Prawacana
Persoalan pluralisme menjadi momok krusial bangsa jika
tidak mampu dikelola dengan baik, dan tentu akan mengancam disintegrasi bangsa. Kekerasan
berlatarbelakang agama, kelompok sosial dan politik yang tidak jarang pula menimbulkan
jatuhnya korban. Indikasi jelas bahwa masih adanya persoalan bangsa
yang hingga kini belum terselesaikan secara tuntas. Bukan tidak mungkin
bahwa itu semua dapat menjadi persoalan abadi jika pluralisme tidak mampu
dikelola
dengan baik, dengan membangun kesadaran yang cakupannya lebih luas,
serta memiliki spektrum pengaruh yang panjang.
Pendidikan
menjadi pilihan yang cukup strategis untuk menyosialisasikan nilai-nilai
pluralisme dan sikap arif terhadap keragaman. Satu hal yang perlu dicatat
disini bahwa salah satu gagalnya pembangunan masa depan bangsa terutama karena
gagalnya paradigma pendidikan berbasis pluralisme itu sendiri. Jika kita ingin
mencapai peri kehidupan bangsa yang berkeadilan dan damai yang menghargai
pluralisme, maka hal ini perlu di mulai dari peserta didik. Artinya, dengan
penanaman nilai pluralisme kepada perserta didik lebih dini, sehingga mereka memiliki
kesiapan mental dan kemampuan teoretik dalam menjalani kehidupannya yang
senantiasa berubah dalam era modern, termasuk bagaimana hidup dalam keragaman
yang kian kompleks.
Mencari
makna pendidikan pluralisme
Konseptualisasi
dan metodologi pendidikan pluralisme memang belum mendapatkan respons banyak
oleh beberapa pakar pendidikan hari ini, sehingga konsepsi pendidikan ini belum
dikenal oleh khalayak banyak. Itu semua tidak lain karena konsepsi dan
signifikansinya dalam konteks hari ini baru menemukan momentumnya dalam
beberapa tahun belakangan seiring munculnya beberapa macam ketegangan dan
persoalan yang berkaitan dengan realitas masyarakat Indonesia yang pluralis,
dan secara obyektif merupakan anggota masyarakat yang heterogen. Paling tidak, heterogenitas
dan pluralitas masyarakatnya dapat dilihat dari eksistensi keragaman suku, ras,
aliran (agama), dan budaya (kultur).
Namun,
bukan berarti tidak ada konsepsi secara deskriptif yang mengurai dan menjelaskan
tentang pendidikan pluralisme. Menurut Frans Magnis Suseno, pendidikan pluralisme
adalah suatu pendidikan yang mengandaikan kita untuk membuka cakrawala yang
lebih luas, mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama sehingga
kita mampu melihat kemanusiaan sebagai sebuah keluarga yang memiliki perbedaan
maupun kesamaan cita-cita. Inilah pendidikan akan nilai dasar kemanusiaan untuk
perdamaian, kemerdekaan dan solidaritas.[1]
Pendidikan
pluralisme menghendaki penghormatan dan penghargaan yang setinggi-tingginya
terhadap harkat dan martabat manusia dari manapun datangnya dan berbudaya
apapun itu. Harapannya adalah dengan pendidikan pluralisme akan tercipta
kedamaian yang sejati, keamanan yang tidak dihantui oleh kecemasan, dan
kebahagiaan tanpa rekayasa.[2]
Oleh
karenanya, pendidikan pluralisme dapat diposisikan sebagai bagian dari upaya
komprehensif untuk mencegah dan menanggulangi konflik agama, radikalisme agama,
separatisme, dan integrasi bangsa. Sedangkan nilai dasar yang dibangun dari
konsep pendidikan pluralisme adalah nilai toleransi.
Kerangka tujuan pendidikan pluralisme
Tujuan pendidikan pluralisme, menurut Clive Back adalah sebagai berikut:
(a) teaching “etnic” students
about their own ehnic cunture, including perhaps some “heritage language”
instruction; and (b) teaching all student about various traditional cultures,
at home and abroad. While such studies can be purused in a variety of ways. What
is usually missing is systematic treatment of fundamental issues of culture and
ethnicity; (c) promoting acceptance of etnich diversity in society; (d) showing
that people of differents religions, races, national background and so on are equel
worth; (e) fostering full acceptance and equitable treatment of the etnich
sub-cultures associated with different religious, races, national background, etc.
