Prawacana
Di lihat dari keadaan yang sedang terjadi saat ini, dengan menyebarnya Corona Virus Desease (Covid-19) yang menjangkit Indonesia dan bahkan di hampir negara dunia, sudah barang tentu menjadi momok menakutkan yang mengharuskan setiap individu manusia agar menerapkan pembatasan sosial (social distancing) dan mengurungkan setiap aktivitasnya yang berkerumun satu sama lain, serta menjaga jarak saat berinteraksi dengan orang lain, terutama dengan orang yang sedang sakit atau beresiko tinggi karena terpapar Covid-19.
Keadaan ini tentunya berpengaruh pada sektor pendidikan, tidak hanya pendidikan dasar dan menegah, pendidikan tinggi juga mengalami keadaan yang sama. Semenjak ditetapkannya regulasi penetapan belajar di rumah terkait masa darurat Covid-19, kampus memberlakukan kuliah jarak jauh (Distance Learning), di antaranya melalui pembelajaran daring (e-learning) dan pembelajaran berbasis internet dan web lainya yang relevan.
Pertanyaannya kemudian, apakah dengan mahasiswa di rumahkan oleh kampusnya masing-masing tidak bisa berbuat apa-apa? Apakah mahasiswa hanya berkutat dengan kesibukan menyelesaikan tugas yang diberikan dosen? Apakah mahasiswa fokus menghabiskan marathon film sambil rebahan di atas kasur?
Sebagai seorang mahasiswa, ia dituntut agar mengembangkan peranannya. Mahasiswa selain memiliki tanggungjawab akademik terhadap studinya di kampus, juga memiliki tanggungjawab sosial sebagai agent of change, agent of social control, dan agent of intellectual. Di pundak mahasiswa menempel tanggungjawab, ekspektasi, inovasi, kreativitas, dan lainnya. Mahasiswa mempunyai peran dan kontrol sosial yang menjadi tugasnya, tidak hanya memikirkan diri sendiri (individualitik) tanpa melihat kondisi yang lebih luas. Pemikiran yang diambil pun harus lebih luas, tidak hanya melihat dari satu perspektif saja yang terfokus pada hal kecil semata. Semenjak awal sebagai mahasiswa ia harus sadar posisinya, yaitu bukan sebagai problem maker, melainkan siap sebagai problem solver. Dalam membangun peradaban di Indonesia, mahasiswa juga memiliki peran yang cukup strategis untuk turut menciptakan manusia-manusia Indonesia yang lebih berkualitas baik dari segi spiritualitas, intelektualitas, dan humanitas.
Perlu diingat juga bahwa mahasiwa yang sedang melangsungkan pendidikannya dalam sebuah Perguruan Tinggi, sangat ditentukan bagaimana penyelenggaran pendidikan (lembaga pendidikan) dalam upaya membangun generasi bangsa. Sistem manajemen pendidikan yang mendasari pengelolaan sebuah lembaga pendidikan sangat mempengaruhi dan mewarnai keputusan dan kebijakan yang diterapkan dalam institusi pendidikan tersebut. Karenanya, baik tidaknya suatu penyelenggara pendidikan dapat dilihat dari kualitas lulusannya.
A. Pengertian Pendidikan
Memaknai pendidikan secara baku dan pasti dirasa sulit, karena antara makna pendidikan yang satu dengan lainnya memiliki karakteristik dan perbedaan makna, tergantung konteks yang melatarbelakanginya. Namun banyak dari pakar pendidikan yang menjelaskan makna pendidikan, yang utamanya lebih diarahkan pada pembinaan dan pengembangan pribadi manusia (aspek jasmani dan ruhani), dan pengembangan itu berlangsung secara bertahap. Oleh sebab itu, suatu kematangan yang bertitik akhir pada optimalisasi perkembangan atau pertumbuhan pada manusia, baru bisa tercapai apabila berlangsung melalui proses demi proses ke arah tujuan akhir perkembangan atau pertumbuhan. Maka dari itu, tidak ada satu pun makhluk ciptaan Tuhan di atas muka bumi ini yang dapat mencapai kesempurnaan atau kematangan hidup tanpa berlangsung melalui sebuah proses.
Secara bahasa, pendidikan berasal dari kata dasar ‘didik’, mendapat awalan ‘men’, kemudian menjadi ‘mendidik’, yang artinya memelihara dan memberi latihan (ajaran). Sedangkan pendidikan sebagai kata benda, berarti proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan latihan.[1] Dalam pengertian ini, yang tercakup dalam proses pendidikan adalah berkenaan dengan pendewasaan diri manusia melalui proses pengajaran dan latihan. Karenanya, istilah pendidikan sangat berkenaan dengan fungsi yang luas dari pemeliharaan dan perbaikan kehidupan masyarakat, terutama untuk memperkenalkan warga masyarakat baru (generasi muda) pada pengenalan terhadap kewajiban dan tanggungjawabnya di tengah masyarakat. Dengan demikian, proses pendidikan maknanya jauh lebih luas daripada sekedar proses yang berlangsung di sekolah semata.
