Prawacana
Salah
satu tokoh dalam filsafat Islam yang mempunyai pengaruh besar pada pemikiran
filsafat dan keagamaan, termasuk di Eropa pada abad-abad pertengahan, adalah
Ibn Rusyd atau Averroes. Pemikiran
dan upayanya untuk mempertemukan agama dan filsafat, diakui sebagai pemikiran
yang luar biasa dan diikuti oleh banyak kalangan. Ketika kita mengkaji sosok
Ibn Rusyd, maka kita akan dihadirkan dengan tokoh pemikiran Islam, salah
satunya al-Ghazali. Ibn Rusyd dikenal sebagai pembela filsuf dan filsafat
Aristoteles dari kesalahan pemahaman al-Farabi dan Ibn Sina, serta dari
serangan kritis al-Ghazali. Dan juga menggunakan logika sebagai metode berpikir
logis dan benar dalam memproduksi pemikiran. Selain itu, Ibn Rusyd juga
menggunakan logika sebagai metode kritik, baik kritik nalar filsafat maupun
kritik nalar syari’at.
Bagi
kaum terpelajar dan intelektual, menyebut nama filosof Muslim seperti Ibn Rusyd
mungkin sama seperti kita sekarang menyebut nama Immanuel Kant. Mengutip Ibn
Sina seperti kita mengutip Charles Darwin, merujuk Ibn Haytham seperti kita
merujuk William Harvey. Pada masanya, tidak ada sarjana di belahan bumi Eropa
maupun lainnya, yang paling memahami Aristoteles selain Ibn Rusyd.
Ibn
Rusyd adalah sarjana Arab Muslim yang beredar dalam ruang-ruang kelas dan
perpustakaan Eropa abad pertengahan. Tidak seperti yang dibayangkan banyak
orang, abad kegelapan (dark ages) tidak sepenuhnya gelap. Zaman
kegelapan adalah penamaan yang agak gegabah untuk menyebut seluruh fase abad
pertengahan. Jika Eropa abad pertengahan betul-betul gelap, bagaimana mungkin
mereka bisa menerima, mendiskusikan dan merayakan tradisi filsafat dan sains
begitu meriah.
Akan
tetapi, kini pamor Ibn Rusyd terus memudar seiring dengan perkembangan filsafat
dan sains modern di Eropa. Sementara nama Ibn Rusyd semakin jarang dirujuk, dan
tergantikan oleh filsuf-filsuf baru yang lebih relevan. Di dunia Barat, pamor
Ibn Rusyd sangat bergantung pada nama besar Aristoteles. Ketika para filsuf dan
saintis modern ramai-ramai mempertanyakan paradigma Aristoteles—khususnya pandangan-pandangan
kosmologisnya—nama Ibn Rusyd turut dipertaruhkan. Kemungkinan, tanpa Ibn Rusyd, filsafat
Aristoteles mungkin tak akan pernah bisa dipahami secara benar oleh orang-orang
Eropa abad pertengahan. Ibn Rusyd lah yang menyadarkan banyak orang bahwa
Aristoteles telah disalahpahami dan dibuat rancu sebegitu rupa, sehingga
Aristoteles yang sampai ke dunia abad pertengahan bukanlah Aristoteles yang
sesungguhnya.
Buku
Tahafut al-Tahafut adalah magnum opus pemikiran Ibn Rusyd, sebaiknya tidak hanya dilihat sebagai
karya polemis berisi isu-isu filsafat dalam Islam. Karya ini harus dipandang sebagai
bagian dari upaya Ibn Rusyd meluruskan kesalahpahaman orang terhadap
Aristoteles. Karena itu, Tahafut
al-Tahafut adalah sebuah panduan praktis dalam memahami doktrin Aristoteles,
khususnya soal-soal metafisika. Tema-tema seperti kausalitas, esensi,
eksistensi, universal, partikular, gerak, sebab, intelek, akal, jiwa dan
keabadian, semua itu dibahas secara tuntas dalam buku ini.
