ia mengatakan: “karena demokrasi pada prinsipya suatu cara untuk mengutarakan pendapat, keinginan dan apa itu, untuk memperjuamgkan kepentingan. Lalu demokrasi harus menjamin adanya proses adu argumentasi. Gus Dur juga mengatakan: “inti demokrasi kan sebenarnya adalah kontrol sosial, kritik terhadap pihak yang memegang kekuasan, oleh orang yang berada diluarnya”.[32] Dari pandangan tersebut, sejatinya Gus Dur ingin mengajak pada semua khalayak masyarakat Indonesia untuk benar-benar memahami demokrasi sebagai bentuk nilai dalam kehidupan dengan menjunjung tinggi nilai perbedaan dan kemanusian, baik diranah undang-undang maupun lainnya. Dengan prinsip atau pemahaman Gus Dur tersebut, dapat menjadi suatu alternatif dalam memahami perbedaan bahkan kontoversial. Karena baginya kontroversi juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan demokrasi. Untuk itu, titik fokus demokrasi yang dikembangkan oleh Gus Dur adalah perlunya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian tentang harkat dan martabat sebagai manusia.
Selain itu, Gus Dur menjelaskan bagaimana perbedaan antara agama dan demokrasi. Melihat sejarah ketika agama Islam mulai masuk salah satu misinya adalah kesetaraan dalam kehidupan mulai ditegakkan, dimana sistem perbudakan dihilangkan, menjunjung tinggi hak-hak perempuan dan lain sebagainya. Contoh lainnya, Dom Helder Camara seorang uskup agung di Brazil, menggerakkan kekuatan rakyat untuk memperjuangkan demokrasi selama belasan tahun, dengan menghadapi tuduhan bahwa ia condong kepada komunisme. Ia bahkan dikenal dengan julukan “Uskup Merah” karena pemihakannya kepada gerakan rakyat.[33] Secara umum hubungan antara agama dengan demokratisasi nampak berjalan dengan mulus. Namun bagi Gus Dur hal demikian tidak dapat dikatakan sama atau berkesesuaian dalam konsep. Ia mengatakan bahwa salah satu sebab yang menghambat kiprah demokratisasi di kalangan lembaga dan kelompok keagamaan adalah perbedaan hakekat nilai-nilai dasar yang dianut keduanya.[34] Karena pada dasarnya bahwa agama memiliki satu nilai kebenaran yang mutlak. Ia juga mengatakan hukum agama itu bersifat abadi, karena ia berlandaskan Kitab Suci yang abadi pula. Mengubah hukum agama berarti pula membatasi keabadian kitab suci, sehingga dengan sendirinya mengusik mutlaknya kebenaran yang dibawakan agama yang bersangkutan.[35]
3.         Kemajemukan
Berbeda adalah suatu hal yang hakiki dan tidak mungkin disamakan, yang ada hanyalah sikap untuk menerima perbedaan dan untuk saling menghargai satu dengan lainnya. Jika dilihat dari keragaman etnis, budaya, bahasa, suku dan agama, Indonesia adalah bangsa yang majemuk dan plural. Keanekaragaman Indonesia kemudian disatukan oleh ideologi yang disebut Pancasila dengan bingkai Bhineka Tunggal Ika. Pancasila bersumber dari nilai-nilai adat istiadat, kebudayaan serta nilai religius yang terdapat dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia. Pancasila dirumuskan oleh para pendiri bangsa (founding father) dari nilai-nilai hidup bangsa Indonesia. Adapun hakekat Pancasila adalah gotong royong. Sedangkan tujuan Pancasila (causa finalis), yakni sebagai falsafah hidup, ideologi negara dan dasar negara.[36]
Keyakinan Gus Dur tentang Pancasila sudah merupakan final dalam konteks kemajemukan di Indonesia. Hal ini ditunjukkan oleh Gus Dur saat menjadi ketua PBNU pada tahun 1984. Ditahun ini, NU mengadakan Muktamar yang isinya adalah NU mengukuhkan secara formal mengambil keputusan Munas mengenai penerimaan Pancasila sebagai azas organisasi dan mengambil konteks Khittah NU ke-26.[37]
4.        Kebangsaan
Wawasan kebangsaan bagi Gus Dur merupakan suatu hal yang sangat penting, karena Indonesia adalah negara yang sangat beranekaragam dalam segala aspek seperti agama, suku dan budaya. Oleh karena itu, wawasan kebangsaan sudah semestinya menjadi pemahaman yang mendalam dan mantap untuk dimiliki oleh setiap warga negara, sehingga diperoleh persatuan dan kesatuan yang kokoh sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tidak heran jika dimanapun dan kapanpun dalam perjalanannya Gus Dur selalu berbicara tentang NKRI.
Gus Dur dalam pemikirannya—terkait dengan wawasan kebangsaan—dimulai dari alur pemikiran politik NU, karena NU selalu memadukan antara nilai kebangsaan dengan nilai keagamaan (Islam). Dimana perpaduan antara keduanya berdasarkan pada landasan hukum Islam yang memberi pedoman bahwa Islam tidak mengenal pemisahan agama dan politik.[38] Kemudian dijelaskan secara jelas oleh Gus Dur pendekatan serba fiqh atas masalah-masalah kenegaraan itulah membuat NU relatif lebih mudah menerima ketentuan pemerintah tentang azas Pancasila dalam kehidupan berorganisasi dewasa ini.
Menurut Gus Dur, hubungan antara agama dan negara harus terjalin secara proposional. Hal ini dimaksudkan agar proses berfikir kaum muslimin—khususnya warga NU dan warga negara secara umum—tidak mengganggu perkembangan negara yang sedang merintis dan membangun tatanan negara yang lebih matang dan berjangka panjang. Dipertegas lagi oleh Gus Dur, dalam pandangan fiqh bahwa azas Pancasila adalah salah satu dari sekian buah persyaratan bagi keabsahan negara Republik Indonesia. Hal itupun bukannya persyaratan keagamaan sama sekali. Dengan sendirinya tidak ada alasan apapun untuk menolaknya selama ia tidak berfungsi menggantikan kedudukan agama dalam kehidupan organisasi yang bersangkutan.[39] Sikap politik NU tersebut merupakan perwujudan dan perpaduan antara wawasan keagamaan dan wawasan kebangsaan.
Hal ini dapat dilihat bagaimana kiprah NU dalam mengawal pertumbuhan bangsa Indonesia. Jauh sebelum Gus Dur memimpin NU, perkembangan NU baik tataran pemikiran maupun perjuangannya berkaitan erat dengan sejarah pertumbuhan bangsa dan negara Indonesia. Perkembangan tersebut dapat dilihat sejak zaman perjuangan merebut kemerdekaan Republik Indonesia sampai dengan sekarang.[40] Semasa Gus Dur menjadi ketua PBNU, NU mengalami perubahan penilaian dari sebuah organisasi tradisionalis menjadi organisasi modern dalam pembaharuan pemikiran. Ia berhasil membawa NU untuk lebih kritis membaca persoalan dalam lingkup agama, sosial, ekonomi bahkan politik.
