Saturday, October 31, 2020

KEISLAMAN

KEISLAMAN

Definisi Islam[1]

Realitas hari ini, kita sering menyaksikan di beberapa wilayah sering terlihat gejala yang mengatasnamakan Islam. Kalau tidak Islam berarti harus diperangi atau diislamkan. Ini semua terjadi karena Islam telah dijadikan sebagai identitas yang parsial-eksklusif, bukan identitas yang melebihi identitas individu, agama, etnik, dan budaya, selanjutnya kemudian digunakan untuk menilai diri di luar dirinya. Di lain pihak, muncul ajakan untuk berjihad di jalan Allah demi Islam, sebuah agitasi yang mengarah ke tindak kekerasan terhadap komunitas tertentu. Padahal, tanpa disadari tindakan itu akan mengakibatkan ribuan korban jiwa dan mengancam ketentraman bersama, bahkan mengorbankan api permusuhan. Ada kecendrungan kalangan tertentu yang ingin mempersempit medan makna Islam, sehingga pandangan keislaman kita menjadi sempit, picik, dan eksklusif.

Demikianlah yang kita saksikan akhir-akhir ini, banyak pemaknaan terhadap Islam yang cenderung lebih dinarasikan sebatas untuk melegitimasi atas tindakan-tindakan anarkis dan menuruti nafsu kepentingan golongannya yang totaliter. Pertanyaannnya kemudian, apakah sebenarnya Islam itu? Sebuah pertanyaan ringkas, namun membutuhkan jawaban yang pas dan ringkas, agar pemahaman tentang Islam itu membawa kita pada pengabdian kepada sosial kehidupan dan pengabdian kepada Wujud Yang Esa, yaitu Tuhan.

Secara etimologis, Islam berasal dari kata ‘salima‘ yang berarti selamat, sentosa, damai, tunduk, dan berserah. Kata ‘salima‘ kemudian berubah dengan wazan ‘aslama’, yang berarti kepatuhan, ketundukan, dan berserah. Jadi, seorang muslim itu harus patuh, tunduk, dan berserah diri pada Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, Islam juga berarti selamat dan menyelamatkan, serta damai dan mendamaikan. Sedangkan secara terminologis, Islam merupakan agama yang ajarannya diwahyukan Allah kepada manusia melalui Nabi Muhammad sebagai rasul.[2]

Sebagai sebuah agama, Islam diyakini mengandung berbagai petunjuk ideal bagi kesejahteraan hidup manusia, yang sarat dengan ajaran moral yang menekankan pada monoteisme dan kesejahteraan sosial.[3] Islam itu ada dua macam, yaitu Islam di bawah iman yang hanya mengakui dengan lisan saja, dan Islam di atas iman yang bersamaan dengan pengakuan lisan, juga dalam hati kemudian diamalkan dalam perbuatan dengan penyerahan diri secara total kepada Tuhan dalam segala hal yang telah dia tetapkan dan tentukan. Tentu Islam yang dimaksud di sini adalah Islam di atas iman.[4]

Jadi, Islam itu memiliki titik tekan pada aspek kepasrahan dan penyerahan diri secara total kepada Allah, bukan sekedar institusi agama yang bernama Islam. Makna Islam juga tidak cukup hanya sebatas simbol yang bersifat legal-formal seperti KTP maupun simbol lain yang melekat pada pribadi seseorang, namun lebih pada kepasrahan dan ketundukan mutlak pada Yang Maha Kuasa. Oleh sebab itu, sebagai umat muslim kita harus lebih mengedepankan aspek Islam di atas iman, bukan sekedar Islam di bawah iman. Sehingga keislaman kita pun akan menjadi sempurna, karena dipenuhi dengan rasa kepasrahan yang mutlak kepada-Nya. Inilah inti dari Islam yang sejatinya itu, yakni pasrah, tunduk, dan patuh.

