A.
Pra-Wacana
Membincang gender berarti kita sedang memasuki
sebuah kebudayaan baru mengenai relasi antara laki-laki dan perempuan.
Perbincangan gender telah menempatkan dan mendorong kata kesetaraan sebagai
ikon penting dalam mengonstruksi kembali gender sebagai sebuah entitas
sosio-kultur yang dibuat dan dibangun untuk menegakkan hubungan yang setara dan
adil dalam kemajuan bersama untuk mencapai derajat mutu manusia, melintasi atau
melampaui batas-batas atribute jenis
kelamin dan pemaknaan dikotomis kultural antara laki-laki dan perempuan.
Jika ditelisik secara kritis-interpretatif teks
agama, diskursus tentang gender[1]
tidak dapat dilepaskan dari masalah teologis.[2]
Itu semua tidak lain bahwa agama—dianggap—memiliki andil besar dalam
melestarikan ketidaksetaraan (bias)
gender dalam kehidupan bermasyarakat. Posisi perempuan dalam beberapa agama dan
kepercayaan ditempatkan sebagai the second sex, sehingga perubahan konstruksi sosial sangat menguntungkan
pihak laki-laki dan merugikan perempuan. Intinya bahwa laki-laki menjadi nomer
satu dan perempuan menjadi nomer dua dan senantiasa berada dibelakangnya.
Pada
dasarnya, Islam tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan, karena didalam
al-Quran telah dijelaskan bahwa manusia memiliki kedudukan yang sama dimata
Allah, baik itu laki-laki ataupun perempuan. Karena adanya pandangan bahwa
laki-laki adalah manusia sempurna, maka muncullah istilah gender untuk
menghilangkan anggapan bahwa laki-laki adalah manusia paling sempurna, karena
pada dasarnya kedudukan laki-laki dan perempuan itu sama. Namun dalam pembaharuan
kedudukan perempuan ini menimbulkan banyak hal-hal yang menyimpang dari apa
yang telah ditetapkan dalam al-Quran dan Sunnah dengan mengatasnamakan
kesetaraan gender.
Gender
juga dapat dikaitkan dengan masalah hukum Islam, yang mana dengan
mengatasnamakan gender, hal-hal yang hanya boleh dilakukan oleh laki-laki
berarti juga boleh dilakukan oleh perempuan, dan apa yang berhak diterima
laki-laki juga berhak diterima oleh perempuan. Sebenarnya gender adalah
kesetaraan kedudukan antara laki-laki dan perempuan, yang mana tidak menyalahi
aturan yang berlaku dalam hukum Islam. Sebab, Islam sudah mengatur—dalam hal
apa saja—bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kesamaan, dan dalam antara
laki-laki dan perempuan memiliki porsi yang berbeda.
Tafsiran
atas teks agama, kebijakan pemerintah pada beberapa masyarakat atau negara yang
menganut sistem sosio-budaya patriarkhi
sering bias gender. Kebijakan
pemerintah mengenai dibentuknya organisasi perempuan seperti PKK, Dharma Wanita,
Dharma Pertiwi dan lainnya dirasakan bias
gender. Betapa tidak, dalam organisasi seperti ini para perempuan hanya dalam
posisi disematkan (embedded) bagian
dari dominasi laki-laki dengan menjadikan wanita sebagai pendamping suami dalam
merawat anak, sedangkan suami untuk mencari nafkah. Lagi-lagi perempuan
ditempatkan posisi domestik, tersematkan dan tersubordinasi.
UU Nomor
1 tahun 1974 mengenai perkawinan pun bias
gender. Pasal-pasal mengenai poligami dan kedudukan suami istri dalam rumah
tangga lebih banyak menguntungkan laki-laki dan menempatkan perempuan dalam
posisi tawar yang lemah dan bahkan menjadi objek penderita. Pasal 506 KUHP yang
berkaitan dengan pelacuran menunjukkan ketidakadilan gender dengan menempatkan
perempuan sebagai objek pelacuran. Padahal pelacuran itu terjadi oleh karena ‘lelaki hidung belang’ juga
melacurkan dirinya—dalam realitas lelaki pun ada pelacur alias gigolo.
