Prawacana
Diskursus mengenai
pendidikan tidak akan pernah usai, mengingat pendidikan merupakan aspek terpenting
dan mendasar dalam usahanya untuk mempersiapkan sumberdaya manusia dalam
menghadapi proses dan dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara di tengah-tengah pluralitas. Pendidikan dalam pengertian yang lazim
adalah sebuah proses yang berkelanjutan, terus menerus, dan berlangsung seumur
hidup (long life education) dalam rangka mewujudkan manusia dewasa,
mandiri, dan bertanggungjawab, serta beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Maha
Esa.[1]
Sehingga pendidikan
di sini dapat dimaknai sebagai proses untuk meningkatkan, memperbaiki, mengubah
pengetahuan, keterampilan, dan sikap, serta tata laku seseorang atau kelompok
orang dalam usaha mencerdaskan kehidupan manusia melalui kegiatan bimbingan,
pengajaran dan pelatihan. Proses menunjukkan adanya aktivitas dalam bentuk
tindakan aktif, di mana terjadi interaksi yang dinamis dan dilakukan secara
sadar dalam usahanya untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Oleh karena
pendidikan bersifat aktif dan terencana, maka pendidikan itu merupakan suatu
perbuatan atau tindakan sadar agar terjadi perubahan sikap dan tata laku yang
diharapkan, yakni pemanusiaan manusia yang cerdas, kritis, terampil, mandiri,
disiplin dan berakhlak mulia.
Sedangkan pendidikan
sebagai suatu lembaga, dapat menjadi institusi yang membebaskan manusia dari
kungkungan kekuasaan penguasa dalam mempertahankan kekuasaannya (status quo).
Dalam kenyataannya, institusi pendidikan (sekolah) dapat melahirkan para
ilmuwan dan cendekiawan yang bermoral tinggi dengan memperjuangkan nilai-nilai
kemanusiaan universal. Di lain sisi, sekolah juga memproduksi manusia-manusia
bejat, rakus, koruptor, tidak bermoral, dan anti kemanusiaan universal.
Konteks hari ini, di mana
sebagian besar manusia mengalami penderitaan dan penindasan yang terstruktur,
sementara sebagian lainnya menikmati jerih payah orang lain dengan cara-cara
tidak adil, dan kelompok yang menikmati ini justru bagian minoritas umat
manusia. Di lihat dari segi jumlah saja menunjukkan bahwa keadaan tersebut
memperlihatkan kondisi yang tidak berimbang dan tidak adil. Situasi seperti
inilah yang disebut sebagai ‘situasi penindasan’. Penindasan, apapun nama dan
alasannya adalah tidak manusiawi (dehumanisasi),
sesuatu yang menafikan harkat kemanusiaan.
Dehumanisasi yang
menandai bukan saja mereka yang telah dirampas hak dan kemanusiaannya, namun
juga―biarpun dalam cara yang berbeda―mereka yang telah merampasnya adalah
sebuah penyimpangan fitrah manusia untuk menjadi manusia sejati. Penyimpangan
ini terjadi sepanjang sejarah, namun bukan suatu fitrah sejarah. Mayoritas kaum
tertindas menjadi tidak manusiawi, karena hak asasi mereka dirampas dan
dinistakan, dibuat tidak berdaya dan dibenamkan dalam ‘budaya bisu’ (submerged
in the culture of silence). Adapun minoritas kaum penindas menjadi tidak
manusiawi karena mereka telah mendustai hakekat keberadan dan hati nurani
sendiri dengan memaksakan penindasan bagi sesamanya.