5.        Ke-Indonesiaan
Menurut Gur Dur, berdirinya negara Indonesia lebih disebabkan oleh adanya kesadaran berbangsa, bukan hanya sekedar karena ideologi Islam. Menurutnya ini merupakan suatu kenyataan yang harus diterima secara obyektif sebab ia rasakan adanya gejala. Kenyataan obyektif demikian belum tuntas dipahami oleh sebagian aktivis pergerakan Islam di Indonesia. Ia berpendapat bahwa ajaran Islam sebagai komponen yang membentuk dan mengisi kehidupan warga Indonesia, seharusnya diperankan sebagai faktor komplementer bagi komponen-komponen lain. Dengan begitu ia tidak akan berfungsi sebagai faktor tandingan yang dapat mengundang disintegrasi dalam kehidupan berbangsa secara keseluruhan.[41] Argumen tersebut dimaksudkan agar umat Islam di Indonesia dapat menerima kesadaran dan wawasan kebangsaan sebagai realitas obyektif dan tidak perlu lagi ada pertentangan atau dipertentangkan, mengingat Indonesia sebagai suatu nation mempunyai pluralitas sosio-historis yang berbeda dengan asal muasal Islam di Saudi Arabia.[42]
Kemudian Gus Dur menjelaskan bahwa ideologi Islam dalam konsep suatu negara khususnya Indonesia adalah suatu hal yang kurang tepat, sebab dalam Islam sendiri tidak pernah ditemukan bagaimana konsep suatu negara. Jika kita lihat, Nabi maninggalkan Madinah tanpa ada kejelasan mengenai bentuk pemerintahan bagi kaum muslimin. Di masa Umar bin Khattab, Islam adalah imperium dunia dari pantai timur Atlantik hingga Asia Tenggara. Ternyata tidak ada kejelasan juga apakah sebuah negara Islam berukuran mendunia atau sebuah bangsa saja (wawasan etnis); dengan demikian tidak jelas; negara-bangsa (nation-state), ataukah negara-kota (city state) yang menjadi bentuk konseptualnya.[43] Sehingga dapat simpulkan bahwa Gus Dur lebih melihat dari aspek fungsi negara daripada bentuknya. Artinya bahwa selagi negara yang dibentuk memiliki tujuan yang membawa kesejahteran, kedamaian dan kemajuan dalam kehidupan bersama baginya tidak menjadi suatu masalah.
Konsep negara Indonesia yang berideologi Pancasila menurut Gus Dur bukan merupakan suatu hal yang salah, sebab Pancasila adalah bentuk ideologi yang mengakomodasi keanekaragaman yang ada di Indonesia. Selain itu, jika kita pahami, Pancasila tidak bertentangan dengan Islam karena nilai-nilai yang terkandung didalamnya sudah mencerminkan tujuan Islam yang rahmatan lil ‘alamin, dalam arti bahwa Islam membawakan umat persaudaraan dalam kehidupan.
Gus Dur menjelaskan hubungan antara Islam dengan Pancasila, dalam acuan paling dasar, dimana Pancasila berfungsi mengatur hidup kita sebagai kolektifitas yang disebut bangsa, sedangkan agama memberikan kepada kolektifitas tersebut dengan tujuan kemasyarakatan (sosial purpose), agama justru menyatukan kedua unsur paripurna. Jelaslah dengan demikian antara agama dengan Pancasila terdapat hubungan simbiotik,[44] yang satu tidak dapat hidup di Indonesia tanpa yang lain. Hubungan simbiotik itulah yang memunculkan Pancasila sebagai pandangan hidup (world view) bangsa, bukan sekedar hanya ideologi formal negara belaka.[45] Atau lebih mudahnya, Pancasila berfungsi sebagai landasan hidup berbangsa dan bernegara maka ia haruslah mewadahi aspirasi agama-agama dan menompang kedudukannya secara fungsional. Sedangkan agama merupakan landasan keimanan warga masyarakat dan menjadi unsur motivatif dinamikanya.[46]

C.      PEMIKIRAN PLURALISME ABDURRAHMAN WAHID
Gus Dur merupakan salah satu tokoh yang peduli akan tegaknya pluralisme masyarakat, bukan hanya terletak pada suatu pola hidup berdampingan secara damai, karena hal ini masih sangat rentan terhadap munculnya kesalahpahaman antar kelompok masyarakat yang pada saat tertentu bisa menimbulkan disintegrasi. Lebih dari itu, penghargaan terhadap pluralisme berarti adanya kesadaran untuk saling mengenal dan berdialog secara tulus sehingga kelompok yang satu dengan yang lain memberi dan menerima (take and give) serta bagaimana Islam memandang Islam, ummah, jama’ah, ra’iyah, imamah, ukhuwah dan seterusnya.
Ketidakpastian moral dan spiritual serta masih meluasnya sikap memandang segala sesuatu dari satu sudut pandang, dan itu pun umumnya berdasarkan kepentingan masing-masing. Harus ada kerendahan hati (humility) bahwa keunggulan komparatif yang dimiliki ajaran Islam hanya berguna apabila digunakan untuk kepentingan keseluruhan umat manusia, bukan hanya untuk kepentingan umat Islam itu sendiri. Belum berkembang wawasan keagamaan yang mengolah ajaran agamanya secara utuh, sehingga yang dicapai hanyalah pendalaman wawasan keagamaan yang bersifat parsial; keagungan agama melalui kuantitatif. Kalaupun diberlakukan ukuran kualitatif, hanyalah dalam dimensi normatif, seperti ketakutan akan dekadensi moral, erosi ukhuwah (persaudaraan) di kalangan sesama muslim. Kebenaran teologis serba mutlak dari ulama dijadikan satu-satunya acuan, dengan melupakan kebenaran nisbi dari semua agama dalam pandangan sejarah sebagai tolok ukuran universal.
Itulah sekelumit respons cara pandang masyarakat hari ini yang belum bisa menerima perbedaan, eksklusif dan mudah menyalahkan orang lain. Berbeda dengan Gus Dur, sebagai ‘Bapak Pluralisme’ dan sosok pemikir yang cerdas dan luas pemikirannya, sehingga ia menjadi sosok yang konsisten dalam memperjuangkan pluralisme. Dalam perjalanan kehidupannya, sejak masih muda Gus Dur sudah aktif menulis dan menuangkan gagasannya, sehingga ia sebagai salah satu cendikiawan muslim di Indonesia yang banyak malahirkan gagasan-gagasan brilian yang merespon berbagai permasalah di tanah air. Dari gagasan-gagasan tersebut merupakan peta pemikirannya dalam membuahkan hasil pemikiran tentang pluralime. Adapun peta pemikiran tentang pluralisme Gus Dur, dapat penulis klasifikasikan menjadi tiga pemikiran. Pertama, yaitu Pribumisasi Islam; Kedua, Demokrasi; dan, Kegita Hak Asasi Manusia.
