Sunday, July 21, 2019

PENDIDIKAN ISLAM KRITIS, PLURALIS DAN KONTEKSTUAL



Judul                        : Pendidikan Islam Kritis, Pluralis dan Kontekstual
Penulis                       : Mizanul Akrom
Editor                         : Kezia
Halaman                    : 313 hlm, 14 x 21 cm
ISBN                           : 978-623-7242-12-3
Diterbitkan Oleh      : CV Mudilan Group
Cetakan pertama, 2019

*****
Buku ini hadir, sebenarnya berawal dari upaya penulis dalam membangun paradigma kritis bagi pendidikan Islam. Tujuannya adalah agar peserta didik sebagai manusia yang bercirikan manusia khalifatullah, yang siap menghadapi berbagai tantangan kehidupan. Manusia dengan kategori ini harus dibekali dengan daya kreatif, etis dan kritis. Tidak hanya secara normatif-teologis, tetapi juga pada ranah empiris.

Selain daripada itu, pendidikan Islam harus membangun paradigma kependidikannya menuju paradigma pendidikan pluralis. Karena pendidikan agama, baik di sekolah umum maupun sekolah agama, lebih bercorak eksklusif, di mana agama diajarkan dengan cara menafikan hak hidup agama lain, yang seakan-akan hanya agama sendiri itu paling benar dan mempunyai hak hidup, sementara agama yang lain itu salah, tersesat dan terancam hak hidupnya. Karenanya, menjadi keharusan bagi dunia pendidikan Islam untuk mengembangkan moralitas universal yang ada dalam agama-agama dengan membangun paradigma pendidikan pluralis.

Selanjutnya, masyarakat saat ini sudah mulai tersadarkan dengan ketidakpuasannya terhadap dunia pendidikan, karena ketidakmampuan pendidikan dalam mengantisipasi berbagai problem sosial yang mengemuka di era globalisasi dan teknologi-informasi seperti sekarang ini. Itu semua tidak lain karena paradigma kependidikannya yang sudah tidak relevan dengan realitas dan konteks zaman yang sedang berkembang.[]
*****
Penulisan buku ini akan mengantarkan kita pada diskursus wacana pendidikan Islam yang kontekstual. Mulai dari sentuhan pendidikan Islam dengan paradigma pendidikan kritis, paradigma pendidikan pluralis hingga problematika pendidikan Islam dalam pusaran arus globalisasi dan teknologi-informasi sekarang ini.
Selamat berdialektika


Monday, July 08, 2019

FILSAFAT IBN RUSYD

FILSAFAT IBN RUSYD
Prawacana
Salah satu tokoh dalam filsafat Islam yang mempunyai pengaruh besar pada pemikiran filsafat dan keagamaan, termasuk di Eropa pada abad-abad pertengahan, adalah Ibn Rusyd atau Averroes. Pemikiran dan upayanya untuk mempertemukan agama dan filsafat, diakui sebagai pemikiran yang luar biasa dan diikuti oleh banyak kalangan. Ketika kita mengkaji sosok Ibn Rusyd, maka kita akan dihadirkan dengan tokoh pemikiran Islam, salah satunya al-Ghazali. Ibn Rusyd dikenal sebagai pembela filsuf dan filsafat Aristoteles dari kesalahan pemahaman al-Farabi dan Ibn Sina, serta dari serangan kritis al-Ghazali. Dan juga menggunakan logika sebagai metode berpikir logis dan benar dalam memproduksi pemikiran. Selain itu, Ibn Rusyd juga menggunakan logika sebagai metode kritik, baik kritik nalar filsafat maupun kritik nalar syari’at.
Bagi kaum terpelajar dan intelektual, menyebut nama filosof Muslim seperti Ibn Rusyd mungkin sama seperti kita sekarang menyebut nama Immanuel Kant. Mengutip Ibn Sina seperti kita mengutip Charles Darwin, merujuk Ibn Haytham seperti kita merujuk William Harvey. Pada masanya, tidak ada sarjana di belahan bumi Eropa maupun lainnya, yang paling memahami Aristoteles selain Ibn Rusyd.