Maka dari itu,
ikhtiar memanusiakan kembali manusia (humanisasi)
merupakan pilihan mutlak. Humanisasi adalah satu-satunya pilihan bagi
kemanusiaan, karena walaupun dehumanisasi adalah kenyataan yang terjadi
sepanjang sejarah peradaban manusia dan tetap merupakan suatu kemungkinan
ontologis di masa mendatang, ia bukanlah suatu keharusan sejarah. Secara
dialektis, suatu kenyataan tidak mesti menjadi suatu keharusan. Jika kenyataan
menyimpang dari keharusan, maka menjadi tugas manusia untuk merubahnya agar
sesuai dengan apa yang seharusnya (the man’s ontological vocation).[2]
Bertolak dari
pandangan filsafat tentang manusia (fitrah manusia) dan realitas tersebut di
atas, maka perlunya untuk merumuskan kembali gagasan-gagasan tentang hakekat
manusia dalam dimensi pendidikan yang benar-benar mencerahkan umat manusia,
serta pembebasan bagi manusia atas kungkungan kekuasaan yang membelenggu dan
menindas. Reformulasi gagasan-gagasan pendidikan yang di maksud adalah
pendidikan pembebasan, yakni proses pendidikan yang mengakui akan pentingnya
peran dan proses penyadaran (konsientisasi),
pembebasan dan pemanusiaan manusia dalam artian yang sesungguhnya, yakni
manusia yang benar-benar telah menyadari realitas dirinya sendiri dan dunia
sekitarnya secara kritis dan cerdas.
Kenyataan yang nampak
hingga hari ini justru proses dan reproduksi pendidikan sangat jauh dari
keinginan untuk mampu membaca realitas sosial secara kritis dan cerdas. Karena,
pendidikan hari ini hanya mampu mencetak individu-individu yang hanya diam
manakala mereka harus berhubungan dengan sistem sosial yang menindas. Oleh
karenanya, pendidikan hari ini harus mampu mendorong manusia pada titik
kulminasi kesadaran untuk melakukan pembebasan, sehingga pendidikan mampu
membentuk ‘masyarakat baru’, yakni masyarakat dengan tatanan struktur sosial
yang tidak berkelas, memberikan ruang kebebasan penuh atas masyarakat secara
keseluruhan, adil, dan manusiawi.
Kebebasan: Kodrat Manusia yang Terus Dibelenggu
Dalam ajaran agama-agama besar di dunia
(Yahudi, Kristen dan Islam), di mana kebebasana manusia mendapat pengakuan
penting, termasuk di dalamnya kebebasan berfikir, bertindak hingga dalam soal
percaya kepada Tuhan sekalipun. Namun dalam perkembangan sejarah, berbagai
peristiwa yang bertolak belakang dengan ajaran-ajaran normatif agama tersebut.
Selanjutnya, dalam perkembangan
sejarah dunia pun diwarnai dengan pertikaian dan pertumpahan darah. Kekebasan
untuk berfikir dan bertindak yang dibawa sejak lahir dibelenggu oleh kekuasaan.
Kekuasaan tidak hanya membelenggu kebebasan secara fisik, tapi juga non fisik.[3]
Dalam sejarah agama-agama besar, kita mengetahui bagaimana orang-orang yang
berbeda pendapat dengan intelektual penguasa harus dihukum mati.[4]
Para penguasa model ini adalah terjadi di negara otoriter dan fasis, yang
dikenal dari para penguasanya membelenggu kebebasan, serba monolitik dalam
aspek kehidupannya, termasuk kehidupan politik, budaya, pendidikan, ekonomi dan
sebagainya. Sehingga rakyat biasa tidak memiliki hak dan kebebasan untuk
menentukan model dan pola hidupnya sendiri.
Negara otoriter dan
fasis, menerapkan cara membelenggu kebebasan melalui kepeminpinan intelektual
dan moral. Cara inilah yang dinamakan Antonio Gramsci dengan ‘hegemoni’.[5]
Hakikat dari hegemoni adalah upaya untuk menggiring orang agar menilai dan
memandang problematika sosial dalam kerangka yang ditentukan oleh kelas atas.