1.         Pribumisasi Islam
Gagasan pemikiran Gus Dur tentang pribumisasi Islam sejatinya merupakan upaya dakwah dan pola amar ma’ruf nahi munkar[47] yang diselaraskan dengan konsep mabadi khaira ummah.[48] Dimana pelaksanaan konkritnya adalah menasionalisasikan perjuangan Islam, dengan harapan tidak ada lagi kesenjangan atau gap antara kepentingan nasional dengan kepentingan Islam.
Gagasan pribumisasi Islam secara geneologis dilontarkan pertama kali oleh Gus Dur pada tahun 1980-an. Semenjak itu, Islam pribumi menjadi perdebatan menarik dalam lingkungan para intelektual, baik intelektual tua dengan intelektual muda. Dalam pribumisasi Islam, tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran normatif yang bersumber dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing, sehingga tidak ada lagi pemurnian Islam atau proses menyamakan dengan praktik keagamaan masyarakat Muslim di Timur Tengah. Bukankah Arabisme atau proses mengidentifikasi diri dengan budaya Timur Tengah berarti mencabut akar budaya kita sendiri? Dalam hal ini, pribumisasi bukan upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan budaya-budaya setempat, akan tetapi justru agar budaya itu tidak hilang. Inti pribumisasi Islam adalah kebutuhan bukan untuk menghindari polarisasi antara agama dan budaya, sebab polarisasi demikian memang tidak terhindarkan.[49]
Islam pribumi merupakan jawaban dari ‘Islam Purifikatif’ yang ingin melakukan proyek Arabisme di dalam setiap komunitas Islam di seluruh penjuru dunia. Islam Pribumi justru memberi keanekaragaman interpretasi dalam praktik kehidupan beragama (Islam) di setiap wilayah yang berbeda-beda. Dengan demikian, Islam tidak lagi dipandang secara tunggal, melainkan beraneka ragam. Tidak ada lagi anggapan Islam yang di Timur Tengah sebagai Islam yang murni dan paling benar, karena Islam sebagai agama mengalami historisitas yang terus berlanjut.
Ada dua tulisan Gus Dur yang berkaitan langsung dengan tema pribumisasi Islam. Pertama, artikel “Salahkah jika dipribumikan” yang berbentuk tulisan kolom di majalah Tempo pada 16 juli 1983. Kedua, “Pribumisasi Islam”, sebuah antologi dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Saleh. Gagasan pribumisasi Islam dimaksudkan Gus Dur sebagai jawaban atas problem yang dihadapi umat Islam sepanjang sejarahnya, yakni bagaimana mempertemukan budaya (‘adah) dengan norma (syari’ah), sebagaimana juga menjadi persoalan dalam ushul fiqh. Menurut Gus Dur, tumpang tindih antara agama dan budaya akan terjadi terus menerus sebagai suatu proses yang akan memperkaya kehidupan dan akan membuatnya tidak gersang.[50] Agama (Islam) dan budaya mempunyai independensi masing-masing, tetapi keduanya memang mempunyai wilayah tumpang tindih, sebagaiman filsafat dan ilmu pengetahuan. Seseorang tidak akan bisa berfilsafat tanpa ilmu pengetahuan, tetapi juga tidak bisa dikatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah filsafat. Diantara keduanya (agama dan budaya) terjadi tumpang tindih dan sekaligus beda.
Pribumisasi Islam dengan demikian, menurut Gus Dur adalah suatu pemahaman yang mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal didalam merumuskan hukum-hukum agama tanpa mengubah hukum itu sendiri. Pribumisasi Islam bukan suatu upaya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan peranan kepada ushul fiqh dan qawa‘id al-fiqh. Di sini—wahyu—dalam pandangan Gus Dur harus dipahami dengan mempertimbangkan faktor-faktor kontekstual, termasuk kesadaran hukum dan rasa keadilan.[51]
Dalam proses ini pembauran Islam dengan budaya menurut Gus Dur tidak boleh terjadi, sebab berbaur berarti hilangnya sifat-sifat asli. Islam harus tetap pada sifat keislamannya. Al-Qur’an harus tetap dalam bahasa Arab, terutama dalam shalat, sebab hal ini merupakan norma. Sedangkan terjemahan al-Qur’an hanyalah dimaksudkan untuk mempermudah pemahaman, dan bukan menggantikan al-Qur’an itu sendiri.
Proses pergulatan dengan kenyataan kebudayaan tidaklah dimaksudkan mengubah Islam, melainkan mengubah manifestasi dari kehidupan Islam, sehingga yang dipribumikan sebagai fokus. Bagi Gus Dur, Islam harus tetap Islam dimanapun itu. Namun tidak berarti semua harus disamakan bentuk luarnya, maka harus ada titik temu antara Islam dan budaya.[52]
Intinya bahwa pribumisasi Islam dalam pandangan Gus Dur adalah bagaimana Islam itu sebagai ajaran yang normatif berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. Karena bagi Gus Dur bahwa Arabisme atau proses mengidentifikasikan diri dengan budaya Timur Tengah adalah tercabutnya kita dari akar budaya kita sendiri. Arabisme belum cocok dengan kebutuhan. Lain dari pada itu bahwa pribumisasi bukan upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan budaya-budaya setempat, akan tetapi justru agar budaya itu tidak hilang. Maka dari itu, inti pribumisasi Islam adalah sebuah kebutuhan dengan maksud bukan untuk menghindari polarisasi antara agama dengan budaya, sebab polarisasi yang demikian memang tidak terhindarkan.
2.        Demokrasi
Pluralitas agama adalah fakta yang tak terbantahkan. Siapapun suka atau tidak, mustahil hanya agamanya saja yang berhak hidup dan berkembang di bumi yang satu ini dimana semua manusia hidup. Sikap anti atau merasa tidak senang atas kehadiran kepercayaan atau agama lain dengan segala implikasi pengalaman ajarannya adalah sikap yang menentang sunnatullah itu sendiri, sebuah ketetapan Tuhan atas keberagaman kepercayaan dan agama.
Rekaman sejarah menjelaskan bahwa betapa tidak merisaukan pikiran dan hati anak manusia, dimana agama yang diyakini oleh setiap pemeluknya berasal dari Tuhan menjadi alat penghancur dan seolah-olah pesan dasar ajaran agama adalah untuk menindas orang lain yang berbeda. Ironis benar jika hingga hari ini agama masih ditakuti oleh banyak manusia karena bukan menjadi sumber kebahagiaan dan acuan hidup.