Pendidikan dalam bahasa Arab, biasa disebut dengan istilah tarbiyah, merupakan derivasi dari kata rabb, seperti dinyatakan dalam Surat al-Fatihah Ayat 2; Allah sebagai Tuhan semesta alam (rabb al-‘alamin), yaitu Tuhan yang mengatur dan mendidik seluruh alam. Allah memberikan informasi tentang arti penting perencanaan, penertiban, dan peningkatan kualitas alam. Manusia diharapkan selalu memuji kepada Tuhan yang mendidik alam semesta, karenanya manusia harus terdidik agar memiliki kemampuan untuk memahami alam yang telah dididik oleh Allah, sekaligus mampu mendekatkan diri kepada Allah Sang Pendidikan Sejati. Sebagai makhluk Tuhan, manusia idealnya melakukan internalisasi secara kontinyu terhadap nilai-nilai ilahiyah agar mencapai derajat insan kamil sesuai dengan kehendak Allah.[2]
Makna pendidikan dalam konteks tersebut di atas, terkait dengan gerak dinamis, positif, dan kontinyu setiap individu menuju idealitas kehidupan manusia agar mendapatkan nilai terpuji. Aktivitas individu tersebut meliputi pengembangan kecerdasan pikir (rasio, kognitif), dzikir (afektif, rasa, hati, spiritual), dan keterampilan fisik (psikomotorik).
Secara terminologis, pendidikan merupakan proses perbaikan, penguatan, dan penyempurnaan terhadap semua kemampuan dan potensi manusia. Pendidikan juga dapat diartikan sebagai suatu ikhtiar manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai dan kebudayaan yang ada dalam masyarakat.[3] Pendidikan adalah proses pemanusiaan manusia, dan proses yang diinginkan adalah proses yang terarah dan bertujuan, yakni mengarahkan anak didik kepada titik optimal kemampuannya, dan terbentuknya kepribadian yang bulat dan utuh sebagai manusia individual maupun sosial, sekaligus sebagai hamba Tuhan (‘abdullah) yang mengabdikan dirinya terhadap-Nya.[4]
Jadi, pendidikan dapat diartikan sebagai proses, bukan sebagai seni atau teknik. Karena proses di sini dimaknai sebagai proses pendidikan yang menyangkut proses hidup dan kehidupan seseorang dalam menyesuaikan dirinya dengan dunia sekitarnya, proses penyesuaian dengan dirinya sendiri, hingga pengarahan ke arah tujuan tertentu yang senantiasa di dasarkan pada keyakinan tertentu pula, yaitu suatu pandangan atau pemikiran yang bersifat idealis-filosofis-teoretis.
B. Sejarah Pandemi dan Pendidikan
Covid-19 membawa dampak teramat besar dalam kehidupan manusia di dunia. Bahkan, dampak Covid-19 ini adalah terbesar sepanjang sejarah pandemi, terutama pada aspek ekonomi yang menelan kerugian secara global mencapai triliunan dollar. Covid-19 merupakan virus yang sangat berbahaya, karena telah mengubah tatanan kehidupan dunia. Meski memang, tingkat kematian akibat virus ini cukup rendah dibanding penyakit lainnya. Bicara apakah virus ini berbahaya? Virus ini berbahaya, terutama bukan dalam masalah kematiannya, katakanlah dibanding beberapa penyakit lain, sebetulnya angka kematiannya ini relatif lebih kecil.
Dampak Covid-19 saat ini, tidak hanya dapat dilihat dari aspek kesehatan saja, akan tetapi dampaknya juga harus dilihat dari berbagai bidang, yaitu bidang ekonomi, sosial, pariwisata, hingga sampai pada masalah-masalah pedidikan hari ini. Pelaksanaan pendidikan di masa pandemi Covid-19 mengalami beberapa perubahan yang terlihat nyata, dan pendidikan harus berjalan dalam keadaan apapun. Untuk mengurangi angka penyebaran Covid-19 dan kegiatan pendidikan dapat berjalan seperti biasanya, maka pemerintah melalui lembaga pendidikannya agar melakukan berbagai upaya, terutama sistem dan model pembelajaran pendidikannya, agar angka penyebaran Covid-19 tidak bertambah dan meluas.