Dalam praktiknya, hegemoni dijalankan oleh penguasa (kelas dominan) dengan
memaksa rakyat (kelompok tertidas atau marginal) untuk menerima nilai-nilai,
gagasan, pemikiran, dan bahkan ideologi yang dimilikinya. Bagaimana caranya
pengusa menyuntikkan nilai-nilai, gagasan, pemikiran dan ideologi tersebut
kedalam kesadaran rakyat. Dalam pandangan Gramsci, di mana nilai-nilai,
pemikiran, ideologi itu ditransmisikan melalui institusi-institusi yang ada
dimasyarakat yang menentukan struktur kognitif dan afektif masyarakat, seperti
lembaga pendidikan, partai politik, organisasi sosial, institusi keagamaan,
media massa dan sebagainya. Dalam lembaga-lembaga itulah penguasa melakukan
manipulasi terhadap kesadaran rakyat dengan memonopoli wacana pengetahuan dan
pemahaman, sehingga kesadaran rakat compatible
dengan kesadaran penguasa.[6]
Praktik-praktik
tersebut, menyebabkan kebebasan untuk berpikir yang merupakan kodrati yang
dibawa manusia sejak lahir, ternyata tidak sesuai dengan ajaran-ajaran formal
agama maupun yang dianjurkan oleh orang-orang bijak. Dalam dunia pendidikan,
warga belajar tidak memiliki kesempatan untuk mengekspresikan kebebasannya, karena
kebebasan berfikir dan bertindaknya telah dirampas oleh penguasa dengan format
dan sistem yang sedemikian rupa demi kepentingannya dan untuk mempertahankan staus quo.
Conscientizacao:
Pembebasan Sebagai Proses
Kebebasan secara umum berarti ketiadaan paksaan. Ada
kebebasan fisik, yaitu secara fisik bebas bergerak kemana saja. Kebebasan
moral, yaitu kebebasan dari paksaan moral, hukum, dan kewajiban (termasuk
di dalamnya kebebasan berbicara). Kebebasan psikologis, yaitu memilih berbuat
atau tidak, sehingga kebebasan ini sering disebut dengan kebebasan untuk
memilih. Manusia juga memiliki kebebasan berfikir, berkreasi, dan berinovasi.[7] Jika
di sumpulkan, ada dua kebebasan yang dimiliki manusia, yaitu kebebasan vertikal
yang arahnya kepada Tuhan, dan kebebasan horizontal yang arahnya lebih pada
sesama manusia.
Selanjutnya, menurut Paulo Freire, Conscientientizaco[8]
sebagai sebuah proses untuk menjadi manusia yang selengkapnya. Proses perkembangan
ini dapat
dibagi menjadi tiga fase, yakni kesadaran magis (magical consciousness), kesadaran naif (naival consciousness), dan kesadaran
kritis (critical consciousness).[9] Kesadaran
magis yaitu suatu kesadaran masyarakat
yang tidak mampu melihat kaitan antara
satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya, masyarakat miskin yang tidak mampu
melihat kaitan antara kemiskinan mereka dengan sistem politik dan kebudayaan. Kesadaran
magis yang lebih melihat faktor di luar manusia (natural maupun supra natural)
sebagai penyebab dan ketidakberdayaan. Berbeda dengan kesadaran naif, yang
lebih melihat aspek manusia menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Sedangkan
kesadaran kritis lebih melihat aspek dan struktur sebagai sumber masalah.
Pendekatan struktural menghindari "blaming the victims" dan lebih menganalisis.
Untuk selanjutnya secara kritis menyadari struktur dan sistem sosial, politik,
ekonomi, dan budaya, yang akibatnya pada keadaan masyarakat.[10]
Proses penyadaran ini merupakan proses yang bersifat
internal dan psikologis, dan perubahan-perubahan bagaimana individu-individu
memahami dunia mereka, atau setidaknya aspek-aspek sosio-politik dunia mereka.
