Monday, May 15, 2017

HUKUM ISLAM DI INDONESIA (Rekonstruksi Kompilasi Hukum di Indonesia yang Adil Gender)


A.     Pra-Wacana
Membincang gender berarti kita sedang memasuki sebuah kebudayaan baru mengenai relasi antara laki-laki dan perempuan. Perbincangan gender telah menempatkan dan mendorong kata kesetaraan sebagai ikon penting dalam mengonstruksi kembali gender sebagai sebuah entitas sosio-kultur yang dibuat dan dibangun untuk menegakkan hubungan yang setara dan adil dalam kemajuan bersama untuk mencapai derajat mutu manusia, melintasi atau melampaui batas-batas atribute jenis kelamin dan pemaknaan dikotomis kultural antara laki-laki dan perempuan.

Jika ditelisik secara kritis-interpretatif teks agama, diskursus tentang gender[1] tidak dapat dilepaskan dari masalah teologis.[2] Itu semua tidak lain bahwa agama—dianggap—memiliki andil besar dalam melestarikan ketidaksetaraan (bias) gender dalam kehidupan bermasyarakat. Posisi perempuan dalam beberapa agama dan kepercayaan ditempatkan sebagai the second sex, sehingga perubahan konstruksi sosial sangat menguntungkan pihak laki-laki dan merugikan perempuan. Intinya bahwa laki-laki menjadi nomer satu dan perempuan menjadi nomer dua dan senantiasa berada dibelakangnya.

Pada dasarnya, Islam tidak membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan, karena didalam al-Quran telah dijelaskan bahwa manusia memiliki kedudukan yang sama dimata Allah, baik itu laki-laki ataupun perempuan. Karena adanya pandangan bahwa laki-laki adalah manusia sempurna, maka muncullah istilah gender untuk menghilangkan anggapan bahwa laki-laki adalah manusia paling sempurna, karena pada dasarnya kedudukan laki-laki dan perempuan itu sama. Namun dalam pembaharuan kedudukan perempuan ini menimbulkan banyak hal-hal yang menyimpang dari apa yang telah ditetapkan dalam al-Quran dan Sunnah dengan mengatasnamakan kesetaraan gender.

Gender juga dapat dikaitkan dengan masalah hukum Islam, yang mana dengan mengatasnamakan gender, hal-hal yang hanya boleh dilakukan oleh laki-laki berarti juga boleh dilakukan oleh perempuan, dan apa yang berhak diterima laki-laki juga berhak diterima oleh perempuan. Sebenarnya gender adalah kesetaraan kedudukan antara laki-laki dan perempuan, yang mana tidak menyalahi aturan yang berlaku dalam hukum Islam. Sebab, Islam sudah mengatur—dalam hal apa saja—bahwa laki-laki dan perempuan memiliki kesamaan, dan dalam antara laki-laki dan perempuan memiliki porsi yang berbeda.

Tafsiran atas teks agama, kebijakan pemerintah pada beberapa masyarakat atau negara yang menganut sistem sosio-budaya patriarkhi sering bias gender. Kebijakan pemerintah mengenai dibentuknya organisasi perempuan seperti PKK, Dharma Wanita, Dharma Pertiwi dan lainnya dirasakan bias gender. Betapa tidak, dalam organisasi seperti ini para perempuan hanya dalam posisi disematkan (embedded) bagian dari dominasi laki-laki dengan menjadikan wanita sebagai pendamping suami dalam merawat anak, sedangkan suami untuk mencari nafkah. Lagi-lagi perempuan ditempatkan posisi domestik, tersematkan dan tersubordinasi.

UU Nomor 1 tahun 1974 mengenai perkawinan pun bias gender. Pasal-pasal mengenai poligami dan kedudukan suami istri dalam rumah tangga lebih banyak menguntungkan laki-laki dan menempatkan perempuan dalam posisi tawar yang lemah dan bahkan menjadi objek penderita. Pasal 506 KUHP yang berkaitan dengan pelacuran menunjukkan ketidakadilan gender dengan menempatkan perempuan sebagai objek pelacuran. Padahal pelacuran itu terjadi oleh karena ‘lelaki hidung belang’ juga melacurkan dirinya—dalam realitas lelaki pun ada pelacur alias gigolo.

Dari uraian dan contoh diatas menunjukkan bahwa kekerasan simbolik dan struktural negara terhadap perempuan masih tetap saja berlangsung. Sumbernya tidak lain adalah dominasi laki-laki baik ditingkat rumah tangga hingga negara. Masih banyak hak-hak perempuan dalam hukum Islam yang juga mengandung aspek diskriminatif. Dapat dikatakan bahwa hampir semua pasal dalam UU Perkawinan No. 1/1974 dan Kompilasi Hukum Islam—yang dijadikan acuan praktis bagi pengadilan Agama—mengandung pasal-pasal yang diskriminatif berdasarkan gender. Dalam beberapa peraturan daerah yang sering disebut bernuansa syariah, secara jelas ditemukan juga aturan-aturan yang diskriminatif, baik yang melakukan kriminalisasi terhadap perempuan maupun yang mengontrol tubuh perempuan.