Ibn Rusyd adalah sarjana Arab Muslim yang beredar dalam ruang-ruang kelas dan perpustakaan Eropa abad pertengahan. Tidak seperti yang dibayangkan banyak orang, abad kegelapan (dark ages) tidak sepenuhnya gelap. Zaman kegelapan adalah penamaan yang agak gegabah untuk menyebut seluruh fase abad pertengahan. Jika Eropa abad pertengahan betul-betul gelap, bagaimana mungkin mereka bisa menerima, mendiskusikan dan merayakan tradisi filsafat dan sains begitu meriah.
Akan tetapi, kini pamor Ibn Rusyd terus memudar seiring dengan perkembangan filsafat dan sains modern di Eropa. Sementara nama Ibn Rusyd semakin jarang dirujuk, dan tergantikan oleh filsuf-filsuf baru yang lebih relevan. Di dunia Barat, pamor Ibn Rusyd sangat bergantung pada nama besar Aristoteles. Ketika para filsuf dan saintis modern ramai-ramai mempertanyakan paradigma Aristoteles—khususnya pandangan-pandangan kosmologisnya—nama Ibn Rusyd turut dipertaruhkan. Kemungkinan, tanpa Ibn Rusyd, filsafat Aristoteles mungkin tak akan pernah bisa dipahami secara benar oleh orang-orang Eropa abad pertengahan. Ibn Rusyd lah yang menyadarkan banyak orang bahwa Aristoteles telah disalahpahami dan dibuat rancu sebegitu rupa, sehingga Aristoteles yang sampai ke dunia abad pertengahan bukanlah Aristoteles yang sesungguhnya.
Buku Tahafut al-Tahafut adalah magnum opus pemikiran Ibn Rusyd, sebaiknya tidak hanya dilihat sebagai karya polemis berisi isu-isu filsafat dalam Islam. Karya ini harus dipandang sebagai bagian dari upaya Ibn Rusyd meluruskan kesalahpahaman orang terhadap Aristoteles. Karena itu, Tahafut al-Tahafut adalah sebuah panduan praktis dalam memahami doktrin Aristoteles, khususnya soal-soal metafisika. Tema-tema seperti kausalitas, esensi, eksistensi, universal, partikular, gerak, sebab, intelek, akal, jiwa dan keabadian, semua itu dibahas secara tuntas dalam buku ini.
Sekilas Biografi Ibn Rusyd
Di antara para filosof Islam, Ibn Rusyd adalah salah seorang tokoh filsafat Islam yang paling dikenal di dunia Barat dan Timur. Averroes dalam bahasa Latin, atau yang sering dikenal dengan Ibn Rusyd,[1] nama lengkapnya adalah Abu al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd, lahir di kota Cordova, sebuah kota di Andalus (sekarang Spanyol) pada 520H/1126 M, sekitar 15 tahun setelah wafatnya Abu Hamid al-Ghazali. Ia lahir dan besar dalam lingkungan keluarga yang mempunyai tradisi intelektual bagus. Ayahnya, Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd, adalah seorang hakim (qadli) di Cordova. Sedangkan kakeknya dari jalur ayah, Muhammad ibn Rusyd, adalah hakim agung (qadli al-qudlat) di Andalusia.[2]
Ibn Rusyd sendiri dikenal sebagai orang yang mempunyai minat besar pada keilmuan. Diriwayatkan oleh Ibn Abbar, sejak dewasa Ibn Rusyd tidak pernah absen dari kegiatan penelitian dan membaca, kecuali pada malam ayahnya meninggal dan malam pertama perkawinannya. Meski tidak ada data yang lengkap tentang masa kehidupan awal dan belajarnya, namun melihat posisi keluarga dan karya-karya yang dihasilkan, Ibn Rusyd dipastikan mempelajari hampir seluruh disiplin ilmu yang dikenal saat itu. Pada waktu kecil, Ibnu Rusyd sudah mempelajari teologi Islam menurut konsep Asy’ariyah, mendalami ilmu fiqh menurut mazhab Maliki, bahasa Arab hingga sya’ir-sya’ir Arab dan kesusastraan, hukum Islam, teologi, astronomi, kedokteran,[3] matematika, dan filsafat, yang agaknya dipelajari secara otodidak.[4]
