Sunday, June 23, 2019

PENDIDIKAN PEMBEBASAN

PENDIDIKAN PEMBEBASAN

Prawacana
Diskursus mengenai pendidikan tidak akan pernah usai, mengingat pendidikan merupakan aspek terpenting dan mendasar dalam usahanya untuk mempersiapkan sumberdaya manusia dalam menghadapi proses dan dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di tengah-tengah pluralitas. Pendidikan dalam pengertian yang lazim adalah sebuah proses yang berkelanjutan, terus menerus, dan berlangsung seumur hidup (long life education) dalam rangka mewujudkan manusia dewasa, mandiri, dan bertanggungjawab, serta beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Maha Esa.[1]
Sehingga pendidikan di sini dapat dimaknai sebagai proses untuk meningkatkan, memperbaiki, mengubah pengetahuan, keterampilan, dan sikap, serta tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mencerdaskan kehidupan manusia melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan pelatihan. Proses menunjukkan adanya aktivitas dalam bentuk tindakan aktif, di mana terjadi interaksi yang dinamis dan dilakukan secara sadar dalam usahanya untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Oleh karena pendidikan bersifat aktif dan terencana, maka pendidikan itu merupakan suatu perbuatan atau tindakan sadar agar terjadi perubahan sikap dan tata laku yang diharapkan, yakni pemanusiaan manusia yang cerdas, kritis, terampil, mandiri, disiplin dan berakhlak mulia.
Sedangkan pendidikan sebagai suatu lembaga, dapat menjadi institusi yang membebaskan manusia dari kungkungan kekuasaan penguasa dalam mempertahankan kekuasaannya (status quo). Dalam kenyataannya, institusi pendidikan (sekolah) dapat melahirkan para ilmuwan dan cendekiawan yang bermoral tinggi dengan memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan universal. Di lain sisi, sekolah juga memproduksi manusia-manusia bejat, rakus, koruptor, tidak bermoral, dan anti kemanusiaan universal.
Konteks hari ini, di mana sebagian besar manusia mengalami penderitaan dan penindasan yang terstruktur, sementara sebagian lainnya menikmati jerih payah orang lain dengan cara-cara tidak adil, dan kelompok yang menikmati ini justru bagian minoritas umat manusia. Di lihat dari segi jumlah saja menunjukkan bahwa keadaan tersebut memperlihatkan kondisi yang tidak berimbang dan tidak adil. Situasi seperti inilah yang disebut sebagai ‘situasi penindasan’. Penindasan, apapun nama dan alasannya adalah tidak manusiawi (dehumanisasi), sesuatu yang menafikan harkat kemanusiaan.
Dehumanisasi yang menandai bukan saja mereka yang telah dirampas hak dan kemanusiaannya, namun juga―biarpun dalam cara yang berbeda―mereka yang telah merampasnya adalah sebuah penyimpangan fitrah manusia untuk menjadi manusia sejati. Penyimpangan ini terjadi sepanjang sejarah, namun bukan suatu fitrah sejarah. Mayoritas kaum tertindas menjadi tidak manusiawi, karena hak asasi mereka dirampas dan dinistakan, dibuat tidak berdaya dan dibenamkan dalam ‘budaya bisu’ (submerged in the culture of silence). Adapun minoritas kaum penindas menjadi tidak manusiawi karena mereka telah mendustai hakekat keberadan dan hati nurani sendiri dengan memaksakan penindasan bagi sesamanya.
Maka dari itu, ikhtiar memanusiakan kembali manusia (humanisasi) merupakan pilihan mutlak. Humanisasi adalah satu-satunya pilihan bagi kemanusiaan, karena walaupun dehumanisasi adalah kenyataan yang terjadi sepanjang sejarah peradaban manusia dan tetap merupakan suatu kemungkinan ontologis di masa mendatang, ia bukanlah suatu keharusan sejarah. Secara dialektis, suatu kenyataan tidak mesti menjadi suatu keharusan. Jika kenyataan menyimpang dari keharusan, maka menjadi tugas manusia untuk merubahnya agar sesuai dengan apa yang seharusnya (the man’s ontological vocation).[2]
Bertolak dari pandangan filsafat tentang manusia (fitrah manusia) dan realitas tersebut di atas, maka perlunya untuk merumuskan kembali gagasan-gagasan tentang hakekat manusia dalam dimensi pendidikan yang benar-benar mencerahkan umat manusia, serta pembebasan bagi manusia atas kungkungan kekuasaan yang membelenggu dan menindas. Reformulasi gagasan-gagasan pendidikan yang di maksud adalah pendidikan pembebasan, yakni proses pendidikan yang mengakui akan pentingnya peran dan proses penyadaran (konsientisasi), pembebasan dan pemanusiaan manusia dalam artian yang sesungguhnya, yakni manusia yang benar-benar telah menyadari realitas dirinya sendiri dan dunia sekitarnya secara kritis dan cerdas.
