Thursday, June 01, 2023

TEORI KRITIS MAZHAB FRANKFURT

TEORI KRITIS MAZHAB FRANKFURT

Prawacana

Mendengar istilah teori kritis hampir bisa dipastikan benak kita diseret pada teori yang mengaplikasikan konsep kritik. Karena memang teori kritis ini merupakan suatu pemikiran filosofis yang mampu mengamankan pengetahuan tentang manusia dan sejarah; selain teori kritis juga menolak skeptisisme dengan tetap menghubungkan antara nalar dan kehidupan sosial. Dengan demikian, teori kritis sebenarnya berusaha menyinergikan ilmu-ilmu sosial yang bersifat empiris dan interpretatif dengan klaim-klaim normatif tentang kebenaran, moralitas, dan keadilan yang secara tradisional sebagai bahasan filsafat.

Lahirnya teori kritis sebenarnya sebagai panggilan moral dan keprihatinannya atas problem yang mengemuka dari rasionalitas zaman modern. Konsep nalar yang dibangun adalah dengan mengarahkan dirinya pada dua taraf yang berkaitan secara dialektis. Di satu pihak teori kritis melakukan kritik transendental dengan cara menemukan syarat-syarat yang memungkinkan pengetahuan dalam diri subjek manusia itu sendiri, sedangkan di lain pihak teori kritis melakukan kritik imanen dengan cara menemukan kondisi-kondisi sosial-historis dalam konteks tertentu yang memengaruhi pengetahuan manusia. Intinya, konsep teori yang dibangun teori kritis dimaksudkan untuk membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern.

Dimensi kerja teori kritis di mana bangunan teori kritis dijadikannya sebagai alat analisa untuk mendobrak dan melabrak proyek rekayasa sosial yang didesain oleh aparat kepentingan dan bahkan kekuasaan. Sedangkan tujuan kritik teori kritis adalah berjuang untuk memerdekakan manusia dari segala belenggu penghisapan dan penindasan, bahkan ideologi sekalipun. Untuk menjebol itu semua hadirlah teori kritis (kritische theorie) yang merupakan lembaga penelitian kemasyarakatan atau Institut Penelitian Sosial (Institute fur Sozialforschung) yang bernafas sosialisme dan Marxisme di Frankfurt, Jerman.

Teori kritis atau yang lebih populer disebut dengan mazhab frankfurt sebenarnya bertitik tolak pada inspirasi pemikiran sosial Karl Marx, namun juga melampaui bangunan ideologis Marxisme. Bidik kritik yang dilancarkan teori kritis mazhab frankfurt adalah berusaha melabrak pandangan skeptis tentang ideologi yang tengah berkuasa, atau pun distorsi pemikiran yang lahir dari ketidaksetaraan sosial aktual. Selain dari pada itu, dari beberapa tokoh di dalamnya, tidak hanya determinisme ekonomi yang diserangnya, melainkan juga positivisme-empiris.

Para tokoh filsuf yang tergabung di dalam mazhab ini adalah Max Horkheimer, Theodor Adorno, Herbert Marcuse, Walter Benjamin, Lowenthal, dan Pollock yang disebut sebagai generasi pertama mazhab frankfurt. Kemudian generasi kedua diteruskan oleh Jürgen Habermas, yang dikenal sebagai pembaharu mazhab frankfurt sebab Habermas melakukan kritik dari dalam mazhab yaitu dengan menganalisis kelemahan-kelemahan epistemologi proyek pencerahan generasi sebelumnya. Kelemahan-kelemahan tersebut dijadikan bahan refleksi untuk mempertimbangkan kembali teori kritis dan merevitalisasinya dari paradigma kerja menuju paradigma komunikasi.

Kilas Historis Mazhab Frankfurt

Sejarah Mazhab Frankfurt adalah bermula dari Institut für Sozialforschung (Institut Penelitian Sosial) dari University of Frankfurt am Main di Jerman, yang didirikan pada 3 Februari 1923[1] dengan perintisnya bernama Felix Weil.[2] Para anggota dan tokoh institut yang cukup menonjol di antaranya adalah Frederich Pollock (ahli ekonomi), Carl Grunberg (direktur pertama institut), Max Horkheimer (filsuf, sosiolog, psikolog, dan direktur sejak 1930), Karl Wittfogel (sejarahwan), Theodor Wiesendrund-Adorno (filsuf, sosiolog, musikolog), Leo Lowenthal (sosiolog), Walter Benyamin (kritikus sastra), Herberet Marcuse (filsuf), Franz Neumann (ahli hukum), Erich Fromm (psikolog sosial), Otto Kircheimer (ahli politik), Henryk Grossmenn (ahli ekonomi dan politik), Arkadij Gurland (ahli ekonomi dan sosiologi).[3]

Adapun sejumlah nama-nama tokoh yang menonjol dan dinisbatkan dengan Mazhab Frankfurt adalah Max Horkheimer (1895-1973), Theodor Wiesengrund Adorno (1903-1969), Herbert Marcuse (1898-1979), Walter Benjamin (1892-1940), dan Erich Fromm (1900-1980). Mereka-mereka inilah yang teridentifikasi sebagai Mazhab Frankfurt “Generasi Pertama” teori kritis. Sedangkan Jürgen Habermas para komentar menyebutnya sebagai “Generasi Kedua” teori kritis.[4]

Jika ditinjau dari seting sosial berdirinya institut penelitian sosial ini dikarenakan kemenangan revolusi Bolshevick dan kegagalan-kegagalan revolusi di Eropa Tengah khususnya Jerman. Dalam perkembangannya teori kritis lebih banyak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh utama filosof para pendahulunya seperti Immanuel Kant, Hegel, Karl Marx, dan Sigmund Freud.[5] Pengaruh dari tokoh-tokoh tersebut merupakan hal yang wajar sebab institusi tersebut pada awal berdirinya bertujuan untuk melakukan penelitian-penelitian sosial mengenai masyarakat yang berdasarkan pada landasan sosialisme dan marxisme.