Selanjutnya, Islam itu bukan sebatas doktrin agama yang berisi ritual saja, namun Islam itu memiliki aneka ragam karakteristik, yang di dalamnya tercakup pada bidang agama, ibadah, akidah, ilmu dan kebudayaan, pendidikan, sosial, ekonomi, kesehatan, politik dan pekerjaan, serta bidang Islam sebagai disiplin ilmu.[5] Dengan demikian, Islam ini sebenarnya mencakup pada seluruh aspek kehidupan manusia, dan semuanya harus bermuara pada makna Islam secara hakiki, yaitu pasrah, tunduk dan patuh kepada Allah SWT.

 

Historisitas dan Proses Penyebaran Islam di Indonesia

Untuk mengurai peta sejarah masuknya Islam di Indonesia sekaligus menelisik proses penyebaran Islam di Indonesia, sangat perlu melakukan suatu identifikasi dan pembedaan yang tegas, antara tahap awal kedatangan, proses penyebaran, dan pembentukan struktur pemerintahan atau kerajaan di Indonesia. Karena ketiga tahapan ini merupakan waktu dan proses panjang dalam perjalanan menuju penyebaran Islam di Indonesia sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat yang dihadapi Islam.

Memang, para sejarahwan berbeda pendapat kapan persisnya Islam Masuk ke Indonesia (Nusantara). Namun, para sejarahwan muslim menyepakati bahwa kedatangan atau masuknya Islam di Indonesia (Nusantara), di mulai sejak abad pertama Hijriyah atau abad VII Masehi adalah langsung dari Arab, yaitu sejak zaman Khulafaur Rasyidin, tepatnya masa Khalifah Utsman Bin Affan.[6] Pada gelombang ini, menghasilkan komunitas muslim, terutama para pedagang muslim dengan penyebaran Islam yang sangat terbatas.[7] Kemudian dilanjutkan gelombang kedua, yaitu sekitar abad VIII di mana penyebaran Islam lebih mantap dan meluas, karena sejak saat itu di Pesisir Aceh Utara (di daerah Lhokseumawe) muncul kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara; Kerajaan Samudra Pasai. Berdirinya kerajaan ini, kemudian berimbas pada kelancaran perdagangan, baik perdagangan dari Arab, Persia, Irak, dan India Selatan, sekaligus berpengaruh secara signifikan pada kedekatan hubungan antara Kerajaan Samudra Pasai dengan Semenanjung Malaka; yang menyebabkan raja Malaka memeluk Islam.

Sebenarnya, mulai dari kedatangan Islam pada abad VII hingga abad XII M di beberapa daerah di Asia Tenggara adalah sebagai tahap awal pembentukan komunitas muslim, terutama dari para pedagang. Kemudian dilanjutkan pada munculnya kerajaan yang bercorak Islam, yaitu sekitar Abad XII hingga XVI M, merupakan kelanjutan dari proses penyebaran Islam di Indonesia.[8] Di mulai sejak abad XIV-XV M, selanjutnya perkembangan Islam di daerah pesisir Jawa juga semakin jelas, dan bahkan Islam berkembang tidak hanya di Bandar, juga masuk ke pusat Kerajaan Majapahit di Trowulan dan Troloyo. Pada abad XIV, kerajaan Majapahit tengah mencapai puncak kejayaannya, namun dengan toleran kerajaan ini menerima para pedagang muslim memasuki Ibu kotanya, dan membolehkan mereka membentuk komunitasnya sendiri. Para pedagang tersebut kemudian diterima oleh masyarakat dan pihak kerajaan karena sikapnya yang akomodatif. Hal ini dapat dibuktikan dengan mengajarkan ilmu ‘kanuragan‘ kepada masyarakat, sehingga menambah kekuatan bagi Majapahit. Selain itu juga sikapnya yang mudah membantu terhadap masyarakat yang terkena musibah.[9]