Sekilas
Biografi Ibn Rusyd
Di antara
para filosof Islam, Ibn Rusyd adalah salah seorang tokoh filsafat Islam yang paling dikenal di dunia
Barat dan Timur. Averroes dalam
bahasa Latin, atau yang sering dikenal dengan Ibn Rusyd,[1] nama
lengkapnya adalah Abu al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd, lahir di kota Cordova,
sebuah kota di Andalus (sekarang Spanyol) pada 520H/1126 M, sekitar 15 tahun
setelah wafatnya Abu Hamid al-Ghazali. Ia lahir dan besar dalam lingkungan
keluarga yang mempunyai tradisi intelektual bagus. Ayahnya, Ahmad ibn Muhammad
ibn Rusyd, adalah seorang hakim (qadli) di
Cordova. Sedangkan kakeknya dari jalur ayah, Muhammad ibn Rusyd, adalah hakim agung
(qadli al-qudlat) di Andalusia.[2]
Ibn
Rusyd sendiri dikenal sebagai orang yang mempunyai minat besar pada keilmuan.
Diriwayatkan oleh Ibn Abbar, sejak dewasa Ibn Rusyd tidak pernah absen dari
kegiatan penelitian dan membaca, kecuali pada malam ayahnya meninggal dan malam
pertama perkawinannya. Meski tidak ada data yang lengkap tentang masa kehidupan
awal dan belajarnya, namun melihat posisi keluarga dan karya-karya yang
dihasilkan, Ibn Rusyd dipastikan mempelajari hampir seluruh disiplin ilmu yang
dikenal saat itu. Pada waktu kecil, Ibnu Rusyd sudah mempelajari teologi Islam
menurut konsep Asy’ariyah, mendalami ilmu fiqh menurut mazhab Maliki, bahasa
Arab hingga sya’ir-sya’ir Arab dan kesusastraan, hukum Islam, teologi,
astronomi, kedokteran,[3]
matematika, dan filsafat, yang agaknya dipelajari secara otodidak.[4]
Semasa
hidupnya, Ibn Rusyd pernah memegang jabatan penting, yaitu sebagai hakim pada
tahun 565 H/1169 M, di Seville. Kemudian ia kembali ke Cordova, dan sekitar
sepuluh tahun kemudian diangkat menjadi qadhi.
Ia pun pernah menjadi dokter Istana di Cordova. Dengan penguasaannya terhadap
berbagai disiplin ilmu, sehingga ia mempunyai pengaruh besar di kalangan
Istana, terutama di zaman Sultan Abu Yusuf Ya’qub al-Mansur (1184-1199 M).[5]
Kedudukan yang tinggi dan terhormat baginya, ternyata membawa resiko yang besar
bagi diri Ibn Rusyd. Beberapa ulama dan fuqaha membencinya. Ia dituduh membawa ajaran
filsafat yang menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam.[6]
Khalifah pun terpaksa mengasingkan Ibn Rusyd dan dikurung pada suatu kampung
Yahudi bernama Alisanah.[7]
Setelah
beberapa orang terkemuka dari kota Sevilla dapat meyakinkan Khalifah tentang
kebersihan diri Ibn Rusyd dari tuduhan dan fitnahan tersebut, baru kemudian dapat
dibebaskan. Akan tetapi, tidak lama kemudian fitnahan dan tuduhan kembali dilemparkan pada Ibn Rusyd, akibatnya ia diasingkan ke
negeri Maghribi (Maroko). Buku-buku karangannya semua dibakar, terutama
buku-buku filsafat, kecuali buku-buku kedokteran, astronomi, dan matematika
hingga akhirnya Ibn Rusyd wafat pada 10 Desember 1198 M/9 Shafar 595 H
pada usia 72 tahun, dan dimakamkan di Maroko. Tiga bulan kemudian jenazahnya
dipindahkan di Cordova. Keranda dan sisa-sisa bukunya diangkut kiri kanan
punggung seekor keledai. Ahli tasawuf terkenal Muhyiddin Ibn al-Arabi (w.1240)
menghadiri pemakamannya kembali Ibn Rusyd dan menyelamatkan buku-bukunya.[8]
Karya
Intelektual Ibn Rusyd
Ibn
Rusyd merupakan salah seorang Filsuf Muslim terbesar di Barat, karena pada
masanya filsafat Islam mencapai puncaknya. Ia termasuk tokoh pemikir yang
sangat produktif, meliputi pelbagai disiplin ilmu, seperti filsafat, teologi, fiqh,
hukum, kedokteran, ahli bahasa Arab dan lainnya. Hanya sangat disayangkan,
banyak karyanya yang tidak berhasil ditemukan lagi. Terutama, ketika ia diterpa
fitnah di akhir masa hidupnya karena dorongan dari para ulama-fuqaha, yang menganggap Ibn Rusyd itu sesat dan menyimpang dari ajaran Islam karena pergumulannya dengan
dunia filsafat.