Kenyataan yang nampak hingga hari ini justru proses dan reproduksi pendidikan sangat jauh dari keinginan untuk mampu membaca realitas sosial secara kritis dan cerdas. Karena, pendidikan hari ini hanya mampu mencetak individu-individu yang hanya diam manakala mereka harus berhubungan dengan sistem sosial yang menindas. Oleh karenanya, pendidikan hari ini harus mampu mendorong manusia pada titik kulminasi kesadaran untuk melakukan pembebasan, sehingga pendidikan mampu membentuk ‘masyarakat baru’, yakni masyarakat dengan tatanan struktur sosial yang tidak berkelas, memberikan ruang kebebasan penuh atas masyarakat secara keseluruhan, adil, dan manusiawi.

Kebebasan: Kodrat Manusia yang Terus Dibelenggu
Dalam ajaran agama-agama besar di dunia (Yahudi, Kristen dan Islam), di mana kebebasana manusia mendapat pengakuan penting, termasuk di dalamnya kebebasan berfikir, bertindak hingga dalam soal percaya kepada Tuhan sekalipun. Namun dalam perkembangan sejarah, berbagai peristiwa yang bertolak belakang dengan ajaran-ajaran normatif agama tersebut.
Selanjutnya, dalam perkembangan sejarah dunia pun diwarnai dengan pertikaian dan pertumpahan darah. Kekebasan untuk berfikir dan bertindak yang dibawa sejak lahir dibelenggu oleh kekuasaan. Kekuasaan tidak hanya membelenggu kebebasan secara fisik, tapi juga non fisik.[3] Dalam sejarah agama-agama besar, kita mengetahui bagaimana orang-orang yang berbeda pendapat dengan intelektual penguasa harus dihukum mati.[4] Para penguasa model ini adalah terjadi di negara otoriter dan fasis, yang dikenal dari para penguasanya membelenggu kebebasan, serba monolitik dalam aspek kehidupannya, termasuk kehidupan politik, budaya, pendidikan, ekonomi dan sebagainya. Sehingga rakyat biasa tidak memiliki hak dan kebebasan untuk menentukan model dan pola hidupnya sendiri.
Negara otoriter dan fasis, menerapkan cara membelenggu kebebasan melalui kepeminpinan intelektual dan moral. Cara inilah yang dinamakan Antonio Gramsci dengan ‘hegemoni’.[5] Hakikat dari hegemoni adalah upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang problematika sosial dalam kerangka yang ditentukan oleh kelas atas. Dalam praktiknya, hegemoni dijalankan oleh penguasa (kelas dominan) dengan memaksa rakyat (kelompok tertidas atau marginal) untuk menerima nilai-nilai, gagasan, pemikiran, dan bahkan ideologi yang dimilikinya. Bagaimana caranya pengusa menyuntikkan nilai-nilai, gagasan, pemikiran dan ideologi tersebut kedalam kesadaran rakyat. Dalam pandangan Gramsci, di mana nilai-nilai, pemikiran, ideologi itu ditransmisikan melalui institusi-institusi yang ada dimasyarakat yang menentukan struktur kognitif dan afektif masyarakat, seperti lembaga pendidikan, partai politik, organisasi sosial, institusi keagamaan, media massa dan sebagainya. Dalam lembaga-lembaga itulah penguasa melakukan manipulasi terhadap kesadaran rakyat dengan memonopoli wacana pengetahuan dan pemahaman, sehingga kesadaran rakat compatible dengan kesadaran penguasa.[6]
Praktik-praktik tersebut, menyebabkan kebebasan untuk berpikir yang merupakan kodrati yang dibawa manusia sejak lahir, ternyata tidak sesuai dengan ajaran-ajaran formal agama maupun yang dianjurkan oleh orang-orang bijak. Dalam dunia pendidikan, warga belajar tidak memiliki kesempatan untuk mengekspresikan kebebasannya, karena kebebasan berfikir dan bertindaknya telah dirampas oleh penguasa dengan format dan sistem yang sedemikian rupa demi kepentingannya dan untuk mempertahankan staus quo.