Dalam hal upaya memperkecil terjadinya konflik umat beragama, ini perlu wadah yang mampu memposisikan setiap agama dan penganutnya sejajar dan tidak ada perbedaan kelompok, sehingga posisi masing-masing agama setara di mata hukum. Setiap agama diberikan kebebasan dan terjamin hukum dalam mengamalkan ajaran agamanya tanpa ada tekanan dan intimidasi dan gangguan dari manapun. Inilah demokrasi yang diperjuangkan oleh Gus Dur. Karena bagi Gus Dur, demokrasi berarti persamaan hak dan status dari setiap warga negara di depan hukum tanpa melihat perbedaan etnis, agama, jenis kelamin dan bahasa.[53] Dalam hal ini, Gus Dur ingin menegaskan bahwa dengan demokrasi setiap agama diberikan hak dan porsi yang sama untuk berkarya dan mengeluarkan pendapat dalam menyelesaikan persoalan bersama.
Terfokus dengan demokrasi di Indonesia khususnya, Gus Dur menyoroti nilai-nilai dasar yang berhubungan dengannya seperti kemanusiaan, persamaan dan keadilan. Hubungan antar manusia ini sangat penting karena tidak akan mungkin di era modernisasi yang sedang berkembang ini seorang manusia tidak berinteraksi dengan orang yang berbeda keyakinan. Maka dari itu, dalam hal ini Gus Dur sering mengutip ayat al-Qur’an Surat al-Hujarat ayat 13 yang intinya adalah; sesungguhnya perbedaan manusia adalah kehendak Tuhan yang memiliki karakter untuk saling mengenal satu sama lain.[54]
Selanjutnya adalah untuk mendukung persamaan, khususnya dalam bidang sosial politik dan ekonomi, Gus Dur dalam hal ini tidak ingin mengatakan istilah “mayoritas atau minoritas”, karena setiap manusia memiliki persamaan status dan hak yang sama. Dengan kata lain, untuk mencapai demokrasi dalam sosial politik dan ekonomi dan keadilan sosial, setiap orang harus menanamkan persamaan, menghormati kaum mayoritas, ras serta kelompok agama lain atau kaum minoritas.[55] Menurut Gus Dur, keadilan adalah sangat penting dalam mendukung kehidupan sosial dan politik yang harmonis sehingga tidak ada pembedaan dan klasifikasi sosial, serta kesenjangan sosial yang dapat berakibat pada terjadinya ketegangan dan bermuara pada konflik.
Dalam hal kaitan agama dan demokrasi, Gus Dur berpendapat bahwa agama harus menunjukkan fungsi transformatifnya bagi demokratisasi kehidupan sosial. Dalam hal ini, agama menurutnya, harus memformulasikan konsepsi tentang martabat manusia, persamaan status manusia di depan hukum, dan solidaritas sejati antar umat manusia. Setiap agama harus berinteraksi dengan agama lain dalam bentuk penerimaan sejumlah nilai-nilai dasar yang universal yang akan membawa hubungan antar agama dalam sebuah tahapan, dimana agama melayani masyarakat dalam sebuah bentuk yang sangat konkret, seperti menanggulangi kemiskinan, menegakkan hukum dan menjamin kebebasan berpendapat.
Gus Dur menekankan pandangan keterbukaan untuk menemukan kebenaran dimanapun juga. Karena pluralisme yang ditekankan Gus Dur adalah pluralisme dalam bertindak dan berpikir. Inilah yang melahirkan toleransi. Gus Dur mengembangkan pandangan anti eksklusivisme agama, karena menurutnya berbagai peristiwa kerusuhan yang berkedok agama di beberapa tempat adalah akibat adanya eksklusivisme agama.[56] Apa yang dikemukakan Gus Dur tersebut sebenarnya tidak lebih merupakan otokritik bagi umat Islam sendiri, karena adanya politisasi agama dan pendangkalan agama.[57] Sikap eksklusif inilah yang menjadi awal dekadensi keilmuan dalam Islam karena ia senantiasa bersikap menolak dan anti terhadap perubahan yang terjadi akibat modernisasi.
Gus Dur senantiasa mengatakan bahwa kita harus selalu berpikiran positif terhadap orang lain yang berbeda dengan kita. Hal ini sangat penting dalam membangun komunikasi yang baik untuk mengentaskan dan membicarakan masalah-masalah bersama. Demokrasi dalam hal ini adalah jaminan bagi setiap agama-agama dan agar mendapatkan tempat yang sama. Bagi Gus Dur, memperjuangkan demokrasi sebagai pilar kesetaraan agama-agama di Indonesia yang masih jauh dari esensi sebuah negara yang berdemokrasi, harus tetap diperjuangkan demi tegaknya sebuah keadilan. Sebagaimana perkataannya: “Kalau tidak ada usaha sungguh-sungguh untuk menegakkan demokrasi yang benar di negeri ini, tentu aspirasi-aspirasi itu akan terbendung oleh kekuatan-kekuatan anti demokrasi itu. Negara kita bukan tempat satu-satunya di dunia ini, dimana keadaan di atas masih berlangsung. Keadaan itu sendiri bahkan merupakan ciri umum kehidupan semua negara yang sedang berkembang. Karenanya dari sekarang sebenarnya telah dituntut dari kita kesedian bersama untuk memperjuangkan kebebasan dan menyempurnakan demokrasi yang hidup di negeri kita”.[58]
Gus Dur memposisikan demokrasi sebagai pilar penyangga yang memberikan hak yang sama bagi setiap agama. Untuk itu, ia menolak agama dijadikan sebagai dasar negara. Hal ini apabila sebuah agama menjadi dasar negara, maka akan ada warga negara kelas dua, karena hal ini akan berakibat pada hak politik yang pasti akan berbeda. Gus Dur mencontohkan misalnya, pandangan yang sama tentang tiadanya hak bagi warga negara non muslim untuk menjadi kepala negara di negeri kita saat ini. Ini adalah bentuk pengingkaran terhadap demokrasi. Pandangan seperti ini berarti melebihkan kedudukan sebuah agama—dalam hal ini Islam—yang menjadi agama mayoritas penduduk atas agama-agama lain, dengan demikian melanggar prinsip demokrasi yang terkandung, baik dalam pembukaan maupun dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945.[59] Atas dasar inilah Gus Dur semasa menjadi Presiden menjadikan agama Konghucu menjadi agama resmi di Indonesia dengan segala kebudayaannya.
Demokrasi bagi Gus Dur adalah menghendaki untuk melihat masyarakat secara keseluruhan, dan Gus Dur juga mengkritisi umat Islam sendiri yang cenderung berpikir untuk dirinya sendiri. Selain itu, demokrasi itu adalah take and give yang serius. Demokrasi itu isinya memberi dan menerima, tidak ada orang yang bisa memaksa orang lain untuk, misalnya menanggalkan keyakinan agamanya dalam demokrasi.
Satu hal yang patut dibanggakan dari Gus Dur, dimana nilai-nilai demokarasi yang diusungnya bukanlah demokrasi model Barat ataupun model Timur (kalau ada), melainkan demokrasi yang bersumber dari nilai-nilai martabat kemanusiaan yang bersifat universal, baik itu digali dari agama-agama, dari filsafat maupun dari tradisi dan budaya nusantara.
