Tulisan ini sebenarnya bukanlah narasi ilmiah-intelektual
yang patut untuk dikaji secara serius apalagi bersifat mendalam, karena—narasinya yang
biasa-biasa saja—yang juga oleh penulis lebih diarahkan pada kerangka refleksi,
sekaligus keengganan pribadi penulis untuk menyalahkan siapapun, terlebih bagi kader
PMII yang sedang berproses. Bagi pribadi penulis, bentuk respons diri atau
mungkin kritik konstruktif, adalah bagian dari upaya memberikan kontribusi nyata
bagi PMII, walaupun dalam dan hanya sebatas narasi kritik deskriptif terhadap perjalanan
PMII hari ini. Barangkali tidak secara sistematis membahas kaitan teologi kita
dengan gaya intelektualitas di PMII, namun saya berharap bahwa refleksi ini
bisa menjadi representasi mendasar dari kegalaun ini.
Kegalauan saya yang dimaksud, lebih tertuju pada perkembangan komunitas intelektual (intellectual community) yang digelorakan PMII hari ini, yang terlihat kering, lesu dan bahkan
miskin intelektual. Terlihat generasi kader sekarang, gairah berwacana intelektual semakin surut dan bahkan redup, karena basis dan khazanah intelektual serta
potensi-potensi kader PMII yang begitu besar belum mampu digerakkan. Sementara,
dalam setiap jenjang pengkaderan selalu diteriakkan kultur diskusi, berfikir kritis
hingga arah gerakan aksi, akan tetapi jati diri kader lupa akan kesadaran
intelektual.
Dalam beberapa dekade terakhir ini, kegiatan PMII cenderung normatif.
Faktanya bahwa kegiatan-kegiatan PMII hanya sebatas kegiatan seremonial belaka,
seperti pelantikan pengurus, sekolah atau pelatihan yang tidak terkonsep dengan
baik, serba mendadak, literature ilmiah yang minim, dan lebih-lebih dibeberapa
kegiatan hanya terfokus pada ruang tradisi keagamaan, seperti tahlilan, ziarah
kubur dan kegiatan nonformal lainnya. Sedangkan, pendalaman intelektualisme kader
tidak dijalankan secara masif.
Kegiatan keagamaan, sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan
akan hilang eksistensinya dan menjauh dari tradisi-tradisi individu warga
pergerakan. Karena, warga PMII sebagai organisasi mahasiswa yang berbasis
sosial NU dan pesantren, adalah kelompok gerakan mahasiswa yang paling
otoritatif mewarisi tradisi pemahaman keagamaan Islam Nusantara. Hal ini tidak
terlepas dari tradisi pesantren yang menekankan pada penguasaan khazanah klasik,
kualitas individu dan sosial, baik dalam pendekatan fikih maupun tasawuf.
Pada konteks kekinian, kesadaran intelektual PMII perlu direkonstruksi
ulang. Kajian-kajian pemikiran, forum diskusi dan mediasi intelektual harus dihidupkan
kembali. Pemikiran liar dan kritis terhadap arus pemikiran Islam kontemporer
harus lebih ditingkatkan. Sikap kritis paling lugas diambil kader PMII hari ini
adalah mengembangkan semangat dan corak pemikiran berbasis intelektual untuk menguatkan
gagasan yang mampu melahirkan eksplorasi gagasan intelektual yang mendalam. Karena,
dinamika berfikir menjadi sandaran utama dalam kerja pergerakan. Karenanya
juga, rajutan kebebasan berfikir yang dibangun di atas nalar kritis yang
berpadu dengan input mayoritas kader PMII yang tradisionalisme berbasis
pesantren, berlatarbelakang disiplin ilmu agama dan sosial humaniora,
kesemuanya itu akan menyemburatkan corak pemikiran tradisional progresif-transformatif.
Selanjutnya, dekonstruksi dan rekonstruksi pemahaman ajaran
agama, Aswaja sebagai manhajul fikr, pribumisasi Islam, pluralisme,
kritik wacana agama, perjuangan keislaman dan kebangsaan lewat gerakan sosio-kultural
adalah beberapa item telah lahir dan digandrungi warga PMII[1],
dan menjadi sejarah pergulatan pemikiran kaum muda ini dalam kancah percaturan
pemikiran keagamaan. Sehingga patut untuk direfleksikan bersama bagi warga PMII
bahwa sosok kader muda intelektual PMII adalah mereka lahir dan dibesarkan oleh
kultur dan tradisi Aswaja.
Adalah kita (PMII), anak muda kaum tradisionalis yang selama
ini dicap sebagai kelompok marginal
dalam belantara perkembangan pemikiran keagamaan di Indonesia, diam-diam
ternyata selama ini lebih liberal, progresif-transformatif terhadap segala
bentuk turats peninggalan klasik,
ketimbang mereka anak muda yang mengklaim diri lebih modernis dan terdidik. Dengan
demikian, di tangan kaum muda progresif (warga PMII) telah merubah dirinya
menjadi teks yang hidup, terbuka, kenyal dan memiliki adaptasi yang tinggi
terhadap tuntutan dan perubahan zaman.
Benar adanya bahwa PMII hari ini tidaklah seperti dulu lagi, dan mungkin
karena konteks zaman yang berbeda. Akan tetapi, perlu disadari bersama bahwa tanggungjawab
PMII dalam membangun kesadaran intelektual sangatlah besar. Karena, PMII
terdiri dari mahasiswa yang akan memimpin dan memompa gagasan intelektual di
ranah kampus. Itulah mengapa PMII harus membuktikan diri bahwa ia adalah sentrum
gerakan sekaligus sentral dan simpul jaringan intelektual. Dengan adanya
fenomena sumberdaya kader PMII yang berbasis intelektualitas, harapan besarnya akan
terlahir intelektual progresif-transformatif, walaupun secara sosiologis mereka
adalah anak kampung pedesaan yang tumbuh dalam suasana desa, kaum sarungan yang
lekat dengan tradisi dan dengan semangat tradisionalisme.
Banyak kalangan menyanjung bahwa lahirnya Indonesia baru di
tahun 2025 adalah milik kaum tradisionalis—yang di dalamnya (mungkin) ada PMII.
Jika besok benar terjadi, peristiwa ini menandakan bahwa gerbong kultural
tradisional merangsek perlahan menuju sentrum. Kaum sarungan mulai
diperebutkan, dijadikan idola bahkan diperdagangkan; seperti sekarang ini yang
sudah terlihat dalam percaturan politik nasional. Di sisi lain, orang mulai
percaya bahwa kebangkitan intelektual kaum tradisionalis telah terjadi. Optimisme
baru tersebut terbangun selaras dengan bermunculannya kultur hibrida kaum tradisional yang jumlahnya
kian hari kian bertambah.[]
[1] Kecendrungan PMII dekade 80-an dan
90-an begitu gandrung dengan paradigma pemikiran dan gerakan kiri. Keakraban dengan
pemikiran filsafat rasionalisme, materialisme, sosialisme, dan historisisme,
tidak hanya bersumberkan dari sumber aslinya di barat, tetapi juga dari
kalangan pemikir muslim sendiri yang berhaluan kiri, seperti Hasan Hanafi, Ali
Syariati, Asghar Ali Engginer dan pemikir kiri Islam lainnya.