Conscientizacao: Pembebasan Sebagai Proses
Kebebasan secara umum berarti ketiadaan paksaan. Ada kebebasan fisik, yaitu secara fisik bebas bergerak kemana saja. Kebebasan moral, yaitu kebebasan dari paksaan moral, hukum, dan kewajiban (termasuk di dalamnya kebebasan berbicara). Kebebasan psikologis, yaitu memilih berbuat atau tidak, sehingga kebebasan ini sering disebut dengan kebebasan untuk memilih. Manusia juga memiliki kebebasan berfikir, berkreasi, dan berinovasi.[7] Jika di sumpulkan, ada dua kebebasan yang dimiliki manusia, yaitu kebebasan vertikal yang arahnya kepada Tuhan, dan kebebasan horizontal yang arahnya lebih pada sesama manusia.
Selanjutnya, menurut Paulo Freire, Conscientientizaco[8] sebagai sebuah proses untuk menjadi manusia yang selengkapnya. Proses perkembangan ini dapat dibagi menjadi tiga fase, yakni kesadaran magis (magical consciousness), kesadaran naif (naival consciousness), dan kesadaran kritis (critical consciousness).[9] Kesadaran magis yaitu suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu melihat kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya, masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan antara kemiskinan mereka dengan sistem politik dan kebudayaan. Kesadaran magis yang lebih melihat faktor di luar manusia (natural maupun supra natural) sebagai penyebab dan ketidakberdayaan. Berbeda dengan kesadaran naif, yang lebih melihat aspek manusia menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Sedangkan kesadaran kritis lebih melihat aspek dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari "blaming the victims" dan lebih menganalisis. Untuk selanjutnya secara kritis menyadari struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi, dan budaya, yang akibatnya pada keadaan masyarakat.[10]
Proses penyadaran ini merupakan proses yang bersifat internal dan psikologis, dan perubahan-perubahan bagaimana individu-individu memahami dunia mereka, atau setidaknya aspek-aspek sosio-politik dunia mereka. Perlu ditegaskan bahwa perubahan-perubahan internal semacam itu memiliki manifestasi eksternal yang signifikan. Apakah perilaku individu-individu berubah sebagai akibat cara berfikir yang berubah. Jika tingkat kesadaran ini bisa diukur, maka pertanyaan menjadi penting, dan tetap belum bisa dijawab.[11]
Penyadaran pada umumnya dan conscientientizaco pada khususnya, memperhatikan perubahan-perubahan hubungan antarmanusia yang akan memperbaiki penyelewengan manusia. Conscientientizaco bukanlah teknik untuk transfer informasi, atau bahkan untuk pelatihan keterampilan, tetapi merupakan proses dialogis yang mengantarkan individu-individu secara bersama-sama untuk memecahkan masalah-masalah eksistensial mereka. Conscientientizaco mengemban tugas pembebasan, dan pembebasan itu berarti penciptaan norma, aturan, prosedur dan kebijakan baru. Pembebasan bermakna transformasi atas sebuah sistem realitas yang saling terkait dan kompleks, serta reformasi beberapa individu untuk mereduksi konsekuensi-konsekuensi negatif dari perilakunya.