Sebagai
seorang Filsuf Muslim di dunia Islam bagian Barat, Ibn Rusyd juga telah membuat
sebuah karya dalam tulisannya. Karya-karya Ibnu Rusyd benar-benar memuat sudut
pandang ke arah filsafat. Adapun magnum opus-nya yang berhubungan dengan
filsafat adalah Tahafut al-Tahafut, dimana
kitab ini ditulis untuk menyanggah kitab Tahafut
al-Falasifah karya al-Ghazali, dan merupakan kitab yang paling dikenal
dalam dunia filsafat.[9]
Kemudian adalah kitab Fash al-Maqal fi ma
bain al-Hikmat wa al-Syari’ah min al-Ittishal. Dalam Kitab ini, di dalamnya
berisikan tentang hubungan antara filsafat dengan agama. Selanjutnya adalah kitab
Al-Kasyf’an Manahij al-Adillat fi ’Aqa’id
al-Millat, yang berisikan kritik terhadap metode para ahli ilmu kalam dan
sufi, serta Kitab Bidayat al-Mujtahid wa
Nihayat al-Muqtashid, yang di dalamnya mengulas tentang uraian-uraian dalam
bidang fiqh.
Hubungan
Filsafat dan Syari’ah/Agama
Masalah
hubungan filsafat dan syari’ah bukanlah hal baru dalam dunia Islam. Karena pola
hubungan filsafat dan agama benar-benar telah menjadi persoalan krusial pada
masa Ibn Rusyd. Sehingga sebagai pemikir rasional, Ibn Rusyd berusaha
mendudukkan hubungan antar keduanya. Secara lahiriyah, hubungan antara agama
dan filsafat mustahil bertentangan, karena kedua hal ini adalah dua hal yang
seiring sejalan. Filsafat adalah suatu ilmu yang mengedepankan akal dalam
memahami sesuatu, sedang agama adalah aturan Tuhan yang harus dipahami oleh
akal yang dianugrahkan Tuhan kepada manusia untuk menjalankan aturannya.
Sehingga dalam hal ini, Ibn Rusyd tampil membela dan membenarkan kesesuaian dan
harmonisasi antar agama dan filsafat. Berangkat dari asumsi dasarnya, Ibn Rusyd
mengajukan argumentasi bahwa kebenaran agama dan kebenaran filsafat adalah
satu, meskipun dinyatakan dengan lambang yang berbeda-beda.[10] Hal
ini dapat ditangkap dari kata-kata Ibn Rusyd, “karena syari’at itu benar, dan
ia menyeru untuk mempelajari sesuatu kearah yang benar, maka kita (kaum
muslimin) dengan pasti mengetahui pembahasan filsafat tidak akan membawa
pertentangan dengan apa yang diajarkan oleh syara’. Karena semakin mendalam
pemahaman filsafat seseorang, semakin mendalam pula ia mengenal Tuhan. Filsafat
dan syari’at ada dua entitas yang berdiri sendiri, namun keduanya menyatu dalam
kebenaran. Kebenaran tidak bertentangan dengan kebenaran lain, namun selalu
mencocokinya dan bahkan menjadi saksi atasnya”.[11]
Dari
uraian di atas, Ibn Rusyd berusaha mendamaikan filsafat dan agama. Dalam
pandangannya tersebut, sesungguhnya filsafat itu tidak bertentangan dengan syari’at,
karena filsafat sendiri pada hakikatnya merupakan penalaran manusia tentang
alam empiris sebagai dalil adanya pencipta.[12] Dengan
demikian, kerja filsafat pada hakikatnya adalah untuk mengenal Tuhan sebagai
pencipta alam. Di sisi lain, syari’at sendiri mendorong manusia untuk
mengadakan penalaran dan perenungan terhadap semua wujud ini, dan telah
memerintahkan dan mendorong kita untuk mempelajari segala yang ada. Sehingga menurut
syara’, pengertian demikian menunjukkan bahwa mempelajari filsafat itu adalah
perintah wajib atau perintah anjuran.