Semasa hidupnya, Ibn Rusyd pernah memegang jabatan penting, yaitu sebagai hakim pada tahun 565 H/1169 M, di Seville. Kemudian ia kembali ke Cordova, dan sekitar sepuluh tahun kemudian diangkat menjadi qadhi. Ia pun pernah menjadi dokter Istana di Cordova. Dengan penguasaannya terhadap berbagai disiplin ilmu, sehingga ia mempunyai pengaruh besar di kalangan Istana, terutama di zaman Sultan Abu Yusuf Ya’qub al-Mansur (1184-1199 M).[5] Kedudukan yang tinggi dan terhormat baginya, ternyata membawa resiko yang besar bagi diri Ibn Rusyd. Beberapa ulama dan fuqaha membencinya. Ia dituduh membawa ajaran filsafat yang menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam.[6] Khalifah pun terpaksa mengasingkan Ibn Rusyd dan dikurung pada suatu kampung Yahudi bernama Alisanah.[7]
Setelah beberapa orang terkemuka dari kota Sevilla dapat meyakinkan Khalifah tentang kebersihan diri Ibn Rusyd dari tuduhan dan fitnahan tersebut, baru kemudian dapat dibebaskan. Akan tetapi, tidak lama kemudian fitnahan dan tuduhan kembali dilemparkan pada Ibn Rusyd, akibatnya ia diasingkan ke negeri Maghribi (Maroko). Buku-buku karangannya semua dibakar, terutama buku-buku filsafat, kecuali buku-buku kedokteran, astronomi, dan matematika hingga akhirnya Ibn Rusyd wafat pada 10 Desember 1198 M/9 Shafar 595 H pada usia 72 tahun, dan dimakamkan di Maroko. Tiga bulan kemudian jenazahnya dipindahkan di Cordova. Keranda dan sisa-sisa bukunya diangkut kiri kanan punggung seekor keledai. Ahli tasawuf terkenal Muhyiddin Ibn al-Arabi (w.1240) menghadiri pemakamannya kembali Ibn Rusyd dan menyelamatkan buku-bukunya.[8]
Karya Intelektual Ibn Rusyd
Ibn Rusyd merupakan salah seorang Filsuf Muslim terbesar di Barat, karena pada masanya filsafat Islam mencapai puncaknya. Ia termasuk tokoh pemikir yang sangat produktif, meliputi pelbagai disiplin ilmu, seperti filsafat, teologi, fiqh, hukum, kedokteran, ahli bahasa Arab dan lainnya. Hanya sangat disayangkan, banyak karyanya yang tidak berhasil ditemukan lagi. Terutama, ketika ia diterpa fitnah di akhir masa hidupnya karena dorongan dari para ulama-fuqaha, yang menganggap Ibn Rusyd itu sesat dan menyimpang dari ajaran Islam karena pergumulannya dengan dunia filsafat.
Sebagai seorang Filsuf Muslim di dunia Islam bagian Barat, Ibn Rusyd juga telah membuat sebuah karya dalam tulisannya. Karya-karya Ibnu Rusyd benar-benar memuat sudut pandang ke arah filsafat. Adapun magnum opus-nya yang berhubungan dengan filsafat adalah Tahafut al-Tahafut, dimana kitab ini ditulis untuk menyanggah kitab Tahafut al-Falasifah karya al-Ghazali, dan merupakan kitab yang paling dikenal dalam dunia filsafat.[9] Kemudian adalah kitab Fash al-Maqal fi ma bain al-Hikmat wa al-Syari’ah min al-Ittishal. Dalam Kitab ini, di dalamnya berisikan tentang hubungan antara filsafat dengan agama. Selanjutnya adalah kitab Al-Kasyf’an Manahij al-Adillat fi ’Aqa’id al-Millat, yang berisikan kritik terhadap metode para ahli ilmu kalam dan sufi, serta Kitab Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, yang di dalamnya mengulas tentang uraian-uraian dalam bidang fiqh.