Pandangan keagamaan ‘mainstream’ sebagaimana dipaparkan diatas, adalah problem dasar membincang isu kesetaraan gender dalam konteks hukum Islam. Meskipun pandangan-pandangan keagamaan itu merupakan fiqhpemahaman para ulama atas sebuah tekstapi dalam praktiknya fiqh telah menjadi sumber bagi pembentukan hukum Islam (fiqh atau syariah yang dipositivisasi ke dalam hukum negara). Oleh sebab itu, baik fiqh maupun hukum Islam, keduanya adalah produk pemikiran manusia yang sangat mungkin mengalami pembiasan, sehingga muatannya kontradiktif dan bahkan kemudian menjadi diskriminatif.

B.      Sejarah Masuknya Islam di Indonesia dan Corak Pemikirannya
Eksistensi hukum Islam di Indonesia saat ini sesungguhnya memiliki sejarah yang sangat panjang. Akar genealogisnya dapat ditarik jauh kebelakang, yaitu saat pertama kali Islam masuk ke Indonesia. Oleh karena itu, sebelum membahas mengenai keberadaan dan perkembangan pemikiran hukum Islam, ada baiknya dijelaskan secara singkat beberapa teori masuknya Islam di Indonesia. Pembahasan mengenai hal ini lebih dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana implikasi watak eksklusif Islam pertama tersebut terhadap perkembangan hukum Islam di Indonesia.

Menurut Sulasman, dengan mengutip pendapatnya Ahmad Mansur Suryanegara, terdapat tiga teori yang menjelaskan kedatangan Islam ke Indonesia.[3] Kemudian Azyumardi Azra juga berpendapat bahwa menurutnya kedatangan Islam di Nusantara terdapat diskusi dan perdebatan panjang diantara para ahli mengenai tiga masalah pokok, yaitu tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya dan waktu kedatangannya. Berbagai teori dan pembahasan yang berusaha menjawab ketiga masalah pokok tersebut jelas belum tuntas, bukan karena kurangnya data yang dapat mendukung suatu teori yang ada, namun terdapat kecenderungan kuat, yakni suatu teori tertentu menekankan hanya aspek-aspek khusus dari ketiga masalah pokok tersebut, sementara mengabaikan aspek-aspek yang lainnya.[4] 

Adapun ketiga teori kedatangan Islam di Indonesaia sebagaimana dijelaskan diatas, secara sederhana dapat penulis jelaskan sebagai berikut:
1.       Teori Arabia (Makkah)
Teori ini menyebutkan bahwa Islam masuk ke Indonesia langsung dari Makkah dan Madinah. Waktu kedatangannya sekitar abad ke-7 M. Ini berarti, Islam sudah masuk ke Indonesia pada awal abad Hijriah. Ketika itu, pemerintahan Islam masih berada di tangan Khulafaur Rasyidin. Dalam sumber literatur China disebutkan bahwa menjelang perempat pertama abad ke-7 M banyak terdapat perkampungan Arab-Muslim di pesisir pantai Sumatra. Diperkampungan ini dikabarkan bahwa orang-orang Arab tinggal dan menikah dengan penduduk lokal, kemudian membentuk komunitas Muslim.[5]

Teori ini agaknya hanya didasarkan pada keinginan emosional para sejarahwan Islam yang ingin memastikan bahwa Islam yang ada di Indonesia adalah Islam yang asli dan otentik bukan pariferal atau sinkretis. Bagaimanapun juga, teori ini cukup gagap untuk memberi kontitum atau jawaban pasti tentang proses konversi agama dan Islamisasi di Nusantara ini. Dengan melihat sifat ketidakmungkinan ini, maka dapat penulis katakan bahwa ketika itu proses Islamisasi belum bisa dikatakan telah terjadi di Nusantara.
2.        Teori Gujarat
Sejumlah Sarjana—kebanyakan asal Belanda—memegang teori bahwa asal mula Islam Nusantara adalah Anak Benua India, bukannya Persia atau Arabia. Menurut Azra, Sarjana pertama yang mengemukakan teori ini adalah Pijnapple, seorang ahli dari Universitas Leiden. Dia mengkaitkan asal mula Islam di Nusantara dengan wilayah Gujarat dan Malabar, yang menurutnya adalah orang-orang Arab bermadzhab Syafi’i yang bermigrasi dan menetap di wilayah India tersebut yang kemudian membawa Islam ke Nusantara.[6]