Perlu ditegaskan bahwa perubahan-perubahan internal semacam itu memiliki
manifestasi eksternal yang signifikan. Apakah perilaku individu-individu
berubah sebagai akibat cara berfikir yang berubah. Jika tingkat kesadaran ini
bisa diukur, maka pertanyaan menjadi penting, dan tetap belum bisa dijawab.[11]
Penyadaran pada umumnya dan conscientientizaco pada
khususnya, memperhatikan perubahan-perubahan hubungan antarmanusia yang akan
memperbaiki penyelewengan manusia. Conscientientizaco bukanlah teknik
untuk transfer informasi, atau bahkan untuk pelatihan keterampilan, tetapi
merupakan proses dialogis yang mengantarkan individu-individu secara
bersama-sama untuk memecahkan masalah-masalah eksistensial mereka. Conscientientizaco
mengemban tugas pembebasan, dan pembebasan itu berarti penciptaan norma,
aturan, prosedur dan kebijakan baru. Pembebasan bermakna transformasi atas
sebuah sistem realitas yang saling terkait dan kompleks, serta reformasi
beberapa individu untuk mereduksi konsekuensi-konsekuensi negatif dari
perilakunya.
Intinya bahwa pembebasan dalam arti yang sesungguhnya jika
seseorang memang benar-benar telah menyadari realitas dirinya sendiri dan dunia
sekitarnya, tidak pernah mampu mengenali apa yang sesungguhnya ia ingin
lakukan, tidak akan pernah dapat memahami apa yang sesungguhnya yang ia ingin
capai. Jadi sangatlah mustahil memahamkan seseorang bahwa ia harus mampu, dan
pada hakikatnya memang mampu, memahami realitas dirinya dan dunia sekitarnya
sebelum ia sendiri benar-benar sadar bahwa kemampuan itu adalah fitrah
kemanusiaan, dan bahwa pemahaman itu sendiri adalah penting dan mungkin
baginya.[12]
Dengan kata lain, langkah awal yang paling menentukan dalam
upaya pendidikan pembebasannya Freire yakni suatu proses yang terus menerus,
suatu commencement yang selalu ‘mulai dan mulai lagi, maka proses
penyadaran akan selalu ada dan merupakan proses yang sebagian (inherent)
dalam keseluruhan proses pendidikan itu sendiri. Maka dari itu, proses
penyadaran merupakan proses inti atau hakikat dari proses pendidikan itu
sendiri. Dunia kesadaran seseorang memang tidak boleh mandeg, ia senantiasa harus terus berproses, berkembang dan meluas
dari satu tahap ke tahap berikutnya, dari tingkat kesadaran naif sampai ke
tingkat kesadaran kritis, sampai akhirnya mencapai tingkat kesadaran tertinggi
dan terdalam, yakni ‘kesadarannya kesadaran’ (the consice of the
consciousness).[13]
Jika seseorang sudah mampu mencapai tingkat kesadaran kritis
terhadap realitas, maka ia mulai masuk dalam proses pengertian dan bukan proses
menghafal. Karena orang yang mengerti bukanlah orang yang menghafal, namun ia
menyatakan diri berdasarkan suatu sistem kesadaran. Sedangkan orang yang menghafal
hanya menyatakan diri secara mekanis tanpa sadar apa yang dikatakannya, dari
mana ia telah menerima hafalan, dan untuk apa ia menyatakannya kembali pada
saat tersebut.
Paradigma Pendidikan Pembebasan
Dalam diskursus filsafat pendidikan, dikenal pendidikan kritis yang lahir
berdasarkan dua kekuatan pemikiran. Pertama, Filsafat Marxisme yang memiliki orientasi pada praxis-emansipatoris. Kedua, para pakar pendidikan yang menyadari arti penting
pendidikan untuk pengembangan masyarakat, seperti Paulo Freire dengan Pendidikan Kaum Tertindas-nya.
