PRAWACANA
Diskursus mengenai pluralisme[1]
dari dulu hingga kini belumlah cukup menuai solusi konseptual dalam
perdebatannya. Terdapat benturan interpretasi yang menganga antara yang pro dan kontra tetang makna pluralisme itu
sendiri. Narasi deskriptif perihal wacana pluralisme, sekularisme dan liberalisme
sering kali difatwakan oleh sebagian kalangan sebagai paham yang haram dengan
berbagai alasan menukik. Jika
pluralisme dipahami sebagai polemik agama, maka sudah barang tentu perseteruan
dan pertentangan sosial yang ada seringkali dipicu oleh faktor agama.[2]
Dalam realitas hari ini, memang faktor agama masih menjadi titik singgung
kerawanan sumber perpecahan, semata-mata bukan karena ingin berdiri sendiri, tetapi
sering dijadikan sebagai pelengkap dari konflik yang dipicu oleh perselingkuhan
dan kesenjangan sosial maupun ekonomi.
Polemik pluralisme sesungguhnya sering disalahartikan oleh
beberapa kalangan yang kontra. Seharusnya polemik itu tidak perlu lagi terjadi,
mengingat pluralisme yang dipahami bukanlah pluralisme sebagaimana oleh
kalangan yang pro promosikan dan didukung selama ini.[3]
Terlihat kontradiksi makna dan kesalahpahaman makna antara yang pro dan kontra.
Kesalahpahaman tersebut kemudian beruntut mulai dari seorang, kemudian timbul
dalam suatu kelompok secara luas.
Perbedaan pendapat sejatinya adalah hal yang lumrah,
mengingat keragaman adalah suatu kodrat yang bergerak dalam lintasan waktu dan
sebagai bentuk keniscayaan Tuhan. Tidak jarang perbedaan pendapat ini terjadi
dalam diri manusia itu sendiri sebagai makhluk yang berfikir, dan seharusnya
menggunakan akal pikirannya, terus belajar dan berlaku sepanjang hidupnya (long life education). Bisa saja apa yang
kita pahami sekarang adalah suatu benar, besok atau dalam kurun waktu tertentu
bisa saja salah karena diperolehnya suatu informasi yang up to date dengan menunjukan kekeliruan yang awal diyakini benar
dan akan terus seperti itu.
Terdapat narasi yang menggambarkan bahwa pluralisme ditafsirkan
sebagai salah satu faktor yang dapat menimbulkan konflik-konflik sosial, baik
karena bertolak dari satu kepentingan (vestest interest) keagamaan yang
sempit, maupun yang bertolak dari supremasi
budaya kelompok masyarakat tertentu. Pandangan semacam ini tidak dapat
disalahkan, karena dalam banyak kasus—di beberapa negara—terjadinya konflik
adalah dilatarbelakangi persoalan pluralisme.[4]
Masalahnya kemudian, antara pro-kontra atas problem yang mengemuka mengenai
pluralisme selanjutnya menjadi hiruk pikuk persoalan yang serius. Sehingga melahirkan
pertentangan sikap pluralis[5]
dan sikap anti-pluralis, dan akan memunculkan ketegangan dan pertentangan sikap
yang membawa implikasi pada tingkat praktis. Salah satunya adalah sikap yang mudah
menyalahkan orang lain dan fanatik buta terhadap agama, serta tindakan menafikan
hak orang lain dengan segala keutuhan identitasnya. Dewasa ini, hal demikianlah
yang sering terjadi. Contoh pluralisme agama misalnya, bagi kalangan—dengan
sikap anti pluralis—ingin memaksakan kebenaran agamanya dan mendesak kehadiran
orang lain yang berbeda agama—atau bahkan antar pemeluk agama—agar meyakini
kebenaran (agama) nya, karena merasa bahwa agama yang dianutnya adalah yang
paling benar dan absolute. Tidak
sedikit, polemik ini kemudian dibenturkan dengan politik sebagai alat untuk
mengabadikan kepentingan dan kekuasaan.
Bermacam-macam agama di dunia ini, bukanlah sekat dan
penghalang manusia untuk berbuat kebajikan, kenal-mengenal dan saling tolong
menolong, serta sebagai khazanah dan rahmat agar kehidupan manusia dinamis dan
tidak monoton. Dengan demikian, memaksakan kehendak suatu agama kepada orang
lain dengan cara apapun, disamping bertentangan dengan misi dan ajaran agama
itu sendiri, juga merupakan sumber konflik dan penderitaan manusia, serta
kerusakan dimuka bumi. Sejatinya, ajaran teologis menunjukan bahwa setiap agama
mengandung misi suci dan mengajak seluruh umat manusia mencapai realitas
tertinggi (ultimate reality)
melalui kesadaran transendental yang dimiliki. Demikian juga
yang berhubungan dengan konteks kemanusiaan bahwa setiap agama mengajarkan komitmen kebersamaan (egalitarianisme)
dalam hidup dengan keharusan mengesampingkan unsur-unsur primordialisme
yang menyelimuti manusia.
Selanjutnya, dalam kaca sejarah aksi pembantaian, pembakaran
dan pengusiran warga pendatang atau etnis minoritas, masih saja berlangsung
sampai dewasa ini dengan dalih atas nama agama, budaya dan etnisitas seseorang
maupun suatu kelompok berhak dan boleh berbuat apapun. Potret Indonesia dalam
sejarah masih bergambar sama sampai saat ini. Jika hal ini masih berlangsung
hingga kini, bukan tidak mungkin Indonesia di masa depan bagaikan sedang
menanti alam kegelapan yang tidak jelas lagi mana kesantunan dan mana
kesadisan, apa yang disebut benar dan salah juga tidak jelas. Hal ini tidak
lain adalah bentuk kekosongan masyarakat akan pemahaman pluralisme yang salah
dipahami. Untuk
itu, pemahaman terkait pluralisme[6]
dan pluralitas[7] perlu
dikaji dengan seksama agar tidak lagi membawa polemik yang nota bene adalah kesalahpahaman
yang berujung pada anti pluralis.
Dengan demikian, diskursus mengenai pluralisme yang sering
dipahami dan dapat dimengerti, harus disikapi dengan bijaksana. Dan
permasalahan yang akan menyeret pada sikap eksklusif pada individu maupun
kelompok, intoleransi, pelanggaran hak asasi manusia dalam ranah apapun dapat
terselesaikan. Hal ini tidak lain merupakan apa yang menjadi cita-cita Gus Dur[8]
dalam melihat pluralisme sebagai diskursus yang sangat vital guna terciptanya
kerukunan, kententraman, kenyamanan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Karena jika pluralisme masih saja dipahami dengan keliru, tidak lain hal ini
akan membawa kehancuran sebuah bangsa.
A.
PROFIL ABDURRAHMAN
WAHID
1.
Biografi
K.H. Abdurrahman Wahid adalah putra pertama dari enam
bersaudara dari pasangan K.H. Wahid Hasyim dan Ny. Hj. Solichah, cucu dari
Hadhratus Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari pendiri Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Abdurrahman
Wahid lahir pada hari keempat bulan delapan (Agustus). Terdapat kepercayaan
bahwa Gus Dur lahir pada 4 Agustus.[9]
Perlu diketahui juga bahwa tanggal itu adalah menurut kalender Islam, yakni
pada bulan Sya’ban, bulan kedelapan dalam penanggalan Islam. Sebenarnya,
tanggal 4 Sya’ban 1940 tanggal 7 September. Abdurahman Wahid dilahirkan di
Denanyar, dekat kota Jombang Jawa Timur di rumah Pesantren milik kakek dari
pihak ibunya, Kiai Bisri Syansuri.[10]
Abdurrahman Wahid dilahirkan dengan nama Abdurrahman Ad-Dakhil. Karena kata ‘Ad-Dakhil’ tidak cukup dikenal, kemudian
namanya diganti nama ‘Wahid’.[11]
Namun kemudian, Abdurrahman Wahid lebih akrab disapa dengan panggilan Gus Dur.
Gus Dur merupakan tokoh panutan yang sangat dihormati oleh
banyak kalangan, karena bentuk pengabdiannya dan dedikasinya terhadap
masyarakat, bangsa dan negara, serta pemikiran inovatifnya terhadap demokrasi
dan Islam yang toleran. Gus Dur juga dikenal sebagai tokoh yang berdedikasi
tinggi dalam memperjuangkan atau membela kaum minoritas dan penegak Hak Asasi
Manusia (HAM). Ia sangat akrab disebut sebagai Bapak Pluralisme.[12]
Selanjutnya, Gus Dur juga sosok pemikir yang penuh teka-teki
dan kontroversial dalam hal pemikiran dan tindakan, sehingga ia sering banyak
disalahpahami oleh banyak kalangan. Kendati demikian, kesalahpahaman itu
sebagian besar disebabkan oleh karena posisi Gus Dur yang sangat unik dalam
masyarakat Indonesia karena Gus Dur adalah Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama (PBNU) dan pengkritik yang konsisten terhadap rezim Soeharto dengan
mengkampanyekan ide-de pembaharuan demokratik.[13]
Gus Dur memainkan banyak peran dalam masyarakat Indonesia, selain dipandang
sebagai sosok individu yang religius oleh banyak kalangan, ia juga sebagai
sosok kelas menengah terdidik sebagai politisi sekuler atau intelektual
liberal.
2.
Latar Belakang Keluarga
Gus Dur lahir dari keluarga yang sangat terhormat dalam
komunitas muslim Jawa Timur. Secara genealogi, Gus Dur memiliki keturunan
‘darah biru’, dan menurut Clifford Geertz, ia termasuk golongan santri dan
priyai sekaligus. Baik dari garis keturunan Ayahnya maupun Ibunya. Kakek dari
ayahnya adalah K.H. Hasyim Asy’ari adalah pendiri Jam’iyah Nahdlatul Ulama
(NU). Sementara kakek dari pihak ibunya yaitu K.H. Bisri Syansuri adalah
pengajar Pesantren pertama yang mengajar kelas perempuan. Sedangkan Ayah dari
Gus Dur (K.H. Wahid Hasyim) terlibat dalam gerakan nasionalis dan menjadi
Menteri Agama tahun 1949. Ibunya Hj. Sholechah, adalah putri pendiri pondok pesantren
Denanyar Jombang. Saudaranya adalah Shalahudin Wahid dan Lili Wahid. Ia menikah
dengan Sinta Nuriah dan di karuniai empat orang puteri: Alisa, Yenny, Anita,
dan Inayah.[14]
K.H. Wahid Hasyim ayah Gus Dur adalah sosok yang dikenal
memiliki keilmuan dan wawasan yang luas, disamping ilmu keagaman dan sebagai
tokoh intelektual Islam, serta sebagai seorang nasionalis. Hal ini dapat di lihat
dari kiprahnya dalam berpolitik memperjuangkan kemerdekaan. K.H. Wahid Hasyim
pernah menjadi mentri agama RI pertama dan aktif dalam panitia sembilan yang
merumuskan “Piagam Jakarta”.[15]
Kakek Gus Dur dari pihak Ayah, yaitu Hadratus Syaih K.H.
