Sunday, July 17, 2022

BUKU PENDIDIKAN ISLAM PLURALIS (Ulasan Pemikiran Gus Dur)

Penulis                        : Mizanul Akrom

ISBN                           : 978-623-329-941-1

Ukuran                       : 15.5 cm x 23 cm; hlm.: xii + 122

Penyelaras Aksara     : Nur Azizah Rahma

Desainer Sampul        : Rosyiful Aqli

Penata Isi                    : Rosyiful Aqli

 

Sistem pendidikan Islam yang berjalan selama ini dianggap belum berhasil memerankan fungsi edukatifnya dalam membina kearifan tunas-tunas bangsa guna menyikapi realitas sosial-agama masyarakat bangsa Indonesia yang plural. Akibatnya, kesadaran tunas-tunas bangsa akan kebhinekaan dan penghargaan yang tulus terhadap pluralitas agama terhimpit oleh desakan yang kian merangsek dari kepentingan primordialistik salah satu agama.

Dalam pemikiran Gus Dur, pendidikan Islam harus berbasis pada penghargaan dan penghormatan yang tulus terhadap perbedaan agama. Segala bentuk pendidikan dan kemampuan atas perjuangan masyarakat harus dihargai bersama, bahkan harus dikembangkan, terlebih di Indonesia yang memiliki tingkat pluralitas tinggi. Konsep pendidikan yang ingin dikembangkan Gus Dur adalah religious pluralism based education.

Untuk mengembangkan pendidikan Islam yang menghargai pluralisme, menurut Gus Dur, pendidikan Islam harus mengembangkan paradigma pluralis. Pendidikan Islam berupaya semaksimal mungkin menanamkan nilai-nilai, seperti kemanusiaan, kemajemukan, HAM, dan sebagainya kepada peserta didik sejak dini. Lalu, bagaimanakah pendidikan Islam pluralis ini? Simak ulasan pemikiran Gus Dur selengkapnya dalam buku inspiratif ini.

Pembelian buku bisa melalui toko offline maupun online di Shopee, Lazada, Bukalapak, Tokopedia, atau bisa langsung ke penerbit Literasi Nusantara dengan alamat:  https://penerbitlitnus.co.id/product/pendidikan-islam-pluralis-ulasan-pemikiran-gus-dur-mizanul-akrom/.

BAGIAN I PRAWACANA: KRISIS TOLERANSI BANGSA INDONESIA

BAGIAN II KONSEP PENDIDIKAN ISLAM DAN PLURALISME

BAGIAN III TENTANG GUS DUR

BAGIAN IV PEMIKIRAN GUS DUR

BAGIAN V ULASAN PEMIKIRAN GUS DUR

BAGIAN VI IKHTITAM

 

Wednesday, July 06, 2022

TEOLOGI PEMBEBASAN PERSPEKTIF HASSAN HANAFI

TEOLOGI PEMBEBASAN PERSPEKTIF HASSAN HANAFI

Prawacana

Teologi dalam sebuah agama diposisikan sebagai pondasi. Teologi ini sangat berhubungan erat dengan sikap dan perilaku bagi tiap-tiap penganutnya. Titik balik dari keyakinan teologi ini di mana orang-orang yang meyakini pemikiran sebuah teologi kemudian dijadikannya sebagai dasar dalam setiap perilaku maupun tindakan dalam kehidupan. Dalam konteks inilah kemudian dibutuhkan suatu konsep teologi yang tidak hanya teosentris, melainkan juga teologi yang bermuara pada implementasi pada antroposentris.

Namun halnya, teologi yang dianut oleh mayoritas umat Islam saat ini belum bisa mengantarkan umat pada keyakinan atau pengetahuan yang meyakinkan tentang Tuhan dan wujud-wujud spiritual lainnya, tetapi baru pada tahap mendekati keyakinan. Selain itu, konsep-konsep teologi yang dianut umat Islam saat ini lebih berisi konsep-konsep melangit dengan ide-ide kosong, bukan ide-ide konkret yang bisa membangkitkan sekaligus menuntun umat untuk menjalani kehidupan nyata, dan seakan konsep-konsep tersebut seperti asing bagi dirinya sendiri maupun orang banyak.

Kenyataannya, konsep-konsep teologi yang berkembang saat ini hanya digunakan untuk mempertahankan dogma-dogma yang bersifat teosentris ketimbang mendiskusikan masalah-masalah pokok kaitan dengan kehidupan individu dan sosial manusia yang bersifat antroposentris. Jikalau melihat kembali pada sejarah masa lalu—bisa jadi juga terjadi pada saat ini—pemikiran teologi kerap kali dijadikan persembahan bagi penguasa untuk melanggengkan kekuasaan (status quo), sehingga dalam perjalanannya tak jarang terjadi pemaksaan dan pertumpahan darah. Seharusnya, pemikiran teologi itu bisa menjadi motivasi dan spirit yang membebaskan, serta sebagai dasar utama manusia menuju ke arah kemandirian, kesadaran dan kemajuan.

Teologi yang selama ini dikenal sebagai keilmuan yang hanya berhubungan dengan sesuatu yang bersifat dogmatis atau institusi-institusi keagamaan tertentu, kini telah dihubungkan dengan kata ‘pembebasan’, yang kemudian dikenal dengan istilah “Teologi Pembebasan”.[1] Pada akhir-akhir ini, gagasan pembebasan tersebut mulai dikembangkan oleh banyak tokoh atau pemikir Islam progresif hingga masuk dalam tradisi pemikiran keislaman baik menggunakan istilah dan corak pemikiran dengan metode analisis serta pemecahan masalah yang sama dengan semangat persamaan dan pembebasan yang dimiliki oleh umat Islam; perlu dikedepankan kembali serta bagaimana cara pemahaman Islam yang membebaskan adalah langkah kerja konkret dan menarik.