Hal penting yang perlu dipahami bahwa masuknya Islam hingga penyebarannya di Indonesia, sama sekali tidak melalui proses pemaksaan atau kekerasan, tetapi karena ajarannya yang memihak pada persamaan dan keadilan, termasuk dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan seterusnya. Sehingga Islam secara kultural berangsur-angsur bisa diterima oleh masyarakat lokal saat itu. Demikianlah, secara pelan tapi pasti di mana Islam menyebar dan meluas ke seluruh pelosok negeri, mulai dari kerajaan Samudra Pasai, Aceh, Demak, Banten dan Cirebon, Ternate dan Tidore hingga menyebar ke daerah-daerah sekitarnya. Menjelang akhir abad XVII Islam sudah hampir merata di Indonesia.[10]

Sebenarnya, Islam awal yang berkembang di Indonesia bercorak sinkretis.[11] Ada dua faktor yang mempengaruhi corak sinkretisme ini. Pertama, sebelum kedatangan Islam, masyarakat Indonesia telah dipengaruhi secara dominan oleh agama Hindu, Budha dan kepercayaan Animisme dan Dinamisme, yang terlebih dahulu berkembang. Kedua, Islam yang masuk melalui jalur India sebagai wilayah asal agama Hindu yang kental dengan nuansa atau tradisi Animistic dan Dynamistic, yang sangat membuka peluang tumbuh suburnya Islam sinkretis ini. Sedangkan proses purifikasi atau pemurnian kembali ajaran Islam orisinal terjadi karena seiring dengan semakin banyak dan mudahnya orang Indonesia yang Haji ke Makkah.[12]

Kaitan dengan proses Islamisasi di Indonesia, sebenarnya sangat berhubungan dengan tiga kondisi penting. Pertama, proses Islamisasi dalam hubungannya dengan pembentukan kebudayaan Islam yang berhadapan dengan aneka warna kebudayaan lokal, tradisi, dan adat istiadat lokal. Interaksi antara Islam dengan sistem nilai lokal ini pada gilirannya melahirkan berbagai bentuk respons dan reaksi. Kedua, Islam merupakan pandangan baru di dalam masyarakat kepulauan Indonesia. Sebelum Islam masuk ke Indonesia telah ada sistem keyakinan, kepercayaan, keagamaan atau setidaknya tradisi spiritualitas yang dianut komunitas lokal; yang dulu pernah disebut antropolog sebagai kepercayaan asli dan agama Hindu-Budha. Kepercayaan lokal dan tradisi Hindu-Budha tersebut tidak lagi berdiri secara sendiri-sendiri, namun telah bercampur dan membentuk sistem kepercayaan yang sinkretis. Ketiga, Islam bukan merupakan satu-satunya sumber pengetahuan atau sistem nilai yang ada dalam masyarakat Indonesia, karena selain kepercayaan lokal dan Hindu-Budha, juga muncul pula pengaruh budaya Eropa (Barat) yang mulai berkembang dalam waktu bersamaan dengan kedatangan para penjajah bangsa Eropa di Asia Tenggara.[13]

Dari berbagai uraian dan penjelasan di atas, sebenarnya keragaman suku bangsa yang tersebar di seluruh kepulauan Nusantara merupakan kondisi objektif yang sangat penting dan sangat berpengaruh dalam keseluruhan proses penyebaran dan pembentukan tradisi Islam di Indonesia. Perbedaan suku bangsa tersebut tidak hanya mengandung perbedaan bahasa, adat istiadat, sistem keyakinan, dan keberagamaan masyarakat, namun juga setiap suku bangsa memiliki sistem pengetahuan dan cara pandang yang tidak jarang berbeda satu sama lain. Masuknya unsur baru dalam kehidupan satuan-satuan tersebut, tentu saja mendapatkan reaksi yang beragam. Adanya hukum adat yang terbentuk dari tradisi sosial-budaya masyarakat setempat merupakan bentuk yang paling jelas dari institusi lokal yang mengatur tatanan masyarakat. Dalam hal ini, terjadi suatu interaksi antara hukum Islam dengan hukum adat yang telah ada sebelum Islam; telah terjadinya suatu proses akomodasi kultural.