Dari
penjelasannya, Ibn Rusyd menyimpulkan bahwa berfilsafat sebenarnya tidaklah
dilarang oleh syari’at dan bahkan diperintahkan, setidak-tidaknya dianjurkan.
Hal ini didukung dengan ayat al-Qur’an yang banyak memerintahkan manusia untuk
menalar dan merenungi fenomena alam dengan memakai afala ta’qilun, afala tatafakkarun, afala yanzhurun, dan sebagainya.
Selanjutnya,
Ibn Rusyd menandaskan bahwa pembahasan demonstratif dituntut oleh syara’, dan
yang dimaksud dengan pembahasan demonstratif itu tidak lain adalah filsafat itu
sendiri. Lebih jelasnya, yang dimaksud filsafat di sini adalah filsafat Yunani,
khususnya filsafat Aristetoles[13]
yang tidak berlatarbelakang tauhid. Ibn Rusyd berpendapat bahwa didalam kata syara’,
terdapat makna lahir dan makna batin. Ada yang telah jelas memberikan
pengertian tanpa memerlukan interpretasi (ta’wil),
dan ada pula yang memerlukan interpretasi. Kata yang makna lahirnya sejalan
dengan kebenaran filsafat tidak memerlukan interpretasi, dan kata yang lahirnya
bertentangan dengan kebenaran filsafat harus di ta’wil. Yang berhak memberi interpretasi (menta’wil) hanyalah mereka yang memang memiliki kemampuan untuk itu,
khususnya para filosof.[14]
Sehingga dalam hal dan usahanya untuk menyesuaikan agama dengan filsafat, harus
di dasari pada empat prinsip dasar. Pertama,
keharusan berfilsafat menurut syara’. Kedua,
pengertian lahir, pengertian batin, serta keharusan ta’wil. Ketiga, aturan-aturan dan kaidah ta’wil.
Keempat, pertalian akal dengan wahyu.
Intisari
Tahafut al-Tahafut
Buku
Tahafut al-Tahafut yang di tulis oleh
Ibn Rusyd adalah dalam rangka menanggapi serangan al-Ghazali melalui bukunya Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para
Filsuf). Dalam buku Tahafut al-Tahafut
ini, Ibn Rusyd hendak merekonstruksi pelbagai pandangan filsafat sejati,
sebagaimana yang ia temukan dalam karya pemikiran Aristoteles, dan berusaha menolak
kesalahan yang dibawa oleh para filsuf Platonik yang dianggapnya merusak
pemikiran Aristoteles. Lebih jauh, Ibn Rusyd melihat bahwa apa yang disebut al-Ghazali—dalam
Tahafut al-Falasifah—bukanlah semua filsuf, melainkan filsuf yang berpikiran
Neo-Platonik, meski al-Ghazali memandang semua filsuf mulai dari Aristoteles sampai
Ibn Sina adalah sama. Di sinilah, Ibn Rusyd melihat bahwa justru pandangan al-Ghazali
yang dituangkan dalam buku Tahafut
al-Falasifah itu yang rancu.[15]
Ibn
Rusyd menyajikan dalam buku ini dengan membahasnya hampir setiap kajian Ibn
Rusyd didahului dengan pengutipan masalah yang ditulis oleh al-Ghazali pada
umumnya ditandai dengan kalimat qala Abu Hamid
(al-Ghazali mengatakan), dan tanggapan Ibn Rusyd pada umumnya ditandai dengan
kalimat qultu (saya mengatakan).