Hassan Hanafi, sebagai pemikir Islam, ia mencoba menafsirkan kembali dalil-dalil teologi dalam Al-Quran dan Sunnah, dengan metode pemikiran dialektika, fenomenologi, dan hermeneutik. Dalil-dalil teologi oleh Hanafi, tidak lagi dipergunakannya untuk membuktikan ke-Maha-an dan kesucian Tuhan, melainkan justru difungsikannya sebagai tuntutan kepada manusia agar mereka mengamalkan konsep dari dalil-dalil tersebut dalam kehidupan nyata. Konsep antroposentris inilah yang lebih ditekankan. Rekonstruksi teologi Hassan Hanafi dari teosentris ke antroposentris ini diejawantahkan dalam gerakan pemikirannya, yaitu “Kiri Islam”, yang sejujurnya telah menginspirasi banyak orang untuk memikirkan kembali pemikiran teologi yang mempunyai kontribusi positif dalam perilaku kehidupan umat Islam, juga berusaha merekonstruksi sekaligus sebagai spirit pemikiran Islam ke arah yang bisa membebaskan pemikiran umat dari segala bentuk penindasan.

Pengertian Teologi Pembebasan

Perkataan bebas dapat menunjukkan bermacam-macam kenyataan. Sebagai contoh, pemakaian istilah kebebasan melukiskan sejarah manusia dari sudut perjuangan untuk memperoleh kebebasan.[2] Dalam pandangan ini, kebebasan adalah bukan sesuatu yang dimiliki oleh manusia demi kodrat, melainkan sesuatu yang perlu diperjuangkan. Kemudian, kebebasan yang diperjuangkan bangsa manusia ialah kebebasan dari belenggu alam. Bangsa manusia sekarang (jauh lebih) bebas dari penyakit, kelaparan, ketidakamanan, dan lain sebagainya. Bentuk kebebasan ini disebut citra progresif. Kebebasan juga adalah kebebasan dari belenggu institusi-institusi politik yang telah maju. Dengan kembali kepada cara-cara hidup yang lebih primitif dan alamiah, orang mengharapkan bisa dibebaskan dari belenggu-belenggu ini. Bentuk kebebasan ini disebut citra romantis.[3]

Arti kata bebas, kebebasan, dan pembebasan baru menjadi jelas jikalau dikatakan dari apa seseorang itu telah dibebaskan. Oleh sebab itu, kebebasan di sini maksudnya adalah kebebasan manusia dengan tanpa penghalang atau pembatas, paksaan, halangan, bebas atau kewajiban seseorang untuk memperoleh hak-hak asasinya yang luhur dan manusiawi.

Kemudian istilah pembebasan yang dipakai untuk spektrum agama, pertama kali muncul pada Gereja Kristen di Amerika Latin, baik oleh Pastor ataupun para aktivis muda yang menyadari bahwa kondisi sosial politik di Amerika Latin sangat buruk, dan Gereja terlibat dalam perkara ini; karena Gereja tetap menerima bantuan dari rezim diktator, mengakui, dan menyokongnya. Gustavo Gutierrez, seorang juru bicara kelompok ini, mengecam situasi tersebut dengan menerbitkan bukunya Teologia de Liberation, atau teologi pembebasan.[4]

Seperti yang pernah dinyatakan oleh Leonardo Boff, teologi pembebasan adalah pantulan pemikiran sekaligus cerminan dari keadaan nyata; suatu praksis yang sudah ada sebelumnya. Lebih tepatnya, ini adalah pengungkapan atau pengabsahan suatu gerakan sosial yang amat luas yang muncul pada awal tahun 1960-an. Gerakan ini melibatkan sektor-sektor penting dari Gereja (para romo, para pengamal tarekat-tarekat atau ordo-ordo keagamaan dan para uskup), gerakan-gerakan keagamaan orang awam (Aksi Katolik, Pemuda Perguruan Tinggi Katolik, Pemuda Buruh Kristen), keterlibatan Pastoral yang merakyat serta kelompok-kelopok basis masyarakat gereja.[5]

Gerakan mereka di awali dengan menghimpun diri dan menentang sebab-sebab penghisapan atas dasar nalar moral dan kerohanian yang diilhami oleh budaya keagamaan mereka, yaitu iman Kristen dan tradisi Katolik. Lebih jauh lagi, mantra keagamaan dan moral inilah yang merupakan faktor hakiki yang menggerakkan semangat ribuan aktivis Kristen dalam serikat-serikat buruh, kerukunan-kerukunan tetangga, front-front kerakyatan dan revolusioner. Kemiskinanlah yang menjadikan mereka sadar akan keadaan mereka sendiri, dan mengorganisir diri untuk berjuang sebagai orang Kristen dan sebagai anggota Gereja yang diilhami oleh suatu iman.

Selanjutnya, teologi pembebasan adalah sebagai batang tubuh dari karya-karya tulis yang dihasilkan sejak tahun 1970-an oleh tokoh-tokoh seperti Gustavo Gutierrez (Peru), Rubem Alves, Carlos Masters, Hugo Assmann, Leonardo dan Clodovis Boff (Brazilia), Jon Sobrino, Ignacio Ellacuria (El Salvador), Segundo Galilea, Ronaldo Munoz (Chili), Jose Miguel Bonino, Juan Carlos Scannone (Argentina), Juan-Luis Segundo (Uruguay), adalah produk kerohanian (istilah ini, sebagaimana yang sudah kita ketahui berasal dari buku German Ideology-nya Marx) dari gerakan sosial ini.[6]

Karena teologi menurut pengikutnya tidak hanya bersifat spekulatif dan tidak boleh hanya dimaksudkan memberikan kepuasan emosionaal kepada manusia, tetapi harus memberikan pedoman untuk mewujudkan suatu masyarakat yang lebih adil; walaupun untuk maksud tersebut harus menggunakan analisis Marxis untuk mengerti lebih baik sistem sosial politik. Namun harus diakui bahwa dengan menyertakan di dalamnya suatu doktrin keagamaan yang benar-benar masuk akal (rasional) dan teologi pembebasan ini telah memberikan sumbangsih besar terhadap peluasan dan penguatan gerakan-gerakan tersebut. Meskipun ada perbedaan-perbedaan penting antara para teolog di dalamnya, namun dari beberapa ajaran dasar teologinya terdapat beberapa kesamaan dalam banyak karya tulis yang telah mereka hasilkan; selain telah membentuk suatu pergeseran radikal dari ajaran tradisional mapan Gereja Katolik maupun Protestan.