Hubungan Filsafat dan Syari’ah/Agama
Masalah hubungan filsafat dan syari’ah bukanlah hal baru dalam dunia Islam. Karena pola hubungan filsafat dan agama benar-benar telah menjadi persoalan krusial pada masa Ibn Rusyd. Sehingga sebagai pemikir rasional, Ibn Rusyd berusaha mendudukkan hubungan antar keduanya. Secara lahiriyah, hubungan antara agama dan filsafat mustahil bertentangan, karena kedua hal ini adalah dua hal yang seiring sejalan. Filsafat adalah suatu ilmu yang mengedepankan akal dalam memahami sesuatu, sedang agama adalah aturan Tuhan yang harus dipahami oleh akal yang dianugrahkan Tuhan kepada manusia untuk menjalankan aturannya. Sehingga dalam hal ini, Ibn Rusyd tampil membela dan membenarkan kesesuaian dan harmonisasi antar agama dan filsafat. Berangkat dari asumsi dasarnya, Ibn Rusyd mengajukan argumentasi bahwa kebenaran agama dan kebenaran filsafat adalah satu, meskipun dinyatakan dengan lambang yang berbeda-beda.[10] Hal ini dapat ditangkap dari kata-kata Ibn Rusyd, “karena syari’at itu benar, dan ia menyeru untuk mempelajari sesuatu kearah yang benar, maka kita (kaum muslimin) dengan pasti mengetahui pembahasan filsafat tidak akan membawa pertentangan dengan apa yang diajarkan oleh syara’. Karena semakin mendalam pemahaman filsafat seseorang, semakin mendalam pula ia mengenal Tuhan. Filsafat dan syari’at ada dua entitas yang berdiri sendiri, namun keduanya menyatu dalam kebenaran. Kebenaran tidak bertentangan dengan kebenaran lain, namun selalu mencocokinya dan bahkan menjadi saksi atasnya”.[11]
Dari uraian di atas, Ibn Rusyd berusaha mendamaikan filsafat dan agama. Dalam pandangannya tersebut, sesungguhnya filsafat itu tidak bertentangan dengan syari’at, karena filsafat sendiri pada hakikatnya merupakan penalaran manusia tentang alam empiris sebagai dalil adanya pencipta.[12] Dengan demikian, kerja filsafat pada hakikatnya adalah untuk mengenal Tuhan sebagai pencipta alam. Di sisi lain, syari’at sendiri mendorong manusia untuk mengadakan penalaran dan perenungan terhadap semua wujud ini, dan telah memerintahkan dan mendorong kita untuk mempelajari segala yang ada. Sehingga menurut syara’, pengertian demikian menunjukkan bahwa mempelajari filsafat itu adalah perintah wajib atau perintah anjuran.
Dari penjelasannya, Ibn Rusyd menyimpulkan bahwa berfilsafat sebenarnya tidaklah dilarang oleh syari’at dan bahkan diperintahkan, setidak-tidaknya dianjurkan. Hal ini didukung dengan ayat al-Qur’an yang banyak memerintahkan manusia untuk menalar dan merenungi fenomena alam dengan memakai afala ta’qilun, afala tatafakkarun, afala yanzhurun, dan sebagainya.
Selanjutnya, Ibn Rusyd menandaskan bahwa pembahasan demonstratif dituntut oleh syara’, dan yang dimaksud dengan pembahasan demonstratif itu tidak lain adalah filsafat itu sendiri. Lebih jelasnya, yang dimaksud filsafat di sini adalah filsafat Yunani, khususnya filsafat Aristetoles[13] yang tidak berlatarbelakang tauhid. Ibn Rusyd berpendapat bahwa didalam kata syara’, terdapat makna lahir dan makna batin. Ada yang telah jelas memberikan pengertian tanpa memerlukan interpretasi (ta’wil), dan ada pula yang memerlukan interpretasi. Kata yang makna lahirnya sejalan dengan kebenaran filsafat tidak memerlukan interpretasi, dan kata yang lahirnya bertentangan dengan kebenaran filsafat harus di ta’wil. Yang berhak memberi interpretasi (menta’wil) hanyalah mereka yang memang memiliki kemampuan untuk itu, khususnya para filosof.[14] Sehingga dalam hal dan usahanya untuk menyesuaikan agama dengan filsafat, harus di dasari pada empat prinsip dasar. Pertama, keharusan berfilsafat menurut syara’. Kedua, pengertian lahir, pengertian batin, serta keharusan ta’wil. Ketiga, aturan-aturan dan kaidah ta’wil. Keempat, pertalian akal dengan wahyu.