Hasyim Asy’ari adalah sosok yang sangat dihormati di kalangan NU. Selain
sebagai tokoh pendiri NU, juga sebagai pemimpin Islam dalam masyarakat pedesaan
tradisional. Selain itu, Beliau juga dikenal sebagai seorang guru yang banyak
memberi inspirasi dan sekaligus sebagai seorang terpelajar, serta sosok seorang
nasionalis yang teguh dalam berpendirian, banyak dari teman-temannya merupakan
tokoh-tokoh terkemuka gerakan nasionalis pada periode sebelum perang.[16]
K.H. Hasyim Asy’ari juga seorang ulama ahli hadits pemegang ijazah Hadist
Bukhari-Muslim ke-24 di dunia.
Sedangkan Kakek Gus Dur dari pihak ibu (Ny. Hj. Sholichah)
adalah dari keturunan Kiai Syansuri. Beliau dipandang sangat penting dalam
pendirian NU bersama K.H. Hasyim Asy’ari. Meski beliau tidak setenar K.H.
Hasyim Asy’ari, namun sebagai sosok yang kharismatik dikalangan masyarakat.
Beliau adalah pendiri Pondok Pesantren Denanyar, yang pada perkembangannya bahwa
pondok ini sama terkenalnya dengan pondok yang didirikan oleh K.H. Hasyim
Asy’ari. Pondok Denanyar ini terkenal karena pendekatan yang teratur dan
berdisiplin terhadap keilmuan dan kehidupan bersama.
Gus Dur pada masa kecilnya sama seperti anak-anak kecil
lainnya. Ia sering menunjukan kenakalannya. Sebagai contoh, Gus Dur sering
mendapat hukuman dengan diikat di tiang bendera akibat kenakalannya dan sifatnya
kurang sopan. Selain itu, ia juga pernah mengalami dua kali patah tulang karena
hobinya yang suka memanjat pohon. Bahkan dalam ceritanya, Gus Dur pernah jatuh
dari pohon karena ketiduran di atas pohon kemudian menggelinding jatuh. Dan
masih banyak lagi kisah sewaktu Gus Dur kecil.
Berlatarbelakang lahir dari kalangan keluarga pesantren dan
dekat dengan tokoh-tokoh penting yang sering berkunjung untuk menemui ayahnya, sehingga
menjadikan langkah awal Gus Dur dalam menempuh karirnya. Pesantren sebagai
langkah awal, dimana Gus Dur ditempa berbagai ilmu agama. Tidak heran jika Gus
Dur memiliki keilmuan yang mumpuni dalam aspek agama, hukum dan lain-lain.
Untuk itu, tidak heran jika Gus Dur mampu menjadi tokoh nasional karena dilahirkan
dari lingkungan keluarga yang cukup dipandang seperti yang dijelaskan di atas,
disamping kemampuan dan kecerdasannya yang melebihi di atas rata-rata.
3.
Latar Belakang
Pendidikan
Gus Dur yang lahir dari keluarga berlatarbelakang pesantren,
sudah semestinya ia mulai menempuh pendidikan awalnya di pondok pesantren. Gus
Dur belajar mengaji dan membaca al-Qur’an pada kakeknya K.H. Hasyim Asy’ari.
Seperti kebanyakan lainnya atau mungkin menjadi tradisi, Gus Dur tinggal
bersama kakeknya, karena kesibukan ayahnya sebagai tokoh nasionalis, namun bukan
berati tidak tinggal dengan ayahnya.
Gus Dur memulai pendidikan dasarnya di Sekolah Dasar KRIS di
Jakarta Pusat. Ia mengikuti pelajaran di kelas tiga dan kemudian di kelas
empat. Akan tetapi ia kemudian pindah ke Sekolah Dasar Matraman Perwari yang
terletak di dekat rumah keluarga mereka yang baru di Matraman Jakarta Pusat.[17]
Pada fase ini pendidikan yang tempuh Gus Dur hampir sepenuhnya bersifat
sekuler. Akan tetapi karena Gus Dur lahir dari latarbelakang keluarga
pesantren, tentu Gus Dur telah belajar ilmu agama seperti mempelajari bahasa
Arab, meski tidak secara mendalam dan cukup pengetahuan untuk membaca al-Qur’an.
Selama tinggal di Jakarta inilah, Gus Dur sudah mulai menemukan hobinya, yaitu
kegilaannya dalam membaca. Tampak kegilaannya bila ada sesuatu yang tidak
ditemukan, Gus Dur pergi ke toko buku untuk membeli buku apa yang dia cari. Dan
ketika keluar rumah, Gus Dur sangat anti untuk tidak membawa buku. Sehingga
dapat dikatakan bahwa teman yang selalu ada pada dirinya adalah buku.
Selanjutnya, Gus Dur melanjutkan pendidikannya ke Sekolah
Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Yogyakarta pada tahun 1957. Selama belajar
di SMEP, Gus Dur juga mondok di Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta
asuhan K.H. Ali Ma’shum. Di sini Gus Dur belajar memperdalam bahasa Arab dan
memperdalam ilmu agama lainnya. Pada dasarnya, Gus Dur adalah siswa yang cukup
cemerlang di banding dengan siswa-siswa lainnya. Namun, selama menempuh
pendidikan tingkat ini, prestasi Gus Dur tidak begitu cemerlang, sebab Gus Dur
sering bermalas-malasan dan sering menonton pertandingan sepak bola. Ia merasa
bosan dengan pelajaran-pelajaran yang diterimanya dikelas, ia merasakan bahwa pelajaran
yang diberikan tidak cukup menantang. Oleh karena itu, Gus Dur terpaksa
mengulang kelas satu karena gagal dalam ujian.[18]
Meski demikian, selama belajar di SMEP Gus Dur tetap aktif membaca sebagai
hobinya dan belajar bahasa asing.
Di kota Yogya inilah Gus Dur banyak melahap buku-buku
karya-karya tokoh besar dalam bahasa asing. Minat bacaannya yang luas dari Das
Kapital karya Karl Marx, filsafat Plato, Thales, dan Romantisme Revolusioner
karangan Lenin Vladimir Ilyeh (1870-1924), tokoh revolusioner Rusia dan pendiri
Uni Soviet sampai beragam novel ia baca. Dengan kegilaan baca tersebut sehingga
memungkinkan Gus Dur menjadi sosok yang berwawasan luas.[19]
Setelah tamat dari SMP di Yogyakarta pada 1957, Gus Dur
mulai memfokuskan pendidikannya secara penuh di pesantren. Kemudian Gus Dur
pindah ke Magelang, tepatnya Pesantren Tegalrejo di bawah asuhan Kiai kharismatik,
yaitu Kiai Khudori. Selama menempuh pendidikan di Magelang, Gus Dur secara
penuh mengikuti alur dan keilmuan di dalamnya. Karena pada dasarnya Gus Dur
adalah orang yang cerdas dan memiliki kelebihan, yaitu ingatan yang kuat. Gus
Dur dapat dengan mudah menerima segala sesuatu yang diajarkan dalam pesantren.
Proses pendidikan di pondok Tegalrejo ini Gus Dur hanya menempuh waktu kurang
lebih dua tahun, yaitu sampai 1959. Tentu hal ini berbeda dengan santri-santri
lainnya yang pada umumnya mampu di selesaikan dalam waktu empat tahun.
Selanjutnya, Gus Dur melanjutkan pendidikan pesantrennya ke
Jombang pada tahun 1959 untuk belajar secara penuh di pesantren Tambakberas di
bawah asuhan Kiai Wahab Chasbullah yang tidak lain adalah murid kakeknya (K.H.
Hasyim Asy’ari), dan sekaligus keponakannya. Beliau adalah seorang tokoh kunci
yang juga mempunyai banyak pengaruh terhadap kehidupan Gus Dur. Di sini Gus Dur
mendapat dorongan untuk mengajar dan akhirnya Gus Dur sempat menjadi kepala
Madrasah modern tempat di mana ia mengajar. Dari pesantren inilah minat Gus Dur
bertambah, tidak hanya pada studi keagamaan, juga tertarik pada tradisi
sufistik dan mistik kebudayaan dan tradisi Islam, hingga kemudian Gus Dur gemar
berkunjung ke makam para wali, kiai, dan ulama untuk berziaroh.
Pada tahun 1960-an,
ketika berusia 23 tahun, Gus Dur memperoleh kesempatan belajar ke Mesir melalui
beasiswa Departemen Agama. Ketika itu, dia telah menyelesaikan gramatika bahasa
Arab seribu bait yang sudah dihafal di luar kepala. Di negeri ini, Gus Dur mengambil
spesialisasi bidang syari’ah, namun setelah tujuh tahun dia merasa tidak
kerasan karena menurutnya tidak lebih dari pesantren.[20]
Oleh karena itu, ia lebih memilih aktif di organisasi Perhimpunan Mahasiswa
Indonesia dari pada menekuni belajar. Akhirnya ia pindah ke Irak untuk
mengikuti kuliah di Universitas Baghdad, Fakultas Sastra. Di tempat inilah
bakat empirisnya dapat tumbuh dengan pesat. Dia banyak membaca karya-karya
fenomenal, seperti pemikiran Emile Durkheim dan lain-lain.[21]
Selama di Universitas Baghdad ini, Gus Dur menemukan banyak
informasi sejarah lengkap tentang Indonesia. Selain itu, ia berkesempatan
membaca karya-karya sastra dan budaya Arab serta filsafat dan pemikiran sosial
Eropa. Di sini pula Gus Dur belajar tentang sejarah, tradisi dan komunitas
Yahudi, hingga akhirnya ia bersahabat dengan Ramin, adalah seorang pemikir liberal
dan terbuka dari komunitas kecil Yahudi Irak di Baghdad. Mereka berdua sering
bertukar gagasan yang terkadang secara khusus di lakukan oleh mereka berdua
saja. Dari Ramin lah, kemudian Gus Dur belajar menghormati Yudaisme dan
memahami pandangan agama Yahudi serta keprihatinan politik dan sosial
orang-orang Yahudi yang hidup dalam diaspora sebagai kaum minoritas yang sering
disiksa.[22] Dari
sinilah, dalam perjalannya Gus Dur selalu membela kaum minoritas yang
tertindas, sehingga disini dapat dikatakan bahwa Gus Dur adalah seorang pejuang
demokrasi dan HAM.
Setelah selesai menempuh pendidikan di Timur Tengah pada
pertengahan 1970-an, Gus Dur berniat melanjutkan studi pascasarjananya di bidang
perbandingan agama di Eropa. Namun karena terhambat oleh kendala
universitas-universitas di Eropa tidak mengakui hasil studinya di Universitas
Baghdad, sehingga ijazahnya tidak memperoleh pengakuan, hingga akhirnya Gus Dur
mengurungkan niatnya untuk melanjutkan. Untuk mengurangi rasa kecewanya
akhirnya kesempatan tersebut ia pergunakan untuk keliling Eropa sambil belajar
bahasa Perancis, Jerman dan Inggris.
Sekembalinya ke Indonesia pada 4 mei 1971, Gus Dur kembali
ke Pesantren Tebu Ireng Jombang. Karena kemampuannya dalam bidang ilmu agama
Islam dan ilmu pengetahuan umum lainnya, Gus Dur terjun dalam dunia jurnalistik
sebagai kaum cendekiawan Muslim yang progresif yang berjiwa sosial demokrat.
Pada masa yang sama, Gus Dur terpanggil untuk berkeliling Pesantren dan Madrasah
di seluruh Jawa. Hal ini dimaksudkan demi menjaga agar nilai-nilai tradisional
Pesantren tidak tergerus, sebab Gus Dur melihat banyaknya serangan terhadap
nilai tradisionalis dalam Pesantren, pada saat yang sama Gus Dur mengurungkan
niatnya untuk kembali ke Eropa untuk mengembangkan Pesantren.