Dari
uraian dan contoh diatas menunjukkan bahwa kekerasan simbolik dan struktural negara
terhadap perempuan masih tetap saja berlangsung. Sumbernya tidak lain adalah
dominasi laki-laki baik ditingkat rumah tangga hingga negara. Masih banyak hak-hak
perempuan dalam hukum Islam yang juga mengandung aspek diskriminatif. Dapat
dikatakan bahwa hampir semua pasal dalam UU Perkawinan No. 1/1974 dan Kompilasi
Hukum Islam—yang dijadikan acuan praktis bagi pengadilan Agama—mengandung
pasal-pasal yang diskriminatif berdasarkan gender. Dalam beberapa peraturan
daerah yang sering disebut bernuansa syariah, secara jelas ditemukan juga
aturan-aturan yang diskriminatif, baik yang melakukan kriminalisasi terhadap
perempuan maupun yang mengontrol tubuh perempuan.
Pandangan keagamaan ‘mainstream’ sebagaimana dipaparkan diatas, adalah problem dasar
membincang isu kesetaraan gender dalam konteks hukum Islam. Meskipun
pandangan-pandangan keagamaan itu merupakan fiqh—pemahaman para ulama atas sebuah teks—tapi dalam praktiknya fiqh telah menjadi
sumber bagi pembentukan hukum Islam (fiqh atau syariah yang dipositivisasi ke
dalam hukum negara). Oleh sebab itu, baik fiqh maupun hukum Islam, keduanya
adalah produk pemikiran manusia yang sangat mungkin mengalami pembiasan,
sehingga muatannya kontradiktif dan bahkan kemudian menjadi diskriminatif.
B.
Sejarah Masuknya Islam
di Indonesia dan Corak Pemikirannya
Eksistensi hukum Islam di Indonesia saat ini
sesungguhnya memiliki sejarah yang sangat panjang. Akar genealogisnya dapat
ditarik jauh kebelakang, yaitu saat pertama kali Islam masuk ke Indonesia. Oleh
karena itu, sebelum membahas mengenai keberadaan dan perkembangan pemikiran hukum
Islam, ada baiknya dijelaskan secara singkat beberapa teori masuknya Islam di
Indonesia. Pembahasan mengenai hal ini lebih dimaksudkan untuk mengetahui
sejauh mana implikasi watak eksklusif
Islam pertama tersebut terhadap perkembangan hukum Islam di Indonesia.
Menurut Sulasman, dengan mengutip pendapatnya
Ahmad Mansur Suryanegara, terdapat tiga teori yang menjelaskan kedatangan Islam
ke Indonesia.[3]
Kemudian Azyumardi Azra juga berpendapat bahwa menurutnya kedatangan Islam di
Nusantara terdapat diskusi dan perdebatan panjang diantara para ahli mengenai
tiga masalah pokok, yaitu tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya dan waktu
kedatangannya. Berbagai teori dan pembahasan yang berusaha menjawab ketiga
masalah pokok tersebut jelas belum tuntas, bukan karena kurangnya data yang dapat
mendukung suatu teori yang ada, namun terdapat kecenderungan kuat, yakni suatu
teori tertentu menekankan hanya aspek-aspek khusus dari ketiga masalah pokok tersebut, sementara mengabaikan aspek-aspek yang lainnya.[4]
Adapun ketiga teori kedatangan Islam di Indonesaia sebagaimana dijelaskan diatas, secara sederhana dapat penulis jelaskan sebagai berikut:
Adapun ketiga teori kedatangan Islam di Indonesaia sebagaimana dijelaskan diatas, secara sederhana dapat penulis jelaskan sebagai berikut:
1. Teori Arabia (Makkah)
Teori ini menyebutkan bahwa Islam masuk
ke Indonesia langsung dari Makkah dan Madinah. Waktu kedatangannya sekitar abad
ke-7 M. Ini berarti, Islam sudah masuk ke Indonesia pada awal abad Hijriah.