in one’s own country and in other parts of the word; and (f) helping stdent to
work toward more adequate cultural forms, for themselves and for society.[3]
Untuk
mewujudkan tujuan pendidikan pluralisme tersebut, maka dalam prosesnya bahwa
setiap komunitas pendidikan perlu memperhatikan konsep unity in diversity. Selain
itu, harus disertai juga dengan sikap yang tidak saja mengandaikan suatu
mekanisme berfikir terhadap agama yang tidak mono-interpretable, atau menanamkan kesadaran bahwa keragaman dalam
hidup sebagai suatu kenyataan, tetapi juga memerlukan kesadaran moralitas dan
kebajikan. Tentu saja penanaman konsep seperti ini dengan tidak mempengaruhi
kemurnian masing-masing agama yang diyakini kebenarannya oleh peserta didik.
Tujuan
pendidikan pluralisme bukanlah untuk membuat kesamaan dan keseragaman pandangan,
namun yang dicari adalah untuk mendapatkan titik temu yang dimungkinkan secara
teologis oleh masing-masing agama, serta mencari dasar rasional atas keimanan
mereka. Jelasnya bahwa landasan filosofis pelaksanaan pendidikan pluralisme
harus didasarkan pada pemahaman tentang fenomena bahwa; “satu Tuhan, banyak agama” yang merupakan fakta dan realitas yang
dihadapi manusia hari ini. Untuk itu, perlunya dorongan menuju kesadaran
pluralis yang merupakan fitrah bagi manusia itu sendiri. Artinya, manusia
memang berbeda-beda, akan tetapi mereka memiliki kesamaan-kesamaan. Setidaknya,
dengan persamaan-persamaan tersebut lebih penting dari pada perbedaan-perbedaan
diantara mereka.[4]
Metode Pendidikan
Metode
yang digunakan dalam pendidikan pluralisme adalah metode komunikatif, dengan
menjadikan aspek perbedaan sebagai titik tekan. Dengan metode dialog
memungkinkan setiap komunitas yang notabenenya memiliki latar belakang berbeda
agama dapat mengemukakan pendapatnya secara argumentatif. Dalam proses inilah yang
memungkinkan adanya sikap lending and
borrowing serta saling mengenal antar tradisi dari setiap agama yang
dipeluk oleh masing-masing peserta didik. Sehingga bentuk-bentuk truth claim dan salvation claim dapat diminimalkan.[5]
Metode
dialog seperti ini pada akhirnya akan dapat memuaskan semua pihak, sebab metode
dialog telah mensyaratkan setiap pemeluk agama untuk bersikap terbuka (open minded),
disamping juga untuk bersikap obyektif dan subyektif sekaligus. Obyektif maksudnya
adalah sadar bahwa membicarakan banyak iman secara fair tanpa harus mempertanyakan mengenai benar-salahnya sebuah
agama. Subyektif maksudnya adalah model pengajaran seperti ini sifatnya hanya
untuk mengantarkan setiap peserta didik dalam memahami dan merasakan sejauh mana
keimanan tentang suatu agama dapat dirasakan oleh setiap orang yang
mempercayainya.
Konklusi
Pendidikan
pluralisme merupakan model pendidikan yang mengandaikan kita untuk membuka
cakrawala yang lebih luas, mampu melintas batas kelompok etnis atau tradisi
budaya dan agama sehingga kita mampu melihat kemanusiaan sebagai sebuah
keluarga yang memiliki perbedaan maupun kesamaan cita-cita. Nilai dasar yang ditanamkan dalam pendidikan ini adalah nilai perdamaian, kemerdekaan dan solidaritas, serta konsepsi nilai dasarnya adalah toleransi.
Dalam
konsepsi pemahamannya, pendidikan pluralisme didasarkan atas fenomena bahwa “satu Tuhan, banyak agama”, dan ini merupakan
fakta dan realitas yang dihadapi manusia saat ini. Memang, dalam kodratnya
bahwa manusia itu berbeda-beda, akan tetapi dibalik perbedaan tersebut terdapat
kesamaan-kesamaan di dalamnya. Setidaknya dengan persamaan-persamaan tersebut adalah
lebih penting dari pada perbedaan-perbedaan di antara mereka.
Referensi:
Ainurrafiq Dawam. (2003). Emoh Sekolah. Yogyakarta: Inspeal Ahimsa
Karya Press.
Syamsul Mu’arif. (2005). Pendidikan Pluralisme di Indonesia. Yogyakarta:
Logung Pustaka.