Dari beberapa ajarannnya yang terpenting yaitu:[7] Pertama, gugatan moral dan sosial yang amat keras terhadap ketergantungan pada kapitalisme; sebagai suatu sistem yang tidak adil dan tidak beradab, dan sebagai suatu bentuk dosa struktural. Kedua, penggunaan alat analisis Marxisme dalam rangka memahami sabab-musabab kemiskinan, pertentangan-pertentangan dalam tubuh kapitalisme, dan bentuk-bentuk perjuangan kelas. Ketiga, pilihan khusus bagi kaum miskin dan kesetiakawanan terhadap perjuangan mereka menuntut kebebasan. Keempat, pengembangan basis kelompok-kelompok masyarakat Kristen di kalangan orang miskin sebagai suatu bentuk baru Gereja, dan sebagai suatu alternatif terhadap cara hidup individualis yang dipaksakan oleh kaum kapitalis. Kelima, suatu pembacaan baru pada Al-Kitab yang meberikan perhatian penting pada bagian-bagian Kitab Keluaran sebagai paradigma perjuangan pembebasan rakyat yang diperbudak. Keenam, perlawanan menentang pemberhalaan (jadi bukan atheisme) sebagai musuh utama agama, yakni menentang berhala-berhala baru yang disembah oleh Fir’aun-Fir’aun baru, Caesar-Caesar baru dan Herodes-Herodes baru seperti uang, kekayaan, kekuasaan, keamanan nasional, negara, pasukan militer, dan peradaban Kristen Barat. Ketujuh, sejarah pembebasan manusia adalah antisipasi akhir dari penyelamatan Kristen dan kerajaan Tuhan. Kedelapan, kecaman terhadap teologi tradisonal yang bermuka ganda sebagai hasil dari filsafat Yunani Platonis, bukan dari tradisi murni Injil.

Sekilas Biografi Hassan Hanafi

Hassan Hanafi dilahirkan di Kota Kairo, Mesir pada 13 Februari 1935 Masehi. Keluarganya berasal dari Bani Suwayf, sebuah provinsi yang berada di Mesir dan ber-urban ke Kairo, ibu kota Mesir. Mereka mempunyai darah keturunan Maroko. Kakeknya berasal dari Maroko, sementara neneknya dari kabilah Bani Mur yang di antaranya menurunkan Bani Gamal Abd al-Nasser, Presiden Mesir kedua. Kakeknya memutuskan untuk menetap di Mesir setelah menikahi neneknya saat singgah di Mesir Tengah ketika pulang dari perjalanan menunaikan ibadah haji.[8]

Masa kecil Hanafi berhadapan dengan kenyataan-kenyataan hidup di bawah penjajahan dan dominasi pengaruh bangsa asing. Kenyataan itu membangkitkan sikap patriotik dan nasionalismenya, sehingga tidak heran meskipun masih berusia 13 tahun, ia telah mendaftarkan diri untuk menjadi sukarelawan perang melawan Israel pada tahun 1948. Ia ditolak oleh pemuda Muslimin karena dianggap usianya masih terlalu muda. Di samping itu, ia juga dianggap bukan berasal dari kelompok Pemuda Muslimin. Ketika masih duduk dibangku sekolah setara SMA, tepatnya pada tahun 1951, Hanafi menyaksikan langsung bagaimana tentara Inggris membantai para Syuhada di Terusan Suez.[9]

Bersama-sama para mahasiswa ia mengabdikan diri untuk membantu revolusi yang telah dimulai pada akhir tahun 1940-an, hingga revolusi itu meletus pada tahun 1952. Atas saran-saran anggota Pemuda Muslim, pada tahun itu pula, ia tertarik untuk memasuki organisasi Ikhwanul Muslimin. Akan tetapi, di tubuh Ikhwan pun terjadi perdebatan yang sama dengan apa yang terjadi ketika ingin mendaftarkan diri menjadi sukarelawan Palestina. Kemudian Hassan Hanafi disarankan oleh para anggota Ikhwanul untuk bergabung dalam organisasi Mesir Muda. Ternyata keadaan di dalam tubuh Mesir Muda juga sama dengan kedua organisasi sebelumnya. Hal inilah yang menyebabkan ketidakpuasan Hassan Hanafi atas cara berfikir kalangan muda Islam yang terkotak-kotak. Kekecewaannya tersebut yang menyebabkan dirinya untuk memutuskan diri pada konsentrasi dan untuk mendalami berbagai pemikiran-pemikiran keagamaan, revolusi, dan perubahan sosial. Hal ini juga yang menyebabkan ia lebih tertarik pada pemikiran-pemikiran Sayyid Qutb tentang prinsip-prinsip keadilan sosial dalam Islam.[10]

Kejadian-kejadian yang dialami pada waktu itu, terutama yang dihadapi di kampus, membuatnya bangkit menjadi seorang pemikir, pembaharu, dan reformis. Keprihatinan yang muncul saat itu adalah mengapa umat Islam selalu dikalahkan, dan mengapa konflik internal dalam Islam selalu terjadi.[11]

Tahun-tahun berikutnya, Hassan Hanafi berkesempatan untuk belajar di Universitas Sorbonne, Prancis pada tahun 1956 sampai 1966. Di kampus ini ia memperoleh lingkungan yang kondusif untuk mencari jawaban atas persoalan-persoalan mendasar yang dihadapi oleh negerinya sekaligus merumuskan jawaban-jawabannya. Negara Prancis adalah tempat melatih dirinya untuk berfikir secara metodologis melalui kuliah-kuliah maupun bacaan-bacaan dan karya-karya orientalis. Ia sempat belajar pada seorang reformis Katolik, Jean Guitto, tentang metodologi berfikir, pembaharuan, dan sejarah filsafat.[12] Ia juga belajar fenomenologi dari Paul Recour, analisis kesadaran dari Husser, dan bimbingan penulisan tentang pembaharuan ushul fikih dari Prof. Masnion. Tidak heran jika dikandang orientalis Hassan Hanafi berhasil menguasai tradisi, pemikiran, dan keilmuan Barat dengan cukup baik.[13] Cendekiawan Muslim Mesir ini, yang juga Profesor Filsafat di Universitas Kairo, wafat pada hari Kamis, 21 Oktober tahun 2021 dalam usia 86 tahun.