Selanjutnya kaitan dengan sejarah pendidikan, bahwa pendidikan dapat diartikan sebagai ikhtiar manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai dan kebudayaan yang ada di masyarakat. Dalam peradaban masyarakat yang peradabannya sangat sederhana sekalipun telah ada proses pendidikan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika sering dikatakan bahwa pendidikan telah ada semenjak munculnya peradaban umat manusia.[5] Sebab, semenjak awal manusia diciptakan, upaya membangun peradaban selalu dilakukan. Manusia mencita-citakan kehidupan yang bahagia dan sejahtera. Melalui proses kependidikan yang benar dan baik, maka cita-cita ini diyakini akan terwujud dalam realitas kehidupan manusia.
Secara historis-operasional, pendidikan telah dilaksanakan sejak adanya manusia pertama di muka bumi ini, yaitu sejak Nabi Adam. Dalam Al-qur’an dinyatakan bahwa proses pendidikan itu terjadi pada saat Adam berdialog dengan Tuhan. Dialog tersebut muncul karena ada motivasi dalam diri Adam untuk menggapai kehidupan yang sejahtera dan bahagia. Dialog tersebut di dasarkan pada motivasi individu yang ingin selalu berkambang sesuai dengan kondisi dan konteks lingkungannya. Dialog merupakan bagian dari proses pendidikan, dan ia membutuhkan lingkungan yang kondusif dan strategis yang memungkinkan anak didik bebas berekspresi dan berapresiasi dengan tidak takut salah, tetapi tetap beradab dan mengedepankan etika.
Pendidikan diperlukan dan dilakukan pertama kali oleh anggota keluarga, terutama orang tua terhadap anak-anak mereka. Dengan mempertimbangkan aktivitas dan efisiensi—karena keterbatasan waktu dan fasilitas yang dimiliki orang tua—akhirnya di dirikanlah lembaga pendidikan dengan maksud untuk mengatasi keterbatasan tersebut. Lembaga pendidikan didesain dengan pertimbangan edukatif agar proses kependidikan berlangsung dengan mudah, murah, dan sukses sesuai tujuan yang disepakati dan ditetapkan bersama antara guru, lembaga pendidikan dengan keluarga. Jika ditarik pada wilayah politik kenegaraan, kesepakatan ini menjadi keputusan nasional yang dirumuskan menjadi tujuan pendidikan nasional.[6]
Pendidikan pada umumnya ditujukan untuk menanamkan nilai-nilai dan norma tertentu sebagaimana telah ditetapkan dalam filsafat pendidikan, yakni nilai atau norma yang dijunjung tinggi oleh suatu lembaga pendidikan.[7] Sayangnya, dasar filosofi ini terkadang belum terkonsep secara jelas oleh pelaksana pendidikan. Hal ini dapat dilihat pada lembaga pendidikan tertentu, di mana pola dan sistem pendidikan yang dikembangkan cenderung labil. Oleh karena itu, dalam rangka mempersiapkan pendidikan yang maju maka perlu di awali dengan menetapkan dasar filosofi yang mantap yang ditunjang oleh seperangkat teori dan konsep pendidikan yang memadai.
C. Strategi Pendidikan
Menyebarnya Covid-19 yang melanda di hampir semua negara di belahan dunia, sehingga banyak pemimpin negara menentukan langkah-langkah dalam menghentikan penyebarannya, bahkan harus menentukan kebijakan yang sangat sulit, tetapi harus dilakukan oleh pemerintahan di tiap-tiap negara. Pertanyaannya adalah, adakah kepentingan ekonomi, kepentingan modal, dan kepentingan pasar untuk menguasai negara dunia di balik Pandemi Corona Virus Desease (Covid-19), khususnya intervensi global melalui teknologi informasi yang menjadi keharusan bagi tiap-tiap negara, serta menjadi kebutuhan dasar bagi setiap individu manusia? Monggo dijawab dewek…
Salahsatu kebijakan yang diharuskan oleh Pemerintah dan sangat berpengaruh besar terhadap berbagai aspek kehidupan, yaitu pembatasan interaksi sosial, di mana pembatasan ini tentu akan berpengaruh besar tehadap laju perekonomian, tersendatnya kebutuhan-kebutuhan utama masyarakat, dan menimbulkan efek banyaknya perusahaan-perusahaan yang pekerjanya di rumahkan. Sehingga terjadi banyak pengangguran dengan tingkat kebutuhan ekonomi yang tinggi, tetapi penghasilan tidak ada; tidak mungkin negara membayar semua kebutuhan masyarakatnya yang begitu banyak seperti Indonesia.
Kemudian di bidang pendidikan, ternyata mengalami perubahan besar dalam proses belajar mengajar. Tidak hanya dialami pendidikan di tingkat dasar dan menengah, Perguruan Tinggi atau kampus pun harus menjalankan sosial distancing dan menghindari kontak langsung untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Semenjak regulasi penetapan belajar di rumah terkait masa darurat Covid-19, kampus memberlakukan kuliah jarak jauh (Distance Learning) di antaranya pembelajaran daring (e-learning) dan pembelajaran berbasis internet dan web lainya yang relevan.