Intisari Tahafut al-Tahafut
Buku Tahafut al-Tahafut yang di tulis oleh Ibn Rusyd adalah dalam rangka menanggapi serangan al-Ghazali melalui bukunya Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf). Dalam buku Tahafut al-Tahafut ini, Ibn Rusyd hendak merekonstruksi pelbagai pandangan filsafat sejati, sebagaimana yang ia temukan dalam karya pemikiran Aristoteles, dan berusaha menolak kesalahan yang dibawa oleh para filsuf Platonik yang dianggapnya merusak pemikiran Aristoteles. Lebih jauh, Ibn Rusyd melihat bahwa apa yang disebut al-Ghazali—dalam Tahafut al-Falasifah—bukanlah semua filsuf, melainkan filsuf yang berpikiran Neo-Platonik, meski al-Ghazali memandang semua filsuf mulai dari Aristoteles sampai Ibn Sina adalah sama. Di sinilah, Ibn Rusyd melihat bahwa justru pandangan al-Ghazali yang dituangkan dalam buku Tahafut al-Falasifah itu yang rancu.[15]
Ibn Rusyd menyajikan dalam buku ini dengan membahasnya hampir setiap kajian Ibn Rusyd didahului dengan pengutipan masalah yang ditulis oleh al-Ghazali pada umumnya ditandai dengan kalimat qala Abu Hamid (al-Ghazali mengatakan), dan tanggapan Ibn Rusyd pada umumnya ditandai dengan kalimat qultu (saya mengatakan).
Dari pokok persoalan dalam buku Tahafut al-Falasifah yang dikemukakan al-Ghazali, dikaji poin per poin oleh Ibn Rusyd. Terdapat tidak kurang dari 221 masalah dalam buku Tahafut al-Falasifah yang ditinjau oleh Ibn Rusyd, ternyata tidak semua masalah yang dibahas oleh al-Ghazali disanggah oleh Ibn Rusyd, melainkan ada beberapa di antara penilaian atau penolakan al-Ghazali yang dibenarkan oleh Ibn Rusyd. Hal ini menunjukkan bahwa buku Tahafut al-Tahafut tidak semua pembahasannya merupakan penolakan terhadap tulisan al-Ghazali, meski diakui bahwa sebagian besar merupakan tinjauan kritis Ibn Rusyd terhadap pandangan al-Ghazali.[16]
Dapat dikemukakan di sini bahwa al-Ghazali menamai bukunya dengan Tahafut al-Falasifah, yang berarti kerancuan berpikir para filsuf, karena ia melihat banyak pemikiran para filsuf yang bertentangan dengan prinsip-prinsip agama. Al-Ghazali mengomentari dalam masalah metafisika, karena banyaknya masalah yang dikupas para filsuf itu yang salah dan sedikit yang benar. Sementara dalam masalah fisika, di dalamnya tercampur antara yang benar dan yang salah, maka tidak mungkin mengambil ketetapan berdasarkan pandangan umum saja. Al-Ghazali mengkritik para filsuf karena kelemahan argumen mereka dalam 17 persoalan karena bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam sebanyak tiga masalah pokok.[17]
Selanjutnya, berbeda dengan al-Ghazali dalam menamakan bukunya, Ibn Rusyd mengambil nama dari judul buku al-Ghazali, Tahafut al-Tahafut (Kerancuan buku yang ditulis Al-Ghazali bernama Tahafut al-Falasifah). Jika dibandingkan dengan cara penyajian masalah, al-Ghazali—sebagaimana pernyataannya dalam pendahuluan bukunya—didasarkan pada apa yang ia temukan pada karya dua filsuf muslim (al-Farabi dan Ibn Sina). Hal ini karena menurut al-Ghazali keduanya merupakan orang yang paling condong ke pemikiran Aristoteles. Jadi yang dimaksud dengan kata “al-falasifah” adalah al-Farabi dan Ibn Sina. Karena itulah, Ibn Rusyd menilai al-Ghazali unfair dengan menyebut kerancuan atau inkonsistensi para filsuf, padahal informasi yang ia peroleh hanya berasal dari sumber sekunder, tanpa berusaha melacak dari sumber primer langsung sebagai objek yang dikritiknya, yakni Aristoteles. Selanjutnya, jika al-Ghazali mengakui bahwa al-Farabi dan Ibn Sina bagian dari para filsuf, mengapa ia melakukan generalisasi dengan menyebut al-falasifah, dan tidak menyebut sebagian atau al-failasufani saja.