Konsep Teologi Hassan Hanafi

Semua umat Islam percaya bahwa ajaran Islam adalah suatu norma yang bisa diadaptasi oleh bangsa apa saja dan dalam waktu kapan saja (sholikh likulli zaman wa makan). Ajaran inti dalam Islam adalah tauhid. Tauhid adalah pandangan dunia (world view) sekaligus asal seluruh pengetahuan. Karenanya, kita harus mengkaji konsep tauhid dan bagaimana pandangan dunia tauhid itu dapat berfungsi untuk membangun dunia Islam. Kita berupaya menemukan bahwa tauhid adalah pemikiran yang seluruhnya mempunyai kaitan yang erat. Hassan Hanafi menegaskan bahwa membangkitkan semangat tauhid merupakan keharusan. Tauhid di sini bukanlah pernyataan ke-Esa-an Tuhan sebagaimana banyak dipahami umat Islam sebagai antitesis dari konsep Trinitas dalam agama Kristen.

Selanjutnya, Hassan Hanafi mengajukan konsep baru tentang teologi Islam yang ilmiah dan membumi, sebagai alternatif atas kritiknya bahwa teologi tidak ilmiah dan terkesan melangit. Tujuannya sudah barang tentu untuk menjadikan teologi tidak sekadar sebagai dogma keagamaan yang kosong tanpa makna, melainkan teologi yang menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial serta yang menjadikan keimanan dapat berfungsi secara aktual sebagai landasan etik dan motivasi tindakan manusia. Karena itu, gagasan teologi Hassan Hanafi ini adalah gagasan atau pun konsep teologi yang berusaha mentranformasikan teologi tradisional yang bersifat teosentris menuju teologi yang antroposentris, dari Tuhan di langit kepada manusia di bumi, dari tekstual ke kontekstual, dari teori kepada tindakan, dari takdir terkungkung kepada takdir kebebasan. Pemikiran ini setidaknya didasari oleh dua alasan penting. Pertama, kebutuhan adanya sebuah ideologi dan teologi yang jelas dan konkret di tengah pertarungan ideologi-ideologi global. Kedua, perlunya bangunan teologi yang bukan hanya bersifat teoretik, melainkan juga praktis yang dapat melahirkan gerakan dalam sejarah.[14]

Dalam kaitan di atas, Hanafi menawarkan dua teori yang digunakannya untuk mengatasi kekurangan teologi klasik yang teosentris.[15] Pertama, analisa bahasa. Bahasa dan istilah-istilah teologi klasik adalah warisan umat Islam terdahulu, yang seolah-olah menjadi doktrin yang khas, paten, dan tidak bisa diganggu gugat. Menurut Hanafi, istilah-istilah dalam teologi sebenarnya tidak hanya mengarah pada yang transenden atau yang gaib, namun juga di dalamnya mengungkap tentang sifat-sifat dan metode keilmuan empirik-rasional seperti iman, amal, imammah, atau yang historis seperti nubuwah, juga yang metafisis seperti Tuhan dan akhirat. Kedua, analisis realitas sosial. Analisis ini diperlukan untuk mengetahui latar belakang historis-sosiologis munculnya teologi di masa lalu dan bagaimana pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat atau penganutnya. Selanjutnya, analisa realitas sosial juga digunakan untuk menentukan arah dan orientasi teologi kontemporer.

Untuk melandingkan dua tawaran di atas, Hanafi menggunakan tiga metode berfikir, yaitu dialektika, fenomenologi, dan hermeneutik. Dialektika adalah metode pemikiran yang didasarkan pada asumsi dasar bahwa proses perkembangan sejarah terjadi lewat konfrontasi dialektis saat tesis melahirkan antitesis, selanjutnya melahirkan sintesis. Fenomenologi, adalah gagasan Husserl (1859-1938), sebuah metode berfikir untuk mencari hakekat sebuah fenomena atau realitas. Hakekat fenomena dapat dicapai, menurut Husserl, melalui tiga tahap reduksi. Pertama, reduksi fenomenologis, yaitu suatu objek dipandang apa adanya tanpa ada prasangka. Kedua, reduksi eidetik, yaitu menyaring segala sesuatu yang bukan menjadi hakekat objek, untuk mencari dan mengenal fundamental struktur dari objek. Ketiga, reduksi transendental, yaitu kesadaran murni agar dengan objek tersebut seseorang dapat mencapai dirinya sendiri, atau bagaimana ide atau gagasan tentang objek tersebut dapat dilaksanakan dalam upaya untuk kebaikan dan kesempurnaan hidup subjek.[16]

Hanafi menggunakan fenomenologi untuk menganalisis, memahami dan memetakan realitas-realitas sosial, politik, ekonomi, realitas dunia Islam, dan realitas tantangan Barat yang di atasnya dibangun sebuah revolusi. Sebagaimana kata-katanya: “sebagai bagian dari gerakan Islam di Mesir, saya tidak punya pilihan lain kecuali menggunakan fenomenologi untuk menganalisis Islam di Mesir”.[17] Dengan metode ini, Hanafi sebenarnya ingin dan agar realitas Islam berbicara sendiri mengenai kondisi mereka. Sedangkan Islam adalah Islam yang harus dilihat dari kaca mata Islam, dan bukan dengan kacamata Barat.