Intinya bahwa pembebasan dalam arti yang sesungguhnya jika seseorang memang benar-benar telah menyadari realitas dirinya sendiri dan dunia sekitarnya, tidak pernah mampu mengenali apa yang sesungguhnya ia ingin lakukan, tidak akan pernah dapat memahami apa yang sesungguhnya yang ia ingin capai. Jadi sangatlah mustahil memahamkan seseorang bahwa ia harus mampu, dan pada hakikatnya memang mampu, memahami realitas dirinya dan dunia sekitarnya sebelum ia sendiri benar-benar sadar bahwa kemampuan itu adalah fitrah kemanusiaan, dan bahwa pemahaman itu sendiri adalah penting dan mungkin baginya.[12]
Dengan kata lain, langkah awal yang paling menentukan dalam upaya pendidikan pembebasannya Freire yakni suatu proses yang terus menerus, suatu commencement yang selalu ‘mulai dan mulai lagi, maka proses penyadaran akan selalu ada dan merupakan proses yang sebagian (inherent) dalam keseluruhan proses pendidikan itu sendiri. Maka dari itu, proses penyadaran merupakan proses inti atau hakikat dari proses pendidikan itu sendiri. Dunia kesadaran seseorang memang tidak boleh mandeg, ia senantiasa harus terus berproses, berkembang dan meluas dari satu tahap ke tahap berikutnya, dari tingkat kesadaran naif sampai ke tingkat kesadaran kritis, sampai akhirnya mencapai tingkat kesadaran tertinggi dan terdalam, yakni ‘kesadarannya kesadaran’ (the consice of the consciousness).[13]
Jika seseorang sudah mampu mencapai tingkat kesadaran kritis terhadap realitas, maka ia mulai masuk dalam proses pengertian dan bukan proses menghafal. Karena orang yang mengerti bukanlah orang yang menghafal, namun ia menyatakan diri berdasarkan suatu sistem kesadaran. Sedangkan orang yang menghafal hanya menyatakan diri secara mekanis tanpa sadar apa yang dikatakannya, dari mana ia telah menerima hafalan, dan untuk apa ia menyatakannya kembali pada saat tersebut.

Paradigma Pendidikan Pembebasan
Dalam diskursus filsafat pendidikan, dikenal pendidikan kritis yang lahir berdasarkan dua kekuatan pemikiran. Pertama, Filsafat Marxisme yang memiliki orientasi pada praxis-emansipatoris. Kedua, para pakar pendidikan yang menyadari arti penting pendidikan untuk pengembangan masyarakat, seperti Paulo Freire dengan Pendidikan Kaum Tertindas-nya.
Selanjutnya, pendidikan pembebasan dapat dimaknai sebagai sebuah konsepsi pendidikan yang tidak memisahkan antara teori dan praksis, yang tujuan utamanya adalah pembebasan kaum tertindas agar bisa bertindak praksis-emansipatoris.[14] Dengan kata lain, dalam diskursus pendidikan pembebasan, dimana pendidikan dimaknai sebagai sesuatu yang tidak bebas nilai, melainkan memiliki komitmen pada kelompok masyarakat yang terpinggirkan dan tersubordinasi. Pendidikan pembebasan bersifat transformatif yang bertujuan untuk mengubah pendidikan yang awalnya bertujuan untuk melanggengkan status quo, menjadi pendidikan yang memiliki orientasi terhadap kerja-kerja pembebasan.
Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mencetak manusia merdeka yang mampu memanusiakan manusia, atau dengan kata lain out put pendidikan harus mampu memunculkan manusia yang bisa mengembangkan masyarakatnya. Tokoh lain yaitu Tan Malaka, yang menyatakan bahwa pendidikan harus berorientsi pada tiga hal. Pertama; pemberian kemampuan untuk bertahan hidup. Kedua; mendorong peserta didik memiliki karakter kebangsaan. Ketiga; mencetak manusia-manusia yang peka akan realitas sosial.[15]
Lebih lanjut, sistem pendidikan kita hari ini laksana sebuah perusahaan yang bertujuan untuk menambah pundi-pundi kapital. Investasinya adalah peserta didik, investornya adalah negara dan perusahaan-perusahaan yang membutuhkan tenaga terdidik untuk melanggengkan status quo mereka. Sementara alat produksinya adalah sekolahan-sekolahan, kampus-kampus yang kurikulumnya sama sekali tidak menyentuh realitas sosial masyarakat.
Ketika kapitalisasi mulai merambah sektor pendidikan, maka masyarakat pinggiran dan masyarakat miskin adalah kelompok pertama yang akan terkena imbasnya. Mereka tidak akan mampu mencapainya dengan sumberdaya apapun yang dimiliki. Mereka akan terlempar keluar dari garis yang ditentukan oleh kelompok yang lebih berdaya. Lebih jauh lagi, Agus Salim menyebutkan bahwa masyarakat kelas menengah akan membentuk subkultur mereka sendiri, seperti sekolah-sekolah khusus maupun identitas lain.[16]
Jika hal tersebut di atas terjadi, maka gap antar kelas masyarakat akan lebih lebar, dan pendidikan pembebasan menjadi sebuah keniscayaan untuk diberlakukan mengingat basis pendidikan pembebasan adalah keadilan, kesetaraan, dan pembebasan. Hal ini dapat muncul jika paradigma dasar pendidikan kita bukan hanya persoalan kurikulum, kebijakan, dan persekolahan ataupun sekadar berkutat pada teori, melainkan juga menyentuh realitas sosial.