Kemampuan akomodasi kultural tersebut, dapat dilihat dari kemampuan Islam untuk beradaptasi dengan tradisi dan adat lokal yang ada, serta pada kemampuannya untuk mempertahankan nilai-nilai pokok keislaman. Dalam proses penyesuaian diri tersebut, tampak bahwa Islam tidak hanya melakukan penjinakan (domestifikasi) terhadap dirinya dengan mengkompromikan kerangka universalnya sehingga lebur dalam tradisi dan adat lokal, Islam juga ‘mengeksploitasi’ sejauh mungkin unsur-unsur tradisi lokal yang dapat disesuaikan ke dalam keharusan nilai-nilai dalam Islam.

 

Peran Islam Sesuai Dengan Perkembangan Zaman

Islam sebagai suatu ajaran tentang kehidupan manusia merupakan suatu pandangan yang tidak diperdebatkan lagi di kalangan muslim. Akan tetapi bagaimana Islam itu dipahami dan terapkan oleh pemeluknya dalam kehidupan. Dalam konteks inilah kemudian terletak persoalan yang sebenarnya. Islam sebagai ajaran memang satu, tetapi pemahaman terhadap Islam itu beragam. Munculnya interpretasi yang beragam tersebut disebabkan oleh banyak faktor, di antaranya faktor dan situasi sosiologis, kultural, dan intelektual, sangat berpengaruh dalam menentukan bentuk da isi pemahaman.

Waktak multi-interpretatif tersebut, telah berperan sebagai dasar dari kelenturan Islam dalam sejarah. Hal yang demikian ini, juga mengisyaratkan keharusan pluralisme dalam tradisi Islam. Sebagaimana telah dikatakan oleh banyak pihak bahwa Islam tidak bisa dan tidak seharusnya dilihat secara monolitis. Hal ini berarti bahwa Islam yang empiris dan aktual, karena berbagai perbedaan dalam konteks sosial, ekonomi, politik, akan dipahami dan digunakan secara berbeda.

Sebagai agama yang hidup di tengah umat, wawasan pemikiran keislaman dan keagamaan umat muslim mengalami perubahan di sana sini karena tantangan, peluang, dan hambatan yang dihadapi telah berubah bentuknya. Kita lihat realitas pemikiran umat Islam Indonesia, yang telah menunjukkan fenomena kemajemukan, baik dalam paham keagamaan maupun sosial keagamaan.[14] Kemajemukan ini sejalan dengan kemajemukan masyarakat Indonesia itu sendiri, atas dasar suku bangsa, bahasa, dan agama. Segmentasi umat Islam di Indonesia antara lain mempunyai dimensi yang bersifat kultural. Ini artinya, keragaman kelompok umat Islam mempunyai latarbelakang budaya keagamaan (religio-kultural) yang relatif berbeda, dan yang sejalan dengan perbedaan latarbelakang budaya kemasyarakatan (sosio-kultural) mereka.

Pengaruh latarbelakang budaya lokal seperti dimaksud, dapat diamati umpamanya pada kecenderungan masing-masing pendiri NU dan Muhammadiyah. KH. Hasyim Asy’ari, pendiri NU, yang hidup di lingkungan budaya santri yang kuat di Jombang, menawarkan model pendekatan terhadap Islamisasi yang dapat disebut santrinisasi santri. Sementara pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan, yang hidup di lingkungan budaya priyayi di Kauman Yogykarta, menawarkan model pendekatan yang dapat disebut santrinisasi priyayi atau priyayisasi santri.

Kedua pendekatan tersebut, memiliki watak dan logika sendiri. Baik KH. Hasyim Asy’ari maupun KH. Ahmad Dahlan, telah memberikan yang terbaik bagi pembangunan Islam yang relevan dengan setting kultural yang mereka hadapi. Kedua organisasi yang mereka lahirkan merupakan dua sayap penting bagi perkembangan paham keislaman di Indonesia.

