Tuesday, May 07, 2019

PENDIDIKAN PLURALISME


Prawacana
Persoalan pluralisme menjadi momok krusial bangsa jika tidak mampu dikelola dengan baik, dan tentu akan mengancam disintegrasi bangsa. Kekerasan berlatarbelakang agama, kelompok sosial dan politik yang tidak jarang pula menimbulkan jatuhnya korban. Indikasi jelas bahwa masih adanya persoalan bangsa yang hingga kini belum terselesaikan secara tuntas. Bukan tidak mungkin bahwa itu semua dapat menjadi persoalan abadi jika pluralisme tidak mampu dikelola dengan baik, dengan membangun kesadaran yang cakupannya lebih luas, serta memiliki spektrum pengaruh yang panjang.
Pendidikan menjadi pilihan yang cukup strategis untuk menyosialisasikan nilai-nilai pluralisme dan sikap arif terhadap keragaman. Satu hal yang perlu dicatat disini bahwa salah satu gagalnya pembangunan masa depan bangsa terutama karena gagalnya paradigma pendidikan berbasis pluralisme itu sendiri. Jika kita ingin mencapai peri kehidupan bangsa yang berkeadilan dan damai yang menghargai pluralisme, maka hal ini perlu di mulai dari peserta didik. Artinya, dengan penanaman nilai pluralisme kepada perserta didik lebih dini, sehingga mereka memiliki kesiapan mental dan kemampuan teoretik dalam menjalani kehidupannya yang senantiasa berubah dalam era modern, termasuk bagaimana hidup dalam keragaman yang kian kompleks.

Mencari makna pendidikan pluralisme
Konseptualisasi dan metodologi pendidikan pluralisme memang belum mendapatkan respons banyak oleh beberapa pakar pendidikan hari ini, sehingga konsepsi pendidikan ini belum dikenal oleh khalayak banyak. Itu semua tidak lain karena konsepsi dan signifikansinya dalam konteks hari ini baru menemukan momentumnya dalam beberapa tahun belakangan seiring munculnya beberapa macam ketegangan dan persoalan yang berkaitan dengan realitas masyarakat Indonesia yang pluralis, dan secara obyektif merupakan anggota masyarakat yang heterogen. Paling tidak, heterogenitas dan pluralitas masyarakatnya dapat dilihat dari eksistensi keragaman suku, ras, aliran (agama), dan budaya (kultur).
Namun, bukan berarti tidak ada konsepsi secara deskriptif yang mengurai dan menjelaskan tentang pendidikan pluralisme. Menurut Frans Magnis Suseno, pendidikan pluralisme adalah suatu pendidikan yang mengandaikan kita untuk membuka cakrawala yang lebih luas, mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama sehingga kita mampu melihat kemanusiaan sebagai sebuah keluarga yang memiliki perbedaan maupun kesamaan cita-cita. Inilah pendidikan akan nilai dasar kemanusiaan untuk perdamaian, kemerdekaan dan solidaritas.[1]
Pendidikan pluralisme menghendaki penghormatan dan penghargaan yang setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia dari manapun datangnya dan berbudaya apapun itu. Harapannya adalah dengan pendidikan pluralisme akan tercipta kedamaian yang sejati, keamanan yang tidak dihantui oleh kecemasan, dan kebahagiaan tanpa rekayasa.[2]
Oleh karenanya, pendidikan pluralisme dapat diposisikan sebagai bagian dari upaya komprehensif untuk mencegah dan menanggulangi konflik agama, radikalisme agama, separatisme, dan integrasi bangsa. Sedangkan nilai dasar yang dibangun dari konsep pendidikan pluralisme adalah nilai toleransi.