Ketika itu, pemerintahan Islam masih berada di tangan Khulafaur Rasyidin.
Dalam sumber literatur China disebutkan bahwa menjelang perempat pertama abad
ke-7 M banyak terdapat perkampungan Arab-Muslim di pesisir pantai Sumatra. Diperkampungan ini dikabarkan bahwa orang-orang Arab tinggal dan menikah dengan
penduduk lokal, kemudian membentuk komunitas Muslim.[5]
Teori ini agaknya hanya didasarkan pada
keinginan emosional para sejarahwan Islam yang ingin memastikan bahwa Islam
yang ada di Indonesia adalah Islam yang asli dan otentik bukan pariferal
atau sinkretis. Bagaimanapun juga, teori
ini cukup gagap untuk memberi kontitum atau jawaban pasti tentang proses konversi agama dan Islamisasi di Nusantara
ini. Dengan melihat sifat ketidakmungkinan ini, maka dapat penulis katakan bahwa
ketika itu proses Islamisasi belum bisa dikatakan telah terjadi di Nusantara.
2.
Teori Gujarat
Sejumlah Sarjana—kebanyakan asal Belanda—memegang
teori bahwa asal mula Islam Nusantara adalah Anak Benua India, bukannya Persia
atau Arabia. Menurut Azra, Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah
Pijnapple, seorang ahli dari Universitas Leiden. Dia mengkaitkan asal mula Islam di
Nusantara dengan wilayah Gujarat dan Malabar, yang menurutnya adalah orang-orang
Arab bermadzhab Syafi’i yang bermigrasi dan menetap di wilayah India tersebut
yang kemudian membawa Islam ke Nusantara.[6]
Teori ini kemudian dikembangkan Snouck
Hurgronje yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia dari wilayah-wilayah
yang terdapat di anak Benua India. Tempat-tempat seperti Gujarat, Bengali dan
Malabar disebut-sebut sebagai asal masuknya Islam ke Indonesia. Teori tersebut
berdasarkan pengamatan tidak terlihatnya peran dan nilai-nilai Arab yang ada
dalam Islam pada masa-masa awal, yaitu pada abad ke-12 atau 13 M. Snouck Hurgronje juga
mengatakan bahwa teorinya didukung dengan adanya hubungan yang sudah terjalin lama
antara wilayah Indonesia dengan daratan India.[7]
3.
Teori Persia
Tanah Persia disebut-sebut sebagai
tempat awal Islam datang di Indonesia. Sandaran teori ini yaitu adanya kesamaan
budaya yang dimiliki oleh beberapa kelompok masyarakat Islam dengan penduduk
Persia. Contohnya, peringatan 10 Muharram yang dijadikan sebagai hari
peringatan wafatnya Hasan dan Husain. Selain itu juga, beberapa sarapan bahasa
yang diyakini berasal dari wilayah Iran, misalnya kata jabar dari zabar,
jer dari zeer dan sebagainya. Teori ini meyakini bahwa Islam
masuk ke wilayah Indonesia pada abad ke-13 M. Adapun wilayah pertama yang
disinggahi yaitu kawasan Samudra Pasai.[8]
Dalam pengamatan sarjana Barat, Islam
di Nusantara disebarkan oleh para pedagang. Disamping melakukan aktivitas
utamanya mereka, juga melakukan perkawinan dengan wanita setempat. Disamping
itu, pergerakan para Sufi pengembara juga karena berkat otoritas dan kekuatan magis yang mereka miliki telah mampu
melakukan penyebaran Islam di Nusantara dan berhasil mengislamkan penduduk
sejak abad XIII H. Mereka telah men-transplantasi, meramu dan menghadirkan satu
sentuhan yang harmonis dari unsur budaya lokal kedalam ajaran Islam, sehingga
mampu menghadirkan Islam dengan ajarannya yang sinergis dengan tradisi yang
dianut oleh masyarakat. Fenomena inilah yang memaksa para penulis Barat untuk
mengatakan bahwa karakteristik Islam di Nusantara bersifat sinkretik.[9]
Mengikuti teori yang yang memaparkan
dominasi kaum Sufi dalam penyebaran Islam di Nusantara, maka wajar jika telah
membentuk Islam Indonesia dengan corak Sufistik, dimana watak intelektualitas-filosofis redup didalamnya, karena lebih menampakkan nuansa sufistik-sinkretik, sehingga memberikan pengaruh bagi pemikiran Islam di
Indonesia. Kenyataan inilah yang telah membuat Islam Indonesia kurang memiliki
momentum dan kemampuan yang kuat untuk mengembangkan diri secara mandiri dalam
segala bidang, termasuk didalamnya pemikiran Hukum Islam. Atau dengan kata lain
bahwa umat Islam Indonesia lebih enjoy
menikmati mistisisme dan tradisi yang
lebih menekankan asketisme dan
menafikkan masalah-masalah duniawi.