Sebenarnya masih begitu banyak cerita perjalan Gus Dur,
mulai dari ia mengajar di Fakultas Ushuluddin Universitas Tebu Ireng Jombang.
Tiga tahun diangkat menjadi Sekretaris Pesantren, di tahun yang sama 1971 ia
mulai aktif menulis. Melalui gagasan dan pemikiran lewat tulisannya kemudian
mendapat perhatian dari kaum intelektual seperti Djohan Efendi, Cak Nur.
Kemudian Gus Dur bergabung dalam rangkaian forum akademik dan kelompok-kelompok
kajian. Dari sinilah kemudian Gus Dur mulai di undang untuk menjadi narasumber
di sejumlah forum diskusi.
Pada tahun 1980 Gus Dur dipercaya sebagai Wakil Khatib
Syuriah PBNU, dan secara aklamasi Gus Dur dipilih menjadi Ketua Umum PBNU oleh
tim ahl halli wa al-‘aqdi yang diketuai K.H. As’ad Syamsul Arifin pada Muktamar ke-27
di Situbondo. Jabatan tersebut kembali di kukuhkan pada Muktamar ke-28 di
Pesantren Krapyak Yogyakarta (1989) dan Muktamar di Cipasung Jawa Barat (1994).
Kemudian jabatan menjadi Ketua Umum PBNU dilepas saat Gus Dur terpilih menjadi
Presiden RI ke-4. Saat menjabat sebagai presiden, bukan Gus Dur namanya bila
tidak menimbulkan kontroversi, baik dari pemikiran dan tindakan yang dilakukan.
Dari paparan di atas, memberikan gambaran betapa rumitnya
dan kompleksnya perjalan Gus Dur dalam meniti kehidupan. Pertemuan Gus Dur dengan
berbagai tokoh yang berlatarbelakang ideologi, budaya, strata sosial,
kepentingan dan pemikiran yang berbeda baik yang nasionalis, komunis dan lain
sebagainya. Selain itu, Gus Dur dalam pemahaman mengenai keagamaan dan
ideologi, mulai dari fundamentalis, tradisionalis, ideologis, modernis,
liberalis sampai sekuler. Ia banyak melintasi batas keilmuan yang kompleks. Dari
segi kultural, ia bersentuhan dengan budaya Barat yang terkenal terbuka, modern
dan liberal yang tentu berlawanan dengan budaya Timur yang santun, tertutup dan
banyak candaan atau basa-basi. Sehingga tidak heran, jika Gus Dur terlihat
dinamis dan kontroversial, sebagaimana dijelaskan di atas bahwa Gus Dur sulit
dipahami oleh sebagian khalayak orang.
4.
Karya Intektual dan
Penghargaan
Gus Dur adalah seorang tokoh cendekiawan muslim, tokoh
politik, tokoh agama, negarawan dan sebagai Guru Bangsa. Banyak pemikiran yang
dicurahkan dalam bentuk tulisan-tulisan baik berupa opini, artikel, atau essai
yang di muat dalam berbagai media massa maupun sejumlah buku yang telah
diterbitkan. Gus Dur menawarkan pandangan baru untuk menjawab permasalahan trend saat itu. Sebagian tulisannya, Gus
Dur mengirimkan untuk majalah Horizon, Budaya Jawa, Tempo, Kompas dan
lain-lain. Atas intensitasnya dalam menulis, Gus Dur mendapat sambutan sangat
baik setelah LP3ES menerbitkan Jurnal Prisma yang mengedepankan pemikiran yang
kritis. Bagi Gus Dur, menulis atau berceramah bukan sekedar menebarkan ide-ide
segar kepada masyarakat, melainkan juga berfungsi sebagai perlawanan kultural
terhadap rezim yang berkuasa. Hingga tahun 2000, Incress mengumpulkan
493 tulisan Gus Dur terbagi dalam berbagai bentuk.[23]
Setelah tahun 2000, terbit 3 buku kumpulan tulisan Gus Dur
lainnya, yaitu Kumpulan kolom dan artikel Abdurrahman Wahid Selama Era
Lengser (60 artikel), Gus Dur Bertutur (2 artikel), dan Universalisme
dan Kosmopolitasnisme Peradaban Islam (20 ertikel yang dimuat di Kompas).
Spektrum intelektualitas Gus Dur mengalami perluasan dari waktu ke waktu,
terutama wacana yang dikembangkannya. Temuan Incress (2000)
mengidentifikasi perkembangan tersebut sesuai dengan periodesasi persepuluh
tahun, mulai 1970-2000.[24]
Selama masa hidupnya, Gus Dur telah banyak menerima
penghargaan, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, diantaranya adalah:
a.
Pada 1993, Gus Dur menerima
pengharagaan Ramon Magsysay Award, sebuah “Nobel Asia” dari pemeritah Filipina.
Penghargaan ini diberikan karena Gus Dur dinilai berhasil membangun landasan
yang kokoh bagi toleransi umat beragama, pembangunan ekonomi yang adil, dan
tegaknya demokrasi di Indonesia.
b.
Pada akhir 1994, Gus Dur terpilih
sebagai salah seorang Presiden WCRP (Word Council for Religion and Peace), atau
Dewan Dunia untuk Agama dan Perdamaian.
c.
Pada tahun 1996 dan 1997, majalah
Asiaweek memasukkan Gus Dur dalam daftar orang terkuat di Asia. Gus Dur menjadi
pemimpin besar dan di akui dunia karena pemikirannya dan gerakan sosial yang di
bangunnya mempunyai dampak yang luas terhadap demokrasi, keadilan dan toleransi
keagamaan di Indonesia.
d.
Dia ditahbiskan sebagai “Bapak Tionghoa”
oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok,
pada 10 Maret 2004.
e.
Pada 11 Agustus 2006, Gadis Arivia dan
Gus Dur mendapatkan Tasrif Award-AJI sebagai pejuang kebebasan Pers 2006. Gus
Dur dan Gadis di nilai memiliki semangat, visi dan komitmen dalam
memperjuangkan kebebasan berekspresi, persamaan hak, semangat keberagamaan dan
demokrasi di Indonesia.
f.
Gus Dur mendapat penghargaan dari Simon
Wiethemthal Center, sebuah yayasan bergerak di bidang penegakan HAM Israel,
karena dianggap sebagai salah satu tokoh yang peduli dalam persoalan HAM.
g.
Gus Dur memperoleh penghargaan dari
Mebal Valor yang berkantor di Los Angles karena dinilai memiliki keberanian
membela kaum minoritas.
h.
Dia juga memperoleh penghargaan dari
Universitas Temple dan namanya diabadikan sebagai nama kelompok studi
Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Studies.[25]
Selain itu, Gus Dur juga memperoleh
banyak gelar Doktor Kehormatan (Doktor Honoris Causa) dari berbagai Perguruan
Tinggi ternama di berbagai negara, antara lain:
a.
Doktor Kehormatan bidang Kemanusiaan
dari Netenya University, Israel (2003).
b.
Doktor Kehormatan bidang Hukum dari
Konkuk University, Seoul, Korea Selatan (2003).
c.
Doktor Kehormatan dari Sun Moon
University, Seoul, Korea Selatan (2003).
d.
Doktor Kehormatan dari Soka Gakkai University,
Tokyo, Jepang (2002).
e.
Doktor Kehormatan bidang Filsafat Hukum
dari Thammasat University, Bangkok, Thailand (2000).
f.
Doktor Kehormatan dari Asian Institute
of Technology, Bangkok, Thailand (2000).
g.
Doktor Kehormatan bidang Ilmu Hukum dan
Politik, Ilmu Ekonomi dan Manajemen, dan Ilmu Humaniora dari Pantheon Sorbone
University, Paris, Perancis (2000).
h.
Doktor Kehormatan dari Chualongkorn
University, Bangkok, Thailand (2000).
i.
Doktor Kehormatan dari Twente
University, Belanda (2000).
j.
Doktor kehormatan dari Jawaharlal Nehru
Universit, India (2000).[26]
B.
LANDASAN PEMIKIRAN
PLURALISME ABDURRAHMAN WAHID
Secara implisit, landasan pemikiran pluralisme Gus Dur dapat
penulis klasifikasikan kedalam lima titik fokus pemikiran yang melandasi peta
pemikiran pluralismenya. Pertama adalah Ke-Islaman; kedua, Demokrasi;
ketiga, Kemajemukan; keempat, Kebangsaan; dan, kelima, Ke-Indonesiaan.
Adapun penjelasannya dapat penulis uraikan sebagai berikut:
1.
Ke-Islaman
Bagi Gus Dur, nilai ke-Islaman adalah pondasi penting dalam
melihat makna dan substansi pluralisme itu sendiri. Karena secara normatif
transendental Islam adalah agama yang toleran, saling menghargai, penebar kasih
sayang dan menghargai perbedaan.[27]
Dengan semangat nilai keislaman inilah, sehingga keempat dasar (demokrasi,
kemajemukan, kebangsaan, keindonesiaan) yang menjadi landasan pemikiran
pluralismenya bertumpu pada nilai keislaman, serta sebagai tolok ukurnya. Begitu
halnya ketika Gus Dur melihat polarisasi hubungan agama dengan negara, agama
dengan sosial, agama dengan hukum, agama dengan ideologi, agama dangan
kemanusiaan dan lain sebagainya. Artinya bahwa Islam dalam pandangan Gus Dur
adalah sebuah agama yang bersifat inklusif (terbuka), yang dalam kitab sucinya
berisikan aspek etik-moral dan sebagai pedoman kehidupan umat manusia, namun
tidak menunjukan secara detail pembahasan terhadap setiap objek permasalahan
manusia, sehingga perlu dilakukan ijtihad atau pengembangan sesuai dengan
perkembangan zaman.[28]
Dalam pandangan Gus Dur, ia tidak menilai bahwa Islam
sebagai agama yang eksklusif (tertutup), yang artinya Islam bukan hanya suatu
agama yang berisikan pedoman hidup, melainkan Islam dilihat sebagai suatu
sistem hukum yang lengkap, sebuah ideologi universal dan sistem yang sempurna
yang mampu memecahkan seluruh permasalahan kehidupan umat manusia. Dengan
pandangan ini, kemudian memunculkan Islam itu sebagai agama, negara dan dunia.
Dan jika kita ambil contoh dalam aspek negara di negri ini, sangat bertentangan
dengan realitas bangsa Indonesia yang beragam dan pluralistik.
Melihat pemahaman akan konteks keberagaman yang menjadi sunnatullah,[29]
harus dipahami dan diyakini setiap umat, terkhusus adalah umat muslim dan umat
lainnya, bahwa kesadaran keberagaman inilah yang menjadi kunci keharmonisan
dalam keberlangsungan kehidupan. Di lihat dari sisi Islam itu sendiri, Gus Dur
berpendapat bahwa orientasi paham keislaman sebenarnya adalah kepentingan orang
kecil dalam hampir seluruh persoalannya. Kata “maslahah ‘ammah” yang berarti kesejahteraan umum.[30]
Dalam kerangka dasar pemikiran ini, sesungguhnya Gus Dur mengajak kita dalam
konsepsi bahwa Islam diturunkan tidak lain adalah untuk membawa perdamaian,
ketenangan, dan kesejahteraan. Secara implisit apa yang dipaparkan tersebut menjadi
pedoman bagi Gus Dur dalam pluralismenya dengan pendekatan nilai keislaman dan kemanusiaan.