Pendidikan yang Membebaskan
Kebebasan akademik adalah aspek penting dalam pendidikan untuk menjamin perkembangan ilmu pengetahuan, tetapi kebebasan akademik saja belum mampu merangsang untuk berfikir mandiri dan kritis. Kebebasan akademik sering dikaitkan dengan kebebasan ‘mimbar’ di dalam kampus atau sekolah, yang biasanya hanya berlaku di dalam kampus atau ruang-ruang terbatas (ruang seminar dan lain-lain). Jika kebebasan hanya terbatas pada lingkup ruang akademik atau ruang sekolah, maka itu belum mampu menumbuhkan tradisi yang dapat merangsang seseorang untuk bebas berfikir secara mandiri dan kritis, karena sering terjadi kebebasan akademik yang tidak diikuti dengan sebuah tradisi masyarakat untuk memberikan kebebasan pula, sehingga kebebasan akademik menjadi sia-sia.
Untuk menjadi sebuah institusi yang membebaskan, dalam artian memberikan ruang kebebasan untuk berfikir dan berekspresi bagi warganya juga menjadi institusi yang memperjuangkan kebebasan, maka lembaga pendidikan harus memulai dari lingkungannya sendiri, namun bukan berarti lembaga pendidikan harus tertutup dari luar. Nilai-nilai kemanusiaan universal, seperti kebebasan, egaliter, pluralis adalah aspek penting dan utama dalam sebuah lembaga dan sistem pendidikan yang dibangun.
Sistem pendidikan yang menggunakan pendidikan kritis sebagai paradigmanya, secara ideal harus mampu membangkitkan kesadaran kritis bagi peserta didik. Meminjam Istilah Paulo Freire, kesadaran manusia terbagi dalam tiga tingkatan. Pertama, kesadaran magis, kedua, kesadaran naif, ketiga, kesadaran kritis.[17] Kesadaran magis adalah ketidakmampuan mengaitkan faktor satu dengan faktor lain dalam suatu kejadian, dan lebih cenderung melihat faktor di luar manusia. Kesadaran naif memiliki kecenderungan menyalahkan aspek individu dalam melihat akar penyebab suatu masalah. Sementara kesadarn kritis lebih melihat sistem dan struktur sebagai penyebab utama masalah di masyarakat.
Pendekatan struktur yang digunakan dalam kesadaran kritis diharapkan bisa menghindari blaming of victims dalam mengidentifikasi suatu permasalahan dan lebih memilih langkah menganalisa suatu problem untuk menyadari bahwa ada yang salah dalam struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi, dan budaya dalam suatu permasalahan.
Untuk menuju pendidikan pembebasan, menurut Mansour Fakih terdapat tiga unsur dasar, yakni guru, peserta didik, dan realitas dunia.[18] Guru dan peserta didik memiliki hubungan pertemanan dengan proses pembelajaran yang dialogis, bukan top down, sementara realitas dunia adalah medium pembelajarannya. Guru dan peserta didik harus menjadi subjek pendidikan yang sadar. Guru juga harus mampu membangun kesadaran kritis peseta didik untuk membaca kepentingan ideologis maupun politis yang menyelimuti realitas sosial masyarakat lewat cara-cara yang dialogis dan tidak menggurui.
Berkaca dari apa yang disampaikan oleh Mansour Fakih, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam upaya pembentukan pendidikan pembebasan. Pertama, pengetahuan (materi pembelajaran). Pengetahuan memang bersifat subyektif, karena dibatasi oleh kemampuan indera manusia, maka sebisa mungkin pengetahuan harus diciptakan sesuai dengan konteks kehidupan peserta didik yang diperoleh lewat realitas sosial. Pengetahuan yang diajarkan tidak boleh membuat peserta didik hanya sebagai objek pengetahuan, namun juga harus menjadi objek pengetahuan.