Pemikiran-pemikiran Mazhab Frankfurt merupakan pemikiran-pemikiran yang sangat kritis terhadap pemikiran Karl Marx dan para penerusnya. Akan tetapi, pemikiran Mazhab ini tidak bisa dipisahkan begitu saja dari sejarah perkembangan pemikiran marxis itu sendiri; sebab bagaimana pun juga pemikiran Mazhab Frankfurt merupakan perkembangan lebih lanjut dari marxisme di barat. Teori-teori marxis di barat atau yang dikenal dengan “Marxisme Kritis” atau “Neomarxisme”[6] sebenarnya adalah serangkaian usaha untuk menyegarkan kembali pemikiran filosofis Karl Marx yang telah dibekukan menjadi alat ideologis di tangan Partai Komunis Uni Soviet. Karenanya, keinginan berdirinya Frankfrut School (Die Frankfurter Schule) adalah agar sekelompok intelektual yang tergabung di dalamnya berdiri secara independen dan tidak bergabung partai politik. Peristiwa Perang Dunia yang melanda Jerman waktu itu menyebabkan intelektual kiri dihadapkan dengan posisi yang dilematis antara menyokong Rusia dengan revolusi Bolshevik yang sukses menggulingkan Tsar dengan pertumpahan darah di mana-mana, atau memihak pada sosialisme Republik Weimar yang moderat, selain pada waktu itu ajaran Marx juga mengalami kelesuan dan bahkan penyelewengan; sebab aspek revolusioner warisan Marx diabaikan oleh pendukung sosialisme moderat yang beranggapan bahwa kejatuhan kapitalisme dengan cara ekonomistis, deterministis, dan evolusionis. Sementara di Rusia, gerakan kaum Bolshevik tidak dapat dipertanggungjawabkan secara teoretis.[7]

Secara teoretis, Mazhab Frankfurt menjalankan pisau bedah yang bernama teori kritis (kritische theorie). Tujuannya adalah menyediakan versi marxisme yang tidak terkontaminasi oleh positivisme dan materialisme, dan lebih memfokuskan analisis terhadap pengaruh suprastruktur, atau budaya dan gambar diri manusia pada periode historis sebagai faktor utama dalam perubahan sosial. Mazhab Frankfurt dihadapkan pada degenerasi marxisme Soviet yang menjadi Stalinisme, dan kegagalan komunisme yang menginspirasikan kelas buruh barat. Untuk meresponsnya mereka kemudian mengombinasikan keasyikan Kantian pada kondisi-kondisi yang memungkinkan bagi kemunculan rasio dan pengetahuan dengan penekanan Hegelian terhadap pengondisian historis bagi semua pikiran. Kedua elemen ini mengarah pada sebuah pandangan yang skeptik tentang ideologi-ideologi yang tengah berkuasa, atau distorsi-distorsi pemikiran yang muncul (sekaligus disembunyikan) dari ketidakadilan sosial aktual.[8]

Meskipun mereka menyebut dirinya sebagai marxis, dengan ukuran marxisme-leninisme dan determinisme marxis ortodoks, akan tetapi terdapat hal yang berbeda dalam pendasaran teori yang mereka kembangkan. Semisal pada rumusan ulang atas marxisme, di mana Horkheimer dan Adorno mereka menawarkan suatu bentuk analisis tentang dialektika pencerahan; dalam sebuah buku yang berjudul Dialektik der Aufklarung. Buku ini di dalamnya membeberkan kritik terhadap modernitas yang dipandangnya sebagai sejarah dominasi atau penguasaan rasionalitas subjek. Pemikiran Horkheimer ini mirip dengan kritik Marx atas modernitas. Perbedaan pandangan Horkheimer dan Adorno dengan Marx tertancap pada satu masalah pokok di mana keduanya tidak menjelaskan bahwa sejarah penguasaan itu terjadi melalui hubungan produksi sebagaimana pandangan Marx, melainkan melalui dorongan psikologis manusia yaitu kehendak untuk berkuasa (der Wille zar Macht).[9]

Para pemikir teori kritis Mazhab Frankfurt mereka mengadakan refleksi sosial kritis tentang masyarakat pascaindustri dan konsep tentang rasionalitas yang ikut andil membentuk dan memengaruhi tindakan masyarakat tersebut. Objek studinya adalah peranan media massa pada kehidupan modern dengan filosofi kritik terhadap Karl Marx. Tidak hanya determnisme ekonomi yang  diserangnya, melainkan juga positivisme-empiris.[10] Intinya bahwa teori kritis merupakan upaya dalam mengaitkan antara rasio dan kehendak, riset dan nilai, pengetahuan dan kehidupan, serta teori dan praktis.[11] Mudahnya, teori kritis tidak hendak jatuh pada metafisika yang melayang-layang, teori kritis merupakan dialektika antara pengetahuan yang bersifat transendental dan bersifat empiris. Dengan demikian, teori kritis tidak hanya sekadar hendak berada pada tataran pengetahuan akan tetapi juga menyentuh pada ranah tindakan. Sehingga kritis di sini dimaksudkan untuk mengkritisi segala hal yang membelenggu masyarakat dari segala sisi kehidupan, baik yang berkaitan dengan teori maupun yang langsung berkenaan dengan praktik-praktik kehidupan itu sendiri.

Gagasan-gagasan Mazhab ini memberi pengaruh besar bagi kiri baru dan gerakan-gerakan radikal lain pada tahun 1960-an sampai tahun 70-an, seperti gerakan-gerakan mahasiswa yang terkenal dengan nama The New Left Movement dan bahkan gagasan-gagasannya dipandang sebagai “Kitab Suci” gerakan ini. Gerakan-gerakan mahasiswa ini pada akhirnya mengadopsi juga teori-teori Mao, Che Guevara, Castro, dan melakukan aksi kekerasan bersenjata yang menyebabkan beberapa tokoh Mazhab Frankfurt (Horkheimer, Adorno, Marcuse) berselisih dengan para mahasiswa dan mengundurkan diri dari gerakan ini (pada 1967). Mazhab Frankfurt dan teori kritisnya kemudian ditinggalkan oleh para mahasiswa, dan gerakan kiri baru ini juga pada akhirnya memudar dan terpecah-pecah menjadi gerakan-gerakan yang tidak relevan dengan tujuan semula.