2.
Demokrasi
Demokrasi adalah salah satu konsep pemikiran pluralisme yang
dibawa Gus Dur, dimana demokrasi yang dibawanya berlandaskan pada konsep
humanisme. Dalam beberapa pemahaman, gerakan agama dalam proses demokratisasi
di nilai memiliki hubungan yang erat. Namun perlu digaris bawahi, antara agama
dengan demokrasi mempunyai konsep yang berbeda, dalam aspek kemanusiaan yang
secara garis besar setiap agama (khususnya Islam) mengajarkan akan nilai untuk
saling menghargai, dan hal demikian sama dengan apa yang dibawa oleh demokrasi.
Dalam hal ini Gus Dur menawarkan sebuah pemahaman bahwa demokrasi menyamakan
derajat dan kedudukan semua warga negara di mata undang-undang, dengan tidak
memandang asal-usul etnis, agama, jenis kelamin dan bahasa ibu. Sedangkan tiap-tiap
agama tentu lebih dahulu cenderung untuk mencari perbedaan atas dasar hal
tersebut, minimal perbedaan agama dan keyakinan.[31]
Hakikat demokrasi menurut Gus Dur, ia mengatakan: “karena
demokrasi pada prinsipya suatu cara untuk mengutarakan pendapat, keinginan dan apa
itu, untuk memperjuamgkan kepentingan. Lalu demokrasi harus menjamin adanya
proses adu argumentasi”. Gus Dur juga mengatakan: “inti demokrasi kan sebenarnya adalah
kontrol sosial, kritik terhadap
pihak yang memegang kekuasan, oleh orang yang berada diluarnya”.[32] Dari pandangan tersebut, sejatinya Gus Dur ingin mengajak
pada semua khalayak masyarakat Indonesia untuk benar-benar memahami demokrasi
sebagai bentuk nilai dalam kehidupan dengan menjunjung tinggi nilai perbedaan
dan kemanusian, baik diranah undang-undang maupun lainnya. Dengan prinsip atau
pemahaman Gus Dur tersebut, dapat menjadi suatu alternatif dalam memahami
perbedaan bahkan kontoversial. Karena baginya kontroversi juga merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dalam kehidupan demokrasi. Untuk itu, titik fokus
demokrasi yang dikembangkan oleh Gus Dur adalah perlunya menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusian tentang harkat dan martabat sebagai manusia.
Selain itu, Gus Dur menjelaskan bagaimana perbedaan antara
agama dan demokrasi. Melihat sejarah ketika agama Islam mulai masuk salah satu
misinya adalah kesetaraan dalam kehidupan mulai ditegakkan, dimana sistem
perbudakan dihilangkan, menjunjung tinggi hak-hak perempuan dan lain
sebagainya. Contoh lainnya, Dom Helder Camara seorang uskup agung di Brazil,
menggerakkan kekuatan rakyat untuk memperjuangkan demokrasi selama belasan
tahun, dengan menghadapi tuduhan bahwa ia condong kepada komunisme. Ia bahkan
dikenal dengan julukan “Uskup Merah” karena pemihakannya kepada gerakan rakyat.[33]
Secara umum hubungan antara agama dengan demokratisasi nampak berjalan dengan
mulus. Namun bagi Gus Dur hal demikian tidak dapat dikatakan sama atau
berkesesuaian dalam konsep. Ia mengatakan bahwa salah satu sebab yang
menghambat kiprah demokratisasi di kalangan lembaga dan kelompok keagamaan
adalah perbedaan hakekat nilai-nilai dasar yang dianut keduanya.[34]
Karena pada dasarnya bahwa agama memiliki satu nilai kebenaran yang mutlak. Ia
juga mengatakan hukum agama itu bersifat abadi, karena ia berlandaskan Kitab
Suci yang abadi pula. Mengubah hukum agama berarti pula membatasi keabadian
kitab suci, sehingga dengan sendirinya mengusik mutlaknya kebenaran yang
dibawakan agama yang bersangkutan.[35]
3.
Kemajemukan
Berbeda adalah suatu hal yang hakiki dan tidak mungkin
disamakan, yang ada hanyalah sikap untuk menerima perbedaan dan untuk saling
menghargai satu dengan lainnya. Jika dilihat dari keragaman etnis, budaya,
bahasa, suku dan agama, Indonesia adalah bangsa yang majemuk dan plural.
Keanekaragaman Indonesia kemudian disatukan oleh ideologi yang disebut
Pancasila dengan bingkai Bhineka Tunggal Ika. Pancasila bersumber dari
nilai-nilai adat istiadat, kebudayaan serta nilai religius yang terdapat dalam
pandangan hidup masyarakat Indonesia. Pancasila dirumuskan oleh para pendiri
bangsa (founding father) dari nilai-nilai hidup bangsa Indonesia. Adapun hakekat
Pancasila adalah gotong royong. Sedangkan tujuan Pancasila (causa finalis),
yakni sebagai falsafah hidup, ideologi negara dan dasar negara.[36]
Keyakinan Gus Dur tentang Pancasila sudah merupakan final
dalam konteks kemajemukan di Indonesia. Hal ini ditunjukkan oleh Gus Dur saat
menjadi ketua PBNU pada tahun 1984. Ditahun ini, NU mengadakan Muktamar yang
isinya adalah NU mengukuhkan secara formal mengambil keputusan Munas mengenai
penerimaan Pancasila sebagai azas organisasi dan mengambil konteks Khittah NU
ke-26.[37]
4.
Kebangsaan
Wawasan kebangsaan bagi Gus Dur
merupakan suatu hal yang sangat penting, karena Indonesia adalah negara yang
sangat beranekaragam dalam segala aspek seperti agama, suku dan budaya. Oleh
karena itu, wawasan kebangsaan sudah semestinya menjadi pemahaman yang mendalam
dan mantap untuk dimiliki oleh setiap warga negara, sehingga diperoleh
persatuan dan kesatuan yang kokoh sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI). Tidak heran jika dimanapun dan kapanpun dalam perjalanannya Gus Dur
selalu berbicara tentang NKRI.
Gus Dur dalam pemikirannya—terkait
dengan wawasan kebangsaan—dimulai dari alur pemikiran politik NU, karena NU
selalu memadukan antara nilai kebangsaan dengan nilai keagamaan (Islam). Dimana
perpaduan antara keduanya berdasarkan pada landasan hukum Islam yang memberi
pedoman bahwa Islam tidak mengenal pemisahan agama dan politik.[38]
Kemudian dijelaskan secara jelas oleh Gus Dur pendekatan serba fiqh atas
masalah-masalah kenegaraan itulah membuat NU relatif lebih mudah menerima
ketentuan pemerintah tentang azas Pancasila dalam kehidupan berorganisasi
dewasa ini.
Menurut Gus Dur, hubungan antara agama
dan negara harus terjalin secara proposional. Hal ini dimaksudkan agar proses berfikir
kaum muslimin—khususnya warga NU dan warga negara secara umum—tidak mengganggu
perkembangan negara yang sedang merintis dan membangun tatanan negara yang lebih
matang dan berjangka panjang. Dipertegas lagi oleh Gus Dur, dalam pandangan
fiqh bahwa azas Pancasila adalah salah satu dari sekian buah persyaratan bagi
keabsahan negara Republik Indonesia. Hal itupun bukannya persyaratan keagamaan
sama sekali. Dengan sendirinya tidak ada alasan apapun untuk menolaknya selama
ia tidak berfungsi menggantikan kedudukan agama dalam kehidupan organisasi yang
bersangkutan.[39] Sikap
politik NU tersebut merupakan perwujudan dan perpaduan antara wawasan keagamaan
dan wawasan kebangsaan.
Hal ini dapat dilihat bagaimana kiprah
NU dalam mengawal pertumbuhan bangsa Indonesia. Jauh sebelum Gus Dur memimpin
NU, perkembangan NU baik tataran pemikiran maupun perjuangannya berkaitan erat
dengan sejarah pertumbuhan bangsa dan negara Indonesia. Perkembangan tersebut
dapat dilihat sejak zaman perjuangan merebut kemerdekaan Republik Indonesia
sampai dengan sekarang.[40]
Semasa Gus Dur menjadi ketua PBNU, NU mengalami perubahan penilaian dari sebuah
organisasi tradisionalis menjadi organisasi modern dalam pembaharuan pemikiran.
Ia berhasil membawa NU untuk lebih kritis membaca persoalan dalam lingkup
agama, sosial, ekonomi bahkan politik.
5.
Ke-Indonesiaan
Menurut Gur Dur, berdirinya negara
Indonesia lebih disebabkan oleh adanya kesadaran berbangsa, bukan hanya sekedar
karena ideologi Islam. Menurutnya ini merupakan suatu kenyataan yang harus
diterima secara obyektif sebab ia rasakan adanya gejala. Kenyataan obyektif
demikian belum tuntas dipahami oleh sebagian aktivis pergerakan Islam di
Indonesia. Ia
berpendapat bahwa ajaran Islam sebagai
komponen yang membentuk dan mengisi kehidupan warga Indonesia, seharusnya
diperankan sebagai faktor komplementer bagi komponen-komponen lain. Dengan
begitu ia tidak akan berfungsi sebagai faktor tandingan yang dapat mengundang
disintegrasi dalam kehidupan berbangsa secara keseluruhan.[41]
Argumen tersebut dimaksudkan agar umat Islam di Indonesia dapat menerima
kesadaran dan wawasan kebangsaan sebagai realitas obyektif dan tidak perlu lagi
ada pertentangan atau dipertentangkan, mengingat Indonesia sebagai suatu nation
mempunyai pluralitas sosio-historis yang berbeda dengan asal muasal Islam
di Saudi Arabia.[42]
Kemudian Gus Dur menjelaskan bahwa
ideologi Islam dalam konsep suatu negara khususnya Indonesia adalah suatu hal yang
kurang tepat, sebab dalam Islam sendiri tidak pernah ditemukan bagaimana konsep
suatu negara. Jika kita lihat, Nabi maninggalkan Madinah tanpa ada kejelasan
mengenai bentuk pemerintahan bagi kaum muslimin. Di masa Umar bin Khattab,
Islam adalah imperium dunia dari
pantai timur Atlantik hingga Asia Tenggara. Ternyata tidak ada kejelasan juga
apakah sebuah negara Islam berukuran mendunia atau sebuah bangsa saja (wawasan
etnis); dengan demikian tidak jelas; negara-bangsa (nation-state), ataukah
negara-kota (city state) yang
menjadi bentuk konseptualnya.[43]
Sehingga dapat simpulkan bahwa Gus Dur lebih melihat dari aspek fungsi negara
daripada bentuknya. Artinya bahwa selagi negara yang dibentuk memiliki tujuan
yang membawa kesejahteran, kedamaian dan kemajuan dalam kehidupan bersama baginya
tidak menjadi suatu masalah.
Konsep negara Indonesia yang berideologi
Pancasila menurut Gus Dur bukan merupakan suatu hal yang salah, sebab Pancasila
adalah bentuk ideologi yang mengakomodasi keanekaragaman yang ada di Indonesia.