Hermeneutik, merupakan sebuah cara penafsiran terhadap teks atau simbol yang mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan kondisi masa lalu yang tidak dialami, kemudian dibawa pada masa sekarang. Aktifitas penafsirannya terdiri dari tiga segi yang saling berhubungan, teks, perantara atau penafsir, dan penyampaian kepada audiens. Orang yang melakukan hermeneutik harus mampu menangkap pesan-pesan tersembunyi yang terdapat dalam teks, mengenal lingkungannya sekaligus masyarakatnya.[18] Metode hermeneutik digunakan oleh Hanafi dengan tujuan untuk membumikan gagasan teologinya yang bersifat antroposentris, dari teks ke konteks, dari langit ke bumi, dan dari teori ke praktek.

Pada tataran ini, Hanafi menggunakan metodologi yang lahir dari internal Islam, seperti metodologi ‘aql dan naql. Selanjutnya, dalam rangka membangun kebebasan, Hanafi lebih banyak menggunakan rasionalisme Mu’tazilah ketimbang teori kasb Asy’ariyah atau Jabariyah. Begitu pula, ia menggunakan ushul fikih dalam mencari sebab-musabab sebuah hukum. Dari sela-sela ilmu ushul fikih ini, Hanafi mengetahui masa lampau, masa kini, dan masa depan kaum muslimin. Dari sinilah ia mengeksplorasi triangle teori kesadaran: (1) kesadaran historis, untuk mengetahui validitas teks-teks historis melalui metode-metode transmisi; (2) kesadaran spekulatif, untuk menginterpretasi teks-teks dan memahaminya melalui analisis bahasa; dan, (3) kesadaran praksis, untuk signifikansi nilai-nilai dalam kehidupan praksis. Konsekuensinya adalah bahwa wahyu ditransformasikan ke dalam sistem-sistem ideal dunia dari celah-celah usaha dan tindakan manusia, dan tauhid akan disempurnakan sebagai praksis pada akhir tindakan, bukan dipermulaan, dan Tuhan lebih dekat pada proses “menjadi” daripada realitas “statis”. Dengan demikian, Hanafi banyak memakai teori klasik yang berkembang dalam tradisi Islam, tentunya dengan kritisisme yang ketat.

Hassan Hanafi juga menegaskan bahwa keterbelakangan merupakan watak murni dunia Islam, yang tidak terjadi dalam pembangunan saja, tetapi (gejala tersebut) menyeluruh, baik yang menyangkut struktur sosial maupun dalam pandangan dunia secara umum. Keterbelakangan yang paling berbahaya menurutnya adalah yang menyangkut kebudayaan dalam kaitannya dengan pandangan dunia, perilaku bangsa, sistem sosial dan ekonomi, serta pemikiran yang merupakan pandangan terhadap dunia yang dualistik, hierarkis-piramidal, dan mistis-mitologis. Dari itu semua, maka tugas Kiri Islam adalah menguak misi kesejarahan Islam dan mentransformasikan mayoritas rakyatnya dari belenggu kuantitas kepada tataran kualitas.

Demikian terlihat bagaimana Hassan Hanafi berupaya mengembangkan gagasan Kiri Islam dengan metode dan kerangka pemikiran yang dipandang layak, serta dapat mengantarkan umat Islam dalam kerangka menemukan jati diri dan meraih kemenangan dalam segala bidang.

Kiranya, bahasan ini tidak sempurna jika hanya diketahui tentang sekelumit motode dan kerangka berpikir Hanafi sebagai seorang pemikir muslim kontemporer dengan tanpa dikaji lebih lanjut pokok-pokok pemikirannya yang digagas dalam rangka membangun dunia Islam yang baru melalui Kiri Islam yang ia kembangkan.

Kiri Islam

Gagasan tentang konsep Kiri Islam[19] diluncurkan oleh Hassan Hanafi karena Ia memandang bahwa dunia Islam belakangan ini telah didominasi oleh sebuah sistem hegemonik, sehingga perlu dilakukan upaya perlawanan. Istilah “kiri” dipakai sebagai simbol atas perlawanan, kritisisme, oposisi, dan perubahan. Tema sentral dari pemikiran Hassan Hanafi yang terdapat dalam gagasan Kiri Islam ini dapat dikategorikan menjadi agenda besar pembaruannya. Seluruhnya dapat diklasifikasi pada tiga isu besar, yakni: (1) Revitalisasi khazanah Islam klasik; (2) Urgensi penentangan atas peradaban Barat; dan (3) Realitas faktual dunia Islam.

1.             Revitalisasi Khazanah Islam Klasik

Bagi Hassan Hanafi yaitu rekonstruksi, pembangunan, dan pemurnian khazanah (Islam) klasik sangat penting untuk dilakukan. Sebab, Kiri Islam sendiri berakar pada dimensi revolusioner dan juga khazanah Islam klasik.[20] Dalam hal ini, Hanafi membagi khazanah Islam klasik menjadi beberapa ilmu pengetahuan, yaitu; pertama, ilmu-ilmu rasional-tradisional, seperti ilmu ushul al-din, ushul al-fikih, filsafat, dan sufisme. Kedua, ilmu-ilmu rasional, seperti matematika, astronomi, fisika, kedokteran, dan farmasi. Ketiga, ilmu-ilmu tradisional seperti ilmu Al-Quran, ilmu hadis, sirah Nabi, fikih, dan tafsir.[21]

Menurut Hanafi, maksud dan tujuan dari ‘revolusi khazanah Islam klasik’ adalah unsur rasionalistik yang dapat mendukung paham kebebasan manusia dan demokrasi. Unsur tersebut itulah yang dimaksudkan dengan ke-‘kiri’-an, yang dalam hal ini antara lain menunjuk kelompok Mu’tazilah. Sementara lawannya adalah Asyariyah, sebagai kelompok ‘kanan’. Demikian juga dalam hal fikih, mazhab Malikiyah sebagai ‘kiri’, dan fikih Hanafiyah sebagai ‘kanan’. Kemudian dalam bidang tafsir, tafsir bi al-Ray sebagai ‘kiri’, dan tafsir bi al-Matsur sebagai ‘kanan’.[22]