Dari penggambaran di atas, jelas sekali menunjukkan bahwa corak pemikiran Islam mencerminkan hasil hubungan yang dialektis dengan persoalan. Bisa juga dalam konteks hari ini, perjumpaan Islam dengan modernitas atau perjumpaan Islam dengan kebangsaan dan kekuatan Negara, yang terakhir perjumpaan Islam dengan kekuatan budaya lokal. Intinya, pentingnya bagi kaum muslim hari ini melihat doktrin Islam tentang keragaman dan kebebasan artikulasi beragama.[]

 

 

Daftar Pustaka

 

Aden Wijdan SZ., dkk. 2007. Pemikiran & Peradaban Islam. Yogyakarta: Safiria Insania Press.

Fauz Noor. 2012. Berpikir Seperti Nabi. Yogyakarta: LKiS.

Fazlur Rahman. 1983. Tema Pokok Al-Qur’an. Bandung: Pustaka.

Harun Nasution. 1983. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Bandung: Bulan Bintang.

Komaruddin Hidayat. 2012. Agama Punya Seribu Nyawa. Jakarta: Noura Books.

Nur Sayyid Santoso Kristeva. 2014. Sejarah Teologi Islam dan Akar Pemikiran Ahlussunnah Wal Jama’ah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tabrani. 2015. Arah Baru Metodologi Studi Islam. Yogyakarta: Ombak.

Taufik Abdullah (ed). 2002. Ensiklopedia Islam Tematis; Jilid I & V, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.

Yunahar Ilyas. 1994. Muhamadiyah dan NU; Reorientasi Wawasan Keislaman. Yogyakarta: Kerjasama LPPI UMY, LKPSM NU dan PP al-Muhsin.

 



[1] Disampaikan dalam acara: Open Recruittmen (Oprec) UKM Kajian Wacana IANU Kebumen Periode 2019-2020. Pada Sabtu, 21 November 2020, di Desa Maduretno, Kecamatan Buluspesantren.

[2] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Bandung: Bulan Bintang, 1983), hlm. 9.

[3] Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka, 1983), hlm. 49.

[4] Fauz Noor, Berpikir Seperti Nabi, (Yogyakarta: LKiS, 2012), hlm. 157.

[5] Tabrani, Arah Baru Metodologi Studi Islam, (Yogyakarta: Ombak, 2015), hlm. 76-93.

[6] Nur Sayyid Santoso Kristeva, Sejarah Teologi Islam dan Akar Pemikiran Ahlussunnah Wal Jama’ah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), hlm. 179-191.

[7] Aden Wijdan SZ. dkk., Pemikiran & Peradaban Islam, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2007), hlm. 47.

[8] Taufik Abdullah (ed), Ensiklopedia Islam Tematis; Jilid I & V, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), hlm. 28.

[9] Aden Wijdan SZ. dkk. Op. Cit., hlm. 47.

[10] Nur Sayyid Santoso Kristeva, Op. Cit., hlm. 193.

[11] Menarik diperhatikan, menurut catatan sejarah, muatan Islam yang berkembang pada masa awal lebih banyak bermuatan tasawuf. Ini mungkin berkaitan dengan situasi dunia Islam Timur Tengah yang secara politik sedang mengalami kemunduran dan kemudian berkembang paham tasawuf. Ada juga teori lain yang menyebut bahwa Islam yang datang ke Indonesia melewati Persia dan India telah dipengaruhi oleh tradisi esoterisme (tasawuf) dan filsafat, sehingga ekspresi dan artikulasinya lebih inklusif, estorik, ramah. Lihat: Komaruddin Hidayat, Agama Punya Seribu Nyawa, (Jakarta: Noura Books, 2012), hlm. 177.

[12] Nur Sayyid Santoso Kristeva, Op. Cit., hlm. 179-180.

[13] Taufik Abdullah (ed.), Op. Cit., hlm. 29.

[14] Yunahar Ilyas, Muhamadiyah dan NU; Reorientasi Wawasan Keislaman, (Yogyakarta: Kerjasama LPPI UMY, LKPSM NU dan PP al-Muhsin, 1994), hlm. 170.