Selain itu, jika kita pahami, Pancasila tidak bertentangan dengan Islam karena
nilai-nilai yang terkandung didalamnya sudah mencerminkan tujuan Islam yang rahmatan lil ‘alamin, dalam arti bahwa Islam
membawakan umat persaudaraan dalam kehidupan.
Gus Dur menjelaskan hubungan antara
Islam dengan Pancasila, dalam acuan paling dasar, dimana Pancasila berfungsi
mengatur hidup kita sebagai kolektifitas yang disebut bangsa, sedangkan agama
memberikan kepada kolektifitas tersebut dengan tujuan kemasyarakatan (sosial purpose), agama justru
menyatukan kedua unsur paripurna. Jelaslah dengan demikian antara agama dengan
Pancasila terdapat hubungan simbiotik,[44]
yang satu tidak dapat hidup di Indonesia tanpa yang lain. Hubungan simbiotik itulah yang memunculkan
Pancasila sebagai pandangan hidup (world
view) bangsa, bukan sekedar hanya ideologi formal negara belaka.[45]
Atau lebih mudahnya, Pancasila berfungsi sebagai landasan hidup berbangsa dan
bernegara maka ia haruslah mewadahi aspirasi agama-agama dan menompang
kedudukannya secara fungsional. Sedangkan agama merupakan landasan keimanan
warga masyarakat dan menjadi unsur motivatif dinamikanya.[46]
C.
PEMIKIRAN PLURALISME
ABDURRAHMAN WAHID
Gus Dur merupakan salah satu tokoh yang peduli akan tegaknya
pluralisme masyarakat, bukan hanya terletak pada suatu pola hidup berdampingan
secara damai, karena hal ini masih sangat rentan terhadap munculnya
kesalahpahaman antar kelompok masyarakat yang pada saat tertentu bisa
menimbulkan disintegrasi. Lebih dari itu, penghargaan terhadap pluralisme
berarti adanya kesadaran untuk saling mengenal dan berdialog secara tulus
sehingga kelompok yang satu dengan yang lain memberi dan menerima (take and give)
serta bagaimana Islam memandang Islam, ummah,
jama’ah, ra’iyah, imamah, ukhuwah dan
seterusnya.
Ketidakpastian moral dan spiritual serta masih meluasnya
sikap memandang segala sesuatu dari satu sudut pandang, dan itu pun umumnya
berdasarkan kepentingan masing-masing. Harus ada kerendahan hati (humility) bahwa
keunggulan komparatif yang dimiliki ajaran Islam hanya berguna apabila
digunakan untuk kepentingan keseluruhan umat manusia, bukan hanya untuk
kepentingan umat Islam itu sendiri. Belum berkembang wawasan keagamaan yang
mengolah ajaran agamanya secara utuh, sehingga yang dicapai hanyalah pendalaman
wawasan keagamaan yang bersifat parsial; keagungan agama melalui kuantitatif.
Kalaupun diberlakukan ukuran kualitatif, hanyalah dalam dimensi normatif,
seperti ketakutan akan dekadensi moral, erosi ukhuwah (persaudaraan) di kalangan sesama muslim. Kebenaran
teologis serba mutlak dari ulama dijadikan satu-satunya acuan, dengan melupakan
kebenaran nisbi dari semua agama
dalam pandangan sejarah sebagai tolok ukuran universal.
Itulah sekelumit respons cara pandang masyarakat hari ini
yang belum bisa menerima perbedaan, eksklusif dan mudah menyalahkan orang lain.
Berbeda dengan Gus Dur, sebagai ‘Bapak Pluralisme’ dan sosok pemikir yang
cerdas dan luas pemikirannya, sehingga ia menjadi sosok yang konsisten dalam memperjuangkan
pluralisme. Dalam perjalanan kehidupannya, sejak masih muda Gus Dur sudah aktif
menulis dan menuangkan gagasannya, sehingga ia sebagai salah satu cendikiawan
muslim di Indonesia yang banyak malahirkan gagasan-gagasan brilian yang
merespon berbagai permasalah di tanah air. Dari gagasan-gagasan tersebut
merupakan peta pemikirannya dalam membuahkan hasil pemikiran tentang pluralime.
Adapun peta pemikiran tentang pluralisme Gus Dur, dapat penulis klasifikasikan
menjadi tiga pemikiran. Pertama, yaitu
Pribumisasi Islam; Kedua, Demokrasi;
dan, Kegita Hak Asasi Manusia.
1.
Pribumisasi Islam
Gagasan pemikiran Gus Dur tentang pribumisasi Islam
sejatinya merupakan upaya dakwah dan pola amar
ma’ruf nahi munkar[47] yang diselaraskan dengan konsep mabadi khaira ummah.[48]
Dimana pelaksanaan konkritnya adalah menasionalisasikan perjuangan Islam, dengan
harapan tidak ada lagi kesenjangan atau gap
antara kepentingan nasional dengan kepentingan Islam.
Gagasan pribumisasi
Islam secara geneologis dilontarkan pertama kali oleh Gus Dur pada tahun
1980-an. Semenjak itu, Islam pribumi menjadi perdebatan menarik dalam
lingkungan para intelektual, baik intelektual tua dengan intelektual muda.
Dalam pribumisasi Islam, tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran normatif yang
bersumber dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang berasal dari
manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing, sehingga tidak ada lagi
pemurnian Islam atau proses menyamakan dengan praktik keagamaan masyarakat Muslim
di Timur Tengah. Bukankah Arabisme atau proses mengidentifikasi diri dengan
budaya Timur Tengah berarti mencabut akar budaya kita sendiri? Dalam hal ini,
pribumisasi bukan upaya menghindarkan timbulnya perlawanan dari kekuatan
budaya-budaya setempat, akan tetapi justru agar budaya itu tidak hilang. Inti
pribumisasi Islam adalah kebutuhan bukan untuk menghindari polarisasi antara
agama dan budaya, sebab polarisasi demikian memang tidak terhindarkan.[49]
Islam pribumi merupakan
jawaban dari ‘Islam Purifikatif’ yang ingin melakukan proyek Arabisme di dalam
setiap komunitas Islam di seluruh penjuru dunia. Islam Pribumi justru memberi
keanekaragaman interpretasi dalam praktik kehidupan beragama (Islam) di setiap
wilayah yang berbeda-beda. Dengan demikian, Islam tidak lagi dipandang secara
tunggal, melainkan beraneka ragam. Tidak ada lagi anggapan Islam yang di Timur
Tengah sebagai Islam yang murni dan paling benar, karena Islam sebagai agama
mengalami historisitas yang terus berlanjut.
Ada dua tulisan Gus
Dur yang berkaitan langsung dengan tema pribumisasi Islam. Pertama,
artikel “Salahkah jika dipribumikan”
yang berbentuk tulisan kolom di majalah Tempo pada 16 juli 1983. Kedua,
“Pribumisasi Islam”, sebuah antologi
dalam Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Saleh. Gagasan pribumisasi Islam
dimaksudkan Gus Dur sebagai jawaban atas problem yang dihadapi umat Islam
sepanjang sejarahnya, yakni bagaimana mempertemukan budaya (‘adah)
dengan norma (syari’ah), sebagaimana juga menjadi persoalan dalam ushul fiqh. Menurut Gus Dur,
tumpang tindih antara agama dan budaya akan terjadi terus menerus sebagai suatu
proses yang akan memperkaya kehidupan dan akan membuatnya tidak gersang.[50]
Agama (Islam) dan budaya mempunyai independensi masing-masing, tetapi keduanya
memang mempunyai wilayah tumpang tindih, sebagaiman filsafat dan ilmu
pengetahuan. Seseorang tidak akan bisa berfilsafat tanpa ilmu pengetahuan,
tetapi juga tidak bisa dikatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah filsafat. Diantara
keduanya (agama dan budaya) terjadi tumpang tindih dan sekaligus beda.
Pribumisasi Islam
dengan demikian, menurut Gus Dur adalah suatu pemahaman yang mempertimbangkan
kebutuhan-kebutuhan lokal didalam merumuskan hukum-hukum agama tanpa mengubah
hukum itu sendiri. Pribumisasi Islam bukan suatu upaya meninggalkan norma demi
budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan-kebutuhan dari budaya
dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap
memberikan peranan kepada ushul fiqh dan qawa‘id al-fiqh. Di sini—wahyu—dalam
pandangan Gus Dur harus dipahami dengan mempertimbangkan faktor-faktor kontekstual,
termasuk kesadaran hukum dan rasa keadilan.[51]
Dalam proses ini
pembauran Islam dengan budaya menurut Gus Dur tidak boleh terjadi, sebab
berbaur berarti hilangnya sifat-sifat asli. Islam harus tetap pada sifat
keislamannya. Al-Qur’an harus tetap dalam bahasa Arab, terutama dalam shalat, sebab
hal ini merupakan norma. Sedangkan terjemahan al-Qur’an hanyalah dimaksudkan
untuk mempermudah pemahaman, dan bukan menggantikan al-Qur’an itu sendiri.
Proses pergulatan
dengan kenyataan kebudayaan tidaklah dimaksudkan mengubah Islam, melainkan
mengubah manifestasi dari kehidupan Islam, sehingga yang dipribumikan sebagai
fokus. Bagi Gus Dur, Islam harus tetap Islam dimanapun itu. Namun tidak berarti
semua harus disamakan bentuk luarnya, maka harus ada titik temu antara Islam
dan budaya.[52]
Intinya bahwa
pribumisasi Islam dalam pandangan Gus Dur adalah bagaimana Islam itu sebagai
ajaran yang normatif berasal dari Tuhan diakomodasikan ke dalam kebudayaan yang
berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. Karena bagi
Gus Dur bahwa Arabisme atau proses mengidentifikasikan diri dengan budaya Timur
Tengah adalah tercabutnya kita dari akar budaya kita sendiri. Arabisme belum
cocok dengan kebutuhan. Lain dari pada itu bahwa pribumisasi bukan upaya menghindarkan
timbulnya perlawanan dari kekuatan budaya-budaya setempat, akan tetapi justru
agar budaya itu tidak hilang. Maka dari itu, inti pribumisasi Islam adalah
sebuah kebutuhan dengan maksud bukan untuk menghindari polarisasi antara agama
dengan budaya, sebab polarisasi yang demikian memang tidak terhindarkan.
2.
Demokrasi
Pluralitas agama adalah fakta yang tak terbantahkan. Siapapun suka
atau tidak, mustahil hanya agamanya saja yang berhak hidup
dan berkembang di bumi yang satu ini dimana semua manusia hidup. Sikap anti
atau merasa tidak senang atas kehadiran kepercayaan atau agama lain dengan
segala implikasi pengalaman ajarannya adalah sikap yang menentang sunnatullah itu sendiri,
sebuah ketetapan Tuhan atas keberagaman kepercayaan dan agama.
Rekaman sejarah menjelaskan bahwa betapa tidak merisaukan pikiran dan
hati anak manusia, dimana agama yang diyakini oleh setiap pemeluknya berasal
dari Tuhan menjadi alat penghancur dan seolah-olah pesan dasar ajaran agama
adalah untuk menindas orang lain yang berbeda. Ironis benar jika hingga hari
ini agama masih ditakuti oleh banyak manusia karena bukan menjadi sumber
kebahagiaan dan acuan hidup.