Kedua, metode pembelajaran. Metode pembelajaran merupakan hal terpenting dalam transfer of knowledge. Dalam konteks pendidikan pembebasan, di mana peserta didik juga aktif dalam proses pembelajaran, maka metode yang digunakan adalah dialogis-partisipatoris (empowerment). Dalam hal ini, peserta didik dan guru sama-sama berupaya memproduksi dan mengembangkan pengetahuan. Proses berfikir, menyanggah, berdebat untuk memproduksi pengetahuan menjadi lebih penting dari materi yang disajikan. Hal ini, sebagai upaya untuk menumbuhkan kemampuan dialektika peserta didik dalam memahami suatu permasalahan. Metode ini akan menemui kendala pengetahuan yang tidak akan tersampaikan secara tuntas.
Ketiga, hubungan guru dan murid. Pola konservatif yang berlaku selama ini adalah guru yang menjadi pusat, murid berada di bawah guru. Hubungan semacam ini harus diubah, murid harus sejajar dengan guru, keduanya berada pada posisi sebagai subyek yang sama-sama belajar. Hal ini dilakukan bukan dalam rangka untuk mengurangi kewibawaan guru, melainkan lebih berorientasi pada peran guru dalam pengembangan kesadaran kritis peserta didik.
Keempat, reformasi kebijakan pendidikan. Selama ini ada ketidakjelasan mengenai penggunaan paradigma dalam sistem pendidikan kita. Untuk mencapai pendidikan pembebasan, maka harus ada perombakan dari hulu sampai hilir dalam sistem pendidikan kita. Kebijakan hulu adalah landasan epistemologis yang digunakan oleh pemangku kebijakan dalam merumuskan hakikat pendidikan, serta hubungan antara pendidikan dengan bidang-bidang kehidupan lain sebagai basis pendidikan pembebasan. Sedangkan kebijakan hilir, adalah eksekusi yang mengacu pada landasan epistimologis dalam kebijakan hulu. Sayangnya, hal ini akan bisa tercapai jika pemangku kebijakan dalam sisem pendidikan kita bisa terlepas dari intervensi politik dan tindak korupsi.
Dengan begitu, cita-cita untuk membangun lembaga pendidikan yang dapat membebaskan warga didik dari belenggu tiranik, penindasan (mungkin) dapat dilalui. Lembaga pendidikan tidak pantas membelenggu kebebasan berfikir dan berekspresi bagi warga didiknya, karena warga didiknya adalah manusia yang tidak pantas diprogram atau dikontrol, baik fisik maupun nonfisik. Bila lembaga pendidikan sudah mampu membebaskan diri dari warga didiknya dari belenggu penindasan yang demikian, maka dipastikan pendidikan tersebut menjadi institusi pembebas. Itu berarti, lembaga pendidikan menjadi lembaga yang memikirkan dan mempraktikkan pembebasan.

Konklusi
Pendidikan yang membelenggu dan yang membebaskan, secara singkat digambarkan sebagai dikotomi model pendidikan yang masing-masing memiliki karakteristik berbeda dan saling bertentangan. Model yang membelenggu antara lain memiliki ciri-ciri; guru menanamkan kesadaran yang keliru dengan melakukan tindakan manipulatif, pendekatan dalam pendidikannya bersifat preskriptif dan sekedar transfer pengetahuan. Sedangkan model yang membebaskan adalah dengan mengkondisikan peserta didik agar mengenal kehidupan secara kritis. Pendekatan yang dipilih bersifat dialogis dan menempatkan pengetahuan sebagai suatu yang dinamis dalam proses transformasi yang akan diuji dalam kehidupan nyata.
Dikotomi ini sudah barang tentu tidak bersifat statis dan mutlak, sehingga sangat mungkin pendidikan yang membelenggu pun akan mengalami transformasi. Tapi sangat tergantung kepada penyelenggara dan pihak yang terlibat dalam institusi atau lembaga pendidikannya, yaitu apakah mereka menerima keadaan sebagai takdir yang tidak mungkin diubah kecuali datang keajaiban, atau justru mereka akan menggugat keadaan yang telah membelenggunya. Sikap yang tepat sebuah lembaga pendidikan adalah mengubah model pendidikannya yang membelenggu ke model pendidikan yang membebaskan melalui proses penyadaran.