Fase Pertama Mazhab Frankfurt

Dalam sejarah perjalanannya, Grunberg memimpin Universitas Frankfurt sejak tahun 1923, dan mulai tahun 1929 era kepemimpinannya berakhir dan digantikan oleh Max Horkheimer. Dalam kepemimpinannya, Horkheimer memegang prinsip bahwa direktur institut memegang peranan sentral dalam seluruh kegiatan institut. Dengan prinsip ini, ia menggariskan tiga tema besar yang mewarnai seluruh pemikiran Mazhab Frankfurt di kemudian hari. Pertama, menetapkan kembali persoalan besar dalam filsafat melalui program penelitian interdisipliner; kedua, menolak pandangan-pandangan marxisme ortodoks; dan ketiga, merumuskan teori masyarakat yang memungkinkan perubahan ekonomi, budaya, dan kesadaran. Atau dengan kata lain menyusun suatu teori dengan maksud praktis.[12]

Bagaimana pun juga Mazhab Frankfurt dan teori kritisnya lebih memikat mahasiswa dan kaum cendekiawan muda daripada gagasan-gagasan Neomarxis para pendahulu mereka yang kurang menganalisis kebudayaan modern dan kebusukan-kebusukannya. Gagasan-gagasan Mazhab Frankfurt antara tahun 60-an hingga 70-an mempengaruhi gerakan-gerakan mahasiswa, yang dikenal dengan nama The New Left Movement, dan bahkan gagasan-gagasan itu dipandang sebagai ‘Kitab Suci’ gerakan tersebut. Orang yang sangat besar pengaruhnya dalam memasarkan gagasan-gagasan teori kritis adalah Herbert Marcuse yang waktu itu tetap tinggal di Amerika bersama Lowenthal dan Kircheimer.

Selanjutnya, apa yang kita saksikan baik dalam karya patungan Adorno dan Horkheimer, Dialektik der Aufklarung (Dialektika Pencerahan) maupun karya Marcuse, One Dimensional Man (Manusia Satu Dimensi) adalah suatu kritik radikal atas positivisme dan saintisme yang menurut mereka telah meresapi dasar-dasar kesadaran masyarakat modern sebagai modern sebagaimana terungkap dalam gagasan tentang “rasio instrumental” dan “rasionalitas teknologis”. Dalam arti ini, teori kritis yang dicanangkan di dalam Manifesto 1937 berhasil membuka selubung ideologis dari saintisme, akan tetapi kritik-kritik mereka itu masih bersifat moralitas dan belum cukup merefleksikan masalah positivisme maupun saintisme itu secara epistemologis,[13] sehingga mereka tidak mampu melihat adanya jalan keluar bagi masyarakat yang dikritiknya sendiri, justru karena prinsip-prinsip epistemologis di dalam diri manusia telah menjadi tumpul, adaptif, instrumental, dan ideologis. Dengan keadaan demikian kemudian teori-teori mereka ditinggalkan oleh para pendukungnya, khususnya para mahasiswa dan intelektual kiri.

Jalan buntu yang dihadapi Adormo, Horkheimer, dan Marcuse menunjukkan bahwa suatu teori yang mendasarkan diri pada warisan marxisme telah gagal mendorong praksis perubahan kualitatif masyarakat modern dengan dasar teori itu sendiri. Meskipun demikian, suatu usaha mengkritik positivisme dan saintisme di lapangan epistemologi pemikiran mereka tetap memiliki signifikasnsi dan sumbangsih berharga bagi kritik ilmu-ilmu yang akan dilakukan oleh Jürgen Habermas sebagai generasi selanjutnya.

Teori Kritis dan Sejarah

Teori kritis adalah anak dari aliran besar filsafat yang terinspirasi dari Karl Marx, namun ironisnya justru akhirnya menjadi yang paling jauh meninggalkan Marx.[14] Pengertian kritis di sini dimaksudkan sebagai aliran yang kritis terhadap ajaran-ajaran di bidang sosial dan juga kritis terhadap keadaan masyarakat saat itu yang memerlukan perubahan secara radikal. Kata “kritik” adalah konsep kunci untuk memahami teori kritis. Kritis juga merupakan suatu program bagi Mazhab Frankfurt untuk merumuskan suatu teori yang bersifat emansipatoris tentang kebudayaan dan masyarakat modern.

Kritik-kritik mereka diarahkan ke berbagai kehidupan masyarakat modern seperti seni, ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, dan kebudayaan pada umumnya yang bagi mereka telah menjadi rancu karena diselubungi oleh ideologi-ideologi yang menguntungkan pihak-pihak tertentu, dan sekaligus mengasingkan manusia individual dari masyarakatnya.[15] Bagi mereka sendiri, kata kritik ini tidak lain berakar pada tradisi filsafat itu sendiri.

Teori kritis merupakan aliran filsafat yang dipraktikkan dalam Mazhab Frankfurt dan digunakan untuk menunjukkan sekelompok sarjana yang bekerja pada sebuah lembaga penelitian sosial di Frankfurt, Jerman. Lembaga penelitian sosial Frankfurt (Die Frankfurter Schule) mencapai suatu periode keemasan ketika Marx Horkheimer menjadi direkturnya pada 1930. Sejak permulaannya, lembaga penelitian di Frankfurt ini berupaya untuk mengumpulkan sarjana-sarjana dari berbagai bidang keahlian, dengan tujuan supaya persoalan-persoalan yang menyangkut masyarakat dapat dipelajari dari berbagai bidang ilmiah. Pada masa kepemimpinannya, Marx Horkheimer sangat mementingkan kerja sama antara para anggota lembaga penelitian tersebut, sehingga banyak artikel dalam majalahnya dapat dipandang sebagai buah hasil diskusi bersama.

Dalam perkembangannya lembaga penelitian ini ditutup atas perintah pemerintah nasioanal sosialis ketika Hitler berkuasa pada 1933; karena Horkheimer dan kawan-kawannya mengkritik dan menentang aliran politik ini. Kondisi politik di Jerman yang tidak kondusif bagi perkembanngan lembaga penelitian ini telah disinyalir sebelumnya oleh Horkheimer. Oleh karena itu, ia membuka cabang di beberapa negara di luar Jerman, antara lain yaitu di London, Paris, Amerika, dan Jenewa. Setelah dirasa kondisi politik semakin membaik (pada 1949 dan 1950), Horkheimer, Adorno, dan Pollock kembali pulang ke Jerman. Kemudian lembaga penelitian ini kembali dibangun dan mulai berafiliasi dengan Universitas di Frankfurt.[16]

Untuk lebih memberikan sebuah gambaran secara jelas mengenai perkembangan sejak munculnya aliran ini, setidaknya terdapat delapan tahapan perubahan dalam Mazhab Frankfurt. Tahapan pertama, adalah studi-studi empiris-historis di zaman Carl Grunberg; kedua, tahap munculnya teori sosial-interdisipliner-materialis pada pertengahan 1930-an, ketika Institut ini dipimpin Max Horkheimer; ketiga, fase munculnya teori kritik sosial selama institut ini berada dalam pengungsian antara tahun 1937 hingga awal 1940-an; keempat, adalah periode menyebarnya anggota institut ini ke berbagai negara selama tahun 1940-an, dan munculnya Theodor Adorno dan Max Horkheimer sebagai teoretikus utama; kelima, adalah masa di mana institut ini kembali ke Jerman selama tahun 1950 dan 1960-an; keenam, merupakan masa perumusan teori kritis oleh Fromm, Lowenthall, Marcuse, dan tokoh-tokoh lainnya yang tetap bermukin di Amerika Serikat; yang ternyata berbeda dengan pemikiran teman-teman mereka yang berada di Jerman; ketujuh, adalah berlanjutnya proyek-proyek institut ini dalam mengembangkan teori sosial oleh tokoh-tokoh baru, seperti Jürgen Habermas, Oskal Negt, Alfred Schmidt, dan lain sebagainya pada 1970-1980-an; dan tahap kedelapan adalah munculnya teoretisi generasi baru yang aktif di dunia akademik Eropa dan Amerika Serikat.[17]