Adanya perubahan cara belajar mengajar dari tatap muka atau luar jaringan (luring) menjadi dalam jaringan (daring), sehingga tidak diharuskan mahasiswa untuk datang ke kampus untuk melaksanakan pembelajaran. Berbagai sarana pendidikan yang pada akhirnya diterapkan oleh dosen untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar secara jarak jauh. Sarana pembelajaran jarak jauh tersebut tidak dapat dihindari dari perkembangan teknologi informasi. Sarana pembelajaran tersebut di antaranya adalah aplikasi google meet, aplikasi zoom, google classroom, youtube, televisi, maupun media sosial whatsapp. Di mana semua sarana tersebut dihasilkan dari perkembangan dan produk teknologi informasi dan komunikasi yang semakin maju.
Keadaan demikian, tentu akan berpengaruh pada pola dan strategi pendidikan dalam menghadapai revolusi teknologi informasi yang sangat pesat seperti sekarang ini. Tentunya, perubahan paradigma pendidikan dan paradigma pembelajaran pasti terjadi. Yang pasti, akan ada pengaruhnya baik pengaruh positif maupun negatifnya bagi masyarakat dan mahasiswa khususnya. Maka kita semua, khususnya unsur-unsur dan lembaga pendidikan harus bersiap diri. Tetapi perlu diingat di sini bahwa kita adalah manusia makhluk sosial di mana interaksi sosial tidak bisa dipisahkan.
Perkembangan masyarakat dunia dan Indonesia khusunya, di mana era global dengan perkembangan teknologi informasi yang cukup signifikan, sehingga masyarakat sekarang sebagai masyarakat informasi (informatical society), yang merupakan kelanjutan dari masyarakat industri atau modern. Jika masyarakat modern memiliki ciri rasional, bersikap terbuka, kreatif, mandiri dan inovatif, maka masyarakat informasi harus menguasai dan mampu mendayagunakan arus informasi, mampu bersaing, terus menerus belajar (serba ingin tahu), mampu menjelaskan, imajinatif, mampu mengubah tantangan menjadi peluang, serta menguasai kemampuan menggunakan berbagai metode dalam memecahkan berbagai masalah kehidupan.
Pada masyarakat informasi, peran media eloktronik sangat memegang peranan penting, bahkan menentukan corak kehidupan. Penggunakan teknologi elektronika seperti laptop, smartphone, dunia internet, kemudian sarana media informasi, sosial media dan aplikasi media teknologi seperti google, youtube, e-mail, facebook, twitter, instagram, whatsapp, zoom, google meeet, dlsb, telah mengubah lingkungan informasi dari lingkungan yang bercorak lokal dan nasional, kepada lingkungan yang bersifat internasional, mendunia dan global.
Kemajuan dalam bidang teknologi informasi tersebut, pada akhirnya akan berpengaruh pada kejiwaan dan kepribadian masyarakat, baik yang berefek positif maupun negatif. Era informasi yang sanggup bertahan, hanyalah mereka yang berorientasi ke depan, yang mampu mengubah pengetahuan menjadi kebijakan. Intinya, sebuah kenyataan dan tatanan dunia era teknologi informasi benar-benar merubah dunia ini dengan begitu cepat dan sangat signifikan.
Seiring dengan perkembangan tersebut, tentu berpengaruh dalam dunia pendidikan baik dari segi kelembagaan, materi pendidikan, guru, metode, sarana-prasarana, dan lain sebagainya. Hal ini pada gilirannya menjadi tantangan yang harus dijawab oleh dunia pendidikan. Pendidikan harus mampu menghasilkan manusia-manusia yang produktif[8] dan kreatif, yaitu manusia-manusia yang tidak sekedar sebagai penerima arus informasi global, tetapi juga manusia yang mampu mengolah, menyesuaikan dan mengembangkan apa yang diterima melalui arus informasi tersebut.[9] Manusia yang kreatif dan produktif inilah yang harus dijadikan sebagai visi pendidikan, karena manusia yang demikian yang didambakan kehadirannya baik secara individu, sosial dan nasional.
Pendidikan di era teknologi informasi harus menghendaki visi dan orientasi pendidikan, yang di dalamnya tidak semata-mata menekankan pada pengisian otak (intelektual) semata, akan tetapi visi pendidikan yang di dalamnya memberi ruang mahasiswa pada pengisian jiwa, pembinaan akhlak dan kepatuhan dalam menjalankan ibadah, yakni suatu upaya yang mengintegrasikan berbagai pengetahuan yang terkotak-kotak (dikotomi) ke dalam ikatan tauhid, yaitu suatu keyakinan bahwa ilmu-ilmu yang dihasilkan lewat penalaran manusia itu, harus dilihat sebagai bukti kasih sayang Tuhan kepada manusia, dan harus diabdikan untuk beribadah kepada Tuhan melalui karya-karya kemanusiaan yang ikhlas.[10] Mudahnya, pendidikan di era teknologi informasi harus membebaskan manusia dari kungkungan aliran pemikiran yang mendiskreditkan nilai-nilai ilahiyah dan nilai-nilai insaniyah.