Maka dari itu, ketika banyak orang yang menginginkan lembaga pendidikan menjadi institusi yang mempraktikkan pembebasan adalah sesuatu yang wajar dan pantas. Karena lembaga pendidikan adalah tempat yang mulai menghargai dan memberi kebebasan untuk berpendapat dan berekspresi. Penghargaan yang demikian adalah benih yang mulai tumbuh, dan sebagai sebuah proses. Untuk itu, kebebasan berfikir, bertindak, berekspresi dan berpendapat secara terus menerus untuk diperjuangkan dalam proses pendidikan.[]


Referensi:

Ali Enggineer, Asghar. (1993). Islam dan Pembebasan, terjemahan dari Islam and Its Relevance to our Age, oleh Hairus Salim HS dan Imam Baehaqy. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
A. Smith, William. (2001). Conscientientizaco; Tujuan Pendidikan Paulo Freire, terj. Agung Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Bowles, Samuel, dan Gintis, Herbert. (2001). Pendidikan Revolusioner dalam Menggugat Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fakih et.al, Mansour. (2001). Pendidikan Populer; Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakara: Pustaka Pelajar.
Freire, Paulo. (2000). Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: LP3ES.
_____. (2002). Politik Pendidikan, Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan, terj. Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
_____. (2008). Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta, LP3ES.
Malaka, Tan. SI Semarang dan Onderwijs. dalam http://www.marxist.org.
Patria, Nazar, dan Arif, Andi. (1999). Antonio Gramsci; Negara dan Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Salim, Agus. (2007). Indonesia Belajarlah! Membangun Pendidikan Indonesia. Yogyakarta, Mutiara Wacana.
Zainuddin, M. (2008). Reformasi Pendidikan; Kritik Kurikulum dan Manajemen Berbasis Sekolah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


[1] M. Zainuddin, Reformasi Pendidikan; Kritik Kurikulum dan Manajemen Berbasis Sekolah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal. 1.
[2] Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, (Jakarta: LP3ES, 2000), hal, 11.
[3] Mekanisme hegemoni melalui cuci kesadaran, cuci otak dan cuci pikiran adalah praktik membelanggu kebebasan manusia secara nonfisik.
[4] Asghar Ali Enggineer, Islam dan Pembebasan, terjemahan dari Islam and Its Relevance to our Age, oleh Hairus Salim HS dan Imam Baehaqy, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1993), hal. 73-99.
[5] Hegemoni adalah cara kelas sosial (pemerintah atau keleompok dominan lainnya) untuk memperoleh keunggulan (supremacy) bukan melalui kekerasan, melainkan melalui mekanisme konsensus.
[6] Nazar Patria dan Andi Arif, Antonio Gramsci; Negara dan Hegemoni, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hal. 24.
[7] Samuel Bowles dan Herbert Gintis, Pendidikan Revolusioner dalam Menggugat Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hal. 428-433.
[8] Istilah Conscientientizaco dapat dideskripsikan sebagai proses perkembangan seorang yang berubah dari kesadaran magis menuju kesadaran naif, dan akhirnya sampai pada kesadaran kritis. Istilah tetap dipertahankan sesuai dengan kata aslinya (bahasa Portugal) untuk menghindari kebingungan dengan konsep-konsep serupa, namun sesungguhnya berbeda dan untuk membedakan dengan asal-usulnya.
[9] William A. Smith, Conscientientizaco; Tujuan Pendidikan Paulo Freire, terj. Agung Prihantoro, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2001), hal. 54.
[10] Mansour Fakih, et.al., Pendidikan Populer Membangun Pendidikan Kritis, (Yogyakarta, Pustaka pelajar, 2001), hal. 23-24.
[11] William A. Smith, Op. Cit., hal. 11-12.
[12] Paulo Friere, Politik Pendidikan, Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan, terj. Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. xvii.
[13] Ibid., hal. xvii-xviii.
[14] Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, (Jakarta, LP3ES, 2008), hal. 37-38.
[15] Tan Malaka, SI Semarang dan Onderwijs, dalam: http://www.marxist.org
[16] Agus Salim, Indonesia Belajarlah!; Membangun Pendidikan Indonesia, (Yogyakarta, Mutiara Wacana, 2007), hal. 180.
[17] William A. Smith, Op. Cit., hal. 55-57.
[18] Mansour Faqih, et.al, Op. Cit., hal. 40.