Selanjutnya, pendidikan pembebasan
dapat dimaknai sebagai sebuah konsepsi pendidikan yang tidak memisahkan
antara teori dan praksis,
yang tujuan utamanya adalah pembebasan kaum tertindas
agar bisa bertindak praksis-emansipatoris.[14]
Dengan kata lain, dalam diskursus pendidikan pembebasan, dimana
pendidikan dimaknai sebagai sesuatu yang tidak bebas
nilai, melainkan memiliki komitmen pada kelompok masyarakat yang terpinggirkan
dan tersubordinasi. Pendidikan pembebasan bersifat transformatif yang bertujuan untuk mengubah pendidikan yang
awalnya bertujuan untuk melanggengkan status
quo, menjadi pendidikan yang memiliki
orientasi terhadap kerja-kerja pembebasan.
Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia menyatakan bahwa tujuan
pendidikan adalah untuk mencetak manusia merdeka yang mampu memanusiakan
manusia,
atau dengan kata lain out put pendidikan harus mampu memunculkan manusia yang bisa
mengembangkan masyarakatnya. Tokoh lain yaitu Tan Malaka, yang
menyatakan bahwa pendidikan harus berorientsi pada tiga hal. Pertama; pemberian kemampuan untuk bertahan hidup. Kedua;
mendorong peserta didik memiliki karakter kebangsaan. Ketiga;
mencetak manusia-manusia yang peka akan realitas sosial.[15]
Lebih lanjut, sistem pendidikan kita hari ini laksana sebuah
perusahaan yang bertujuan untuk menambah pundi-pundi kapital. Investasinya
adalah peserta didik, investornya adalah negara dan perusahaan-perusahaan yang membutuhkan tenaga terdidik untuk
melanggengkan status quo mereka. Sementara alat produksinya adalah sekolahan-sekolahan, kampus-kampus yang
kurikulumnya sama sekali tidak menyentuh realitas sosial masyarakat.
Ketika kapitalisasi mulai merambah sektor pendidikan, maka masyarakat pinggiran
dan masyarakat miskin adalah kelompok pertama yang akan
terkena imbasnya. Mereka tidak akan mampu mencapainya dengan sumberdaya apapun
yang dimiliki. Mereka akan terlempar keluar dari garis yang ditentukan oleh
kelompok yang lebih berdaya. Lebih jauh lagi, Agus Salim menyebutkan bahwa masyarakat kelas menengah akan membentuk
subkultur mereka sendiri, seperti sekolah-sekolah khusus maupun identitas lain.[16]
Jika hal tersebut
di atas terjadi, maka gap antar kelas masyarakat
akan lebih lebar,
dan pendidikan pembebasan menjadi sebuah keniscayaan untuk diberlakukan mengingat basis pendidikan pembebasan adalah keadilan,
kesetaraan,
dan pembebasan. Hal ini dapat muncul jika paradigma dasar pendidikan kita bukan hanya persoalan
kurikulum, kebijakan, dan persekolahan ataupun sekadar berkutat pada teori,
melainkan juga menyentuh realitas sosial.
Pendidikan
yang Membebaskan
Kebebasan akademik
adalah aspek penting dalam pendidikan untuk menjamin perkembangan ilmu
pengetahuan, tetapi kebebasan akademik saja belum mampu merangsang untuk
berfikir mandiri dan kritis. Kebebasan akademik sering dikaitkan dengan
kebebasan ‘mimbar’ di dalam kampus atau sekolah, yang biasanya hanya berlaku di
dalam kampus atau ruang-ruang terbatas (ruang seminar dan lain-lain). Jika
kebebasan hanya terbatas pada lingkup ruang akademik atau ruang sekolah, maka
itu belum mampu menumbuhkan tradisi yang dapat merangsang seseorang untuk bebas
berfikir secara mandiri dan kritis, karena sering terjadi kebebasan akademik
yang tidak diikuti dengan sebuah tradisi masyarakat untuk memberikan kebebasan
pula, sehingga kebebasan akademik menjadi sia-sia.