Kiri Islam, sebagai paradigma yang independen dalam pemikiran, memandang Mu’tazilah sebagai refleksi gerakan rasionalisme dan kebebasan manusia. Konsep tauhid misalnya, menurut Hanafi, adalah lebih merupakan prinsip rasional murni daripada konsep personifikasi, sebagaimana yang menjadi keyakinan Asyariyah. Kiri Islam berupaya mengenal dan menghidupkan kembali pemikiran Mu’tazilah untuk membangun rasionalisme dalam paham kebebasan.[23]

2.             Perlunya Menentang Peradaban Barat

Menurut Hanafi, Kiri Islam memiliki keterkaitan dengan agenda Al-Afghani, yaitu melawan kolonialisme dan keterbelakangan, yang menyerukan kebebasan dan keadilan sosial, serta (berhasrat) mempersatukan kaum muslim yang telah terpecah-belah dalam banyak blok. Tugas Kiri Islam adalah mengembalikan kebudayaan Barat ke batas alamiah dan mengakhiri mitosnya yang (telah) mendunia.[24] Dengan kata lain, tugas Kiri Islam adalah mendorong peradaban Barat sebagai tema studi khusus dan objek telaah bagi peradaban non-Barat.[25]

Berkaitan dengan hal tersebut, Hanafi selanjutnya mengusulkan ‘oksidentalisme’[26] sebagai (kajian) tandingan bagi ‘orientalisme’ dalam rangka mengakhiri mitos Barat di maksud.[27] Hal itu dapat dilakukan dengan memperhatikan dua arah, yakni aspek perkembangan dan strukturnya. Sebab, biasanya suatu perkembangan melahirkan struktur, tapi peradaban Barat berkembang sebelum adanya struktur, sehingga struktur dilahirkan oleh perkembangannya. Peradaban itu sendiri dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (1) sentripetal, di mana ilmu berkeliling di seputar satu pusat; dan (2) sentrifugal, di mana ilmu itu keluar dari pusat. Dalam konteks ini, tandas Hanafi, peradaban Islam bersifat sentripetal dan peradaban Barat bersifat sentrifugal.[28]

3.             Realitas Dunia Islam

Gagasan Kiri Islam sesungguhnya memberikan gambaran riil situasi dunia Islam,[29] dan bukan gambaran secara normatif. Realitas dan angka-angka statistik dibiarkan berbicara sendiri tentang dirinya. Sementara, pemikiran keagamaan selama ini hanya bertumpu pada model ‘pengalihan’ yang hanya memindahkan bunyi teks kepada realitas, padahal metode teks seperti itu membutuhkan pembuktian. Sebab, ia hanya memperjuangkan orang-orang Islam sebagai suatu prinsip, tetapi tidak memperjuangkan muslim sebagai rakyat. Terakhir, walaupun mengarah pada realitas, metode teks secara maksimal hanya akan memberikan status, tapi tidak menjelaskan perhitungan kuantitatif. Padahal, sesungguhnya umat Islam membutuhkan penjelasan terhadap realitas sampai kepada fakta ‘siapa milik apa’. Metode Kiri Islam adalah metode kuantitatif dengan angka-angka dan statistik, sehingga realitas dapat berbicara mengenai dirinya sendiri.[30]

Demikianlah sekelumit pemikiran Hassan Hanafi dalam mengembangkan dan mengusung gagasan Kiri Islam sebagai bentuk pemikiran independen dalam tradisi pemikiran. Hal itu dilakukan tentunya dalam rangka membangun umat Islam pada kondisi dunia yang lebih meyakinkan, sehingga dapat mengejar ketertinggalannya dari dunia lainnya, terutama dunia Barat.

Konklusi

Teologi pembebasan bermaksud mendominasikan tauhid secara revolusioner (pembaharuan tauhid). Pemikiran ini di latar belakangi oleh keberhasilan revolusi Islam. Teologi pembebasan merupakan rangkaian konsep teoretis tentang jawaban agama terhadap suatu persoalan tertentu. Tentunya, teologi pembebasan secara fungsi berbeda dengan teologi klasik. Karena, teologi klasik adalah konsep teologi yang menjadi bagian dari ilmu kalam, dan bahasannya lebih pada persoalan tentang Tuhan dengan sifat-sifat-Nya, hubungan manusia dengan Tuhan, atau yang disebutnya dengan teologi yang melulu hanya membahas masalah akidah. Sedangkan teologi pembebasan adalah sebagai pandangan agama terhadap persoalan-persoalan yang muncul.

Teologi dalam pengertian di atas merupakan istilah untuk konsep agama dalam menghadapi suatu persoalan tertentu, misalnya ketidakadilan dan penindasan di tengah masyarakat, maka jawaban agama itu berupa ‘teologi pembebasan’. Berkaitan dengan istilah teologi dengan semangat ‘Kiri Islam’ menggambarkan semangat anti kejumudan, atau perlawanan terhadap kemapanan yang terjadi dalam pemikiran Islam dewasa ini, dan merubahnya secara revolusioner. Adapun dalam menghadapi peradaban Barat yang menekan Islam, maka Hassan Hanafi membuat proyek oksidentalisme (gerakan orang-orang Timur yang mengkaji tentang keilmuan Barat).

 

Daftar Pustaka

 

A. H. Ridwan, 1998, Reformasi Intelektual Islam; Pemikiran Hassan Hanafi Tentang Reaktualisasi Tradisi Islam dan Keilmuan Islam, Yogyakarta: ITTAQA Press.

Baharu, Hassan dan Mundiri, Akmal, dkk., 2014, Metodologi Studi Islam; Percikan Pemikiran Tokoh dalam Membumikan Agama, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Esposito, Jhon L. dan Voll, Jhon O., 2002, Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer, terj. Hermawan, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Hanafi, Hassan, 1991, Agama, Ideologi dan Pembangunan, Jakarta: P3M.