Oleh sebab itu, karena begitu kuatnya pengaruh
dari tradisi, maka pemikiran-pemikiran Hukum (Islam) di Indonesia yang ada
menjadi terjebak dalam paralelisme epistemologi
tasawuf. Secara umum, gerakan fiqh sebenarnya merupakan kelanjutan dari dan
bertumpu pada orientasi tasawuf yang sudah sedemikian kuat dan mengakar dalam
kesadaran keilmuan umat Islam di Indonesia.
C.
Hukum Islam dan
Politik: Kasus Kompilasi Hukum Indonesia
Mengacu pada gejala studi Islam pada umumnya,
maka Hukum Islam juga dapat dipandang sebagai gejala budaya dan sebagai gejala sosial.
Filsafat dan aturan hukum Islam adalah gejala budaya. Sedangkan interaksi
orang-orang Islam dengan sesamanya atau dengan masyarakat non-muslim disekitar hukum
Islam adalah gejala sosial.
Secara lebih terperinci Atho’ Mudzar
membedakan studi hukum Islam sebagai berikut: Pertama, penelitian hukum Islam sebagai doktrin azas. Dalam
penelitian ini sasaran utamanya adalah dasar-dasar konseptual hukum Islam
seperti masalah-masalah filsafat hukum, sumber-sumber hukum, konsep maqashid al-shari’ah, qawa’id al-fiqhiyah, manhaj al-ijtihad, tariq al-istinbat, konsep qiyas, konsep ‘am dank khas, konsep nasikh dan mansukh dan lainnya.
Kedua, Penelitian hukum
Islam normatif. Dalam penelitian ini sasaran utamanya adalah hukum Islam
sebagai norma atau aturan, baik yang masih dalam bentuk nash maupun yang sudah menjadi produk pemikiran manusia. Aturan
yang masih dalam bentuk nash meliputi
ayat-ayat ahkam dan hadits-hadits ahkam, sedangkan kitab-kitab fiqih
perbandingan, keputusan peradilan, undang-undang, fatwa ulama dan bentuk aturan
lainnya yang mengikat seperti Kompilasi Hukum Islam (KHI), konstitusi (dustur), kodifikasi,
perjanjian-perjanjian internasional, deklaraasi hak manusia, surat-surat
kontrak, surat wasiat, kesaksian dan sebagainya.