Dari kedelapan tahapan di atas dapat dilihat bahwa Mazhab Frankfurt merupakan perkumpulam sekelompok intelektual “Marxian” yang mencoba untuk mengkritisi masalah-masalah sosial. Di mana langkah mereka bukan tanpa hambatan bahkan harus mengalami masa-masa sulit (dipengungsian). Akan tetapi dengan keteguhan dan kerja sama yang solid antar anggotanya sehingga perkumpulan ini mampu melewati dan berkumpul kembali di Jerman yang merupakan tempat negara kelahirannya. Dan dalam perkembangannya kemudian pemikiran Mazhab Frankfurt dapat berpengaruh bahkan sampai ke negara-negara lain, termasuk benua Amerika dan Asia.

Selanjutnya dalam konteks filsafat, Mazhab Frankfurt memiliki lima pokok-pokok pikiran. Pikiran pertama, objek analisis adalah masyarakat masa kini, bukan masyarakat ketika Karl Marx masih hidup; kedua, filsafat bukan hanya kontemplasi; suatu perenungan mendalam dan radikal yang jauh dari realitas, atau tidak membumi; ketiga, filsafat seharusnya dapat merubah masyarakat; suatu upaya emansipasi dari belenggu yang muncul sebagai akibat dari pekerjaannya; keempat, Aufklarung menyingkap tabir kegelapan; upaya memberi pencerahan pada manusia modern akan kemajuan semu masyarakat industri yang dehumanisasi, dan kelima, menolak perubahan dengan cara yang revolusioner; karena hal itu justru akan memunculkan dehumanisasi.

Dari lima pokok pikiran di atas menunjukkan bahwa Mazhab Frankfurt memiliki orientasi yang bersifat progressif, maju dan kekinian. Karena meskipun mereka adalah “Marxian” tetapi objek analisisnya tidak semata-mata pada masalah sosial yang telah lampau di masa Karl Marx. Maka dengan memaknai filsafat bukan hanya sebagai sesuatu yang teoretis dan hampa, Mazhab Frankfurt justru menghendaki agar filsafat bersifat emansipatoris agar bida dirasakan manfaatnya oleh masayarakat secara praktis.

Kritik Terhadap Positivisme

Untuk mengetahui teori-teori yang telah dicetuskan oleh Mazhab Frankfurt, setidaknya ada enam tema utama dalam teori kritis, yaitu bentuk-bentuk integrasi sosial masyarakat post-liberal, sosialisasi dan pengembangan ego, media massa dan kebudayaan massa, sosiologi sosial protes, teori seni dan kritik atas positivisme.[18] Dari keenam tema tersebut telah melahirkan banyak pemikiran-pemikiran termasuk di dalamnya kritik atas perkembangan sosiologi, seni, dan kebudayaan masyarakat modern. Namun tema mengenai positivisme merupakan tema yang banyak disinggung dan diperdebatkan. Mengingat positivisme adalah salah satu aliran yang cukup mapan dan memiliki banyak pengikut dan penerus dalam pemikiran filsafat.

Kritik teori kritis atas positivisme merupakan karakteristik sentral seluruh pemikiran aliran tersebut. Kecenderungan positivis dalam ilmu sosial sejak zaman pencerahan telah memprofokasi teori sosial kritis. Pernyataan Auguste Comte bahwa sosiologi (neo-logisme-nya) harus mencoba menjadi “fisika sosial” yaitu dengan menjabarkan bagaimana hukum sosial yang seolah-olah alamiah itu membekukan masa kini. Wacana tanding yang muncul kemudian adalah para ilmuan sosial kritis mencoba menggambarkan pola-pola historis semacam ini sebagai kapitalisme, rasisme, seksisme, dan dominasi alam. Dalam perkembangannya, dari masa ke masa ilmuan yang melawan proyek positivisme yang menganut sejumlah tesis teori sosial kritis, khususnya karena pengaruh oleh Mazhab Frankfurt, post modernisme, kajian feminism, dan cultural studies semakin bertambah.

Teori kritis menentang teori tradisional atau positivisme, karena tidak sesuai dengan semangat pencerahan. Sifatnya yang ideologis tidak mungkin menjadi teori yang emansipatoris. Gejala ideologisnya tidak bertujuan untuk mengubah kondisi-kondisi modernitas, tetapi justru melanggengkan status quo. Hal ini justru akan menjadi teori yang menindas dan membelenggu kemandirian masyarakat. Artinya, semangat untuk mempertahankan status quo lebih dikedepankan dari pada keinginan untuk membebaskan manusia dari keterkungkungan mitos baru, yakni rasionalitas instrumentalnya.

Itulah sebabnya mengapa teori kritis melakukan kritik atas keadaan yang demikian dengan mencoba melakukan pembebasan manusia dari gejala irrasionalitas masyarakat. Sifat kritis teori ini dipahami selayaknya kritik model Hegelian dan Marxian yang dikembangkan oleh Mazhab Frankfurt melalui istilah “dialektika terbuka”nya.[19] Dengan mendasarkan pada dialektika terbuka tersebut digunakannya sebagai riset-riset pragmatis Mazhab Frankfurt.