Di titik inilah, Ibn Rusyd menilai al-Ghazali telah melakukan generalisasi dalam menamai judul bukunya. Menurut Ibn Rusyd, akan lebih tepat jika al-Ghazali menamakannya Tahafut al-Farabi, atau Tahafut Ibn Sina. Sebab, yang dibaca dan kemudian dikomentari oleh al-Ghazali adalah apa yang bersumber dari al-Farabi dan Ibn Sina, bukan dari para filsuf yang disebutnya secara umum dalam bukunya tersebut. Padahal, menurut Ibn Rusyd, banyak hal yang dikutip oleh al-Ghazali tidak benar dari Ibn Sina, yang pendapat tersebut disebutnya sebagai pendapat para filsuf, termasuk kepada Aristoteles. Kritik juga ditujukan kepada al-Farabi, karena beberapa kesalahan yang dibuatnya terkait dengan pendapat para filsuf Yunani, seperti Plato dan Aristoteles.
Sementara itu, Ibn Rusyd tampak lebih hati-hati dalam menamakan judul bukunya. Ia tahu bahwa al-Ghazali adalah seorang ulama dan pemikir terkemuka yang memiliki banyak karya. Karena yang ia kritik hanya satu bukunya berjudul Tahafut al-Falasifah saja, maka ia tidak ingin menggunakan kata Tahafut al-Ghazali (Kerancuan al-Ghazali) untuk menamakan judul bukunya sebagai kritik, seperti al-Ghazali yang menggunakan kata-kata “Kerancuan Para Filsuf”, melainkan dengan cerdik dan tendensius Ibn Rusyd memilih judul karyanya dengan Tahafut Kitab al-Ghazali al-Musamma bi Tahafut al Falasifah, yang disingkat dengan Tahafut al-Tahafut.
Konklusi
Ibn Rusyd telah menampilkan dirinya sebagai sosok filsuf yang responsif dan kritis terhadap masalah-masalah keagamaan. Kritik yang dilakukannya didasarkan pada pemahamannya yang mendalam terhadap teks wahyu dan filsafat Aristoteles. Sebagaimana diakuinya, orang yang paling berjasa dan memberi pengaruh intelektual berdasar pada spirit kritik adalah al-Ghazali. Karena Ibn Rusyd melakukan review secara cermat dan intens terhadap serangan al-Ghazali, serta berusaha untuk melakukan pelurusan pemahaman filsafat dari infiltrasi dan distorsi terhadap pendapat Aristoteles.
Pada sisi yang lain bahwa rasionalitas Ibn Rusyd ternyata tidak menyebabkan dia terperangkap dalam hegemoni liberal keagamaan. Karena pemahaman filsafatnya berupaya untuk mengintegrasikan pemahaman antara filsafat dan agama, di mana posisi filsafat dapat berperan dalam memperkuat argumen, pandangan, serta pemahaman manusia terhadap agama dengan diperkuat adanya wahyu yang memiliki makna lahir dan makna batin. Untuk mengupas makna itulah sehingga dibutuhkan filsafat sebagai alat untuk memahami kandungannya.