________, 2000, Oksidentalisme; Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, terj. M. Najib Buchari, Jakarta: Paramadina.

________, 2001, Al-Yasar al-Islami; Paradigma Islam Transformasi, terj. Saiful Muzani, Jakarta: Paramadina.

Lowy, Michael, 2003, Teologi Pembebasan, Penj. Roem Topatimasang, Yogyakarta: INSIST Press dan Pustaka Pelajar.

Mahmud, Adnan, dkk. (Eds), 2012, Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Santoso, Listiyono, dkk., 2015, Epistemologi Kiri; Seri Pemikiran Tokoh, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Shimogoki, Kazuo, 1993, Kiri Islam, Antara Modernisme dan Postmodernisme; Telaah Kritis atas Pemikiran Hassan Hanafi, Yogyakarta: LKiS.

Siswanto, Joko, 1998, Sistem-Sistem Metafisika Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sumaryono, 1993, Hermeneutik; Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Kanisius.

 



[1] Teologi pembebasan sering kali disalahpahami sebagai teologi yang dituduh ke-kiri-kiri-an. Tidak ada maksud melawan atau menolak labelisasi yang tak adil dan tak jujur tersebut. Namun demikian, mengupas gagasan lebih jauh tentang apa itu teologi pembebasan secara konseptual, harapan besarnya akan mengubah persepsi kita bahwa membela kaum miskin, mereka yang tertindas dan diperlakukan tidak adil merupakan bagian dari ibadah dan amal shaleh yang sama pentingnya dengan pergi haji, shalat, dan puasa. Karena, iman dan ketakwaan seseorang tidak bisa hanya dilihat atau diukur dari pemenuhannya atas rukun iman dan rukun Islam, melainkan juga pemihakan praktis dirinya pada kepentingan kaum miskin atau kaum yang dimiskinkan karena struktur yang menindas.

[2] Adnan Mahmud, dkk. (Eds), Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 126.

[3] Ibid., hlm. 127.                                          

[4] Ibid., hlm. 127-128.

[5] Michael Lowy, Teologi Pembebasan, Penj. Roem Topatimasang, (Yogyakarta: INSIST Press dan Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 26.

[6] Ibid., hlm. 28.

[7] Ibid., hlm. 29-30.

[8] Hassan Baharu dan Akmal Mundiri, dkk., Metodologi Studi Islam; Percikan Pemikiran Tokoh dalam Membumikan Agama, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014), hlm. 186-187.

[9] Ibid., hlm. 166-167.

[10] A.H. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam; Pemikiran Hassan Hanafi Tentang Reaktualisasi Tradisi Islam dan Keilmuan Islam, (Yogyakarta: ITTAQA Press, 1998), hlm. 18.

[11] Kazuo Shimogoki, Kiri Islam, Antara Modernisme dan Postmodernisme; Telaah Kritis atas Pemikiran Hassan Hanafi, (Yogyakarta: LKiS, 1993), hlm. 4.

[12] Hassan Hanafi mendeskripsikan: “guru saya” yang bertanggung jawab atas semua formasi filosofis saya adalah Jean Guitton, seorang profesor ilmu filsafat di Sorbonne dan seorang pemimpin modernis Katolik Roma. Jean Guitton bertindak sebagai pembimbing Hassan Hanafi melalui membaca dan mempelajari filsafat Barat. Ia juga memberikan panduan kepada Hassan Hanafi dalam masalah-masalah praktis, seperti bagaimana memberikan kuliah umum dan metode-metode penelitian. Jean Guitton pernah ke Mesir (1930-an) yang paling tidak memiliki gambaran sedikit tentang Mesir. Metode dan perspektif Jean Guitton membantu mengembangkan pemahaman Hassan Hanafi terhadap pendekatan-pendekatan untuk rekonsiliasi posisi yang berbeda. Hassan Hanafi sendiri mendeskripsikan dirinya sendiri sebagai bangunan di atas Jean Guitton dan kemudian menjulang tinggi. Deskripsi ini menggambarkan perkembangan pemikiran Jean Guitton dari kesadaran individu menuju kesadaran sosial, dari kanan ke kiri, dan dari agama ke revolusi. Saya gunakan kritik yang berhubungan dengan kitab Injil secara negatif dan dia memakainya secara positif untuk memperhatikan sebuah kebenaran. Saya hidup untuk teologi kebebasan, sedangkan dia takut orang-orang akan berubah ke Marxisme dan kekerasan, dan elemen-elemen asing itu mungkin memasuki kebenaran otentik. Jhon L. Esposito dan Jhon O. Voll, Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer, terj. Hermawan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 75-76.

[13] A H. Ridwan, Op. Cit., hlm. 220.

[14] Ibid., hlm. 50.

[15] Hassan Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan, (Jakarta: P3M, 1991), hlm. 408-409.

[16] Joko Siswanto, Sistem-Sistem Metafisika Barat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 97-104.

[17] AH. Ridwan, Op. Cit., hlm. 22.

[18] Sumaryono, Hermeneutik; Sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 31.

[19] Istilah ‘Kiri Islam’ telah dikenal sejak kemunculan Jurnal “al-Yasar al-Islami”, yang diterbitkan pada tahun 1981. Istilah ini sebenarnya bukanlah muncul dari ide Hassan Hanafi sendiri, tapi sebelumnya telah digunakan oleh Ahmad Ghabbas Shalih, dalam tulisannya: “al-Yamin wa al-Yasar fi al-Islam” (1972). Dalam buku ini, istilah tersebut diartikan dengan pengertian ‘Sosialistik dalam Islam’. Selanjutnya, oleh Hanafi dipandang baik untuk dikembangkan dengan pengertian “mengangkat posisi kaum yang dikuasai, kaum tertindas, kaum miskin, dan menderita”, atau dengan kata lain, “perlawanan dan kritisisme”. Dari sekian banyak tulisan atau karyanya, Kiri Islam (al-Yasar al-Islami) merupakan salah satu puncak sublimasi pemikirannya setelah revolusi Islam di Iran meletus pada tahun 1979. Melalui Kiri Islam, walaupun baru memuat tema-tema pokok dari proyek besar revolusionernya, Hanafi telah memformulasikan satu kecenderungan pemikiran yang ideal tentang bagaimana seharusnya sumbangan agama bagi kesejahteraan umat manusia. Lihat: Kazuo Shimogaki, Kiri Islam, … Op. Cit., hlm. 6.