Horkheimer dan Adorno dalam Dialectics of Enlightenment (1972) mengkritik semua teori modernitas terdahulu, termasuk teori Marx atas ketidakperduliannya pada isu yang mereka sebut sebagai “dominasi”. Dalam hal ini mereka menyatakan bahwa teori kritis mereka sendiri lebih merupakan kritik menyeluruh atas peradaban dibandingkan dengan karya Mark yang hanya menerapkan kritiknya kepada kapitalisme. Dominasi, menurut Horkheimer dan Adorno, mengacu pada kegemaran masyarakat barat melihat dunia, termasuk alam sebagai objek yang harus dikuasai bagi kemanfaatan manusia.[20]

Horkheimer dan Adorno tidak melawan pencerahan. Sebagai rasionalitas dari Marxis, mereka berpikir bahwa pencerahan membuka jalan bagi pembebasan. Namun pencerahan abad ke-18 yang membebaskan Eropa dari agama dan mitos telah gagal meraih tujuan akhirnya dengan mengabaikan ketidaksempurnaannya dan kecacatannya. Menurut teoretisi Mazhab Frankfurt, keinginan Yunani terhadap pencerahan cenderung berlebihan dan terlalu mewah; untuk menghapus semua misteri dan mitos dan menggantinya dengan iman dan nalar. Mereka mendukung nalar dan benar-benar ingin menciptakan satu rezim nalar, sehingga dia tidak terlibat dalam dominasi sosial dan intelektual.[21]

Mazhab Frankfurt bertolak dari proyek atau usaha rasio pada abad ke 18 untuk menjadi penyelamat manusia melalui ilmu pengetahuan positif dan penerapannya dalam teknik. Dikatakan bahwa masa pencerahan terus menerus melanjutkan usahanya untuk membebaskan manusia dari ketakutan dan menjadikannya tuan atas dirinya sendiri. Sasaran aufklarung (pencerahan) adalah membebaskan manusia dari kuasa magis dengan bantuan ilmu pengetahuan.[22] Dengan demikian, dapatlah dipahami bahwa Mazhab Frankfurt merumuskan sasarannya sebagai teori kritis dengan bertolak pada aufklarung.

Mazhab Frankfurt ingin mengkritik rasio-teknik industrial dalam masyarakat pasca industri. Sebab menurut mereka rasio seperti itu sudah tidak sesuai dengan tuntutan serta tujuan rasio yang sebenarnya. Mereka ingin membantu teori yang mengkritik struktur dan konfigurasi masyarakat aktual sebagai akibat dari suatu pemahaman yang keliru tentang rasio. Hal ini tentu saja mengandaikan bahwa mereka mempunyai suatu ide tentang suatu rasio yang lebih orisinil dan fundamental sebagai titik acuan untuk merumuskan kelemahan-kelemahan masyarakat industri dan berbagai macam gejala yang terdapat dalam seluruh tatanan sosial. Mereka menjelaskan semua itu dengan bertolak pada pemahaman tentang rasio dewasa ini yaitu rasio teknik instrumental.[23]

Di dalam Mazhab Frankfurt banyak ilmu pengetahuan yang diusahakan secara berhubungan. Hal yang demikian ini telah memainkan peranan yang cukup besar dalam buku Dialektik der Aufklarung (1947). Buku ini memuat dasar-dasar penyelidikan mengenai arti serta peranan penguasa di dalam masayarakat. Negara, gereja, universitas, dan perusahaan semuanya merupakan tiang-tiang penyangga sebuah sistem tanpa nama. Kelembagaan yang sudah mapan acap kali tanpa secara tegas disadari oleh para pendukung lembaga-lembaga tersebut.

Sistem ini melakukan pengendalian dengan i’tikad tidak memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan di dalamnya. Karenaya, merupakan suatu tatanan bagi teori kritis untuk menyingkapkan bentuk-bentuk pengendalian yang bersifat tersembunyi. Seperti tentang keluarga, moral seksual, pendidikan, paksaan untuk berprestasi di bidang sosial dan ekonomi. Sebagai pengganti oteoriter, maka harus dibangun suatu masyarakat yang anti otoriter.[24] Oleh karena itu struktur masyarakat haruslah dirubah dan diusahakan suatu pendidikan yang anti orotiter. Kemudian masyarakat yang anti otoriter hanya dapat diwujudkan dan dapat berfungsi manakala batin manusianya tidaklah otoriter pula.

Bencana Modernitas

Berkembangnya positivisme dan proyek pencerahan telah mengubah fungsi tenaga manusia dengan mesin. Hal ini agaknya disadari betul oleh Mazhab Frankfurt, terutama Horkheimer dan Adorno dengan kritiknya menjelaskan bahwa positivism dan proyek pencerahan yang menghasilkan modernitas merupakan kemenangan yang penuh bencana. Hal yang juga mengerikan dari proyek pencerahan akibat positivisme adalah menggunakan alam sebagai instrumen untuk menindas sesama manusia. Krisis lingkungan juga akibat buruk dari kecenderungan demikian. Penemuan bom, senjata nuklir, dan sebagainya yang harusnya dipakai untuk mewujudkan perdamaian, justru dipandang sebagai bentuk persenjataan yang lebih efektif, sehingga apa yang dimaui manusia untuk dipelajari dari alam adalah bagaimana menguasai alam, mengeksploitasinya dan pada akhirnya menjajah sesamanya.

Saat ini manusia modern yang mengandaikan pencerahan, namun nyatanya sudah kehilangan kekritisannya dan seolah-olah hanya berpijak pada satu nilai dimensi kebenaran. Kebenaran itu pun adalah kebenaran positivisme yang absurd sebab mengagungkan aspek fungsional belaka dan tak melihat substansi yang ada di dalamnya. Akibatnya, manusia dalam aspek ilmu pengetahuan, seni dan filsafat, pemikiran dan laku sehari-hari, sistim politik, ekonomi, dan penerapan teknologi hanya berjalan dipermukaan belaka, sehingga tidak pernah merasakan ada yang tidak beres dengan kehidupan yang mereka jalani; mereka seolah-olah sudah merasa nyaman dengan satu dimensi dari kehidupan modern yang sejatinya justru menjadi bibit-bibit bencana baginya, lingkungannya, dan sesamanya, serta menjadi ancaman bagi generasi-generasi mereka selanjutnya.[25]

Teori Kritik Sosial Jürgen Habermas

Jürgen Habermas lahir pada 18 Juni 1929. Dia terlahir dari keluarga kelas menengah yang agak tradisional. Ayahnya pernah menjabat sebagai direktur Kamar Dagang di kota kelahirannya. Dia menjadi bagian penting dari sejarah filsasat Eropa karena minat besarnya terhadap teori sosial, epistemologi, teori politik khususnya ide briliannya tentang rasionalitas komunikatif. Konsep-konsep seperti etika diskursus, demokrasi deliberatif, pragmatika universal, aksi komunikatif, dan ruang publik dikaitkan juga dengan Habermas.[26]