3.         Islam dan Hak Asasi Manusia (HAM)
Sebagaimana dijelaskan Greg Barton, Gus Dur merupakan seorang intelektual yang mewakili perpaduan dua tradisi, yaitu Kesarjanaan Islam tradisional dan pendidikan Barat modern. Menurutnya, salah satu hasil sintesis itu adalah perhatiannya yang kuat untuk reformasi pemikiran dan praktek Islam, suatu perhatian yang juga ditekankan oleh modernisme Islam setidaknya pada fase-fase awal. Greg mencoba memahami pemikirannya, menemukan adanya sebuah tema paling dominan dalam pemikiran Gus Dur, yaitu tema humanitarialisme liberal. Tema liberal itulah mendapat tempat besar dalam pemikiran Gus Dur tanpa harus meninggalkan prinsip Islam tradisional.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa corak utama pemikiran Gus Dur lebih menekankan pada pendekatan kontekstual dari pada tekstual. Selain itu, Gus Dur mencoba memadukan pemikiran khasanah pemikiran Islam tradisional dengan kenyataan yang ada dalam masyarkat modern. Dalam konteks ini, Gus Dur tidak sekedar menggunakan produk-produk pemikiran Islam tradisional, tetapi lebih menekankan pada penggunaan metodologi teori hukum (ushul fiqh) dan kaidah-kaidah hukum (qawaid fiqiyah) dalam kerangka pembentukan suatu sintesis untuk melahirkan gagasan baru sebagai upaya menjawab perubahan-perubahan aktual di masyarakat.
Menurut Gus Dur, salah satu ajaran yang dengan sempurna manampilkan universalisme Islam adalah lima buah jaminan dasar yang diberikan agama samawi terakhir ini kepada warga masyarakat, baik secara perorangan maupun sebagai kelompok. Kelima jaminan dasar itu yaitu:[60]
a)        Jaminan dasar akan keselamatan fisik warga masayarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum (hifzdu an-nafs).
b)       Jaminan dasar akan keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama (hifdzu ad-din).
c)        Jaminan dasar akan keselamatan keluarga dan keturunan (hifdzu an-nasl).
d)       Jaminan dasar akan keselamatan harta benda milik pribadi dari gangguan atau penggusuran di luar prosedur hukum (hifdzu al-mal).
e)        Jaminan dasar akan keselamatan hak milik dan profesi (hifdzu al-aqli).
Selanjutnya, dalam hubungan antara Islam dengan hak asasi manusia, Gus Dur mempersoalkan klaim sejumlah pemikir dan pemimpin dunia Islam yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang paling demokratis dan sangat menghargai hak asasi manusia. Hal ini justru berseberangan dengan klaim tersebut. Di negeri-negeri muslim, pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia justru sering terjadi. Jadi klaim tersebut tidak sesuai dengan kenyataan. Hak asasi manusia yang diusung oleh Gus Dur tentang tidak kesesuaian pandangan antara hukum Islam (fiqh) dengan deklarasi universal hak asasi manusia.[61] Di dalam deklarasi HAM mengakui kebebasan untuk berpindah agama, hukum Islam sebaliknya memberikan ancaman hukuman keras terhadap seseorang yang berpindah agama atau murtad. Gus Dur berkata, apabila ketentuan seperti ini diberlakukan maka lebih dari 20 juta jiwa manusia Indonesia yang berpindah agama dari Islam ke Kristen lalu dihukum mati.[62] Bahkan di Indonesia pada tahun 1945 saat Konstitusi negara dirancang ada beberapa perdebatan mengenai apakah agama Islam harus agama resmi negara atau tidak. Bahwa seluruh tokoh-tokoh pejabat menyepakati seluruh agama harus dipandang dan dihormati satu sama lain sehingga jaminan kebebasan memeluk agama diterapkan pada konstitusi negara.[63]
Secara umum dapat dikatakan bahwa latarbelakang kultural dari sikap untuk menghargai sesama manusia dan menghormati hak-hak orang lain memang terdapat dalam cakupan luas pada ajaran Islam. Beberapa aspek dari latarbelakang kultural itu dapat disebutkan dalam uraian dibawah ini:
a)        Penciptaan dan penempatan manusia sebagai makhluk yang memiliki derajat kemuliaan dalam tata alam (kosmologi) dari jagad raya ini, menunjuk dengan jelas kepada keharusan memperlakukan manusia dengan perlakuan sesuai dengan kemuliaan derajatnya itu. Sebelum ia dilahirkan (semasa masih dalam kandungan) dan setelah ia meninggalkan dunia fana ini, manusia telah atau masih memiliki hak-hak yang dirumuskan dengan jelas dan dilindungi oleh hukum dalam pandangan Islam. Karenanya hak-haknya dan arena kemampuannya menggunakan hak-hak itu dengan baik, Allah Swt telah menetapkan manusia sebagai pengganti atau wakil-Nya (khalifah) di muka bumi ini, sebagaimana diutarakan secara eksplisit oleh al-Quran.
b)       Penekanan prinsip untuk mengatur kehidupan masyarakat dalam sebuah tata hukum (syari’at) yang berwatak universal menunjuk dengan jelas kepada penghargaan Islam secara umum kepada hak-hak asasi manusia. Hukum hanya dapat dilaksanakan dengan baik dan adil jika hak-hak perorangan maupun serikat dirumuskan dengan jelas dalam tata hukum yang digunakan sebagai pengatur kehidupan bermasyarakat. Tata hukum Islam yang menyangkut segenap sektor kehidupan masyarakat, dari hak-hak dasar untuk memperoleh pelindungan hukum dari negara hingga kepada pengaturan hubungan antar negara (hubungan internasional) dalam sejarahnya yang panjang telah mengembangkan metode-metode lengkap untuk melakukan perumusan seperti itu.