Sekali lagi, pendidikan di era teknologi informasi harus mampu merombak sistem-sistem kehidupan dan penghidupan yang membelenggu manusia (seperti manusia tidak mampu dan takut mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk yang merdeka lagi mulia) dengan berpijak pada visi iman dan amal, serta melalui basis filsafat pendidikannya harus mampu mengisi kehampaan spiritual di era masyarakat informasi (informatical society).
D. Pola Pendidikan Di Era Pandemi: Integrasi Sains dan Agama
Pandemi Covid-19 di Indonesia khususnya sampai hari belum melandai, justru kenaikan jumlah masyarakat yang terpapar virus ini dari hari ke hari mengalami kenaikan jumlah positifnya. Dengan keadaan ini, sehingga pendidikan dituntut untuk menyesuaikan keadaan, di mana pola pembelajaran pendidikan harus berubah seratus persen. Memang, pendidikan hari ini dapat dikatakan sedang mengalami kebingungan karena disibukkan dengan model pembelajaran yang benar-benar baru yang sama sekali berbeda dari model pembelajaran sebelumnya.
Di satu sisi, lembaga pendidikan harus mempertahankan nilai (value) dan budaya sosial yang ada di masyarakat melalui suatu proses pendidikan. Sisi lain, pendidikan diharuskan menghindari pembelajaran tatap muka, yang tetunya antara dosen dan mahasiswa hanya berinteraksi melalui aplikasi media telekomunikasi. Pertanyaannya kemudian, mampukah pembelajaran pendidikan dengan media telekomunikasi sebagai sarana untuk transfer value, juga sekaligus sebagai sarana untuk membentuk manusia seutuhnya (paripurna), yang memiliki kecerdasan intelektual, spiritual dan emosional sekaligus?
Di akhir bahasan makalah ini, penulis tidak secara spesifik membahas panjang lebar mengenai apa itu pandemi Covid-19 dan pengaruhnya terhadap pendidikan. Karena bagi penulis, Covid-19 yang oleh WHO kemudian ditetapkan sebagai pandemi adalah bagian dari strategi global,[11] di mana proses manusia sedang diarahkan secara global menuju masyarakat informasi. Dalam pengertian lain, masyarakat dunia hari ini sedang diarahkan dan didesain menuju masyarakat informasi. Tentunya ini beralasan, karena sejarah kehidupan manusia selalu berkembang; bersesuaian dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan yang dikembangkan manusia.
Tak heran jika kesejahteraan individu, masyarakat dan bangsa semakin lama semakin bergantung pada penciptaan, penyebaran dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam perkembangannya, masyarakat modern di awali dari ekonomi yang berbasis produksi pertanian dan pertambangan dengan tenaga manusia dan tenaga mesin, membentuk masyarakat agraris. Kemudian secara bertahap berubah menjadi ekonomi dengan berbasiskan produk industri dan jasa, dengan pemanfaatan teknologi modern menciptakan masyarakat industrial. Berikutnya mengalami transisi ke kehidupan ekonomi oleh pengetahuan, penciptaan, diseminasi dan pemanfaatannya, yang pada akhirnya menghasilkan masyarakat informasi seperti sekarang ini.[12]
Selanjutnya, dalam masyarakat informasi ini terdapat kecendrungan, yaitu meningkatnya investasi pada teknologi tinggi, pendidikan dan pengembangan budaya. Transisi kehidupan masyarakat ini merupakan refleksi dari upaya untuk dapat meningkatkan kehidupan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat, yang antara lain dalam wujud meningkatkan tingkat pendidikan warga masyarakat, memerluas kesempatan kerja, kehidupan yang demokratis, serta meningkatkan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada setiap transisi tersebut, khususnya transisi dari masyarakat industrial ke masyarakat informasi, peranan pendidikan khususnya Perguruan Tinggi menempati posisi yang strategis.
Urgensi penting atas peranan pendidikan dalam merespon berbagai tantangan dan peluang yang dihadapai masyarakat informasi adalah bagaimana agar masyarakat bisa menikmati pendidikan beserta sarana prasarananya yang memadai, tanpa kehilangan eksistensinya sebagai manusia paripurna (insan kamil). Namun kini yang menjadi persoalan utama adalah bagaimana operasionalisasi atau aktualisasi yang arif dan bijaksana dari peranan pendidikan, terutama lembaga Perguruan Tinggi Islam khususnya, dalam merespon situasi dan kondisi di era teknologi informasi seperti sekarang ini. Tampaknya, pendidikan melalui lembaga Perguruan Tinggi Islam harus gigih memperjuangkan misi pembebasan dan penyelamatan manusia (mahasiswa) dari kungkungan berbagai permasalahan kehidupan hari ini.