Habermas merupakan tokoh yang sangat terkenal dalam aliran filsafat. Ciri khas filsafat kritisnya di mana ia selalu berkaitan erat dengan kritik terhadap hubungan-hubungan sosial yang nyata. Pemikiran kritis merefleksikan masyarakat serta dirinya sendiri dalam konteks dialektika struktur-struktur penindasan dan emansipasi. Filsafat ini tidak mengisolasikan diri dalam menara gading teori murni sebab pemikiran kritis merasa diri bertanggungjawab terhadap keadaan sosial yang nyata.[27]

Teori kritis yang dihasilkan Habermas memberikan pengaruh besar dalam kajian ilmu sosial. Habermas memandang bahwa teori kritis sebagai metodologi yang berdiri di antara ketegangan dialektis filsafat dan ilmu. Dengan adanya teori kritis ini Habermas ingin menembus realitas maupun data empiris yang ada dengan tiga hal yaitu pengetahuan, ilmu, dan teknologi. Baginya, ketiga hal ini memiliki keterkaitan yang erat. Pengetahuan merupakan aktivitas, proses, kemampuan, serta bentuk kesadaran manusia, sedangkan ilmu sebagai suatu pengetahuan yang direfleksikan secara metodis. Jika ilmu dan pengetahuan membeku menjadi suatu delusi atau kesadaran palsu yang merintangi praksis sosial manusia untuk merealisasikan kebaikan, kebenaran, kebahagiaan, dan kebebasannya, maka sesungguhnya keduanya telah berubah menjadi ideologis.

Pemikiran Jürgen Habermas

Habermas merupakan seorang filosof Mazhab Frankfurt generasi kedua. Pemikiran Habermas dipengaruhi oleh beberapa tokoh filsuf, di antaranya adalah Immanuel Kant, Hegel, Karl Max, dan tentunya Mazhab Frankfrut generasi pertama, seperti Max Horkheimer dan Theodor Adorno. Selain itu pemikirannya juga dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat yang pada saat itu terjadi kejadian pahit yang ia saksikan langsung yaitu Perang Dunia II dan pengalaman hidupnya di bawah rezim nasionalis-sosialis Adolf Hitler turut andil dalam membangun konstruksi pemikirannya dikemudian hari.[28]

Sebenarnya teori kritis dikembangkan adalah sebagai upaya dan usaha untuk menjelaskan mengapa revolusi yang diperkenalkan Marx tidak terjadi dalam pertengahan abad ke-19 sebagaimana diramalkan Marx. Marcuse, Adorno, dan Horkheimer mengembangkan logika dan metode marxisme yang dipikirkan lebih sesuai dengan situasi kapitalisme abad ke-20. Mereka tidak sekadar mengulangi apa yang dikatakan Marx.[29] Karena posisi itu baik Horkheimer, Adorno, dan Marcuse disebut sebagai peletak teori kritis yang membedakan mereka dengan anggota perintis yang masih kuat berpegang teguh pada ajaran Marx yang bersifat ortodoks.

Jürgen Habermas dikenal sebagai pembaharu teori kritis dan pemimpin generasi kedua Mazhab Frankfurt. Seperti para pendahulunya, Habermas menolak ortodoksi marxisme dan membuka ruang pendapat lain, dan kemungkinan untuk falsifikasi. Habermas berpendapat bahwa kelemahan-kelemahan marxisme ortodoks wajib dicatat. Ketika Marx (yang pernah dianutnya) memahami produksi sebagai penggerak sejarah perkembangan masyarakat yang pada akhirnya menciptakan masyarakat tanpa kelas dan masyarakat tanpa hak milik, maka Jürgen Habermas justru berbeda dengan Marx dan bahkan para pendahulunya di Mazhab Frankfurt, di mana Habermas lebih memilih “jalan konsensus” dengan sasaran terciptanya “demokrasi radikal” yaitu hubungan-hubungan sosial yang terjadi dalam lingkup “komunikasi bebas penguasaan”. Dalam konteks komunikasi ini di mana perjuangan kelas dalam pandangan klasik yaitu revolusi politis, sementara oleh Habermas digantinya dengan “perbincangan rasional” yang mana argumen-argumen rasional berperan sebagai unsur emansipatoris.

Pendekatan rasional yang komunikatif inilah yang tampak mengendap dalam pemikiran Habermas. Sebab bagi Habermas, konstruksi pengetahuan manusia itu diperoleh melalui perbincangan-perbincangan rasional dalam sebuah ruang bebas yang emansipatoris. Habermas menyebutnya sebagai “ruang publik” yang steril dari dominasi.[30] Pertukaran ide antarindividu tersebut pada akhirnya menciptakan konsensus sosial untuk disepakati. Menariknya, pemikiran Habermas sesungguhnya mempunyai dua kaki, satu sisi dalam perihal hubungannya dengan kognitif-teknis yang menggunakan paradigma kerja, satu sisi yang lain dalam hubungannya dengan moral praktis yaitu berupa hubungan relasi sosial melalui pradigma komunikatif. Paradigma kerja menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana menguasai, mengontrol, dan memanfaatkan alam, sedangkan paradigma komunikatif melahirkan sebuah pengetahuan kemanusiaan yang bebas dari dominasi.[31] Intinya bahwa Habermas sebenarnya melakukan sebuah refleksi pemikiran agar teori kritis mempertimbangkan kembali sebuah paradigma dengan merevitalisasi sebuah paradigma dari paradigma kerja menuju paradigma komunikasi.

Jürgen Habermas Untuk Menuju Teori Praktis

Salah satu kontribusi Habermas terhadap perkembangan teori kritis adalah mengawinkan konsep teori dengan praktis. Sebab menurut Habermas yang dimaksud dengan teori kritis adalah “teori dengan maksud praktis”. Ini berarti, tindakan yang membebaskan model teori kritis dengan maksud praktis ditemukan oleh Habermas. Dalam masalah teori-teori, Habermas mempunyai beberapa kepentingan yaitu kepentingan pengetahuan dan kepentingan praktis. Ide ini tidak serupa dengan mengatakan bahwa seorang mahasiswa mengembangkan suatu “kepentingan” dengan maksud untuk memperoleh suatu tingkat dari tujuannya. Kepentingan yang dibicarakan Habermas ini bagaimana pun juga dimiliki oleh kita semua dalam keanggotaan masyarakat manusia. Argumentasinya berakar di dalam karya Marx, dan kita temukan kritikan utamanya tentang teori Marx.