Dalam hal upaya memperkecil terjadinya konflik umat beragama, ini
perlu wadah yang mampu memposisikan setiap agama dan penganutnya sejajar dan
tidak ada perbedaan kelompok, sehingga posisi masing-masing agama setara di mata
hukum. Setiap agama diberikan kebebasan dan terjamin hukum dalam mengamalkan
ajaran agamanya tanpa ada tekanan dan intimidasi dan gangguan dari manapun.
Inilah demokrasi yang diperjuangkan oleh Gus Dur. Karena bagi Gus Dur,
demokrasi berarti persamaan hak dan status dari setiap warga negara di depan hukum
tanpa melihat perbedaan etnis, agama, jenis kelamin dan bahasa.[53]
Dalam hal ini, Gus Dur ingin menegaskan bahwa dengan demokrasi setiap agama
diberikan hak dan porsi yang sama untuk berkarya dan mengeluarkan pendapat
dalam menyelesaikan persoalan bersama.
Terfokus dengan demokrasi di Indonesia khususnya, Gus Dur menyoroti
nilai-nilai dasar yang berhubungan dengannya seperti kemanusiaan, persamaan dan
keadilan. Hubungan antar manusia ini sangat penting karena tidak akan mungkin
di era modernisasi yang sedang berkembang ini seorang manusia tidak
berinteraksi dengan orang yang berbeda keyakinan. Maka dari itu, dalam hal ini
Gus Dur sering mengutip ayat al-Qur’an Surat al-Hujarat ayat 13 yang intinya
adalah; sesungguhnya perbedaan manusia
adalah kehendak Tuhan yang memiliki karakter untuk saling mengenal satu sama
lain.[54]
Selanjutnya adalah untuk mendukung persamaan, khususnya dalam bidang
sosial politik dan ekonomi, Gus Dur dalam hal ini tidak ingin mengatakan istilah
“mayoritas atau minoritas”, karena setiap manusia memiliki persamaan status dan
hak yang sama. Dengan kata lain, untuk mencapai demokrasi dalam sosial politik
dan ekonomi dan keadilan sosial, setiap orang harus menanamkan persamaan,
menghormati kaum mayoritas, ras serta kelompok agama lain atau kaum minoritas.[55]
Menurut Gus Dur, keadilan adalah sangat penting dalam mendukung kehidupan sosial
dan politik yang harmonis sehingga tidak ada pembedaan dan klasifikasi sosial, serta
kesenjangan sosial yang dapat berakibat pada terjadinya ketegangan dan bermuara
pada konflik.
Dalam hal kaitan agama dan demokrasi, Gus Dur berpendapat bahwa agama
harus menunjukkan fungsi transformatifnya bagi demokratisasi kehidupan sosial.
Dalam hal ini, agama menurutnya, harus memformulasikan konsepsi tentang
martabat manusia, persamaan status manusia di depan hukum, dan solidaritas
sejati antar umat manusia. Setiap agama harus berinteraksi dengan agama lain
dalam bentuk penerimaan sejumlah nilai-nilai dasar yang universal yang akan
membawa hubungan antar agama dalam sebuah tahapan, dimana agama melayani
masyarakat dalam sebuah bentuk yang sangat konkret, seperti menanggulangi
kemiskinan, menegakkan hukum dan menjamin kebebasan berpendapat.
Gus Dur menekankan pandangan keterbukaan untuk menemukan kebenaran dimanapun
juga. Karena pluralisme yang ditekankan Gus Dur adalah pluralisme dalam
bertindak dan berpikir. Inilah yang melahirkan toleransi. Gus Dur mengembangkan
pandangan anti eksklusivisme agama, karena menurutnya berbagai peristiwa
kerusuhan yang berkedok agama di beberapa tempat adalah akibat adanya
eksklusivisme agama.[56]
Apa yang dikemukakan Gus Dur tersebut sebenarnya tidak lebih merupakan
otokritik bagi umat Islam sendiri, karena adanya politisasi agama dan
pendangkalan agama.[57] Sikap
eksklusif inilah yang menjadi awal dekadensi keilmuan dalam Islam karena ia
senantiasa bersikap menolak dan anti terhadap perubahan yang terjadi akibat
modernisasi.
Gus Dur senantiasa mengatakan bahwa kita harus selalu berpikiran
positif terhadap orang lain yang berbeda dengan kita. Hal ini sangat penting
dalam membangun komunikasi yang baik untuk mengentaskan dan membicarakan masalah-masalah
bersama. Demokrasi dalam hal ini adalah jaminan bagi setiap agama-agama dan
agar mendapatkan tempat yang sama. Bagi Gus Dur, memperjuangkan demokrasi
sebagai pilar kesetaraan agama-agama di Indonesia yang masih jauh dari esensi
sebuah negara yang berdemokrasi, harus tetap diperjuangkan demi tegaknya sebuah
keadilan. Sebagaimana perkataannya: “Kalau
tidak ada usaha sungguh-sungguh untuk menegakkan demokrasi yang benar di negeri
ini, tentu aspirasi-aspirasi itu akan terbendung oleh kekuatan-kekuatan anti
demokrasi itu. Negara kita bukan tempat satu-satunya di dunia ini, dimana
keadaan di atas masih berlangsung. Keadaan itu sendiri bahkan merupakan ciri
umum kehidupan semua negara yang sedang berkembang. Karenanya dari sekarang
sebenarnya telah dituntut dari kita kesedian bersama untuk memperjuangkan
kebebasan dan menyempurnakan demokrasi yang hidup di negeri kita”.[58]
Gus Dur memposisikan demokrasi sebagai pilar penyangga yang
memberikan hak yang sama bagi setiap agama. Untuk itu, ia menolak agama
dijadikan sebagai dasar negara. Hal ini apabila sebuah agama menjadi dasar
negara, maka akan ada warga negara kelas dua, karena hal ini akan berakibat
pada hak politik yang pasti akan berbeda. Gus Dur mencontohkan misalnya,
pandangan yang sama tentang tiadanya hak bagi warga negara non muslim untuk
menjadi kepala negara di negeri kita saat ini. Ini adalah bentuk pengingkaran
terhadap demokrasi. Pandangan seperti ini berarti melebihkan kedudukan sebuah
agama—dalam hal ini Islam—yang menjadi agama mayoritas penduduk atas
agama-agama lain, dengan demikian melanggar prinsip demokrasi yang terkandung, baik
dalam pembukaan maupun dalam pasal 29 ayat 2 UUD 1945.[59]
Atas dasar inilah Gus Dur semasa menjadi Presiden menjadikan agama Konghucu
menjadi agama resmi di Indonesia dengan segala kebudayaannya.
Demokrasi bagi Gus Dur adalah menghendaki untuk melihat masyarakat secara
keseluruhan, dan Gus Dur juga mengkritisi umat Islam sendiri yang cenderung
berpikir untuk dirinya sendiri. Selain itu, demokrasi itu adalah take and give yang serius.
Demokrasi itu isinya memberi dan menerima, tidak ada orang yang bisa memaksa
orang lain untuk, misalnya menanggalkan keyakinan agamanya dalam demokrasi.
Satu hal yang patut dibanggakan dari Gus Dur, dimana nilai-nilai
demokarasi yang diusungnya bukanlah demokrasi model Barat ataupun model Timur
(kalau ada), melainkan demokrasi yang bersumber dari nilai-nilai martabat
kemanusiaan yang bersifat universal, baik itu digali dari agama-agama, dari
filsafat maupun dari tradisi dan budaya nusantara.
3.
Islam dan Hak Asasi Manusia (HAM)
Sebagaimana dijelaskan Greg Barton, Gus
Dur merupakan seorang intelektual yang mewakili perpaduan dua tradisi, yaitu Kesarjanaan
Islam tradisional dan pendidikan Barat modern. Menurutnya, salah satu hasil
sintesis itu adalah perhatiannya yang kuat untuk reformasi pemikiran dan
praktek Islam, suatu perhatian yang juga ditekankan oleh modernisme Islam
setidaknya pada fase-fase awal. Greg mencoba memahami pemikirannya, menemukan
adanya sebuah tema paling dominan dalam pemikiran Gus Dur, yaitu tema
humanitarialisme liberal. Tema liberal itulah mendapat tempat besar dalam
pemikiran Gus Dur tanpa harus meninggalkan prinsip Islam tradisional.
Dengan demikian, dapat diketahui bahwa
corak utama pemikiran Gus Dur lebih menekankan pada pendekatan kontekstual dari
pada tekstual. Selain itu, Gus Dur mencoba memadukan pemikiran khasanah
pemikiran Islam tradisional dengan kenyataan yang ada dalam masyarkat modern.
Dalam konteks ini, Gus Dur tidak sekedar menggunakan produk-produk pemikiran
Islam tradisional, tetapi lebih menekankan pada penggunaan metodologi teori
hukum (ushul fiqh) dan
kaidah-kaidah hukum (qawaid fiqiyah) dalam kerangka pembentukan suatu sintesis untuk
melahirkan gagasan baru sebagai upaya menjawab perubahan-perubahan aktual di
masyarakat.
Menurut Gus Dur, salah satu ajaran yang
dengan sempurna manampilkan universalisme Islam adalah lima buah jaminan dasar
yang diberikan agama samawi terakhir ini kepada warga masyarakat, baik secara
perorangan maupun sebagai kelompok. Kelima jaminan dasar itu yaitu:[60]
a)
Jaminan dasar akan keselamatan fisik
warga masayarakat dari tindakan badani
di luar ketentuan hukum (hifzdu an-nafs).
b) Jaminan dasar akan keselamatan keyakinan agama
masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama (hifdzu ad-din).
c)
Jaminan dasar akan keselamatan keluarga
dan keturunan (hifdzu an-nasl).
d) Jaminan dasar akan keselamatan harta benda milik pribadi
dari gangguan atau penggusuran di luar prosedur hukum (hifdzu al-mal).
e)
Jaminan dasar akan keselamatan hak
milik dan profesi (hifdzu al-aqli).
Selanjutnya, dalam hubungan antara Islam dengan hak asasi manusia, Gus Dur mempersoalkan klaim
sejumlah pemikir dan pemimpin dunia Islam yang menyatakan bahwa Islam adalah
agama yang paling demokratis dan sangat menghargai hak asasi manusia. Hal ini justru berseberangan dengan klaim tersebut. Di negeri-negeri muslim, pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia justru sering terjadi. Jadi klaim
tersebut tidak sesuai dengan kenyataan. Hak asasi manusia yang diusung oleh Gus
Dur tentang tidak kesesuaian pandangan antara hukum Islam (fiqh) dengan
deklarasi universal hak asasi manusia.[61]
Di dalam deklarasi HAM mengakui kebebasan untuk berpindah agama, hukum Islam
sebaliknya memberikan ancaman hukuman keras terhadap seseorang yang berpindah
agama atau murtad. Gus Dur berkata, apabila ketentuan seperti ini
diberlakukan maka lebih dari 20 juta jiwa manusia Indonesia yang berpindah
agama dari Islam ke Kristen lalu dihukum mati.[62]
Bahkan di Indonesia pada tahun 1945 saat Konstitusi negara dirancang ada
beberapa perdebatan mengenai apakah agama Islam harus agama resmi negara atau
tidak. Bahwa seluruh tokoh-tokoh pejabat menyepakati seluruh agama harus dipandang
dan dihormati satu sama lain sehingga jaminan kebebasan memeluk agama
diterapkan pada konstitusi negara.[63]
Secara umum dapat dikatakan bahwa
latarbelakang kultural dari sikap untuk menghargai sesama manusia dan
menghormati hak-hak orang lain memang terdapat dalam cakupan luas pada ajaran Islam.