Ketiga, penelitian hukum
Islam sebagai gejala sosial. Sasaran utama dari penelitian ini adalah perilaku hukum
masyarakat Muslim dan masalah-masalah interaksi antara sesama manusia, baik antara
sesama muslim dan non-muslim, disekitar masalah-masalah hukum ini mencakup
masalah-masalah pelitik (siyasah),
perumusan dan penetapan hukum (siyasah
al-shar’iyah), perilaku penegak hukum (qadhi), mujtahid, fuqaha, mufti dan lainnya.[10]
Ketiga bentuk
studi tersebut dapat dilakukan secara terpisah dan bersaama-bersama. Untuk
melihat keterkaitannya satu sama lainnya mengenai masalah hukum Islam. Dua
bentuk studi Islam yang pertama, yakni stusi hukum Islam sebagai doktrin azas
dan penelitian Hukum Islam sebagai normatif dapat digabungkan dan disebut
sebagai studi Hukum Islam doktrinal. Sedangkan bentuk studi hukum Islam yang
ketiga dapat disebut sebagai studi Hukum Islam sosiologis (nondoktrinal). Dua
bentuk studi yang pertama melihat Islam sebagai gejala budaya, dan bentuk studi
Islam yang ketiga melihat Islam sebagai gejala sosial.
Selanjutnya, ketimpangan-ketimpangan
gender (gender difference) yang demikian tajam telah terjadi melalui
proses yang sangat panjang. Terbentuknya perbedaan peran gender dikarenakan
banyak hal, di antaranya adalah dibentuk, disosialisasikan, diperkuat bahkan
dikontruksi secara sosial atau kultural melalui tafsiran ajaran keagamaan
maupun hukum.
Menurut
Bustanul Arifin sebagai tokoh yang punya andil besar dalam melahirkan Kompilasi
Hukum Islam (KHI) bahwa posisi perempuan dalam KHI mulai disejajarkan. Sudah
banyak bukti yang dapat dijadikan landasan menuju terciptanya struktur sosial
yang emansipatoris. Posisi perempuan dalam KHI merupakan cerminan atas keadilan
antara laki-laki dan perempuan, yaitu dalam relasi-keluarga suami dan istri
terupayakan memiliki hak dan kewajiban yang seimbang. Menurutnya, kesejajaran
tersebut misalnya dalam pasal 2 KHI bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Kemudian pasal 3
KHI; bahwa perkawinan bertujuan mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah wa rahmah. Bagi Bustanul Arifin, rumusan tersebut telah
memposisikan perempuan dan laki-laki dalam perkawinan secara seimbang.
Keseimbangan juga dirumuskan dalam pasal 79 KHI bahwa suami adalah kepala
keluarga dan istri ibu rumah tangga. Menurutnya, rumusan ini jelas mengenai
keseimbangan kedudukan suami istri dengan masing-masing mempunyai fungsi dan
tanggung jawab yang berbeda tetapi dengan tujuan yang sama yaitu kebahagian
rumah tangga (keluarga) yang sakinah, mawadah wa rahmah.[11]
Sampai
saat ini, pandangan ‘mainstream’ menyatakan Kompilasi Hukum Islam telah
sesuai dengan karakter dan budaya masyarakat Indonesia. Ketika ada wacana
perubahan rumusan Kompilasi Hukum Islam agar lebih mencerminkan keadilan dan
kesetaraan gender seperti counter-Legal Draf Kompilasi Hukum Islam yang
diajukan oleh kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI banyak
penolakan secara keras, meskipun ada sebagian yang mendukung.
Sebagaimana
disebutkan diatas bahwa seseorang dalam menilai apakah keduduakan dan hak-hak
perempuan sudah sejajar atau tidak akan sangat bergantung pada kenyataan apakah
diuntungkan oleh sistem yang ada atau tidak. Begitu pula dalam menilai KHI,
terlebih jika menggunakan struktur relasi gender dengan kaca mata fiqih klasik,
sehingga terkesan berat sebelah dalam menilai seberapa jauh ketidakadilan
gender tersebut.