Kerangka tujuan pendidikan pluralisme
    Tujuan pendidikan pluralisme, menurut Clive Back adalah sebagai berikut:
(a) teaching “etnic” students about their own ehnic cunture, including perhaps some “heritage language” instruction; and (b) teaching all student about various traditional cultures, at home and abroad. While such studies can be purused in a variety of ways. What is usually missing is systematic treatment of fundamental issues of culture and ethnicity; (c) promoting acceptance of etnich diversity in society; (d) showing that people of differents religions, races, national background and so on are equel worth; (e) fostering full acceptance and equitable treatment of the etnich sub-cultures associated with different religious, races, national background, etc. in one’s own country and in other parts of the word; and (f) helping stdent to work toward more adequate cultural forms, for themselves and for society.[3]
Untuk mewujudkan tujuan pendidikan pluralisme tersebut, maka dalam prosesnya bahwa setiap komunitas pendidikan perlu memperhatikan konsep unity in diversity. Selain itu, harus disertai juga dengan sikap yang tidak saja mengandaikan suatu mekanisme berfikir terhadap agama yang tidak mono-interpretable, atau menanamkan kesadaran bahwa keragaman dalam hidup sebagai suatu kenyataan, tetapi juga memerlukan kesadaran moralitas dan kebajikan. Tentu saja penanaman konsep seperti ini dengan tidak mempengaruhi kemurnian masing-masing agama yang diyakini kebenarannya oleh peserta didik.
Tujuan pendidikan pluralisme bukanlah untuk membuat kesamaan dan keseragaman pandangan, namun yang dicari adalah untuk mendapatkan titik temu yang dimungkinkan secara teologis oleh masing-masing agama, serta mencari dasar rasional atas keimanan mereka. Jelasnya bahwa landasan filosofis pelaksanaan pendidikan pluralisme harus didasarkan pada pemahaman tentang fenomena bahwa; “satu Tuhan, banyak agama” yang merupakan fakta dan realitas yang dihadapi manusia hari ini. Untuk itu, perlunya dorongan menuju kesadaran pluralis yang merupakan fitrah bagi manusia itu sendiri. Artinya, manusia memang berbeda-beda, akan tetapi mereka memiliki kesamaan-kesamaan. Setidaknya, dengan persamaan-persamaan tersebut lebih penting dari pada perbedaan-perbedaan diantara mereka.[4]

Metode Pendidikan
Metode yang digunakan dalam pendidikan pluralisme adalah metode komunikatif, dengan menjadikan aspek perbedaan sebagai titik tekan. Dengan metode dialog memungkinkan setiap komunitas yang notabenenya memiliki latar belakang berbeda agama dapat mengemukakan pendapatnya secara argumentatif. Dalam proses inilah yang memungkinkan adanya sikap lending and borrowing serta saling mengenal antar tradisi dari setiap agama yang dipeluk oleh masing-masing peserta didik. Sehingga bentuk-bentuk truth claim dan salvation claim dapat diminimalkan.[5]
Metode dialog seperti ini pada akhirnya akan dapat memuaskan semua pihak, sebab metode dialog telah mensyaratkan setiap pemeluk agama untuk bersikap terbuka (open minded), disamping juga untuk bersikap obyektif dan subyektif sekaligus. Obyektif maksudnya adalah sadar bahwa membicarakan banyak iman secara fair tanpa harus mempertanyakan mengenai benar-salahnya sebuah agama. Subyektif maksudnya adalah model pengajaran seperti ini sifatnya hanya untuk mengantarkan setiap peserta didik dalam memahami dan merasakan sejauh mana keimanan tentang suatu agama dapat dirasakan oleh setiap orang yang mempercayainya.

Konklusi
Pendidikan pluralisme merupakan model pendidikan yang mengandaikan kita untuk membuka cakrawala yang lebih luas, mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama sehingga kita mampu melihat kemanusiaan sebagai sebuah keluarga yang memiliki perbedaan maupun kesamaan cita-cita. Nilai dasar yang ditanamkan dalam pendidikan ini adalah nilai perdamaian, kemerdekaan dan solidaritas, serta konsepsi nilai dasarnya adalah toleransi.
Dalam konsepsi pemahamannya, pendidikan pluralisme didasarkan atas fenomena bahwa “satu Tuhan, banyak agama”, dan ini merupakan fakta dan realitas yang dihadapi manusia saat ini. Memang, dalam kodratnya bahwa manusia itu berbeda-beda, akan tetapi dibalik perbedaan tersebut terdapat kesamaan-kesamaan di dalamnya. Setidaknya dengan persamaan-persamaan tersebut adalah lebih penting dari pada perbedaan-perbedaan di antara mereka.

Referensi:

Ainurrafiq Dawam. (2003). Emoh Sekolah. Yogyakarta: Inspeal Ahimsa Karya Press.
Syamsul Mu’arif. (2005). Pendidikan Pluralisme di Indonesia. Yogyakarta: Logung Pustaka.


[1] Ainurrafiq Dawam, Emoh Sekolah, (Yogyakarta: Inspeal Ahimsa Karya Press, 2003), hal. 99-100.
[2] Ibid., hal. 100.
[3] Syamsul Mu’arif, Pendidikan Pluralisme di Indonesia, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2005), hal. 93-94.
[4] Ibid., hal. 84-95.
[5] Ibid., hal. 96-97.
Previous Post
Next Post

Penulis yang mengabdikan tulisannya bagi amal jariyah pemikiran. Tokoh favorit sekaligus panutannya adalah Gus Dur