Secara spesifik pendidikan hari ini dan ke depan, dihadapkan pada tiga hal mendasar. Pertama, orientasi atau tujuan pendidikan. Pendidikan yang diselenggarakan sangat ditentukan oleh apa tujuan yang diinginkan. Kedua, pengelolaan atau manajemen. Sistem manajemen apa yang mendasari pengelolaan sebuah lembaga pendidikan sangat mempengaruhi dan mewarnai keputusan dan kebijakan yang diterapkan dalam institusi pendidikan tersebut. Terakhir adalah, hasil atau lulusan (uot put). Bagaimana out put yang dihasilkan dari sebuah lembaga perguruan tinggi bisa dilihat dari kualitas lulusannya.
Revolusi teknologi telah membuahkan teknologi informasi yang sangat maju, kemudian menghasilkan perubahan pada masyarakat, yaitu masyarakat informasi. Era ini, di samping mendatangkan kemudahan bagi manusia, juga mendatangkan efek negatif yang sangat merepotkan di sana sini. Tampak nyata dalam kehidupan kita sehari-hari, yaitu pemiskinan nilai spiritual manusia, kejatuhan manusia dari makhluk spiritual menjadi material, nafsu hewaniyah menjadi pemandu kehidupan, peran agama digeser menjadi urusan akherat, urusan dunia menjadi urusan sains, Tuhan hanya hadir dalam pikiran, lisan dan tulisan, bukan pada perilaku dan tindakan. Gabungan ikatan primordial dengan sistem politik hari ini telah melahirkan nepotisme, birokratisme, dan otoriterisme, individualistik, serta terjadinya frustasi eksistensial, yaitu hasrat yang berlebihan untuk berkuasa, kehampaan eksistensial berupa perasaan serba mampu, hidupnya tidak bermakna, serta perasaan hidup tanpa arti, bosan, apatis dan tanpa tujuan. Terakhir, terjadinya ketegangan-ketegangan informasi di kota dan di desa, kaya-miskin, konsumeris, kekurangan, dlsb.[13]
Dari gambaran tentang kondisi masyarakat di era teknologi informasi seperti sekarang ini, persoalan selanjutnya adalah bagaimana menampilkan visi pendidikan dalam kancah global, agar pendidikan dapat berperan dalam masyarakat global. Karena kenyataan pahit menunjukan bahwa pendidikan di Indonesia miskin tanggungjawab, akal sehat dan pemecahan masalah. Akibatnya, lahirlah individu yang hipokrit (ambivalen-munafik), tidak percaya diri dan sulit mengembangkan diri, tanpa kemampuan dan kesediaan membuka diri dan berdialog dengan dunia ilmiah, pemikiran Islam khususnya akan terus berhadapan dengan dilema yang berkepanjangan. Dalam menghadapi kancah permasalahan ini, lembaga Perguruan Tinggi (Islam) harus merefleksikan kembali bagaimana filsafat, teori dan kurikulum pendidikannya, karena variabel-variabel tersebut merupakan substansi yang harus ada dalam kegiatan pendidikan, serta yang akan memberikan arah dan model macam apa yang diinginkan oleh pendidikan itu sendiri.
Filsafat merupakan dasar perilaku seseorang, dan merupakan dasar perilaku suatu bangsa. Jika bangsa ini melakukan suatu pendidikan, maka hal itu juga di dasarkan pada suatu filsasat, yakni filsafat pendidikan. Selanjutnya, agar pelaksanaan pendidikan terarah dan sitematis, perlu dirumuskan sebuah teori pendidikan terlebih dahulu, sehingga pelaksanaan pendidikan selalu berpijak pada teori tersebut.
Selanjutnya, berkaitan dengan kurikulum pendidikan, dalam hal ini adalah kurikulum pendidikan Islam, sampai saat ini masih di hadapkan pada kesulitan untuk mengintegrasikan dua kutub paradigma keilmuwan yang dualistik. Satu sisi, pendidikan Islam harus berhadapan dengan subjek-subjek keilmuwan yang sifatnya umum (matematika, fisika, biologi dan sebagainya), sisi yang lain dengan subjek-subjek ilmu keagamaan (al-qur’an, hadits, fiqh, teologi, tauhid dlsb). Dengan dikotomi tersebut, sehingga kurikulum pendidikan Islam masih banyak didominasi oleh ilmu jenis kedua, sementara pengkajian terhadap jenis ilmu umum masih kurang. Padahal, mengkaji dan meneliti dua jenis ilmu tersebut adalah sama pentingnya. Karenanya, Perguruan Tinggi Islam hari ini perlu mengintegrasikan antara subjek ilmu keagamaan dengan ilmu-ilmu umum dalam satu paket pembelajaran.
Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukannya konsesi-konsesi tertentu tentang perubahan muatan kurikulum pendidikan. Pertama, bagaimana mengisi muatan kurikulum pendidikan yang dapat mengantarkan mahasiswa agar tidak mudah terkontaminasi budaya modernitas, tetapi dengan cara-cara yang fleksibel dan tidak kaku. Kedua, mencari komposisi (ingredient) obat yang tepat dan mempunyai daya tangkal yang kuat terhadap berbagai macam penyakit modernitas. Ketiga, berani melakukan eksperimen baik dalam institusi, muatan kurikulum, materi, dan metodologi pendidikan Islam.[14]
Berkaitan dengan metode pembelajaran pendidikan. Di era teknologi informasi seperti sekarang ini menghadirkan peluang positif untuk hidup mudah, nyaman, murah, indah dan maju. Secara moral, berbagai persoalan dan permasalahan muncul sebagai akibat dari peluang negatif yang menimbulkan keresahan, penderitaan dan penyesatan bagi manusia. Menjadi tanggungjawab kalangan Perguruan Tinggi (Islam), untuk mencarikan pemecahannya melalui strategi pembelajaran yang efektif dan efisien.
Di masa pandemi Covid-19 ini, semua instansi atau lembaga Perguruan Tinggi diharuskan melakukan pembelajaran jarak jauh dengan memanfaatkan media informasi, seperti aplikasi google meet, aplikasi zoom, google classroom, youtube, maupun media sosial whatsapp, dlsb. Semua jenis aplikasi ini bisa dijadikan sebagai sarana pembelajaran bagi dosen dan mahasiswa dalam proses pembelajaran. Dengan catatan, lembaga pendidikan atau perguruan tinggi mampu memberikan semua fasilitas yang baik bagi semua elemen pendidikan maupun penyelenggaran pendidikan.
Secara sosiologis, ada tiga strategi pembelajaran yang diperkirakan dapat mengatasi permasalah-permasalahan tersebut yang ada. Pertama, kalangan dunia pendidikan perlu merumuskan visi yang jelas terhadap penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran. Perguruan Tinggi Islam khususunya, dapat melihat strategi belajar mengajar sebagai upaya yang bertujuan membantu para lulusan agar bisa melakukan eksistensinya secara fungsional di tengah-tengah masyarakat. Peran seperti ini sejalan dengan tuntutan ajaran Islam yang menghendaki manusia agar dapat melaksanakan fungsinya sebagai khalifah atau pemimpin di muka bumi dalam rangka beribadah kepada-Nya.
Kedua, merumuskan kembali mengenai konsep kurikulum yang lebih berorientasi pada rekonstruksi sosial, yakni kurikulum yang dirancang dalam rangka melakukan perubahan sosial. Kurikulum semacam ini lebih bersifat dinamis, karena apa yang dirancang akan disesuaikan dengan tuntutan perubahan sosial, dan muatan kurikulumnya tidak hanya bertumpu pada sejumlah informasi yang terdapat dalam literatur, namun dilengkapi dengan sumber informasi lain, seperti web kampus atau mahasiswa, blogger bagi setiap mahasiswa, jurnal kampus dan mahasiswa, penerbitan buku hasil karya ilmiah dosen atau mahasiswa, video visualisasi melalui youtube, galeri, dan kegiatan-kegiatan sosial dan lainnya yang disajikan dalam sarana teknologi informasi, yang perlu di tempatkan sebagai sumber informasi, dan diintegrasikan dengan kegiatan pembelajaran.
Ketiga, proses belajar mengajar yang lebih berorientasi pada mahasiswa, bukan semata-mata mengandalkan pada informasi yang berasal dari dosen. Dalam proses pembelajaran yang berorientasi kepada mahasiswa adalah dalam rangka mendapatkan informasi lebih banyak dilakukan oleh mahasiswa. Dengan cara demikian, sehingga mahasiswa harus bersikap kreatif, mandiri dan produktif, di mana sikap seperti ini sangat diperlukan dalam menghadapai masyarakat yang maju.
Kondisi seperti yang digambarkan di atas, pada gilirannya dapat menciptakan masyarakat belajar (learning society). Dalam belajar seperti ini peran dosen tidak lebih sebagai motivator (pendorong), desainer (perancang), facilitator (penyedia bahan dan peluang belajar), katalisator (penghubung), guidance (pemandu) dan penunjuk di mana informasi itu berada, dan bagaimana memahami dan menyajikan hasil informasi tersebut, serta sekaligus sebagai evaluator (penilai), justificatory (pembenar) dan seterusnya.