Oleh
sebab itu, perlu diwacanakan kembali sebagai agenda tuntutan terhadap keadilan
dan persamaan. Sebab KHI sebagai cerminan hukum Islam ala Indonesia dalam
rumusan pasal-pasalnya cenderung patriarkat
(mengutamakan laki-laki) dan menempatkan perempuan dalam sektor domestik dan
pemberian hak yang tidak sebanding dengan laki-laki. Rumusan yang timpang
tersebut tertuang dalam hukum perkawinan seperti dalam peminangan, rukun dan
syarat perkawinan, pemberian mahar, larangan kawin, poligami, batalnya
perkawinan, hak dan kewajiban suami istri, pemeliharaan anak, putusnya
perkawinan, akibat putusnya perkawinan, masa berkabung, besarnya bagian warisan
dan hirarkinya sebagaimana telah disebutkan dalam bab III. Jika diukur dengan
prinsip-prinsip ajaran Islam pun banyak rumusan yang tidak sesuai dengan
prinsip persamaan (al-musawah), persaudaraan (al-ikha’), dan
keadilan (al-adl) yang merupakan ajaran Islam.
Perlu
diingat kembali atas status yang diberikan al-Qur’an kepada perempuan dan
bagaimana para fuqaha memandangnya dalam kondisi yang berbeda-beda.
Secara prinsipil Islam menghargai kaum perempuan, bahkan berusaha
memberdayakannya. Penafsiran keagamaanlah yang memandang bahwa perempuan
diberikan status yang lebih rendah, sebagaimana tuangan dalam kitab-kitab fiqh
klasik. Mereka menghargai perempuan separuh dari harga laki-laki. Sekedar
contoh, dalam kesaksian 2 orang perempuan sederajat dengan nilai kesaksian
seorang laki-laki. Setiap orang yang baru lahir, dianjurkan menyembelih akikah
(kekah Jawa). Bagi anak-laki-laki minimal dua ekor kambing, untuk
anak perempuan cukup satu ekor saja. Di dalam pembagian harta waris, bagian
perempuan lebih dari satu (poligami), bahkan sampai empat meskipun dengan
persyaratan yang berat. Berbeda dengan perempuan yang secara mutlak hanya
dibenarkan memiliki seorang suami saja.[12]
Kemudian dalam wilayah hukum dan politik
dengan pola interaksi antara masyarakat sekitar dengan hukum Islam. Bagaimana
kelompok-kelompok keagamaan dan politik di Indonesia merespons RUU anti
pornografi dan pornoaksi (RUUPP), atau tidaknya wanita menjadi pemimpin negara
ketika fatwa tersebut muncul ditengah gegap gempitanya kampanye dalam pilihan
Presiden[13]
dan Pemilu lainnya.[14]
Hukum tersebut mendorong dan mendiskriminasi bahwa wanita sesuai dengan
syari’ah tidak dibolehkan menjadi seorang pemimpin. Ini sebagai salah satu
contoh kasus hukum yang didengungkan dalam iklim pilitik di Indonesia. Janga-jangan
quota 30 persen bagi keterwakilan perempuan di DPR dan DPRD serta komisi
pemilihan itu juga bias gender?
Artinya, filosofi 30 persen itu pencapur bauran antara perjuangan perempuan dan
pembagian negara yang dikuasai oleh laki-laki sebagai proses pengambilan kembali
atas satu rusuk kirinya yang hilang itu. Kalau begitu, tetap saja perempuan
tersubordinasi. Maka, budaya patriarki pun tetap berlangssung dan perempuan
tetap menjadi pelengkap dari 70 persen kekuasaan laki-laki.[15]
Bukti-bukti yang diberikan diatas member
gambaran kepada kita mengenai pemarginalan, kekerasan dan ketidakadilan
terhadap perempuan yang dikukuhkan oleh penafsiran terhadap teks agama, lembaga
keluarga dan kebijakan pemerintah atau negara merupakan tiga faktor penentu
berlangsungnya hubungan laki-laki perempuan di Indonesia yang bias gender. Semua itu berasal dari
budaya patriarki yang memposisikan laki-laki sebagai yang superior dan perempuan sebagai inferior.
D.