Kepentingan selanjutnya yaitu kepentingan praktis, yang pada gilirannya memunculkan ilmu pengetahuan Hermeneutik, sehingga dengan caranya mampu menginterpretasikan tindakan satu sama lain baik secara individu, sosial masyarakat maupun secara organisatoris secara kritis menurut Habermas. Kepentingan praktis, kata Habermas memunculkan suatu kepentingan ketiga yaitu “kepentingan emansipatoris”. Dia membangkitkan pengetahuan teoretis, untuk itu Habermas mengambil psikoanalisa sebagai model untuk mengaitkan antara kemampuan berfikir dan bertindak dengan kesadaran sendiri. Maka, teori bagi Habermas merupakan suatu produk dan memenuhi maksud dari tindakan manusia. Secara esensial itu adalah alat untuk kebebasan manusia yang besar.[32]

Dogma Marxisme dan Kaitannya dengan Struktur Sosial

Pada kenyataannya Habermas menyarankan bahwa tingkat ekonomi dari formasi sosial hanya dominan dalam masyarakat kapitalis, barangkali hanya dalam kapitalisme awal, dia mengatakan setiap tipe masyarakat diatur oleh suatu kompleks institusional tertentu mungkin hal itu adalah institusi ekonomi untuk kapitalisme awal, negara untuk kapitalisme akhir dan sistem kekerabatan dalam masyarakat suku terasing. Namun demikian, institusi-institusi itu sendiri bisa dilihat sebagai penjelmaan-penjelmaan dari nilai-nilai budaya dan norma-norma yang dia lihat sebagai hal yang berkembang ke arah tingkat-tingkat universalitas yang semakin tinggi. Menurut Habermas, institusi sosial ada tidak hanya untuk membantu dan mempertahankan produksi ekonomi tetapi juga menekan kembali keinginan yang mau membuat kehidupan sosial menjadi tidak mungkin. Habermas memperhatikan evolusi masyarakat manusia dari jumlah sudut pandangan yang lain, biasanya menghasilkan klasifikasi yang tiga kali lipat.

Masyarakat dilihat sebagai hasil dari tindakan manusia yang pada gilirannya distruktur oleh norma-norma dan nilai-nilai. Terhadap perkembangan-perkembangan dari nilai-nilai dan norma-norma inilah yang harus kita perhatikan jikalau kita mau memahami perubahan sosial. Dasar-dasar untuk kritik sosial sebenarnya terletak pada tujuan, yang terhadapnya kemudian perkembangan sosial itu berubah; suatu rasional universal yang di dalamnya setiap orang berpartisipasi secara sama. Suatu situasi di mana komunikasi tidak mengalami distorsi suatu situasi percakapan yang ideal, yang ingin dibuatkan out line-nya oleh Habermas. Seperti dengan karya person kita berakhir dengan konsepsi kecil atau sederhana tentang tingkat-tingkat dari organisasi sosial, di luar yang diberikan oleh pemberian prioritas kepada kebudayaan, tak ada pengaruh mengenai mekanisme sebab akibat dan lebih merupakan suatu pengklasifikasian umum daripada suatu sistem yang bersifat menjelaskan.[33]

Pendekatan Historis Menurut Habermas

Paradigma teori kritis masyarakat “klasik” ditentukan oleh dua faham fundamental; gaya pemikiran historis dan gaya pemikiran materialis. Dengan pola berpikir historis dimaksud di mana realitas sosial yang ada sekarang hanya dapat dipahami betul jika dilihat sebagai hasil sebuah sejarah. Ilmu-ilmu positif menyelubungi secara idiologis fakta yang paling fundamental bahwa sejarah itu dibuat oleh manusia sendiri (dalam bahasa Marx: manusia sebagai Gattungswesen atau makhluk jenis membuat sejarahnya sendiri), bahwa sejarah itu merupakan sejarah penindasan, bahwa penindasan itu justru ditutup-tutupi sehingga realitas sekarang tampak sebagai objektifitas yang wajar.

Teori kritis bertugas membuka selubung idiologis itu. Jadi, membuka penghisapan dan penindasan itu sebagai karya manusia dan dengan demikian membuka kemungkinan pembebasan. Maka, Habermas bicara tentang “teori kritis sejarah dengan maksud praktis”. Dengan meminjam pola pendekatan psikoanalisa Sigmund Freud, Habermas mengharapkan agar ingatan kembali terhadap sejarah penderitaan dan penindasan (yang ditutup oleh teori positif) melepaskan kekuatan-kekuatan emansipatoris; menyadari diri sebagai korban penindasan terselubung memberikan tekad untuk membebaskan diri dari sebuah situasi yang sekarang tidak lagi dipandang “objektif perlu”, melainkan sebagai hasil proses sejarah.[34]

 

Daftar Pustaka

Agger, Ben. (2003). Teori Sosial Kritis; Penerapan dan Implikasinya. Yogayakarta: Kreasi Wacana.

Bertens, K. (1983). Filsafat Barat abad XX; Ingris-Jerman. Jakarta: Gramedia.

Best, Beverley, Bonefeld, Werner, dan O’Kane, Chris  (ed.). (2021). Teori Kritis Mazhab Frankfurt Volume 1. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Delfgaauw, Bernard. (1988). Filsafat Abad 20. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Hardiman, F. Budi. (1993). Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu Masyarakat, Politik dan Post-Modernisme Menurut Jürgen Habermas. Yogyakarta: Kanisius.

Hardiman, Fransisco Budi. (2004). Kritik Ideologi; Menyingkap Kepentingan Pengetahuan Bersama Jürgen Habermas. Yogyakarta: Buku Baik.

Hidayat, Rakhmat. (2013). Pedagogi Kritis; Sejarah, Perkembangan dan Pemikiran. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Kristeva, Nur Sayyid Santoso. (2019). Manifesto Wacana Kiri; Membentuk Solidaritas Organik Agitasi dan Propaganda Wacana Kiri untuk Kader Inti Ideologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Magnis-Suseno, Franz. (1992). Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius.

Pussey, Michale. (2011). Habermas; Dasar dan Konteks Pemikiran. Yogyakarta: Resist Book.

Ramin, Maghfur M. (2017). Teori Kritis Filsafat Lintas Mazhab. Yogyakarta: Penerbit Sociality.

Santoso, Listiyono, dkk. (2015). Epistemologi Kiri. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. 

Sindhunata. (1981). Dilema Usaha Manusia Rasional. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Wibowo, A. Setyo. (2009). Para Pembunuh Tuhan. Yogyakarta: Kansius.

 

 

 



[1] Rakhmat Hidayat, Pedagogi Kritis; Sejarah, Perkembangan dan Pemikiran, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2013), hlm. 53.