Beberapa aspek dari latarbelakang kultural itu dapat disebutkan dalam uraian dibawah
ini:
a)
Penciptaan dan penempatan manusia
sebagai makhluk yang memiliki derajat kemuliaan dalam tata alam (kosmologi)
dari jagad raya ini, menunjuk dengan jelas kepada keharusan memperlakukan
manusia dengan perlakuan sesuai dengan kemuliaan derajatnya itu. Sebelum ia
dilahirkan (semasa masih dalam kandungan) dan setelah ia meninggalkan dunia
fana ini, manusia telah atau masih memiliki hak-hak yang dirumuskan dengan
jelas dan dilindungi oleh hukum dalam pandangan Islam. Karenanya hak-haknya dan
arena kemampuannya menggunakan hak-hak itu dengan baik, Allah Swt telah menetapkan
manusia sebagai pengganti atau wakil-Nya (khalifah)
di muka bumi ini, sebagaimana diutarakan secara eksplisit oleh al-Quran.
b) Penekanan prinsip untuk mengatur kehidupan masyarakat dalam
sebuah tata hukum (syari’at) yang berwatak universal menunjuk dengan jelas
kepada penghargaan Islam secara umum kepada hak-hak asasi manusia. Hukum hanya
dapat dilaksanakan dengan baik dan adil jika hak-hak perorangan maupun serikat
dirumuskan dengan jelas dalam tata hukum yang digunakan sebagai pengatur
kehidupan bermasyarakat. Tata hukum Islam yang menyangkut segenap sektor kehidupan
masyarakat, dari hak-hak dasar untuk memperoleh pelindungan hukum dari negara
hingga kepada pengaturan hubungan antar negara (hubungan internasional) dalam sejarahnya yang
panjang telah mengembangkan metode-metode lengkap untuk melakukan perumusan seperti
itu.
c)
Pandangan untuk memperlakukan seluruh
kehidupan sebagai kerja peribadatan yang melandasi kehidupan seorang Muslim
akan senantiasa membuatnya berpegang pada pengertian yang jelas antara hak-hak
dan kewajiban dalam mengatur hidup manusia masing-masing.[64]
Dalam hal persoalan HAM, apabila menolak Deklarasi Universal HAM sebagai sesuatu
yang asing bagi Islam, maka sikap ini hanya akan menyakiti
diri kita sendiri dalam jangka panjang. Dengan demikian, mau tidak mau harus merubah ketentuan hukum Islam
yang secara formal dan sudah berabad-abad diikuti. Layaknya perbudakan yang
disebut dalam al-Qur’an maupun hadits. Sekarang perbudakan dan sejenisnya tidak lagi diakui oleh bangsa
muslim, secara tidak sadar telah hilang dari perbendaharaan pemikiran
muslim. Praktek perbudakan kaluapun masih ada tidak lagi diakui oleh
masyarakat muslim dan hanya dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil tanpa
perlindungan negara. Hal ini Gus Dur mengambil dalil al-Qur’an Surat ar-Rahman ayat 26-27: “Semua yang ada di bumi itu akan binasa, Dan tetap kekal
Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan”.
Menunjukkan hal
itu dengan jelas ketentuan ushul fiqh; “hukum agama sepenuhnya tergantung pada sebab-sebabnya, baik ada ataupun tidak adanya hukum itu sendiri. Bahkan menurut Gus Dur, NU telah melakukan antisipasi akan hal ini, dan
NU mengambil
keputusan “perumusan hukum haruslah sesuai dengan prinsip-prinsip yang
digunakan”.[65]
KONKLUSI
Perjuangan Gus Dur dalam menegakkan pluralisme tidak
hanya sebatas wacana dan teori semata, namun ia buktikan dalam tindakan dan
perbuatan. Gus Dur adalah sosok seorang tokoh yang dapat diterima oleh semua
golongan umat beragama. Hal ini mengindikasikan bahwa sensilibitas pemikiran
pluralismenya benar-benar ia buktikan dalam kehidupan sehari-hari.
Pluralisme bagi Gus Dur adalah kesetaraan
agama-agama di depan hukum tanpa membedakan status sosial, etnis, warna kulit,
bahasa ibu dan keyakinan agama. Artinya bahwa semua agama memiliki kedudukan
yang sama di depan hukum, bukan berdasarkan agama mayoritas maupun minoritas.
Jaminan kesetaraan agama-agama tersebut adalah dengan pondasi demokrasi yang
kokoh dan terjaminnya keadilan hukum bagi setiap penganut agama. Prinsip ini
tidak lain adalah untuk mengatur kehidupan masyarakat
dalam sebuah tata hukum yang berwatak
universal, menunjuk dengan jelas kepada penghargaan agama secara umum kepada
hak-hak asasi manusia.
Fokus utama pemikiran Gus Dur bertumpu
pada terciptanya kehidupan yang damai sesuai dengan cita-cita Islam yang
memberi rahmat kepada seluruh alam dengan menghormati hak asasi manusia secara
penuh, memberi ruang gerak demokrasi, serta mengembangkan sikap pluralisme,
yang kesemuanya itu merupakan ajaran Islam yang terkandung pada prinsip
universal Islam pada maqashid al-syari’ah.
REFERENSI
Abdurrahman Wahid. 1983. Muslim di
Tengah Pergumulan. Jakarta: Leppenas.
_________. 1999. Prisma Pemikiran
Gus Dur. Yogyakarta: LKiS.
_________. 2000. Tuhan Tidak Perlu Dibela. Yogyakarta:
LKiS.
_________. 2001. Pergulatan Negara, Agama,
dan Kebudayaan. Jakarta: Desantara.
_________. 2005. Islam Ku Islam Anda
Islam Kita. Jakarta: The Wahid Institute.
_________. 2007. Islam Kosmopolitan; Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi
Kebudayaan. Jakarta: The Wahid Insitute.
Abdurrahman Wahid & Daisaku Ikeda.
2011. Dialog
Peradaban; Untuk Toleransi dan Perdamaian. Jakarta: Kompas Gramedia.
Abudin Nata. 2005. Tokoh-Tokoh
Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Agun Gunandjar Sudarsa. 2013. Pancasila Sebagai Rumah
Bersama. Jakarta: RM Books.
Ahmad Amir Aziz. 1999. Neo-Modernisme
Islam di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Ali Maschan Moesa. 2002. NU, Agama
dan Demokrasi. Surabaya: Pustaka Dai Muda dan Putra Pelajar.
Arifinsyah. 2009. Dialog Global Antar Agama; Membangun Budaya Damai dalam
Kemajemukan. Bandung: Citapustaka Media Perintis.
Greg Barton. 2011. GUS DUR; The
Authorized Biography of Abdurrhaman Wahid. Yogyakarta: LKiS.
Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.).
1998. Passing Over; Melintasi Batas Agama. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Moh.
Roqib. 2009. Ilmu Pendidikan Islam;
Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat.
Yogyakarta: LKiS.
Muhammad Rifa’i & Atania Rahma
(ed). 2010. Gus Dur; Biografi Singkat 1940-2009. Yogyakarta: Garasi.
Mujamil
Qomar. 2002. NU Liberal; Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme
Islam. Bandung: Mizan.
Munawar Ahmad. 2010. Ijtihad Politik
Gus Dur; Analisis Wacana Kritis. Yogyakarta: LKiS.
M.
Hanif Dakhiri. 2010. 41 Warisan
Kebesaran Gus Dur. Yogyakarta: LKiS.
Ngainun
Naim. 2011. Teologi Kerukunan; Mencari
Titik Temu dalam Keragaman. Yogyakarta: Teras.
Syamsul Hadi & Rahimsyah AR (ed).
2009. Gus Dur Guru Bangsa Bapak Pluralisme. Jombang: Zahra Book.
Tobroni dan Syamsul Arifin. 1994. Islam
Pluralisme Budaya dan Politik. Yogyakarta: Sipress.
Tim
INCReS. 2000. Beyond the Symbols; Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan
Gus Dur. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Th. Sumartana, dkk. (ed.). 1994. Spiritualitas Baru; Agama dan Aspirasi Rakyat. Yogyakarta: Dian Interfidei.
Umardi Masdar. 1998. Membaca Pikiran
Gus Dur dan Amin Rais tentang Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Zainul Fuad. 2007. Diskursus Pluralisme Agama; Pemikiran Tokoh-Tokoh Muslim dan
Kristen di Indonesia, Bandung: Cita Pustaka Media.
[1] Pemahaman mengenai pluralisme sering
dipahami dekat dengan agama. Kata pluralisme sendiri secara garis besar dapat
dipahami sebagai suatu pernyataan sikap atas keheterogenitas atau suatu bentuk
pluralitas yang ada untuk saling menerima dan menghormati. Sehingga, kata
pluralisme akan terkerucut tergantung dari kata kerja atau objek yang
digunakan.
[2] Jika
dilacak secara mendalam, penyebab konflik yang terjadi antara satu wilayah
dengan wilayah lain tidaklah sama. Ada yang dipicu karena faktor kesenjangan
ekonomi, perseteruan politik, perebutan kekuasaan, hingga agama. Namun
demikian, dari sebagian besar konflik dan kekerasan yang ada di Indonesia,
‘agama’ dinilai menjadi salah satu faktor yang cukup determinan terhadap
terjadinya konflik. Ngainun Naim, Teologi
Kerukunan; Mencari Titik Temu dalam Keragaman, (Yogyakarta: Teras, 2011),
hal. 5-6.
[3] Satu pihak melukiskan makna pluralisme
sebagai paham yang menganggap semua agama adalah sama. Sedangkan pihak lainnya
memahami pluralisme sebagai paham yang menerima kehadiran berbagai agama yang
berbeda, sehingga ini tidak sama, dan ketidaksamaan ini tidak harus menciptakan
situasi ketidakharmonisan dalam bermasyarakat, karena masing-masing saling
cemburu, membenci dan saling memusuhi satu sama lain.
[4] Tobroni & Syamsul Arifin, Islam
Pluralisme Budaya dan Politik, (Yogyakarta: Sipress, 1994), hal. 33.
[5] Diantara sikap pluralis yaitu
memiliki pengetahuan yang benar secara mendalam mengenai agama yang dianutnya,
tidak melakukan sikretisme
(pencampuran) ritual keagamaan, mendorong dan senang jika pemeluk agama lain
melaksanakan ritual agamanya, besikap inklusif dalam hal agama dan bersikap
moderat untuk keperluannya besosialisasi dalam masyarakat, percaya pada
kebenaran dimanapun ia menemukannya, karena yakin bahwa itu bersumber dari
Tuhan, dan tidak membentuk kepribadian ganda (ambivalen).
[6] Pluralisme
(paham kemajemukan) pada dasarnya merupakan pertalian sejati kebhinekaan dalam
ikatan-ikatan keadaban (geniun engagement
of diversities within the bonds of difility) yang merupakan keniscayaan
bagi keselamatan bagi umat manusia. Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam; Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah,
Keluarga dan Masyarakat, (Yogyakarta: LKiS, 2009), hal. 182.
[7] Pluralitas adalah suatu konsep
keadaan yang lebih dari satu dengan harapan dapat menumbuhkan pemahaman untuk
membangun saling pengertian agar dapat memperkokoh kebersamaan menghadapi
kesatuan nasib manusia secara kolektif.