Konklusi
Kita seharusnya tidak lagi melihat pembagian
kerja secara jenis kelamin sebagai permasalahan didalam keluarga, hukum dan negara,
tetapi sebagai sebuah permasalahan struktural-kultural didalam masyarakat
secara keseluruhan. Maka dari itu, agar dapat tercapai kesetaraan gender diperlukan
pembagian kerja, akses dan mobilitas yang tidak lagi dikait-kaitkan dengan
jenis kelamin, namun lebih dilihat berdasarkan kualifikasi dan kemampuan.
Oleh karena persoalan ketidakadilan gender
dilatarbelakangi oleh budaya patriarkhi
dan dikukuhkan melalui lembaga-lembaga di masyarakat dan negara, maka
perjuangan kesetaraan gender kini dan masa datang harus diperlakukan dengan dua
strategi yang perlu didorong secara simultan.
Pertama, merombak tatanan kebudayaan
yang patriarkhis melalui proses
pembalikan budaya menjadi budaya egaliter. Kedua,
menumbuhkan sebuah kesadaran baru mengenai masyarakat tanpa stereotip gender, tanpa pembedaan atas laki-laki
dan perempuan dalam kesempatan mobilitas.
Kedua strategi diatas harus di introduksi kedalam lembaga-lembaga
pendidikan dan diperjuangkan secara politik, hukum dan budaya dalam proses
pengambilan kebijakan penting ditingkat negara yang berhubungan dengan
perempuan (tidak sekedar 30 persen keterwakilan perempuan di Dewan yang boleh
jadi bias gender).
Disamping
hal diatas, Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam merumuskan peran, kedudukan dan
hak-hak perempuan sangat memperlihatkan konsep keluarga patriarkhi. Perempuan lebih banyak ditempatkan pada sektor
domestik, sedangkan laki-laki disektor publik. Ekses sosial dari domestifikasi
perempuan tersebut menyebabkan perempuan tergeser dari penguasaan sumber daya
ekonomi sosial dan politik, yang secara ekonomis ia tergantung pada suaminya,
sedang peran suami sebagai pencari nafkah lebih memungkinkannya untuk memiliki
ekses sumber daya sosial, politik dan ekonomi. Oleh karenanya, dengan
memperhatikan ekses sosial dan argumentasi-argumentasi tersebut, sebagai upaya
menegakkan keadilan dan persamaan hak sebagaimana yang diajarkan oleh Islam,
maka relasi gender dalam Kompilasi Hukum Islam yang merumuskan peran,
kedudukan dan hak-hak perempuan berbeda dengan laki-laki sangat perlu untuk direkonstruksi.
Referensi:
Aden Wijdan SZ. dkk. (2007). Pemikiran dan Peradaban Islam.
Yogyakarta: Safiria Insania Press.
Adnan Mahmud, dkk. (Eds). (2012). Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia.
Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Azyumardi Azra. (2013). Jaringan Ulama
Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVII. Jakarta:
Kencana.
Howard M. Fiderspiel. (1996). Persatuan Islam; Pembaruan Islam Indonesia
Abad XX. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Maftukhin, dkk. (2010). Nuansa Studi Islam; Sebuah Pergulatan Pemikiran. Yogyakarta: Teras.
Mas’udi,
M. F. (1996). Membincang Feminisme; Diskursus Gender Perspektif Islam. Surabaya:
Risalah Gusti.
Nashir,
L. M. & Meuleman, J. H., (Ed.). (1993). Wanita Islam Indonesia dalam
Kajian Tekstual dan Kontekstual. Jakarta: TNIS.
Sulasman. (2013). Sejarah Islam di Asa
& Eropa. Bandung: Pustaka Setia.
[1] Wacana gender mulai dikembangkan di
Indonesia pada tahun 80-an, tapi baru mulai memasuki isu keagamaan pada tahun
90-an. Isu ini berkembang sejalan dengan masuknya buku-buku terjemahan yang
berwawasan gender atau dapat dikategorikan feminis, seperti buku-buku Aminah
Wadud Muhsin, Fatima Mersina, Zafrullah Khan dan buku-buku lainnya. Setelah
Rifaat Hasan Berkunjung pertama kali ke Indonesia, respon terhadap isu gender
berkembang sangat cepat hingga saat ini. Lihat: Aden Wijdan SZ. dkk., Pemikiran dan Peradaban Islam, Cet. I,
(Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2007), hal. 218.