Referensi:

Ahmad Daudy. 1986. Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
A. Hanafi. 1069. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Harun Nasution. 1973. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
JMW. Bakker Sy. 1978. Sejarah Filsafat dalam Islam. Yogyakarta: Kanisius.
Maftukhin. 2012. Filsafat Islam. Yogyakarta: Teras.
Majid Fakhry. 2001. Sejarah Filsafat Islam; Sebuah Peta Kronologis, terj. Zainul Am. Bandung: Mizan.
Nurcholish Madjid, ed. 1984. Khazanah Intelektual Islam. Jakarta: Bulan Bintang.



[1] Nama Ibn Rusyd dipergunakan oleh kakeknya (Ibn Rusyd al-Jaad), juga dipergunakan oleh Ayahnya (Ibn Rusyd al-Ibn), dan oleh Ibn Rusyd sendiri (al-Hafiz). Ibn Rusyd inilah yang sekarang kita kaji pemikiran filsafatnya.
[2] Maftukhin, Filsafat Islam, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 192.
[3] Ibn Rusyd adalah orang pertama yang menerangkan fungsi retina, dan orang pertama yang menjelaskan bahwa serangan cacar pertama akan membuat kekebalan berikutnya pada orang yang bersangkutan.
[4] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam; Sebuah Peta Kronologis, terj. Zainul Am, (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 107. Lihat juga: Maftukhin, loc. cit.
[5] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 154.
[6] Ibid.
[7] A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1969), hlm. 178.
[8] JMW. Bakker Sy, Sejarah Filsafat dalam Islam, (Yogyakarta: Kanisius, 1978), hlm. 73-74.
[9] Maftukhin, loc., cit.
[10] Nurcholish Madjid, ed., Khazanah Intelektual Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 36.
[11] Maftukhin, op. cit., hlm. 193.
[12] Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), hlm. 153-159.
[13] Memang, Ibn Rusyd jika dilihat dari sudut pandangan filsafat di Eropa Barat, dianggap sebagai penafsir Aristoteles yang terbesar sepanjang masa. Ibn Rusyd menjadi sumber utama Aristotelianisme Eropa abad pertengahan, dan untuk jangka waktu lama Ibn Rusyd mempengaruhi jalan pikiran Eropa, antara lain seperti tercermin dalam apa yang dikenal dengan Averroisme Latin. Ada yang menggap bahwa Ibn Rusyd sebagai seorang Aristotelian yang dapat dikatakan ‘fanatik’. Sebagai misal, Ibn Rusyd adalah pengagum ilmu mantik Aristoteles dan menganggapnya sebagai sumber besar kebahagiaan, sehingga ia menyesali mengapa Socrates dan Plato dulu ia tidak mengenalnya. Lihat: Nurcholish Madjid, loc. cit.
[14] Maftukhin, op. cit., hlm. 193-194.
[15] Memang, al-Ghazali memfokuskan kritiknya terhadap Aristoteles, namun karena para penerjemah karya-karya Aristoteles itu tak terlepas dari pelbagai kesalahan dalam interpretasi, sehingga banyak menimbulkan perbedaan yang sangat tajam. Dan menurut al-Ghazali, di antara filsuf muslim yang terbaik dalam menyalin dan menyunting pandangan Aristoteles adalah al-Farabi dan Ibn Sina. Oleh karena itu, untuk menolak dan mengkritik pandangan Aristoteles, cukup mengutipnya dari kedua filsuf muslim tersebut.
[16] Dalam bukunya Tahafut al-Tahafut, tidak semua kritik ditujukan kepada al-Ghazali, melainkan juga kepada filsuf yang dikritik oleh al-Ghazali, yakni al-Farabi dan Ibn Sina yang dinilai Ibn Rusyd kurang tepat dalam mengartikulasikan dan menginterpretasikan pemikiran Aristoteles.
[17] Ibnu Rusyd menjawab tuduhan al-Ghazali yang mengkafirkan filosof muslim pada tiga masalah pokok, yaitu keqadiman alam, kebangkitan jasmaniyah tidak ada, dan pengetahuan Tuhan hanya bersifat kulliy.