[2] Beverley Best, Werner Bonefeld, dan Chris O’Kane (ed.), Teori Kritis Mazhab Frankfurt Volume 1, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2021), hlm. 6. Weil lahir di Buenos Aires, Argentina. Ia merupakan anak laki-laki dari pedagang gandum kaya dan mampu menghasilkan uang dari bisnisnya untuk membiayai institut. Weil ini lulus dengan gelar doktor dalam ilmu politik dari Frankfurt University.

[3] Fransisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi; Menyingkap Kepentingan Pengetahuan Bersama Jürgen Habermas, (Yogyakarta: Buku Baik, 2004), hlm. 33.

[4] Ibid.

[5] A. Setyo Wibowo, Para Pembunuh Tuhan, (Yogyakarta: Kansius, 2009), hlm. 55.

[6] Neomarxisme adalah sebuah paham yang mengacu pada kebangkitan kritis teori marxis pada pasca-perang; yang paling sering digunakan untuk menunjukkan pekerjaan di bidang ekonomi politik radikal yang mencoba untuk menggabungkan aspirasi revolusioner dan berorientasi konsep marxisme dengan beberapa perangkat yang disediakan oleh ekonomi non-Marxis, terutama karya Keynes. Neo-marxisme sebenarnya adalah sebutan untuk menunjukkan upaya, selama, dan setelah perang Dunia II, yang bercermin pada ketepatan kategori marxis untuk memahami kondisi perubahan akumulasi modal. Aliran ini berusaha untuk memberi kritik terhadap perkembangan yang ada dengan menggunakan sudut pandang marxisme, dan sekaligus menyusun teori yang menyatakan konstribusi mereka terhadap trend global.

[7] Sindhunata, Dilema Usaha Manusia Rasional, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1981), hlm. 20―21.

[8] Maghfur M. Ramin, Teori Kritis Filsafat Lintas Mazhab, (Yogyakarta: Penerbit Sociality, 2017), hlm. 136.

[9] Ibid., hlm. 139.

[10] Ibid., hlm. 137.

[11] Fransisco Budi Hardiman, Op. Cit., hlm. 52.

[12] Ibid., hlm. 36. Lihat juga: HELD, D, Introduction to Critical Theory; Horkheimer to Hubermas, (London: Hutchinson, 1980), hlm. 33.

[13] Secara epistemologis mereka justru menghadapi pesimisme total terhadap teori kritis mereka sendiri, dengan mengatakan bahwa rasio kritis dapat membeku menjadi ideologi baru, atau rasio instrumental sebagai hasil pencerahan menjadi mistis baru, dengan mengatakan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi ideologis dan mendarah daging dalam bentuk rasionalitas teknologis, sehingga generasi pertama teori kritis menghadapi jalan buntu dari teori kritis mereka sendiri. Lihat: Ibid., hlm. 75.

[14] Beberapa ajaran dan asumsi pandangan atau pemikiran Marx yang ditinggalkan oleh teori kritis antara lain; materialism historis, kehancuran kapitalisme, teori nilai pekerjaan, analisis kelas serta teori tentang kaum proletas sebagai subjek evolusi. Elaborasi lebih lanjut Lihat: Akhyar Yusuf Lubis, Pemikiran Kritis Kontemporer; dari Teori Kritis, Culture Studies, Feminism, Post-Kolonial hingga Multikulturalisme, (Jakarta: Rajawali Press, 2016), hlm. 912.

[15] Listiyono Santoso, dkk., Epistemologi Kiri, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2015), hlm. 98. 

[16] K. Bertens, Filsafat Barat abad XX; Ingris-Jerman, (Jakarta: Gramedia, 1983), hlm. 177.

[17] Ibid.

[18] F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu Masyarakat, Politik dan Post-Modernisme Menurut Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), xvi. 

[19] Fransisco Budi Hardiman, Op. Cit., hlm. 56.

[20] Sejak zaman Yunani Kuno, manusia berusaha mengatasi ketakutan mereka dengan menaklukkan berbagai elemen di luar mereka termasuk alam, perempuan, anggota kelompok minoritas, dan bahkan dengan masyarakat primitif. Untuk meraih kendali atas lingkungan alam dan sosial mereka, manusia tidak hanya memenuhi kebutuhan mereka, namun juga mengatasi kegelisahan mereka dan menciptakan identitas mereka sendiri.

[21] Ben Agger, Teori Sosial Kritis; Penerapan dan Implikasinya, (Yogayakarta: Kreasi Wacana, 2003), hlm. 171―172.

[22] Rasio sebagaimana dipahami dan diagung-agungkan oleh massa aufklarung bertujuan untuk membebaskan manusia dari cengkeraman alam dan membangun suatu tatanan politik sosial yang dapat melaksanakan cita-cita kebebasan dan keadilan. Mazhab Frankfurt bermaksud memperjelas secara rasional struktur yang dimiliki oleh masyarakat industri sekarang dan melihat akibat-akibat struktur tersebut dalam kehidupan manusia dan dalam kebudayaannya.

[23] Listiyono Santoso, dkk. Op. Cit., hlm. 96.

[24] Bernard Delfgaauw, Filsafat Abad 20, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1988), hlm. 166. 

[25] Nur Sayyid Santoso Kristeva, Manifesto Wacana Kiri; Membentuk Solidaritas Organik Agitasi dan Propaganda Wacana Kiri untuk Kader Inti Ideologis, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2019), hlm. 452.

[26] Maghfur M. Ramin, Op. Cit., hlm. 175.

[27] Franz Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), hlm. 176.

[28] Michale Pussey, Habermas; Dasar dan Konteks Pemikiran, (Yogyakarta: Resist Book, 2011), hlm. 1.

[29] Maghfur M. Ramin, Op. Cit., hlm. 15.

[30] Konsep ruang publik sangat penting bagi Habermas dalam mengembangkan teori kritis sebab di situlah medan pertempuran pelbagai kepentingan masyarakat, ekonomi, dan politik. Karenanya, prosedur yang mengikat perilaku manusia dalam ruang publik harus diperoleh dengan cara-cara yang bersifat komunikatif yaitu pembicaraan bersama yang terbuka dan bebas. Konsep Habermas tentang ruang publik bukan pertama-tama (artinya sebagai tempat atau keterangan lokatif), melainkan sebagai kondisi atau syarat-syarat dari kemungkinan suatu klaim yang berlaku secara umum mengikat karena persetujuan rasional dari semua anggota masyarakat, sehingga komunikasi diisyaratkan dalam ruang publik.

[31] Listiyono Santoso, dkk., Op. Cit., hlm. 218.

[32] Nur Sayyid Santoso Kristeva, Op. Cit., hlm. 457―458.

[33] Ibid., hlm. 458―459.

[34] Ibid., hlm. 459―460.