[2] Tiga agama besar di dunia seperti
Yahudi, Kristen dan Islam, misalnya memaknai secara relatif sama terhadap
ajaran mengenai turunnya manusia pertama kali ke dunia. Kejatuhan Adam dan Hawa
disebabkan oleh karena pelanggaran yang dilakukan terhadap larangan Tuhan untuk
tidak memetik buah ‘khuldi’ (pohon
kekekalan) karena permintaan Hawa. Hawa yang sudah terkena bujukan setan
terus-menerus merayu Adam agar memetik buah khuldi.
Semula Adam tetap bertahan, namun karena bujukan rayu Istrinya akhirnya Adam
melanggar larangan Tuhan dan kemudian memetik buah itu. Sehingga keduanya
terusir dari syurga dan terlempar ke bumi menuju kehidupan yang penuh dengan
penderitaan. Dari kisah tersebut merupakan salah satu contoh dan tafsiran atas
teks agama yang secara relatif dipengaruhi oleh kosmopolik berfikir dan berbudaya masyarakat penafsirnya. Hawa
(dalam tafsir ini) dijadikan sebagai makhluk penyebab terjerambabnya manusia ke
bumi. Disinilah dalam pandangan feminis sebagai bukti utama penafsiran atas
teks agama yang didasarkan pada pandangan budaya patriarkhi. Lihat: Adnan Mahmud, dkk. (Eds), Pemikiran Islam
Kontemporer di Indonesai, Cet. II, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2012), hal.
95-96.
[3] Sulasman, Sejarah Islam di Asia
& Eropa, Cet. I, (Bandung:
Pustaka Setia, 2013), hal. 299.
[4] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama
Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVII, Cet. II,
(Jakarta: Kencana, 2013), hal. 2.
[5] Sulasman, Op. Cit., hal. 300-301
[6] Azyumardi Azra, Op. Cit., hal. 2-3
[7] Sulasman, Op. Cit., hal. 300.
[8] Ibid.
[9] Howard M. Fiderspiel, Persatuan Islam; Pembaruan Islam Indonesia Abad
XX, Cet. I, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1996), hal. 1-3.
[10] Maftukhin, dkk., Nuansa Studi Islam; Sebuah Pergulatan Pemikiran, Cet. I,
(Yogyakarta: Teras, 2010), hal. 217-218.
[11] Nashir, L. M. & Meuleman, J. H.,
(Ed.), Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual, Cet. I, (Jakarta: TNIS, 1993), hal.
48-49.
[12] Mas’udi, M. F., Membincang Feminisme;
Diskursus Gender Perspektif Islam, Cet.
I, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hal. 170-171.
[13] Kelompok yang tidak setuju dengan
pemimpin perempuan setingkat Presiden pada umumnya di dominasi oleh ulama
konservatif dan orang-orang gerakan, seperti Majelis Mujahidin, Front Pembela
Islam (FPI), Hizbuth Tahrir Indonesia (HTI) dan sebagainya. Mereka banyak menukil argumentasi dari ulama
terdahulu yang salah satunya adalah Taqiyuddin al-Nabhany dan Abdul Qodim
Zallum. Menurutnya, ada tujuh syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh seorang
calon Khalifah sebagai kepala Negara kaum Muslim, yaitu Muslim, laki-laki,
baligh, berakal, adil, merdeka dan mampu. Ketujuh syarat itu ditetapkan sebagai
syarat mutlak calon Khalifah lantaran memiliki dalil-dalil yang menunjukkan
kepastian hukum dari nash-nash syara’. Lihat: Adan Wijdan SZ., Op. Cit., hal. 223.
[14] Maftukhin, Op. Cit., hal. 119-120.
[15] Adnan Mahmud, dkk., (Eds), Op. Cit.,
hal. 97-98.
0 comments: