Prawacana
Teologi dalam sebuah agama diposisikan sebagai pondasi. Teologi ini sangat berhubungan erat dengan sikap dan perilaku bagi tiap-tiap penganutnya. Titik balik dari keyakinan teologi ini di mana orang-orang yang meyakini pemikiran sebuah teologi kemudian dijadikannya sebagai dasar dalam setiap perilaku maupun tindakan dalam kehidupan. Dalam konteks inilah kemudian dibutuhkan
suatu konsep teologi yang tidak hanya teosentris, melainkan juga teologi yang
bermuara pada implementasi pada antroposentris.
Namun halnya, teologi
yang dianut oleh mayoritas umat Islam saat ini belum bisa mengantarkan umat pada
keyakinan atau pengetahuan yang meyakinkan tentang Tuhan dan wujud-wujud
spiritual lainnya, tetapi baru pada tahap mendekati keyakinan. Selain itu,
konsep-konsep teologi yang dianut umat Islam saat ini lebih berisi
konsep-konsep melangit dengan ide-ide kosong, bukan ide-ide konkret yang bisa membangkitkan
sekaligus menuntun umat untuk menjalani kehidupan nyata, dan seakan
konsep-konsep tersebut seperti asing bagi dirinya sendiri maupun orang banyak.
Kenyataannya,
konsep-konsep teologi yang berkembang saat ini hanya digunakan untuk
mempertahankan dogma-dogma yang bersifat teosentris ketimbang mendiskusikan masalah-masalah
pokok kaitan dengan kehidupan individu dan sosial manusia yang bersifat
antroposentris. Jikalau melihat kembali pada sejarah masa lalu—bisa jadi juga
terjadi pada saat ini—pemikiran teologi kerap kali dijadikan persembahan bagi penguasa
untuk melanggengkan kekuasaan (status
quo), sehingga dalam perjalanannya
tak jarang terjadi pemaksaan dan pertumpahan darah. Seharusnya, pemikiran
teologi itu bisa menjadi motivasi dan spirit yang membebaskan, serta sebagai dasar
utama manusia menuju ke arah kemandirian, kesadaran dan kemajuan.
Teologi yang selama ini dikenal sebagai keilmuan yang
hanya berhubungan dengan sesuatu yang bersifat dogmatis atau
institusi-institusi keagamaan tertentu, kini telah dihubungkan dengan kata
‘pembebasan’, yang kemudian dikenal dengan istilah “Teologi Pembebasan”.
Pada akhir-akhir ini, gagasan pembebasan tersebut mulai dikembangkan oleh
banyak tokoh atau pemikir Islam progresif hingga masuk dalam tradisi pemikiran
keislaman baik menggunakan istilah dan corak pemikiran dengan metode analisis serta
pemecahan masalah yang sama dengan semangat persamaan dan pembebasan yang
dimiliki oleh umat Islam; perlu dikedepankan kembali serta bagaimana cara
pemahaman Islam yang membebaskan adalah langkah kerja konkret dan menarik.
Hassan Hanafi,
sebagai pemikir Islam, ia mencoba menafsirkan kembali dalil-dalil teologi dalam
Al-Quran dan Sunnah, dengan metode pemikiran dialektika, fenomenologi, dan
hermeneutik. Dalil-dalil teologi oleh Hanafi, tidak lagi dipergunakannya untuk membuktikan
ke-Maha-an dan kesucian Tuhan, melainkan justru difungsikannya sebagai tuntutan
kepada manusia agar mereka mengamalkan konsep dari dalil-dalil tersebut dalam
kehidupan nyata. Konsep antroposentris inilah yang lebih ditekankan.
Rekonstruksi teologi Hassan Hanafi dari teosentris ke antroposentris ini diejawantahkan
dalam gerakan pemikirannya, yaitu “Kiri Islam”, yang sejujurnya telah
menginspirasi banyak orang untuk memikirkan kembali pemikiran teologi yang
mempunyai kontribusi positif dalam perilaku kehidupan umat Islam, juga berusaha
merekonstruksi sekaligus sebagai spirit pemikiran Islam ke arah yang bisa membebaskan
pemikiran umat dari segala bentuk penindasan.
Pengertian Teologi
Pembebasan
Perkataan bebas dapat
menunjukkan bermacam-macam kenyataan. Sebagai contoh, pemakaian istilah kebebasan melukiskan sejarah manusia
dari sudut perjuangan untuk memperoleh kebebasan.
Dalam pandangan ini, kebebasan adalah bukan sesuatu yang dimiliki oleh manusia
demi kodrat, melainkan sesuatu yang perlu diperjuangkan. Kemudian, kebebasan yang diperjuangkan bangsa
manusia ialah kebebasan dari belenggu alam. Bangsa manusia sekarang (jauh
lebih) bebas dari penyakit, kelaparan, ketidakamanan, dan lain sebagainya.
Bentuk kebebasan ini disebut citra progresif. Kebebasan juga adalah kebebasan dari belenggu institusi-institusi
politik yang telah maju. Dengan kembali kepada cara-cara hidup yang lebih
primitif dan alamiah, orang mengharapkan bisa dibebaskan dari belenggu-belenggu
ini. Bentuk kebebasan ini disebut citra
romantis.
Arti kata bebas,
kebebasan, dan pembebasan baru menjadi jelas jikalau dikatakan dari apa seseorang itu
telah dibebaskan. Oleh sebab itu, kebebasan di sini maksudnya adalah kebebasan
manusia dengan tanpa penghalang atau pembatas, paksaan, halangan, bebas atau
kewajiban seseorang untuk memperoleh hak-hak asasinya yang luhur dan manusiawi.
Kemudian istilah pembebasan
yang dipakai untuk spektrum agama, pertama kali muncul pada Gereja Kristen di
Amerika Latin, baik oleh Pastor ataupun para aktivis muda yang menyadari bahwa
kondisi sosial politik di Amerika Latin sangat buruk, dan Gereja terlibat dalam
perkara ini; karena Gereja tetap menerima bantuan dari rezim diktator,
mengakui, dan menyokongnya. Gustavo Gutierrez, seorang juru bicara kelompok
ini, mengecam situasi tersebut dengan menerbitkan bukunya Teologia de Liberation, atau teologi pembebasan.
Seperti yang pernah dinyatakan oleh Leonardo Boff,
teologi pembebasan adalah pantulan pemikiran sekaligus cerminan dari keadaan
nyata; suatu praksis yang sudah ada sebelumnya. Lebih tepatnya, ini adalah
pengungkapan atau pengabsahan suatu gerakan sosial yang amat luas yang muncul
pada awal tahun 1960-an. Gerakan ini melibatkan sektor-sektor penting dari
Gereja (para romo, para pengamal tarekat-tarekat atau ordo-ordo keagamaan dan
para uskup), gerakan-gerakan keagamaan orang awam (Aksi Katolik, Pemuda
Perguruan Tinggi Katolik, Pemuda Buruh Kristen), keterlibatan Pastoral yang
merakyat serta kelompok-kelopok basis masyarakat gereja.
Gerakan mereka di awali dengan menghimpun diri dan
menentang sebab-sebab penghisapan atas dasar nalar moral dan kerohanian yang
diilhami oleh budaya keagamaan mereka, yaitu iman Kristen dan tradisi Katolik.
Lebih jauh lagi, mantra keagamaan dan moral inilah yang merupakan faktor hakiki
yang menggerakkan semangat ribuan aktivis Kristen dalam serikat-serikat buruh,
kerukunan-kerukunan tetangga, front-front kerakyatan dan revolusioner.
Kemiskinanlah yang menjadikan mereka sadar akan keadaan mereka sendiri, dan
mengorganisir diri untuk berjuang sebagai orang Kristen dan sebagai anggota
Gereja yang diilhami oleh suatu iman.
Selanjutnya, teologi pembebasan adalah sebagai batang
tubuh dari karya-karya tulis yang dihasilkan sejak tahun 1970-an oleh
tokoh-tokoh seperti Gustavo Gutierrez (Peru), Rubem Alves, Carlos Masters, Hugo
Assmann, Leonardo dan Clodovis Boff (Brazilia), Jon Sobrino, Ignacio Ellacuria
(El Salvador), Segundo Galilea, Ronaldo Munoz (Chili), Jose Miguel Bonino, Juan
Carlos Scannone (Argentina), Juan-Luis Segundo (Uruguay), adalah produk
kerohanian (istilah ini, sebagaimana yang sudah kita ketahui berasal dari buku German Ideology-nya Marx) dari gerakan sosial ini.
Karena teologi menurut pengikutnya tidak hanya bersifat
spekulatif dan tidak boleh hanya dimaksudkan memberikan kepuasan emosionaal
kepada manusia, tetapi harus memberikan pedoman untuk mewujudkan suatu
masyarakat yang lebih adil; walaupun untuk maksud tersebut harus menggunakan
analisis Marxis untuk mengerti lebih baik sistem sosial politik. Namun harus
diakui bahwa dengan menyertakan di dalamnya suatu doktrin keagamaan yang
benar-benar masuk akal (rasional) dan teologi pembebasan ini telah memberikan
sumbangsih besar terhadap peluasan dan penguatan gerakan-gerakan tersebut. Meskipun
ada perbedaan-perbedaan penting antara para teolog di dalamnya, namun dari
beberapa ajaran dasar teologinya terdapat beberapa kesamaan dalam banyak karya tulis yang
telah mereka hasilkan; selain telah membentuk suatu pergeseran radikal dari
ajaran tradisional mapan Gereja Katolik maupun Protestan.
Dari beberapa ajarannnya yang terpenting yaitu:
Pertama, gugatan moral dan sosial
yang amat keras terhadap ketergantungan pada kapitalisme; sebagai suatu sistem
yang tidak adil dan tidak beradab, dan sebagai suatu bentuk dosa struktural. Kedua, penggunaan alat analisis Marxisme
dalam rangka memahami sabab-musabab kemiskinan, pertentangan-pertentangan dalam
tubuh kapitalisme, dan bentuk-bentuk perjuangan kelas. Ketiga, pilihan khusus bagi kaum miskin dan kesetiakawanan terhadap
perjuangan mereka menuntut kebebasan. Keempat,
pengembangan basis kelompok-kelompok masyarakat Kristen di kalangan orang
miskin sebagai suatu bentuk baru Gereja, dan sebagai suatu alternatif terhadap
cara hidup individualis yang dipaksakan oleh kaum kapitalis. Kelima, suatu pembacaan baru pada
Al-Kitab yang meberikan perhatian penting pada bagian-bagian Kitab Keluaran
sebagai paradigma perjuangan pembebasan rakyat yang diperbudak. Keenam, perlawanan menentang
pemberhalaan (jadi bukan atheisme) sebagai musuh utama agama, yakni menentang
berhala-berhala baru yang disembah oleh Fir’aun-Fir’aun baru, Caesar-Caesar
baru dan Herodes-Herodes baru seperti uang, kekayaan, kekuasaan, keamanan
nasional, negara, pasukan militer, dan peradaban Kristen Barat. Ketujuh, sejarah pembebasan manusia
adalah antisipasi akhir dari penyelamatan Kristen dan kerajaan Tuhan. Kedelapan, kecaman terhadap teologi
tradisonal yang bermuka ganda sebagai hasil dari filsafat Yunani Platonis,
bukan dari tradisi murni Injil.
Sekilas Biografi
Hassan Hanafi
Hassan Hanafi dilahirkan di Kota Kairo, Mesir pada 13 Februari 1935 Masehi.
Keluarganya berasal dari Bani Suwayf, sebuah provinsi yang berada di Mesir dan
ber-urban ke Kairo, ibu kota Mesir. Mereka mempunyai darah keturunan Maroko.
Kakeknya berasal dari Maroko, sementara neneknya dari kabilah Bani Mur yang di antaranya
menurunkan Bani Gamal Abd al-Nasser, Presiden Mesir kedua. Kakeknya memutuskan
untuk menetap di Mesir setelah menikahi neneknya saat singgah di Mesir Tengah
ketika pulang dari perjalanan menunaikan ibadah haji.
Masa kecil Hanafi berhadapan dengan kenyataan-kenyataan
hidup di bawah penjajahan dan dominasi pengaruh bangsa asing. Kenyataan itu
membangkitkan sikap patriotik dan nasionalismenya, sehingga tidak heran meskipun
masih berusia 13 tahun, ia telah mendaftarkan diri untuk menjadi sukarelawan
perang melawan Israel pada tahun 1948. Ia ditolak oleh pemuda Muslimin karena
dianggap usianya masih terlalu muda. Di samping itu, ia juga dianggap bukan
berasal dari kelompok Pemuda Muslimin. Ketika masih duduk dibangku sekolah
setara SMA, tepatnya pada tahun 1951, Hanafi menyaksikan langsung bagaimana
tentara Inggris membantai para Syuhada di Terusan Suez.
Bersama-sama para mahasiswa ia mengabdikan diri untuk
membantu revolusi yang telah dimulai pada akhir tahun 1940-an, hingga revolusi
itu meletus pada tahun 1952. Atas saran-saran anggota Pemuda Muslim, pada tahun
itu pula, ia tertarik untuk memasuki organisasi Ikhwanul Muslimin. Akan tetapi, di tubuh Ikhwan pun
terjadi perdebatan yang sama dengan apa yang terjadi ketika ingin mendaftarkan
diri menjadi sukarelawan Palestina. Kemudian Hassan Hanafi disarankan oleh para
anggota Ikhwanul untuk bergabung dalam organisasi Mesir Muda. Ternyata keadaan
di dalam tubuh Mesir Muda juga sama dengan kedua organisasi sebelumnya. Hal inilah
yang menyebabkan ketidakpuasan Hassan Hanafi atas cara berfikir kalangan muda
Islam yang terkotak-kotak. Kekecewaannya tersebut yang menyebabkan dirinya
untuk memutuskan diri pada konsentrasi dan untuk mendalami berbagai pemikiran-pemikiran
keagamaan, revolusi, dan perubahan sosial. Hal ini juga yang menyebabkan ia
lebih tertarik pada pemikiran-pemikiran Sayyid Qutb tentang prinsip-prinsip
keadilan sosial dalam Islam.
Kejadian-kejadian yang dialami pada waktu itu, terutama yang
dihadapi di kampus, membuatnya bangkit menjadi seorang pemikir, pembaharu, dan
reformis. Keprihatinan yang muncul saat itu adalah mengapa umat Islam selalu
dikalahkan, dan mengapa konflik internal dalam Islam selalu terjadi.
Tahun-tahun berikutnya, Hassan Hanafi berkesempatan untuk
belajar di Universitas Sorbonne, Prancis
pada tahun 1956 sampai 1966. Di kampus ini ia memperoleh lingkungan yang
kondusif untuk mencari jawaban atas persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi
oleh negerinya sekaligus merumuskan jawaban-jawabannya. Negara Prancis adalah
tempat melatih dirinya untuk berfikir secara metodologis melalui kuliah-kuliah
maupun bacaan-bacaan dan karya-karya orientalis. Ia sempat belajar pada seorang
reformis Katolik, Jean Guitto, tentang metodologi berfikir, pembaharuan, dan
sejarah filsafat.
Ia juga belajar fenomenologi dari Paul Recour, analisis kesadaran dari Husser, dan
bimbingan penulisan tentang pembaharuan ushul fikih dari Prof. Masnion. Tidak
heran jika dikandang orientalis
Hassan Hanafi berhasil menguasai tradisi, pemikiran, dan keilmuan Barat dengan
cukup baik. Cendekiawan
Muslim Mesir ini, yang juga Profesor Filsafat di Universitas Kairo, wafat pada
hari Kamis, 21 Oktober tahun 2021 dalam usia 86 tahun.
Konsep
Teologi Hassan Hanafi
Semua umat Islam percaya bahwa ajaran Islam
adalah suatu norma yang bisa diadaptasi oleh bangsa apa saja dan dalam waktu
kapan saja (sholikh likulli zaman wa makan). Ajaran inti dalam Islam adalah tauhid. Tauhid adalah
pandangan dunia (world view) sekaligus asal seluruh
pengetahuan. Karenanya, kita harus mengkaji konsep tauhid dan bagaimana
pandangan dunia tauhid itu dapat berfungsi untuk membangun dunia Islam. Kita
berupaya menemukan bahwa tauhid adalah pemikiran yang seluruhnya mempunyai
kaitan yang erat. Hassan Hanafi menegaskan bahwa membangkitkan semangat tauhid
merupakan keharusan. Tauhid di sini bukanlah pernyataan ke-Esa-an Tuhan
sebagaimana banyak dipahami umat Islam sebagai antitesis dari konsep Trinitas
dalam agama Kristen.
Selanjutnya, Hassan Hanafi mengajukan konsep baru tentang
teologi Islam yang ilmiah dan membumi, sebagai alternatif atas kritiknya bahwa
teologi tidak ilmiah dan terkesan melangit. Tujuannya sudah barang tentu untuk
menjadikan teologi tidak sekadar sebagai dogma keagamaan yang kosong tanpa
makna, melainkan teologi yang menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial
serta yang menjadikan keimanan dapat berfungsi secara aktual sebagai landasan
etik dan motivasi tindakan manusia. Karena itu, gagasan teologi Hassan Hanafi ini
adalah gagasan atau pun konsep teologi yang berusaha mentranformasikan teologi
tradisional yang bersifat teosentris menuju teologi yang antroposentris, dari
Tuhan di langit kepada manusia di bumi, dari tekstual ke kontekstual, dari
teori kepada tindakan, dari takdir terkungkung kepada takdir kebebasan.
Pemikiran ini setidaknya didasari oleh dua alasan penting. Pertama, kebutuhan adanya sebuah ideologi dan teologi yang jelas
dan konkret di tengah pertarungan ideologi-ideologi global. Kedua, perlunya bangunan teologi yang
bukan hanya bersifat teoretik, melainkan juga praktis yang dapat melahirkan
gerakan dalam sejarah.
Dalam kaitan di atas, Hanafi menawarkan dua teori yang digunakannya
untuk mengatasi kekurangan teologi klasik yang teosentris.
Pertama, analisa bahasa. Bahasa dan istilah-istilah teologi klasik
adalah warisan umat Islam terdahulu, yang seolah-olah menjadi doktrin yang
khas, paten, dan tidak bisa diganggu gugat. Menurut Hanafi, istilah-istilah
dalam teologi sebenarnya tidak hanya mengarah pada yang transenden atau yang gaib, namun juga di dalamnya mengungkap
tentang sifat-sifat dan metode keilmuan empirik-rasional seperti iman, amal, imammah, atau yang historis seperti nubuwah, juga yang metafisis seperti
Tuhan dan akhirat. Kedua, analisis realitas sosial. Analisis ini diperlukan untuk
mengetahui latar belakang historis-sosiologis munculnya teologi di masa lalu
dan bagaimana pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat atau penganutnya.
Selanjutnya, analisa realitas sosial juga digunakan untuk menentukan arah dan
orientasi teologi kontemporer.
Untuk melandingkan dua tawaran di atas, Hanafi menggunakan
tiga metode berfikir, yaitu dialektika, fenomenologi, dan hermeneutik. Dialektika adalah metode pemikiran yang
didasarkan pada asumsi dasar bahwa proses perkembangan sejarah terjadi lewat
konfrontasi dialektis saat tesis melahirkan antitesis, selanjutnya melahirkan sintesis.
Fenomenologi, adalah gagasan Husserl
(1859-1938), sebuah metode berfikir untuk mencari hakekat sebuah fenomena atau
realitas. Hakekat fenomena dapat dicapai, menurut Husserl, melalui tiga tahap
reduksi. Pertama, reduksi
fenomenologis, yaitu suatu objek dipandang apa adanya tanpa ada prasangka. Kedua, reduksi eidetik, yaitu menyaring segala sesuatu yang bukan menjadi hakekat
objek, untuk mencari dan mengenal fundamental struktur dari objek. Ketiga, reduksi transendental, yaitu
kesadaran murni agar dengan objek tersebut seseorang dapat mencapai dirinya sendiri,
atau bagaimana ide atau gagasan tentang objek tersebut dapat dilaksanakan dalam
upaya untuk kebaikan dan kesempurnaan hidup subjek.
Hanafi menggunakan fenomenologi untuk menganalisis, memahami
dan memetakan realitas-realitas sosial, politik, ekonomi, realitas dunia Islam,
dan realitas tantangan Barat yang di atasnya dibangun sebuah revolusi. Sebagaimana
kata-katanya: “sebagai bagian dari gerakan Islam di Mesir, saya tidak punya
pilihan lain kecuali menggunakan fenomenologi untuk menganalisis Islam di
Mesir”.
Dengan metode ini, Hanafi sebenarnya ingin dan agar realitas Islam berbicara
sendiri mengenai kondisi mereka. Sedangkan Islam adalah Islam yang harus
dilihat dari kaca mata Islam, dan bukan dengan kacamata Barat.
Hermeneutik, merupakan sebuah cara penafsiran terhadap teks atau simbol
yang mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan kondisi masa lalu yang
tidak dialami, kemudian dibawa pada masa sekarang. Aktifitas penafsirannya
terdiri dari tiga segi yang saling berhubungan, teks, perantara atau penafsir, dan
penyampaian kepada audiens. Orang yang melakukan hermeneutik harus mampu
menangkap pesan-pesan tersembunyi yang terdapat dalam teks, mengenal
lingkungannya sekaligus masyarakatnya.
Metode hermeneutik digunakan oleh Hanafi dengan tujuan untuk membumikan gagasan
teologinya yang bersifat antroposentris, dari teks ke konteks, dari langit ke
bumi, dan dari teori ke praktek.
Pada tataran ini, Hanafi menggunakan metodologi yang lahir
dari internal Islam, seperti metodologi ‘aql
dan naql. Selanjutnya, dalam rangka membangun kebebasan, Hanafi lebih
banyak menggunakan rasionalisme Mu’tazilah ketimbang teori kasb Asy’ariyah atau
Jabariyah. Begitu pula, ia menggunakan ushul fikih dalam mencari sebab-musabab
sebuah hukum. Dari sela-sela ilmu ushul fikih ini, Hanafi mengetahui masa
lampau, masa kini, dan masa depan kaum muslimin. Dari sinilah ia mengeksplorasi
triangle teori kesadaran: (1)
kesadaran historis, untuk mengetahui validitas teks-teks historis melalui
metode-metode transmisi; (2) kesadaran spekulatif, untuk menginterpretasi
teks-teks dan memahaminya melalui analisis bahasa; dan, (3) kesadaran praksis, untuk
signifikansi nilai-nilai dalam kehidupan praksis. Konsekuensinya adalah bahwa
wahyu ditransformasikan ke dalam sistem-sistem ideal dunia dari celah-celah
usaha dan tindakan manusia, dan tauhid akan disempurnakan sebagai praksis pada
akhir tindakan, bukan dipermulaan, dan Tuhan lebih dekat pada proses “menjadi”
daripada realitas “statis”. Dengan demikian, Hanafi banyak memakai teori klasik
yang berkembang dalam tradisi Islam, tentunya dengan kritisisme yang ketat.
Hassan Hanafi juga
menegaskan bahwa keterbelakangan merupakan watak murni dunia Islam, yang tidak
terjadi dalam pembangunan saja, tetapi (gejala tersebut) menyeluruh, baik yang
menyangkut struktur sosial maupun dalam pandangan dunia secara umum.
Keterbelakangan yang paling berbahaya menurutnya adalah yang menyangkut
kebudayaan dalam kaitannya dengan pandangan dunia, perilaku bangsa, sistem
sosial dan ekonomi, serta pemikiran yang merupakan pandangan terhadap dunia
yang dualistik, hierarkis-piramidal, dan mistis-mitologis. Dari itu semua, maka
tugas Kiri Islam adalah menguak misi kesejarahan Islam dan mentransformasikan
mayoritas rakyatnya dari belenggu kuantitas kepada tataran kualitas.
Demikian terlihat
bagaimana Hassan Hanafi berupaya mengembangkan gagasan Kiri Islam dengan metode
dan kerangka pemikiran yang dipandang layak, serta dapat mengantarkan umat
Islam dalam kerangka menemukan jati diri dan meraih kemenangan dalam segala
bidang.
Kiranya, bahasan
ini tidak sempurna jika hanya diketahui tentang sekelumit motode dan kerangka
berpikir Hanafi sebagai seorang pemikir muslim kontemporer dengan tanpa dikaji
lebih lanjut pokok-pokok pemikirannya yang digagas dalam rangka membangun dunia
Islam yang baru melalui Kiri Islam yang ia kembangkan.
Kiri
Islam
Gagasan tentang
konsep Kiri Islam[19]
diluncurkan oleh Hassan Hanafi karena Ia memandang bahwa dunia Islam belakangan
ini telah didominasi oleh sebuah sistem hegemonik, sehingga perlu dilakukan upaya
perlawanan. Istilah “kiri” dipakai sebagai simbol atas perlawanan, kritisisme,
oposisi, dan perubahan. Tema sentral dari pemikiran Hassan Hanafi yang terdapat
dalam gagasan Kiri Islam ini dapat dikategorikan menjadi agenda besar
pembaruannya. Seluruhnya dapat diklasifikasi pada tiga isu besar, yakni: (1) Revitalisasi
khazanah Islam klasik; (2) Urgensi penentangan atas peradaban Barat; dan (3) Realitas
faktual dunia Islam.
1.
Revitalisasi Khazanah Islam Klasik
Bagi Hassan Hanafi
yaitu rekonstruksi, pembangunan, dan pemurnian khazanah (Islam) klasik sangat
penting untuk dilakukan. Sebab, Kiri Islam sendiri berakar pada dimensi
revolusioner dan juga khazanah Islam klasik.
Dalam hal ini, Hanafi membagi khazanah Islam klasik menjadi beberapa ilmu
pengetahuan, yaitu; pertama, ilmu-ilmu rasional-tradisional, seperti
ilmu ushul al-din, ushul al-fikih, filsafat, dan sufisme. Kedua,
ilmu-ilmu rasional, seperti matematika, astronomi, fisika, kedokteran, dan
farmasi. Ketiga, ilmu-ilmu tradisional seperti ilmu Al-Quran, ilmu hadis,
sirah Nabi, fikih, dan tafsir.
Menurut Hanafi, maksud
dan tujuan dari ‘revolusi khazanah Islam klasik’ adalah unsur rasionalistik
yang dapat mendukung paham kebebasan manusia dan demokrasi. Unsur tersebut itulah
yang dimaksudkan dengan ke-‘kiri’-an, yang dalam hal ini antara lain menunjuk
kelompok Mu’tazilah. Sementara lawannya adalah Asy’ariyah,
sebagai kelompok ‘kanan’. Demikian juga dalam hal fikih, mazhab Malikiyah
sebagai ‘kiri’, dan fikih Hanafiyah sebagai ‘kanan’. Kemudian dalam bidang
tafsir, tafsir bi al-Ra’y sebagai ‘kiri’, dan
tafsir bi al-Ma’tsur sebagai ‘kanan’.[22]
Kiri Islam, sebagai
paradigma yang independen dalam pemikiran, memandang Mu’tazilah sebagai
refleksi gerakan rasionalisme dan kebebasan manusia. Konsep tauhid misalnya, menurut Hanafi,
adalah lebih merupakan prinsip rasional murni daripada konsep personifikasi,
sebagaimana yang menjadi keyakinan Asy’ariyah. Kiri Islam
berupaya mengenal dan menghidupkan kembali pemikiran Mu’tazilah untuk membangun
rasionalisme dalam paham kebebasan.
2.
Perlunya Menentang Peradaban Barat
Menurut Hanafi, Kiri
Islam memiliki keterkaitan dengan agenda Al-Afghani, yaitu melawan kolonialisme
dan keterbelakangan, yang menyerukan kebebasan dan keadilan sosial, serta
(berhasrat) mempersatukan kaum muslim yang telah terpecah-belah dalam banyak
blok. Tugas Kiri Islam adalah mengembalikan kebudayaan Barat ke batas alamiah
dan mengakhiri mitosnya yang (telah) mendunia.
Dengan kata lain, tugas Kiri Islam adalah mendorong peradaban Barat sebagai
tema studi khusus dan objek telaah bagi peradaban non-Barat.
Berkaitan dengan
hal tersebut, Hanafi selanjutnya mengusulkan ‘oksidentalisme’
sebagai (kajian) tandingan bagi ‘orientalisme’ dalam rangka mengakhiri mitos
Barat di maksud.
Hal itu dapat dilakukan dengan memperhatikan dua arah, yakni aspek perkembangan
dan strukturnya. Sebab, biasanya suatu perkembangan melahirkan struktur, tapi
peradaban Barat berkembang sebelum adanya struktur, sehingga struktur
dilahirkan oleh perkembangannya. Peradaban itu sendiri dapat dikelompokkan
menjadi dua, yaitu: (1) sentripetal, di mana ilmu berkeliling di seputar satu
pusat; dan (2) sentrifugal, di mana ilmu itu keluar dari pusat. Dalam konteks
ini, tandas Hanafi, peradaban Islam bersifat sentripetal dan peradaban Barat
bersifat sentrifugal.
3.
Realitas Dunia Islam
Gagasan Kiri Islam
sesungguhnya memberikan gambaran riil situasi dunia Islam,
dan bukan gambaran secara normatif. Realitas dan angka-angka statistik
dibiarkan berbicara sendiri tentang dirinya. Sementara, pemikiran keagamaan
selama ini hanya bertumpu pada model ‘pengalihan’ yang hanya memindahkan bunyi
teks kepada realitas, padahal metode teks seperti itu membutuhkan pembuktian.
Sebab, ia hanya memperjuangkan orang-orang Islam sebagai suatu prinsip, tetapi
tidak memperjuangkan muslim sebagai rakyat. Terakhir, walaupun mengarah pada
realitas, metode teks secara maksimal hanya akan memberikan status, tapi tidak
menjelaskan perhitungan kuantitatif. Padahal, sesungguhnya umat Islam
membutuhkan penjelasan terhadap realitas sampai kepada fakta ‘siapa milik apa’.
Metode Kiri Islam adalah metode kuantitatif dengan angka-angka dan statistik, sehingga
realitas dapat berbicara mengenai dirinya sendiri.
Demikianlah
sekelumit pemikiran Hassan Hanafi dalam mengembangkan dan mengusung gagasan Kiri
Islam sebagai bentuk pemikiran independen dalam tradisi pemikiran. Hal itu
dilakukan tentunya dalam rangka membangun umat Islam pada kondisi dunia yang
lebih meyakinkan, sehingga dapat mengejar ketertinggalannya dari dunia lainnya,
terutama dunia Barat.
Konklusi
Teologi pembebasan bermaksud mendominasikan tauhid secara
revolusioner (pembaharuan tauhid). Pemikiran ini di latar belakangi oleh keberhasilan
revolusi Islam. Teologi pembebasan merupakan rangkaian konsep teoretis tentang
jawaban agama terhadap suatu persoalan tertentu. Tentunya, teologi pembebasan
secara fungsi berbeda dengan teologi klasik. Karena, teologi klasik adalah
konsep teologi yang menjadi bagian dari ilmu kalam, dan bahasannya lebih pada
persoalan tentang Tuhan dengan sifat-sifat-Nya, hubungan manusia dengan Tuhan, atau
yang disebutnya dengan teologi yang melulu
hanya membahas masalah akidah. Sedangkan teologi pembebasan adalah sebagai
pandangan agama terhadap persoalan-persoalan yang muncul.
Teologi dalam pengertian di atas merupakan istilah untuk
konsep agama dalam menghadapi suatu persoalan tertentu, misalnya ketidakadilan
dan penindasan di tengah masyarakat, maka jawaban agama itu berupa ‘teologi
pembebasan’. Berkaitan dengan istilah teologi dengan semangat ‘Kiri Islam’ menggambarkan
semangat anti kejumudan, atau perlawanan terhadap kemapanan yang terjadi dalam
pemikiran Islam dewasa ini, dan merubahnya secara revolusioner. Adapun dalam
menghadapi peradaban Barat yang menekan Islam, maka Hassan Hanafi membuat
proyek oksidentalisme (gerakan orang-orang Timur yang mengkaji tentang keilmuan
Barat).
Daftar Pustaka
A.
H. Ridwan, 1998, Reformasi Intelektual Islam; Pemikiran Hassan Hanafi
Tentang Reaktualisasi Tradisi Islam dan Keilmuan Islam, Yogyakarta: ITTAQA
Press.
Baharu,
Hassan dan Mundiri, Akmal, dkk., 2014, Metodologi Studi Islam; Percikan
Pemikiran Tokoh dalam Membumikan Agama, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Esposito,
Jhon L. dan Voll, Jhon O., 2002, Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer,
terj. Hermawan, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hanafi,
Hassan, 1991, Agama, Ideologi dan Pembangunan, Jakarta: P3M.
________, 2000, Oksidentalisme; Sikap
Kita Terhadap Tradisi Barat, terj. M. Najib Buchari, Jakarta: Paramadina.
________, 2001, Al-Yasar al-Islami;
Paradigma Islam Transformasi, terj. Saiful Muzani, Jakarta: Paramadina.
Lowy, Michael, 2003, Teologi Pembebasan, Penj. Roem
Topatimasang, Yogyakarta: INSIST Press dan Pustaka Pelajar.
Mahmud, Adnan, dkk. (Eds), 2012,
Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Santoso, Listiyono, dkk., 2015, Epistemologi Kiri; Seri Pemikiran Tokoh,
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Shimogoki,
Kazuo,
1993, Kiri Islam, Antara Modernisme dan Postmodernisme;
Telaah Kritis atas Pemikiran Hassan Hanafi,
Yogyakarta: LKiS.
Siswanto,
Joko, 1998, Sistem-Sistem Metafisika Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sumaryono,
1993, Hermeneutik; Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius.
Hassan Baharu dan Akmal Mundiri, dkk., Metodologi Studi
Islam; Percikan Pemikiran Tokoh dalam Membumikan Agama, (Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media, 2014), hlm. 186-187.
Kazuo Shimogoki, Kiri
Islam, Antara Modernisme dan Postmodernisme; Telaah Kritis atas Pemikiran
Hassan Hanafi, (Yogyakarta: LKiS, 1993), hlm. 4.
Hassan Hanafi mendeskripsikan: “guru saya” yang bertanggung jawab
atas semua formasi filosofis saya adalah Jean Guitton, seorang profesor ilmu
filsafat di Sorbonne dan seorang pemimpin modernis Katolik Roma. Jean Guitton
bertindak sebagai pembimbing Hassan Hanafi melalui membaca dan mempelajari
filsafat Barat. Ia juga memberikan panduan kepada Hassan Hanafi dalam
masalah-masalah praktis, seperti bagaimana memberikan kuliah umum dan
metode-metode penelitian. Jean Guitton pernah ke Mesir (1930-an) yang paling
tidak memiliki gambaran sedikit tentang Mesir. Metode dan perspektif Jean
Guitton membantu mengembangkan pemahaman Hassan Hanafi terhadap
pendekatan-pendekatan untuk rekonsiliasi posisi yang berbeda. Hassan Hanafi
sendiri mendeskripsikan dirinya sendiri sebagai bangunan di atas Jean Guitton
dan kemudian menjulang tinggi. Deskripsi ini menggambarkan perkembangan
pemikiran Jean Guitton dari kesadaran individu menuju kesadaran sosial, dari
kanan ke kiri, dan dari agama ke revolusi. Saya gunakan kritik yang berhubungan
dengan kitab Injil secara negatif dan dia memakainya secara positif untuk
memperhatikan sebuah kebenaran. Saya hidup untuk teologi kebebasan, sedangkan
dia takut orang-orang akan berubah ke Marxisme dan kekerasan, dan elemen-elemen
asing itu mungkin memasuki kebenaran otentik. Jhon L. Esposito dan Jhon O.
Voll, Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer, terj. Hermawan, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 75-76.
Hassan Hanafi, Agama,
Ideologi dan Pembangunan, (Jakarta: P3M,
1991), hlm. 408-409.
Joko Siswanto, Sistem-Sistem
Metafisika Barat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998),
hlm. 97-104.
Sumaryono, Hermeneutik;
Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta:
Kanisius, 1993), hlm. 31.
Hassan Hanafi, Oksidentalisme;
Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, terj. M. Najib Buchari, (Jakarta:
Paramadina, 2000), hlm. xi.