[20] Gagasan Kiri Islam dirancang sedemikian rupa untuk menggerakkan gerakan sosial revolusioner yang membawakan gagasan pembebasan melalui penghancuran konstruk lama yang serba reaksioner, dari feodalisme dan kapitalisme yang mencengkeramkan hegemoninya ke dalam kesadaran kognitif masyarakat dunia berkembang, termasuk dunia Timur (Islam). Dalam konteks ini, Hanafi memulai dengan menabuh ‘genderang perang’ terhadap produk-produk kebudayaan Barat yang penuh residu serta mulai memantapkan basis kemapanan epistemologi dari tradisi lama. Lihat: Listiyono Santoso, dkk., Epistemologi Kiri; Seri Pemikiran Tokoh, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2015), hlm. 273.

[21] Hassan Hanafi, Al-Yasar al-Islami; Paradigma Islam Transformasi, terj. Saiful Muzani, (Jakarta: Paramadina, 2001), hlm. 4.

[22] Ibid., hlm. 6-8.

[23] Ibid., hlm. 9.

[24] Hassan Hanafi, Oksidentalisme; Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, terj. M. Najib Buchari, (Jakarta: Paramadina, 2000), hlm. xi. 

[25] Dasar epistemologi pembentukan peradaban yang dianggap berbeda telah memberikan alasan untuk dimulainya suatu studi mengenai peradaban agar kesalahtafsiran antarkeduanya dapat diminimalisasi. Selama ini, tema-tema tersebut hanya didominasi oleh sebuah kecurigaan yang sifatnya politis-ideologis, di mana Barat selalu menampilkan dirinya sebagai sebuah peradaban yang superior, sementara Timur dianggap sebagai inferior. Peradaban Barat selalu memposisikan dirinya sebagai ordinat, dan Timur tidak lebih sebagai subordinat. Akibatnya, peradaban Timur, terutama negara-negara yang pernah mengalami kolonialisasi Barat, cenderung mempunyai beban psikologi berupa post-ideology syndrome untuk selalu curiga terhadap segala hal yang berbau Barat, terutama hasil-hasil pemikirannya. Lihat: Listiyono Santoso, dkk., Op. Cit., hlm. 261-262.

[26] Terminologi oksidentalisme yang memiliki kata dasar oksident berarti Barat, disadari merupakan istilah (ilmu) baru yang digulirkan Hanafi yang berhadapan dengan orientalisme. Oksidentalisme ini terlahir dari realitas historis berupa tampilannya superioritas tradisi Barat melalui alat pandangnya atas dunia Timur yang lazim disebut orientalisme. Proyek oksidentalisme merupakan kajian objektif-teoretis atas tradisi Barat. Selama ini, ruang epistemologi masyarakat dunia seolah hanya menghadirkan satu realitas kajian yang dominan, yaitu studi orientalisme (kajian tentang tradisi Timur oleh Barat).

[27] Melalui studi oksidentalisme-nya, Hanafi berusaha menelanjangi sekaligus membongkar hegemoni Barat atas dunia Islam. Pembongkaran atas dominasi Barat tersebut tidak dilakukan secara sosiologis, melainkan filosofis, terutama melalui penelusuran basis epistemologi munculnya kesadaran Eropa (Barat) yang telah melahirkan sikap superioritas Barat atas dunia Timur. Secara ideologis, oksidentalisme diciptakan dengan maksud sebagai alat untuk menghadapi Barat yang memiliki pengaruh besar terhadap kesadaran peradaban Timur. Barat yang dimaksud adalah westernisasi. Dengan munculnya oksidentalisme ini diharapkan posisi dunia Timur yang selama ini dijadikan sebagai objek kajian dan posisi Barat yang menjadi subjek kajian, bisa berubah relasinya.

[28] Hassan Hanafi, Al-Yasar,… Op. Cit., hlm. 10. Sentrifugal: Suatu gerakan atau gaya yang secara jelas mendorong atau menarik objek dari pusatnya. Sentripetal: Suatu gerakan yang membuat benda bergerak mengikuti lintasan, atau gaya, gerakan yang membuat benda untuk bergerak melingkar.

[29] Kondisi objektif dunia Islam pada umumnya yang masih mempresentasikan diri dengan simbol-simbol: keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, dan sebagainya, sebagai musuh internal umat. Sementara kapitalisme global dengan sejumlah tawaran-tawaran estetisnya berupa proyek rasionalisasi dan sistem pengorganisasi sosial yang bersifat absolut sebagai penggolongan kebebasan manusia yang bersifat tunggal dan hegemonik. Realitas ini menghadapkan dunia Timur pada situasi dilematis. Di satu sisi dihadapkan pada situasi untuk menerima kapitalisme global dengan segala implikasinya sebagai keniscayaan sejarah, sementara sisi lain, kondisi objektif dunia Timur (Islam) masih diselimuti oleh problem internal berupa ‘ketidakpastian’ sosiologis maupun epistemologis sebagai basis dari kebudayaannya. Kondisi objektif dunia Timur yang serba terbelah dan terbelakang ini oleh Hanafi dikontraskan dengan diktum idealis yang menyebutkan masyarakat Islam sebagai ‘sebaik-baik umat’. Kontras antara ideal dan fakta, nilai dan praksis tersebut menggelisahkan komitmen moral intelektual Hanafi. Lihat: Listiyono Santoso, dkk., Op. Cit., hlm. 271.

[30] Ibid., hlm. 12.