Dari
pokok persoalan dalam buku Tahafut al-Falasifah
yang dikemukakan al-Ghazali, dikaji poin per poin oleh Ibn Rusyd. Terdapat
tidak kurang dari 221 masalah dalam buku Tahafut
al-Falasifah yang ditinjau oleh Ibn Rusyd, ternyata tidak semua masalah
yang dibahas oleh al-Ghazali disanggah oleh Ibn Rusyd, melainkan ada beberapa
di antara penilaian atau penolakan al-Ghazali yang dibenarkan oleh Ibn Rusyd.
Hal ini menunjukkan bahwa buku Tahafut
al-Tahafut tidak semua pembahasannya merupakan penolakan terhadap tulisan al-Ghazali,
meski diakui bahwa sebagian besar merupakan tinjauan kritis Ibn Rusyd terhadap pandangan
al-Ghazali.[16]
Dapat
dikemukakan di sini bahwa al-Ghazali menamai bukunya dengan Tahafut al-Falasifah, yang berarti
kerancuan berpikir para filsuf, karena ia melihat banyak pemikiran para filsuf
yang bertentangan dengan prinsip-prinsip agama. Al-Ghazali mengomentari dalam
masalah metafisika, karena banyaknya masalah yang dikupas para filsuf itu yang
salah dan sedikit yang benar. Sementara dalam masalah fisika, di dalamnya
tercampur antara yang benar dan yang salah, maka tidak mungkin mengambil
ketetapan berdasarkan pandangan umum saja. Al-Ghazali mengkritik para filsuf
karena kelemahan argumen mereka dalam 17 persoalan karena bertentangan dengan prinsip-prinsip
Islam sebanyak tiga masalah pokok.[17]
Selanjutnya,
berbeda dengan al-Ghazali dalam menamakan bukunya, Ibn Rusyd mengambil nama
dari judul buku al-Ghazali, Tahafut
al-Tahafut (Kerancuan buku yang ditulis Al-Ghazali bernama Tahafut al-Falasifah). Jika dibandingkan
dengan cara penyajian masalah, al-Ghazali—sebagaimana pernyataannya dalam
pendahuluan bukunya—didasarkan pada apa yang ia temukan pada karya dua filsuf
muslim (al-Farabi dan Ibn Sina). Hal ini karena menurut al-Ghazali keduanya
merupakan orang yang paling condong ke pemikiran Aristoteles. Jadi yang
dimaksud dengan kata “al-falasifah” adalah
al-Farabi dan Ibn Sina. Karena itulah, Ibn Rusyd menilai al-Ghazali unfair dengan
menyebut kerancuan atau inkonsistensi para filsuf, padahal informasi yang ia
peroleh hanya berasal dari sumber sekunder, tanpa berusaha melacak dari sumber
primer langsung sebagai objek yang dikritiknya, yakni Aristoteles. Selanjutnya,
jika al-Ghazali mengakui bahwa al-Farabi dan Ibn Sina bagian dari para filsuf,
mengapa ia melakukan generalisasi dengan menyebut al-falasifah, dan tidak menyebut
sebagian atau al-failasufani saja.
Di
titik inilah, Ibn Rusyd menilai al-Ghazali telah melakukan generalisasi dalam
menamai judul bukunya. Menurut Ibn Rusyd, akan lebih tepat jika al-Ghazali
menamakannya Tahafut al-Farabi, atau Tahafut Ibn Sina. Sebab, yang dibaca dan
kemudian dikomentari oleh al-Ghazali adalah apa yang bersumber dari al-Farabi
dan Ibn Sina, bukan dari para filsuf yang disebutnya secara umum dalam bukunya
tersebut. Padahal, menurut Ibn Rusyd, banyak hal yang dikutip oleh al-Ghazali
tidak benar dari Ibn Sina, yang pendapat tersebut disebutnya sebagai pendapat
para filsuf, termasuk kepada Aristoteles. Kritik juga ditujukan kepada
al-Farabi, karena beberapa kesalahan yang dibuatnya terkait dengan pendapat
para filsuf Yunani, seperti Plato dan Aristoteles.