Untuk selanjutnya, perlunya untuk membangun konsep paradigma pembelajaran yang lebih sistematis dan filosofis di tengah mewabahnya covid-19 yang serba menggunakan sarana teknologi informasi dan komunikasi sebagai proses pembelajaran bagi dosen dan mahasiswa. Paradigma pembelajaran pendidikan tersebut adalah paradigma pembelajaran partisipatoris, yaitu suatu paradigma pembelajaran yang sejak dari tingkat pandangan dunia filosofis (philosophical world view) sampai ketingkat strategi, pendekatan, proses dan teknologi pembelajaran menuju ke arah pembebasan mahasiswa dalam segenap eksistensinya.[15]
Paradigma pendidikan partisipatoris dalam praktik pembelajarannya adalah pembelajaran yang demokratis, yaitu memberikan peluang lebih besar bagi mahasiswa untuk mengekspresikan dirinya. Dalam konteks ini, kampus dijadikan sebagai laboratorium bagi perkecambahan, penumbuhan dan penguatan demokrasi. Sedangkan peran dosen adalah memainkan peran lebih besar sebagai narasumber dan oracles bagi mahasiswa untuk sosialisasi, serta penanaman nilai demokrasi dalam diri mahasiswa.[]
Daftar Pustaka
Abuddin Nata. 2001. Paradigma Pendidikan Islam. Jakarta: Grasindo.
Ali Saifullah. 1982. Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan; Pendidikan Sebagai Gejala Kebudayaan. Surabaya: Usaha Nasional.
Azyumardi Azra. 2011. Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Jusuf Amir Feisal. 1995. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Mahmud. 2011. Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Moh. Roqib. 2009. Ilmu Pendidikan Islam; Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluargam dan Masyarakat. Yogyakarta: Lkis.
Mizanul Akrom. 2019. Pendidikan Islam Kritis, Pluralis, dan Kontekstual. Bali: Mudilan Group.
Muhammad Noor Syam. 1981. Pengertian dan Hukum Dasar Pendidikan. Surabaya: Usaha Nasional.
Syahrin Harahap. 1999. Islam, Konsep dan Implementasi Pemberdayaan. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Zamroni. 2007. Pendidikan dan Demokrasi dalam Transisi; Prakondisi Menuju Era Globalisasi. Jakarta: PSAP Muhamadiyah.
[1] Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hlm. 19.
[2] Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam; Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat, (Yogyakarta: Lkis, 2009), hlm. 14.
[3] Ibid., hlm. 15.
[4] Mizanul Akrom, Pendidikan Islam Kritis, Pluralis, dan Kontekstual, (Bali: Mudilan Group, 2019), hlm. 13.
[5] Muhammad Noor Syam, Pengertian dan Hukum Dasar Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), hlm. 2.
[6] Moh. Roqib, Op. Cit., hlm. 16.
[7] Ali Saifullah, Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan; Pendidikan Sebagai Gejala Kebudayaan, (Surabaya: Usaha Nasional, 1982), hlm. 53-54.
[8] Ciri-ciri dasar manusia produktif, yaitu percaya kepada dirinya sendiri, sebagai akibat dari kesediaan dan kemampuannya untuk menerima seluruh keadaan dirinya secara ikhlas, mencintai lingkungannya, memahami persoalan dan kebutuhan zamannya, serta dapat bekerja berdasarkan metode tertentu. Dengan ciri-ciri ini, sehingga problem-problem, baik individu maupun sosial masyarakat yang dihadapi sekarang dapat teratasi. Lihat: Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam, (Jakarta: Grasindo, 2001), hlm. 85.
[9] Jusuf Amir Feisal, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 46.
[10] Ibid.
[11] Sangat wajar jika, virus corona yang awalanya hanya virus yang menetap di satu negara, kemudian menyebar ke beberapa negara hingga status virus ini menjadi pandemi yang mengglobal karena telah menyebar di hampir semua negara dunia. Karena virus ini menyebar lewat kerumunan dan kontak langsung, sehingga aktivitas manusia harus dibatasi, dan diganti dengan media informasi. Selanjutnya, manusia dunia hari ini bagaimanapun dan dengan keadaan apapun harus menerima segala bentuk teknologi informasi sebagai saran untuk melangsungkan komunikasi antar manusia, begitupun dengan pendidikan, di mana proses belajar mengajar yang awalnya dari tatap muka atau luar jaringan (luring) menjadi dalam jaringan (daring). Dan ini sudah menjadi kebijakan Pemerintah dalam sistem pembelajaran pendidikan yang harus dijalankan.
[12] Zamroni, Pendidikan dan Demokrasi dalam Transisi; Prakondisi Menuju Era Globalisasi, (Jakarta: PSAP Muhamadiyah, 2007), hlm. 17.
[13] Syahrin Harahap, Islam, Konsep dan Implementasi Pemberdayaan, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hlm. xi-xii.
[14] Mizanul Akrom, Op. Cit., hlm. 220.
[15] Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 55.