c)        Pandangan untuk memperlakukan seluruh kehidupan sebagai kerja peribadatan yang melandasi kehidupan seorang Muslim akan senantiasa membuatnya berpegang pada pengertian yang jelas antara hak-hak dan kewajiban dalam mengatur hidup manusia masing-masing.[64]
Dalam hal persoalan HAM, apabila menolak Deklarasi Universal HAM sebagai sesuatu yang asing bagi Islam, maka sikap ini hanya akan menyakiti diri kita sendiri dalam jangka panjang. Dengan demikian, mau tidak mau harus merubah ketentuan hukum Islam yang secara formal dan sudah berabad-abad diikuti. Layaknya perbudakan yang disebut dalam al-Quran maupun hadits. Sekarang perbudakan dan sejenisnya tidak lagi diakui oleh bangsa muslim, secara tidak sadar telah hilang dari perbendaharaan pemikiran muslim. Praktek perbudakan kaluapun masih ada tidak lagi diakui oleh masyarakat muslim dan hanya dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil tanpa perlindungan negara. Hal ini Gus Dur mengambil dalil al-Quran Surat ar-Rahman ayat 26-27: “Semua yang ada di bumi itu akan binasa, Dan tetap kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan”. Menunjukkan hal itu dengan jelas ketentuan ushul fiqh; “hukum agama sepenuhnya tergantung pada sebab-sebabnya, baik ada ataupun tidak adanya hukum itu sendiri. Bahkan menurut Gus Dur, NU telah melakukan antisipasi akan hal ini, dan NU mengambil keputusan “perumusan hukum haruslah sesuai dengan prinsip-prinsip yang digunakan”.[65]

KONKLUSI
Perjuangan Gus Dur dalam menegakkan pluralisme tidak hanya sebatas wacana dan teori semata, namun ia buktikan dalam tindakan dan perbuatan. Gus Dur adalah sosok seorang tokoh yang dapat diterima oleh semua golongan umat beragama. Hal ini mengindikasikan bahwa sensilibitas pemikiran pluralismenya benar-benar ia buktikan dalam kehidupan sehari-hari.
Pluralisme bagi Gus Dur adalah kesetaraan agama-agama di depan hukum tanpa membedakan status sosial, etnis, warna kulit, bahasa ibu dan keyakinan agama. Artinya bahwa semua agama memiliki kedudukan yang sama di depan hukum, bukan berdasarkan agama mayoritas maupun minoritas. Jaminan kesetaraan agama-agama tersebut adalah dengan pondasi demokrasi yang kokoh dan terjaminnya keadilan hukum bagi setiap penganut agama. Prinsip ini tidak lain adalah untuk mengatur kehidupan masyarakat dalam sebuah tata hukum  yang berwatak universal, menunjuk dengan jelas kepada penghargaan agama secara umum kepada hak-hak asasi manusia.
Fokus utama pemikiran Gus Dur bertumpu pada terciptanya kehidupan yang damai sesuai dengan cita-cita Islam yang memberi rahmat kepada seluruh alam dengan menghormati hak asasi manusia secara penuh, memberi ruang gerak demokrasi, serta mengembangkan sikap pluralisme, yang kesemuanya itu merupakan ajaran Islam yang terkandung pada prinsip universal Islam pada maqashid al-syari’ah.



REFERENSI

Abdurrahman Wahid. 1983. Muslim di Tengah Pergumulan. Jakarta: Leppenas.
_________. 1999. Prisma Pemikiran Gus Dur. Yogyakarta: LKiS.
_________. 2000. Tuhan Tidak Perlu Dibela. Yogyakarta: LKiS.
_________. 2001. Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan. Jakarta: Desantara.
_________. 2005. Islam Ku Islam Anda Islam Kita. Jakarta: The Wahid Institute.
_________. 2007. Islam Kosmopolitan; Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan. Jakarta: The Wahid Insitute.
Abdurrahman Wahid & Daisaku Ikeda. 2011. Dialog Peradaban; Untuk Toleransi dan Perdamaian. Jakarta: Kompas Gramedia.
Abudin Nata. 2005. Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Agun Gunandjar Sudarsa. 2013. Pancasila Sebagai Rumah Bersama. Jakarta: RM Books.
Ahmad Amir Aziz. 1999. Neo-Modernisme Islam di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Ali Maschan Moesa. 2002. NU, Agama dan Demokrasi. Surabaya: Pustaka Dai Muda dan Putra Pelajar.
Arifinsyah. 2009. Dialog Global Antar Agama; Membangun Budaya Damai dalam Kemajemukan. Bandung: Citapustaka Media Perintis.
Greg Barton. 2011. GUS DUR; The Authorized Biography of Abdurrhaman Wahid. Yogyakarta: LKiS.
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.). 1998. Passing Over; Melintasi Batas Agama. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Moh. Roqib. 2009. Ilmu Pendidikan Islam; Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat. Yogyakarta: LKiS.
Muhammad Rifa’i & Atania Rahma (ed). 2010. Gus Dur; Biografi Singkat 1940-2009. Yogyakarta: Garasi.
Mujamil Qomar. 2002. NU Liberal; Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam. Bandung: Mizan. 
Munawar Ahmad. 2010. Ijtihad Politik Gus Dur; Analisis Wacana Kritis. Yogyakarta: LKiS.
M. Hanif Dakhiri. 2010. 41 Warisan Kebesaran Gus Dur. Yogyakarta: LKiS.
Ngainun Naim. 2011. Teologi Kerukunan; Mencari Titik Temu dalam Keragaman. Yogyakarta: Teras.
Syamsul Hadi & Rahimsyah AR (ed). 2009. Gus Dur Guru Bangsa Bapak Pluralisme. Jombang: Zahra Book.
Tobroni dan Syamsul Arifin. 1994. Islam Pluralisme Budaya dan Politik. Yogyakarta: Sipress.
Tim INCReS. 2000. Beyond the Symbols; Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Th. Sumartana, dkk. (ed.). 1994. Spiritualitas Baru; Agama dan Aspirasi Rakyat. Yogyakarta: Dian Interfidei.
Umardi Masdar. 1998. Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais tentang Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Zainul Fuad. 2007. Diskursus Pluralisme Agama; Pemikiran Tokoh-Tokoh Muslim dan Kristen di Indonesia, Bandung: Cita Pustaka Media.


[1] Pemahaman mengenai pluralisme sering dipahami dekat dengan agama. Kata pluralisme sendiri secara garis besar dapat dipahami sebagai suatu pernyataan sikap atas keheterogenitas atau suatu bentuk pluralitas yang ada untuk saling menerima dan menghormati. Sehingga, kata pluralisme akan terkerucut tergantung dari kata kerja atau objek yang digunakan.
[2] Jika dilacak secara mendalam, penyebab konflik yang terjadi antara satu wilayah dengan wilayah lain tidaklah sama. Ada yang dipicu karena faktor kesenjangan ekonomi, perseteruan politik, perebutan kekuasaan, hingga agama. Namun demikian, dari sebagian besar konflik dan kekerasan yang ada di Indonesia, ‘agama’ dinilai menjadi salah satu faktor yang cukup determinan terhadap terjadinya konflik. Ngainun Naim, Teologi Kerukunan; Mencari Titik Temu dalam Keragaman, (Yogyakarta: Teras, 2011), hal. 5-6.
[3] Satu pihak melukiskan makna pluralisme sebagai paham yang menganggap semua agama adalah sama. Sedangkan pihak lainnya memahami pluralisme sebagai paham yang menerima kehadiran berbagai agama yang berbeda, sehingga ini tidak sama, dan ketidaksamaan ini tidak harus menciptakan situasi ketidakharmonisan dalam bermasyarakat, karena masing-masing saling cemburu, membenci dan saling memusuhi satu sama lain.
[4] Tobroni & Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik, (Yogyakarta: Sipress, 1994), hal. 33.
[5] Diantara sikap pluralis yaitu memiliki pengetahuan yang benar secara mendalam mengenai agama yang dianutnya, tidak melakukan sikretisme (pencampuran) ritual keagamaan, mendorong dan senang jika pemeluk agama lain melaksanakan ritual agamanya, besikap inklusif dalam hal agama dan bersikap moderat untuk keperluannya besosialisasi dalam masyarakat, percaya pada kebenaran dimanapun ia menemukannya, karena yakin bahwa itu bersumber dari Tuhan, dan tidak membentuk kepribadian ganda (ambivalen).
[6] Pluralisme (paham kemajemukan) pada dasarnya merupakan pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban (geniun engagement of diversities within the bonds of difility) yang merupakan keniscayaan bagi keselamatan bagi umat manusia. Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam; Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat, (Yogyakarta: LKiS, 2009), hal. 182.
[7] Pluralitas adalah suatu konsep keadaan yang lebih dari satu dengan harapan dapat menumbuhkan pemahaman untuk membangun saling pengertian agar dapat memperkokoh kebersamaan menghadapi kesatuan nasib manusia secara kolektif.
[8] Selain Gus Dur, seorang intelektual Muslim Indonesia yang menyuarakan pemikiran pluralisme, yaitu Prof. Dr. Nurcholish Madjid (Cak Nur). Perbedaan pemikiran pluralisme keduanya memang begitu mencolok. Gus Dur melakukan pembaruan khazanah pemikiran pluralismenya berada dijalur Islam Proletar yang berbasiskan pedesaan, kaum miskin dan anti kemapanan. Berbeda dengan Cak Nur, ia lebih bersentuhan dan berada dijalur Islam Borjuis yang berbasiskan kelompok Muslim mapan diperkotaan. Gagasan pluralisme Cak Nur lebih dekat dan melekat pada jalur kaum muda Islam Borjuis dan menjadi ‘hegemoni intelektual’ yang membentuk logosentrisme wacana yang beku, kaku dan anti kritik, sehingga memasung kreativitas bagi para intelektual. Para kaum intelektual muda Borjuis, memposisikan diri sebagai juru bicara Cak Nur (ketika berbicara pluralisme) mereka mengutip gagasan-gagasannya, karena gagasan pluralisme Cak Nur sudah menjadi “sabda suci” yang tak terbantahkan. Seolah apa saja yang keluar dari gagasan pemikirannya selalu dianggap steril dari kepentingan-kepentingan. Mudahnya, para intelektual muda Islam Borjuis menjadi ‘bamper’ Cak Nur, dan inilah yang menyebabkan ‘hegemoni intelektual’, serta mengukuhkan sakralitas teks pluralisme yang digaungkan oleh Cak Nur.] Hanya saja karena makalah ini yang akan menjadi fokus kajian adalah pluralismenya Gus Dur, sehingga pluralisme Cak Nur tidak akan disinggung, bahkan Penulis juga tidak sedikitpun mengutip pemikiran pluralisme Cak Nur sebagai basis pemikiran dalam memperkaya argumentasi tentang pluralisme.
[9] Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 1999), hal. 12.
[10] Greg Barton, GUS DUR; The Authorized Biography of Abdurrhaman Wahid, (Yogyakarta: LKiS, 2011), hal. 25.
[11] Syamsul Hadi & Rahimsyah AR (ed), Gus Dur Guru Bangsa Bapak Pluralisme, (Jombang: Zahra Book), hal. 12. Mungkin K.H. Wahid Hasyim, sebagai seorang ayah sangat girang dengan kehadiran anak pertamanya. Ia dipenuhi rasa optimisme seorang ayah, atau mungkin dia memiliki kemampuan melihat masa depan. Bagaimanapun nama yang diberikan kepada anak pertamanya ini, Abdurrahman Ad-Dakhil adalah nama yang berat untuk anak mana pun. ‘Ad-Dakhil’ yang diambil dari nama salah seorang pahlawan dari Dinasti Umayyah, yang secara harfiah ‘Ad-Dakhil’ berarti ‘Sang Penakluk’.
[12] Lihat: Ibid. Gus Dur ditetapkan sebagai Bapak Pluralisme oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Kamis, 31 Desember 2009 Jam 17:59 WIB Jombang (TV One) pada saat memberikan sambutan dalam memimpin upacara kenegaraan pemakaman Gus Dur di komplek Pondok Pesantren Tebuireng, Cukir, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Presiden SBY mengatakan bahwa Gus Dur merupakan sosok yang patut menjadi tauladan bagi bangsa.
[13] Greg Barton dalam prolog buku: Abdurrahman Wahid, Op. cit., hal. xxi.
[14] Abudin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 33.
[15] Umardi Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amin Rais tentang Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hal. 199.
[16] Ibid., hal. 27.
[17] Ibid., hal. 40-42.
[18] Ibid., hal. 49.
[19] Ibid., hal. 55.
[20] Selama belajar di Timur Tengah ini, ia sempat menjadi Ketua Ikatan Mahasiswa Indonesia di Timur Tengah yang berlangsung pada tahun 1967-1970.
[21] Mujamil Qomar, NU Liberal; Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam, (Bandung: Mizan, 2002), hal. 166. 
[22] Muhammad Rifa’i & Atania Rahma (ed), Gus Dur; Biografi Singkat 1940-2009, (Yogyakarta: Garasi, 2010), hal. 35.
[23] Munawar Ahmad, Ijtihad Politik Gus Dur; Analisis Wacana Kritis, (Yogyakarta: LKiS, 2010), hal. 126-127.
[24] Ibid., hal. 128-129. Berbagai kumpulan tulisan Gus Dur yang di publikasikan menjadi buku, seperti Bunga Rampai Pesantren, Muslim di Tengah Pergumulan, Kiai Menggugat Gus Dur Menjawab, Suatu Pergumulan Wacana dan Transformasi, dan masih banyak lagi.
[25] M. Hanif Dakhiri, 41 Warisan Kebesaran Gus Dur, (Yogyakarta: LKiS, 2010), hal. 43-44.
[26] Ibid., hal. 45-46.
[27] Greg Barton dalam prolog buku: Abdurrahman Wahid, Prisma…, Op. Cit., hal. xxx.
[28] Sebagai contoh, Islam tidak pernah menunjukkan bahkan menganjurkan untuk mendirikan suatu negara Islam. Namun yang ada adalah Islam menekankan pada keadilan, kebebasan, kesetaraan, demokrasi, toleransi, perdamaian dan lain-lain.
[29] Sunnatullah adalah hukum-hukum Allah yang disampaikan untuk umat manusia melalui para rasul, undang-undang keagamaan yang ditetapkan oleh Allah yang termaktub di dalam al-Qur’an, hukum (kejadian) alam yang berjalan tetap dan otomatis.
[30] Abdurrahman Wahid, Islam Ku Islam Anda Islam Kita, (Jakarta: The Wahid Institute, 2005), hal. 20.
[31] Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan; Nilai-Nilai Indonesia & Tranformasi, (Jakarta: The Wahid Institute, 2007) hal. 286-287.
[32] Muhammad Rifai, Gus Dur..., Op. Cit., hal. 93.
[33] Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan…, Op. Cit., hal. 281.
[34] Ibid.
[35] Ibid., hal. 285.
[36] Agun Gunandjar Sudarsa, Pancasila Sebagai Rumah Bersama, (Jakarta: RM Books, 2013), hal. 4.
[37] Muhammad Rifai, Gus Dur..., Op. Cit., hal. 62.
[38] Ali Maschan Moesa, NU, Agama dan Demokrasi, (Surabaya: Pustaka Dai Muda dan Putra Pelajar, 2002), hal. 23.
[39] Abdurrahman Wahid, Prisma …, Op. Cit., hal. 157.
[40] Ali Maschan Moesa, Op. Cit., hal. 15.
[41] Ahmad Amir Aziz, Neo-Modernisme Islam di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), hal. 42.
[42] Ibid.
[43] Abdurrahman Wahid, Islam Ku..., Op. Cit., hal. 82-83.
[44] Hubungan simbiotik adalah suatu hibungan dimana bentuk dari masing-masing kebudayaan hampir tidak berubah, namun saling menguntungkan antara keduanya.
[45] Ahmad Amir Aziz, Neo-Modernisme ..., Op. Cit., hal. 47.
[46] Dewasa ini, isu yang sudah lama ada di Indonesia mengenai pertentangan ideologi menjadi suatu pembahasan yang tidak ada habisnya, dalam kurun waktu terakhir isu ini sempat menjadi tranding topik, yaitu ada sebagian kelompok Islam yang menyerukan negara yang tepat adalah negara yang berideologi Islam dengan kata lain Islam menjadi ideologi negara. Sebut saja mereka Ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Kelompok ini mengajarakan ajaran Khilafah Islamiyah yang menginginkan adanya satu sistem kenegaraan yang sama di seluruh penjuru dunia. Dalam beberapa kasus, mereka secara jelas melakukan penolakan dengan ditunjukannya dalam suatu kegiatan Muktamar Khilafah yang diselenggarakan di Gelora Bung Karno Jakarta tahun 2013 silam dan pembaiatan ratusan bahkan ribuan mahasiswa Institute Pertanian Bogor melalui lembaga Dakwah kampus untuk menjadi anggota ormas HTI. Sehingga pemerintah menganggap kegiatan atau ajaran yang dibawa mengandung unsur yang bertentangan dengan Pancasila sebagai Ideologi yang sah di Indonesia. Dengan demikian atas pertimbangan dan proses peradilan, Kemenkumham memutuskan surat pembubaran HTI dan dinyatakan sebagai ormas yang terlarang di Indonesia.
[47] Pada hakikatnya amar ma’ruf nahi mungkar merupakan bagian dari upaya menegakkan agama dan kemaslahatan di tengah-tengah umat. Secara spesifik amar ma’ruf nahi munkar lebih dititik tekankan dalam mengantisipasi, menghilangkan kemungkaran. Tujuan utamanya yaitu menjauhkan hal negatif di tengah masyarakat tanpa menimbulkan dampak negatif yang lebih besar.
[48] Mabadi Khaira Ummah (prinsip dasar pembentukan umat terbaik) merupakan suatu gerakan penanaman nilai yang dapat dijadikan prinsip dasar dalam pembentukan identitas dan karakter ummat terbaik yang mengandung lima sikap dasar (As-Shidqu, Al-Amanah wal Wafa bil Ahdi, Al-Adalah, At-Ta’awun dan Al-Istiqamah), sehingga disebut sebagai al-Mabadiul Khamsah.
[49] Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, (Jakarta: Desantara, 2001), hal. 111. Pribumisasi Islam telah menjadikan agama dan budaya tidak saling mengalahkan, melainkan berwujud dalam pola nalar keagamaan yang tidak lagi mengambil bentuk autentik dari agama, serta berusaha mempertemukan jembatan yang selama ini melintas antara agama dan budaya.
[50] Tim INCReS, Beyond the Symbols; Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), hal. 43.
[51] Ibid., hal. 44.
[52] Ibid. Salah satu lontarannya sebagai implementasi gagasan pribumisasi Islam yang menimbulkan kontroversi, yaitu kata Assalamu ‘alaikum yang disamakan oleh Gus Dur dengan ahlan wa sahlan atau sabah al-khair. Artinya, kata Gus Dur, assalamu ‘alaikum bisa diganti dengan ‘Selamat Pagi’ atau ‘Apa Kabar’. Gagasan pribumisasi Islam ini karuan saja membuat geger di kalangan NU. Sampai akhirnya sekitar 200 kiai berkumpul di pondok pesantren Darut Tauhid Arjawinangun Cirebon untuk mengadili Gus Dur.
[53] Abdurrahman Wahid, “Agama dan Demokrasi”, dalam Th. Sumartana, dkk. (ed.), Spiritualitas Baru; Agama dan Aspirasi Rakyat, (Yogyakarta: Dian Interfidei, 1994), hal. 272.
[54] Zainul Fuad, Diskursus Pluralisme Agama; Pemikiran Tokoh-Tokoh Muslim dan Kristen di Indonesia, (Bandung: Cita Pustaka Media, 2007), hal. 99.
[55] Ibid., hal. 100.
[56] Abdurrahman Wahid, “Dialog Agama dan Masalah Pendangkalan Agama”, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Passing Over; Melintasi Batas Agama, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), hal. 52.
[57] Arifinsyah, Dialog Global Antar Agama; Membangun Budaya Damai dalam Kemajemukan, (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2009), hal. 80.
[58] Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela, (Yogyakarta: LKiS, 2000), hal. 190.
[59] Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan…,Op. Cit., hal. 288.
[60] Ibid., hal. 4.
[61] Abdurrahman Wahid, Islamku…,Op. Cit., hal. xxiii.
[62] Ibid., hal. 122.
[63] Abdurrahman Wahid dan Daisaku Ikeda, Dialog Peradaban; Untuk Toleransi dan Perdamaian, (Jakarta: Kompas Gramedia, 2011), hal. 44.
[64] Abdurrahman Wahid, Muslim di Tengah Pergumulan, (Jakarta: Leppenas, 1983), hal. 94-95.
[65] Di Indonesia misalnya contoh keluarga berencana (KB), yang dahulunya dilarang karena pembatasan kelahiran, yang menjadi hak reproduksi di tangan Allah semata. Sekarang, karena pertimbangan biaya pendidikan yang semakin tinggi membolehkan perencanaan keluarga, dengan tetap membiarkan hak reproduksi di tangan Allah. Lihat: Abdurrahman Wahid dan Daisaku Ikeda, Dialog Peradaban…, Op. Cit., hal. 123.