[8] Selain Gus Dur, seorang intelektual
Muslim Indonesia yang menyuarakan pemikiran pluralisme, yaitu Prof. Dr.
Nurcholish Madjid (Cak Nur). Perbedaan pemikiran pluralisme keduanya memang
begitu mencolok. Gus Dur melakukan pembaruan khazanah pemikiran pluralismenya berada
dijalur Islam Proletar yang berbasiskan pedesaan, kaum miskin dan anti
kemapanan. Berbeda dengan Cak Nur, ia lebih bersentuhan dan berada dijalur
Islam Borjuis yang berbasiskan kelompok Muslim mapan diperkotaan. Gagasan
pluralisme Cak Nur lebih dekat dan melekat pada jalur kaum muda Islam Borjuis
dan menjadi ‘hegemoni intelektual’ yang membentuk logosentrisme wacana yang
beku, kaku dan anti kritik, sehingga memasung kreativitas bagi para intelektual. Para kaum intelektual muda Borjuis, memposisikan diri sebagai juru
bicara Cak Nur (ketika berbicara pluralisme) mereka mengutip gagasan-gagasannya,
karena gagasan pluralisme Cak Nur sudah menjadi “sabda suci” yang tak
terbantahkan. Seolah apa saja yang keluar dari gagasan pemikirannya selalu dianggap steril dari kepentingan-kepentingan.
Mudahnya, para intelektual muda Islam Borjuis menjadi ‘bamper’ Cak Nur, dan inilah yang menyebabkan ‘hegemoni
intelektual’, serta mengukuhkan sakralitas teks pluralisme yang digaungkan oleh Cak
Nur.] Hanya saja karena makalah ini yang akan menjadi fokus kajian adalah
pluralismenya Gus Dur, sehingga pluralisme Cak Nur tidak akan disinggung,
bahkan Penulis juga tidak sedikitpun mengutip pemikiran pluralisme Cak Nur
sebagai basis pemikiran dalam memperkaya argumentasi tentang pluralisme.
[10] Greg Barton, GUS DUR; The Authorized
Biography of Abdurrhaman Wahid, (Yogyakarta: LKiS, 2011), hal. 25.
[11] Syamsul Hadi & Rahimsyah AR (ed), Gus Dur Guru
Bangsa Bapak Pluralisme, (Jombang: Zahra Book), hal. 12. Mungkin K.H. Wahid
Hasyim, sebagai seorang ayah sangat girang dengan kehadiran anak pertamanya. Ia
dipenuhi rasa optimisme seorang ayah, atau mungkin dia memiliki kemampuan
melihat masa depan. Bagaimanapun nama yang diberikan kepada anak pertamanya
ini, Abdurrahman Ad-Dakhil adalah nama yang berat untuk anak mana pun.
‘Ad-Dakhil’ yang diambil dari nama salah seorang pahlawan dari Dinasti Umayyah,
yang secara harfiah ‘Ad-Dakhil’
berarti ‘Sang Penakluk’.
[12] Lihat: Ibid. Gus Dur ditetapkan sebagai Bapak
Pluralisme oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Kamis, 31 Desember
2009 Jam 17:59 WIB Jombang (TV One) pada saat memberikan sambutan dalam
memimpin upacara kenegaraan pemakaman Gus Dur di komplek Pondok Pesantren
Tebuireng, Cukir, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Presiden SBY mengatakan bahwa
Gus Dur merupakan sosok yang patut menjadi tauladan bagi bangsa.
[14] Abudin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 33.
[15] Umardi Masdar, Membaca Pikiran Gus
Dur dan Amin Rais tentang Demokrasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998),
hal. 199.
[17] Ibid.,
hal. 40-42.
[18] Ibid.,
hal. 49.
[19] Ibid.,
hal. 55.
[20] Selama belajar di Timur Tengah ini, ia
sempat menjadi Ketua Ikatan Mahasiswa Indonesia di Timur Tengah yang
berlangsung pada tahun 1967-1970.
[21] Mujamil Qomar, NU Liberal; Dari
Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam, (Bandung: Mizan, 2002),
hal. 166.
[22] Muhammad Rifa’i & Atania Rahma
(ed), Gus Dur; Biografi Singkat 1940-2009, (Yogyakarta: Garasi, 2010),
hal. 35.
[23] Munawar Ahmad, Ijtihad Politik Gus
Dur; Analisis Wacana Kritis, (Yogyakarta: LKiS, 2010), hal. 126-127.
[24] Ibid.,
hal. 128-129. Berbagai kumpulan tulisan Gus Dur yang di publikasikan
menjadi buku, seperti Bunga Rampai Pesantren, Muslim di Tengah Pergumulan, Kiai
Menggugat Gus Dur Menjawab, Suatu Pergumulan Wacana dan Transformasi, dan masih
banyak lagi.
[26] Ibid.,
hal. 45-46.
[28] Sebagai contoh, Islam tidak pernah
menunjukkan bahkan menganjurkan untuk mendirikan suatu negara Islam. Namun yang
ada adalah Islam menekankan pada keadilan, kebebasan, kesetaraan, demokrasi,
toleransi, perdamaian dan lain-lain.
[29] Sunnatullah
adalah hukum-hukum Allah yang disampaikan untuk umat manusia melalui para
rasul, undang-undang keagamaan yang ditetapkan oleh Allah yang termaktub di
dalam al-Qur’an, hukum (kejadian) alam yang berjalan tetap dan otomatis.
[30] Abdurrahman Wahid, Islam Ku Islam
Anda Islam Kita, (Jakarta: The Wahid Institute, 2005), hal. 20.
[31] Abdurrahman Wahid, Islam
Kosmopolitan; Nilai-Nilai Indonesia & Tranformasi, (Jakarta: The Wahid
Institute, 2007) hal. 286-287.
[34] Ibid.
[35] Ibid.,
hal. 285.
[38] Ali Maschan Moesa, NU, Agama
dan Demokrasi, (Surabaya:
Pustaka Dai Muda dan Putra Pelajar, 2002), hal. 23.
[42] Ibid.
[44] Hubungan simbiotik adalah suatu
hibungan dimana bentuk dari masing-masing kebudayaan hampir tidak berubah,
namun saling menguntungkan antara keduanya.
[46] Dewasa ini, isu yang sudah lama ada di
Indonesia mengenai pertentangan ideologi menjadi suatu pembahasan yang tidak
ada habisnya, dalam kurun waktu terakhir isu ini sempat menjadi tranding topik,
yaitu ada sebagian kelompok Islam yang menyerukan negara yang tepat adalah
negara yang berideologi Islam dengan kata lain Islam menjadi ideologi negara.
Sebut saja mereka Ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Kelompok ini
mengajarakan ajaran Khilafah Islamiyah yang menginginkan adanya satu sistem
kenegaraan yang sama di seluruh penjuru dunia. Dalam
beberapa kasus, mereka secara jelas melakukan penolakan dengan ditunjukannya
dalam suatu kegiatan Muktamar Khilafah yang diselenggarakan di Gelora Bung
Karno Jakarta tahun 2013 silam dan pembaiatan ratusan bahkan ribuan mahasiswa
Institute Pertanian Bogor melalui lembaga Dakwah kampus untuk menjadi anggota
ormas HTI. Sehingga pemerintah menganggap kegiatan atau ajaran yang dibawa
mengandung unsur yang bertentangan dengan Pancasila sebagai Ideologi yang sah
di Indonesia. Dengan demikian atas pertimbangan dan proses peradilan,
Kemenkumham memutuskan surat pembubaran HTI dan dinyatakan sebagai ormas yang
terlarang di Indonesia.
[47] Pada hakikatnya amar ma’ruf nahi mungkar merupakan bagian dari upaya menegakkan
agama dan kemaslahatan di tengah-tengah umat. Secara spesifik amar ma’ruf nahi munkar lebih dititik
tekankan dalam mengantisipasi, menghilangkan kemungkaran. Tujuan utamanya yaitu
menjauhkan hal negatif di tengah masyarakat tanpa menimbulkan dampak negatif yang
lebih besar.
[48] Mabadi
Khaira Ummah (prinsip dasar pembentukan umat terbaik) merupakan suatu
gerakan penanaman nilai yang dapat dijadikan prinsip dasar dalam pembentukan
identitas dan karakter ummat terbaik yang mengandung lima sikap dasar (As-Shidqu, Al-Amanah wal Wafa bil Ahdi,
Al-Adalah, At-Ta’awun dan Al-Istiqamah),
sehingga disebut sebagai al-Mabadiul
Khamsah.
[49] Abdurrahman Wahid, Pergulatan
Negara, Agama, dan Kebudayaan, (Jakarta: Desantara, 2001),
hal. 111. Pribumisasi Islam telah menjadikan agama dan budaya tidak saling
mengalahkan, melainkan berwujud dalam pola nalar keagamaan yang tidak lagi
mengambil bentuk autentik dari agama, serta berusaha mempertemukan jembatan
yang selama ini melintas antara agama dan budaya.
[50] Tim INCReS, Beyond the Symbols;
Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2000), hal. 43.
[51] Ibid.,
hal. 44.
[52] Ibid.
Salah satu lontarannya sebagai implementasi gagasan pribumisasi Islam yang
menimbulkan kontroversi, yaitu kata Assalamu ‘alaikum yang disamakan
oleh Gus Dur dengan ahlan wa sahlan atau sabah
al-khair. Artinya, kata Gus Dur, assalamu
‘alaikum bisa diganti dengan ‘Selamat Pagi’ atau ‘Apa Kabar’. Gagasan
pribumisasi Islam ini karuan saja membuat geger di kalangan NU. Sampai akhirnya
sekitar 200 kiai berkumpul di pondok pesantren Darut Tauhid Arjawinangun
Cirebon untuk mengadili Gus Dur.
[53] Abdurrahman Wahid, “Agama dan
Demokrasi”, dalam Th. Sumartana, dkk. (ed.), Spiritualitas Baru; Agama dan Aspirasi Rakyat, (Yogyakarta: Dian Interfidei, 1994), hal. 272.
[54] Zainul Fuad, Diskursus Pluralisme
Agama; Pemikiran Tokoh-Tokoh Muslim dan Kristen di Indonesia, (Bandung: Cita Pustaka Media, 2007), hal. 99.
[55] Ibid.,
hal. 100.
[56] Abdurrahman Wahid, “Dialog
Agama dan Masalah Pendangkalan Agama”, dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad
Gaus AF (ed.), Passing Over; Melintasi Batas Agama, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), hal. 52.
[57] Arifinsyah, Dialog Global Antar Agama; Membangun
Budaya Damai dalam Kemajemukan, (Bandung:
Citapustaka Media Perintis, 2009), hal. 80.
[63]
Abdurrahman Wahid dan Daisaku Ikeda, Dialog
Peradaban; Untuk Toleransi dan Perdamaian, (Jakarta: Kompas
Gramedia, 2011), hal. 44.
[65]
Di Indonesia misalnya contoh keluarga
berencana (KB), yang dahulunya dilarang karena pembatasan kelahiran, yang
menjadi hak reproduksi di tangan Allah semata. Sekarang, karena pertimbangan
biaya pendidikan yang semakin tinggi membolehkan perencanaan keluarga, dengan
tetap membiarkan hak reproduksi di tangan Allah. Lihat:
Abdurrahman Wahid dan Daisaku Ikeda, Dialog
Peradaban…, Op. Cit., hal. 123.