Untuk menjadi sebuah
institusi yang membebaskan, dalam artian memberikan ruang kebebasan untuk
berfikir dan berekspresi bagi warganya juga menjadi institusi yang
memperjuangkan kebebasan, maka lembaga pendidikan harus memulai dari
lingkungannya sendiri, namun bukan berarti lembaga pendidikan harus tertutup
dari luar. Nilai-nilai kemanusiaan universal, seperti kebebasan, egaliter,
pluralis adalah aspek penting dan utama dalam sebuah lembaga dan sistem
pendidikan yang dibangun.
Sistem pendidikan yang menggunakan pendidikan kritis sebagai paradigmanya, secara ideal harus mampu membangkitkan kesadaran kritis bagi
peserta didik. Meminjam Istilah Paulo Freire, kesadaran
manusia terbagi dalam tiga tingkatan. Pertama, kesadaran magis, kedua, kesadaran naif, ketiga,
kesadaran kritis.[17] Kesadaran magis adalah ketidakmampuan mengaitkan faktor satu dengan faktor lain dalam suatu kejadian, dan lebih cenderung melihat faktor di luar manusia.
Kesadaran naif memiliki kecenderungan menyalahkan aspek individu dalam melihat akar penyebab suatu masalah. Sementara kesadarn
kritis lebih melihat sistem dan struktur sebagai penyebab utama masalah di
masyarakat.
Pendekatan struktur yang digunakan dalam kesadaran kritis diharapkan bisa
menghindari blaming of victims dalam mengidentifikasi suatu permasalahan
dan lebih memilih langkah menganalisa suatu problem untuk menyadari bahwa ada yang salah dalam struktur dan sistem sosial,
politik, ekonomi, dan budaya dalam suatu permasalahan.
Untuk menuju pendidikan pembebasan, menurut Mansour Fakih terdapat tiga unsur dasar, yakni guru, peserta didik, dan realitas dunia.[18] Guru dan peserta didik memiliki hubungan pertemanan dengan proses
pembelajaran yang dialogis, bukan top down, sementara realitas dunia adalah medium pembelajarannya. Guru
dan peserta didik harus menjadi subjek pendidikan yang sadar. Guru juga harus
mampu membangun kesadaran kritis peseta didik untuk membaca kepentingan
ideologis maupun politis yang menyelimuti realitas sosial masyarakat lewat
cara-cara yang dialogis dan tidak menggurui.
Berkaca dari apa yang disampaikan oleh Mansour Fakih, maka ada beberapa hal
yang harus diperhatikan dalam upaya pembentukan pendidikan pembebasan. Pertama, pengetahuan (materi pembelajaran). Pengetahuan memang
bersifat subyektif,
karena dibatasi oleh kemampuan indera manusia, maka
sebisa mungkin pengetahuan harus diciptakan sesuai dengan konteks kehidupan
peserta didik yang diperoleh lewat realitas sosial. Pengetahuan yang diajarkan
tidak boleh membuat peserta didik hanya sebagai objek
pengetahuan, namun juga
harus menjadi objek pengetahuan.
Kedua, metode pembelajaran. Metode pembelajaran merupakan hal
terpenting dalam transfer of knowledge. Dalam konteks pendidikan pembebasan, di mana peserta didik juga aktif dalam proses pembelajaran, maka metode
yang digunakan adalah dialogis-partisipatoris (empowerment). Dalam hal ini, peserta didik dan guru sama-sama berupaya memproduksi dan
mengembangkan pengetahuan. Proses berfikir, menyanggah, berdebat untuk
memproduksi pengetahuan menjadi lebih penting dari materi yang disajikan. Hal
ini, sebagai upaya untuk menumbuhkan kemampuan dialektika peserta didik dalam
memahami suatu permasalahan. Metode ini akan menemui kendala pengetahuan yang tidak akan
tersampaikan secara tuntas.
Ketiga, hubungan guru dan murid. Pola konservatif yang berlaku
selama ini adalah guru yang menjadi pusat, murid berada di bawah guru. Hubungan
semacam ini harus diubah, murid harus sejajar dengan guru, keduanya berada pada
posisi sebagai subyek yang sama-sama belajar. Hal ini dilakukan bukan dalam
rangka untuk mengurangi kewibawaan guru, melainkan lebih berorientasi pada
peran guru dalam pengembangan kesadaran kritis peserta didik.
Keempat, reformasi kebijakan pendidikan. Selama ini ada
ketidakjelasan mengenai penggunaan paradigma dalam sistem pendidikan kita.
Untuk mencapai pendidikan pembebasan, maka harus ada
perombakan dari hulu sampai hilir dalam sistem pendidikan kita. Kebijakan hulu
adalah landasan epistemologis yang digunakan oleh pemangku kebijakan dalam
merumuskan hakikat pendidikan, serta hubungan antara pendidikan dengan bidang-bidang kehidupan lain sebagai basis pendidikan pembebasan. Sedangkan kebijakan hilir, adalah eksekusi yang mengacu pada landasan
epistimologis dalam kebijakan hulu. Sayangnya, hal ini akan bisa tercapai jika pemangku kebijakan dalam sisem pendidikan kita bisa
terlepas dari intervensi politik dan tindak korupsi.
Dengan begitu,
cita-cita untuk membangun lembaga pendidikan yang dapat membebaskan warga didik
dari belenggu tiranik, penindasan (mungkin) dapat dilalui. Lembaga pendidikan
tidak pantas membelenggu kebebasan berfikir dan berekspresi bagi warga didiknya,
karena warga didiknya adalah manusia yang tidak pantas diprogram atau
dikontrol, baik fisik maupun nonfisik. Bila lembaga pendidikan sudah mampu
membebaskan diri dari warga didiknya dari belenggu penindasan yang demikian,
maka dipastikan pendidikan tersebut menjadi institusi pembebas. Itu berarti,
lembaga pendidikan menjadi lembaga yang memikirkan dan mempraktikkan
pembebasan.
Konklusi
Pendidikan yang membelenggu dan yang membebaskan, secara singkat
digambarkan sebagai dikotomi model pendidikan yang masing-masing memiliki
karakteristik berbeda dan saling bertentangan. Model yang membelenggu antara
lain memiliki ciri-ciri; guru menanamkan kesadaran yang keliru dengan melakukan
tindakan manipulatif, pendekatan dalam pendidikannya bersifat preskriptif dan
sekedar transfer pengetahuan. Sedangkan model yang membebaskan adalah dengan
mengkondisikan peserta didik agar mengenal kehidupan secara kritis. Pendekatan
yang dipilih bersifat dialogis dan menempatkan pengetahuan sebagai suatu yang
dinamis dalam proses transformasi yang akan diuji dalam kehidupan nyata.
Dikotomi ini sudah barang tentu tidak bersifat statis dan
mutlak, sehingga sangat mungkin pendidikan yang membelenggu pun akan mengalami
transformasi. Tapi sangat tergantung kepada penyelenggara dan pihak yang
terlibat dalam institusi atau lembaga pendidikannya, yaitu apakah mereka
menerima keadaan sebagai takdir yang tidak mungkin diubah kecuali datang
keajaiban, atau justru mereka akan menggugat keadaan yang telah membelenggunya.
Sikap yang tepat sebuah lembaga pendidikan adalah mengubah model pendidikannya
yang membelenggu ke model pendidikan yang membebaskan melalui proses
penyadaran.
Maka dari itu, ketika banyak orang yang menginginkan lembaga
pendidikan menjadi institusi yang mempraktikkan pembebasan adalah sesuatu yang
wajar dan pantas. Karena lembaga pendidikan adalah tempat yang mulai menghargai
dan memberi kebebasan untuk berpendapat dan berekspresi. Penghargaan yang
demikian adalah benih yang mulai tumbuh, dan sebagai sebuah proses. Untuk itu,
kebebasan berfikir, bertindak, berekspresi dan berpendapat secara terus menerus
untuk diperjuangkan dalam proses pendidikan.[]
Referensi:
Ali
Enggineer, Asghar. (1993). Islam dan Pembebasan, terjemahan dari Islam and Its Relevance to our Age, oleh
Hairus Salim HS dan Imam Baehaqy. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
A.
Smith, William. (2001). Conscientientizaco;
Tujuan Pendidikan Paulo Freire, terj. Agung Prihantoro. Yogyakarta:
Pustaka Belajar.
Bowles,
Samuel, dan Gintis, Herbert. (2001). Pendidikan
Revolusioner dalam Menggugat Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fakih et.al,
Mansour. (2001). Pendidikan Populer; Membangun Kesadaran Kritis. Yogyakara:
Pustaka Pelajar.
Freire,
Paulo. (2000). Pendidikan
Kaum Tertindas. Jakarta: LP3ES.
_____.
(2002). Politik Pendidikan, Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan, terj.
Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
_____.
(2008). Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta, LP3ES.
Malaka,
Tan. SI Semarang dan Onderwijs. dalam
http://www.marxist.org.
Patria,
Nazar, dan Arif, Andi. (1999). Antonio
Gramsci; Negara dan Hegemoni. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Salim, Agus.
(2007). Indonesia
Belajarlah! Membangun Pendidikan Indonesia.
Yogyakarta,
Mutiara Wacana.
Zainuddin,
M. (2008). Reformasi Pendidikan; Kritik
Kurikulum dan Manajemen Berbasis Sekolah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[1]
M. Zainuddin, Reformasi
Pendidikan; Kritik Kurikulum dan Manajemen Berbasis Sekolah,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal. 1.
[3]
Mekanisme hegemoni
melalui cuci kesadaran, cuci otak dan cuci pikiran adalah praktik membelanggu
kebebasan manusia secara nonfisik.
[4]
Asghar Ali Enggineer, Islam dan Pembebasan, terjemahan dari Islam and Its Relevance to our Age, oleh
Hairus Salim HS dan Imam Baehaqy, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1993), hal.
73-99.
[5]
Hegemoni adalah cara kelas sosial (pemerintah atau keleompok dominan lainnya)
untuk memperoleh keunggulan (supremacy)
bukan melalui kekerasan, melainkan melalui mekanisme konsensus.
[6]
Nazar Patria dan Andi Arif, Antonio
Gramsci; Negara dan Hegemoni, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hal. 24.
[7]
Samuel Bowles dan Herbert Gintis, Pendidikan
Revolusioner dalam Menggugat Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2001), hal. 428-433.
[8] Istilah Conscientientizaco dapat dideskripsikan
sebagai proses perkembangan seorang yang berubah dari kesadaran magis menuju
kesadaran naif, dan akhirnya sampai pada kesadaran kritis. Istilah tetap
dipertahankan sesuai dengan kata aslinya (bahasa Portugal) untuk menghindari
kebingungan dengan konsep-konsep serupa, namun sesungguhnya berbeda dan untuk
membedakan dengan asal-usulnya.
[9] William A. Smith, Conscientientizaco; Tujuan Pendidikan
Paulo Freire, terj. Agung Prihantoro, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2001),
hal. 54.
[10] Mansour Fakih, et.al., Pendidikan Populer Membangun Pendidikan
Kritis, (Yogyakarta, Pustaka pelajar, 2001), hal. 23-24.
[11]
William A. Smith, Op. Cit., hal. 11-12.
[12] Paulo Friere, Politik Pendidikan, Kebudayaan, Kekuasaan,
dan Pembebasan, terj. Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudiyartanto,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hal. xvii.
[13]
Ibid., hal. xvii-xviii.
[15]
Tan Malaka, SI Semarang dan Onderwijs, dalam: http://www.marxist.org
[16]
Agus Salim, Indonesia Belajarlah!;
Membangun Pendidikan Indonesia, (Yogyakarta,
Mutiara Wacana, 2007), hal. 180.