Sementara
itu, Ibn Rusyd tampak lebih hati-hati dalam menamakan judul bukunya. Ia tahu
bahwa al-Ghazali adalah seorang ulama dan pemikir terkemuka yang memiliki
banyak karya. Karena yang ia kritik hanya satu bukunya berjudul Tahafut al-Falasifah saja, maka ia tidak
ingin menggunakan kata Tahafut al-Ghazali
(Kerancuan al-Ghazali) untuk menamakan judul bukunya sebagai kritik, seperti al-Ghazali
yang menggunakan kata-kata “Kerancuan Para Filsuf”, melainkan dengan cerdik dan
tendensius Ibn Rusyd memilih judul karyanya dengan Tahafut Kitab al-Ghazali al-Musamma bi Tahafut al Falasifah, yang
disingkat dengan Tahafut al-Tahafut.
Konklusi
Ibn
Rusyd telah menampilkan dirinya sebagai sosok filsuf yang responsif dan kritis
terhadap masalah-masalah keagamaan. Kritik yang dilakukannya didasarkan pada
pemahamannya yang mendalam terhadap teks wahyu dan filsafat Aristoteles.
Sebagaimana diakuinya, orang yang paling berjasa dan memberi pengaruh
intelektual berdasar pada spirit kritik adalah al-Ghazali. Karena Ibn Rusyd
melakukan review secara cermat dan intens terhadap serangan al-Ghazali, serta
berusaha untuk melakukan pelurusan pemahaman filsafat dari infiltrasi dan
distorsi terhadap pendapat Aristoteles.
Pada
sisi yang lain bahwa rasionalitas Ibn Rusyd ternyata tidak menyebabkan dia
terperangkap dalam hegemoni liberal keagamaan. Karena pemahaman filsafatnya
berupaya untuk mengintegrasikan pemahaman antara filsafat dan agama, di mana
posisi filsafat dapat berperan dalam memperkuat argumen, pandangan, serta
pemahaman manusia terhadap agama dengan diperkuat adanya wahyu yang memiliki makna
lahir dan makna batin. Untuk mengupas makna itulah sehingga dibutuhkan filsafat
sebagai alat untuk memahami kandungannya.
Referensi:
Ahmad Daudy. 1986. Kuliah
Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
A. Hanafi. 1069. Pengantar
Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Harun Nasution. 1973. Filsafat
dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
JMW. Bakker Sy. 1978. Sejarah
Filsafat dalam Islam. Yogyakarta: Kanisius.
Maftukhin. 2012. Filsafat Islam.
Yogyakarta: Teras.
Majid Fakhry. 2001. Sejarah Filsafat Islam; Sebuah Peta
Kronologis, terj. Zainul Am. Bandung: Mizan.
Nurcholish Madjid, ed. 1984.
Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Harun
Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam
Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 154.
Memang,
al-Ghazali memfokuskan kritiknya terhadap Aristoteles, namun karena para
penerjemah karya-karya Aristoteles itu tak terlepas dari pelbagai kesalahan
dalam interpretasi, sehingga banyak menimbulkan perbedaan yang sangat tajam.
Dan menurut al-Ghazali, di antara filsuf muslim yang terbaik dalam menyalin dan
menyunting pandangan Aristoteles adalah al-Farabi dan Ibn Sina. Oleh karena
itu, untuk menolak dan mengkritik pandangan Aristoteles, cukup mengutipnya dari
kedua filsuf muslim tersebut.
Ibnu Rusyd menjawab tuduhan al-Ghazali yang mengkafirkan
filosof muslim pada tiga masalah pokok, yaitu keqadiman alam, kebangkitan
jasmaniyah tidak ada, dan pengetahuan Tuhan hanya bersifat kulliy.