Teori ini kemudian dikembangkan Snouck Hurgronje yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia dari wilayah-wilayah yang terdapat di anak Benua India. Tempat-tempat seperti Gujarat, Bengali dan Malabar disebut-sebut sebagai asal masuknya Islam ke Indonesia. Teori tersebut berdasarkan pengamatan tidak terlihatnya peran dan nilai-nilai Arab yang ada dalam Islam pada masa-masa awal, yaitu pada abad ke-12 atau 13 M. Snouck Hurgronje juga mengatakan bahwa teorinya didukung dengan adanya hubungan yang sudah terjalin lama antara wilayah Indonesia dengan daratan India.[7]
3.        Teori Persia
Tanah Persia disebut-sebut sebagai tempat awal Islam datang di Indonesia. Sandaran teori ini yaitu adanya kesamaan budaya yang dimiliki oleh beberapa kelompok masyarakat Islam dengan penduduk Persia. Contohnya, peringatan 10 Muharram yang dijadikan sebagai hari peringatan wafatnya Hasan dan Husain. Selain itu juga, beberapa sarapan bahasa yang diyakini berasal dari wilayah Iran, misalnya kata jabar dari zabar, jer dari zeer dan sebagainya. Teori ini meyakini bahwa Islam masuk ke wilayah Indonesia pada abad ke-13 M. Adapun wilayah pertama yang disinggahi yaitu kawasan Samudra Pasai.[8]

Dalam pengamatan sarjana Barat, Islam di Nusantara disebarkan oleh para pedagang. Disamping melakukan aktivitas utamanya mereka, juga melakukan perkawinan dengan wanita setempat. Disamping itu, pergerakan para Sufi pengembara juga karena berkat otoritas dan kekuatan magis yang mereka miliki telah mampu melakukan penyebaran Islam di Nusantara dan berhasil mengislamkan penduduk sejak abad XIII H. Mereka telah men-transplantasi, meramu dan menghadirkan satu sentuhan yang harmonis dari unsur budaya lokal kedalam ajaran Islam, sehingga mampu menghadirkan Islam dengan ajarannya yang sinergis dengan tradisi yang dianut oleh masyarakat. Fenomena inilah yang memaksa para penulis Barat untuk mengatakan bahwa karakteristik Islam di Nusantara bersifat sinkretik.[9]

Mengikuti teori yang yang memaparkan dominasi kaum Sufi dalam penyebaran Islam di Nusantara, maka wajar jika telah membentuk Islam Indonesia dengan corak Sufistik, dimana watak intelektualitas-filosofis redup didalamnya, karena lebih menampakkan nuansa sufistik-sinkretik, sehingga memberikan pengaruh bagi pemikiran Islam di Indonesia. Kenyataan inilah yang telah membuat Islam Indonesia kurang memiliki momentum dan kemampuan yang kuat untuk mengembangkan diri secara mandiri dalam segala bidang, termasuk didalamnya pemikiran Hukum Islam. Atau dengan kata lain bahwa umat Islam Indonesia lebih enjoy menikmati mistisisme dan tradisi yang lebih menekankan asketisme dan menafikkan masalah-masalah duniawi.

Oleh sebab itu, karena begitu kuatnya pengaruh dari tradisi, maka pemikiran-pemikiran Hukum (Islam) di Indonesia yang ada menjadi terjebak dalam paralelisme epistemologi tasawuf. Secara umum, gerakan fiqh sebenarnya merupakan kelanjutan dari dan bertumpu pada orientasi tasawuf yang sudah sedemikian kuat dan mengakar dalam kesadaran keilmuan umat Islam di Indonesia.

C.      Hukum Islam dan Politik: Kasus Kompilasi Hukum Indonesia
Mengacu pada gejala studi Islam pada umumnya, maka Hukum Islam juga dapat dipandang sebagai gejala budaya dan sebagai gejala sosial. Filsafat dan aturan hukum Islam adalah gejala budaya. Sedangkan interaksi orang-orang Islam dengan sesamanya atau dengan masyarakat non-muslim disekitar hukum Islam adalah gejala sosial.

Secara lebih terperinci Atho’ Mudzar membedakan studi hukum Islam sebagai berikut: Pertama, penelitian hukum Islam sebagai doktrin azas. Dalam penelitian ini sasaran utamanya adalah dasar-dasar konseptual hukum Islam seperti masalah-masalah filsafat hukum, sumber-sumber hukum, konsep maqashid al-shari’ah, qawa’id al-fiqhiyah, manhaj al-ijtihad, tariq al-istinbat, konsep qiyas, konsep ‘am dank khas, konsep nasikh dan mansukh dan lainnya.

Kedua, Penelitian hukum Islam normatif. Dalam penelitian ini sasaran utamanya adalah hukum Islam sebagai norma atau aturan, baik yang masih dalam bentuk nash maupun yang sudah menjadi produk pemikiran manusia. Aturan yang masih dalam bentuk nash meliputi ayat-ayat ahkam dan hadits-hadits ahkam, sedangkan kitab-kitab fiqih perbandingan, keputusan peradilan, undang-undang, fatwa ulama dan bentuk aturan lainnya yang mengikat seperti Kompilasi Hukum Islam (KHI), konstitusi (dustur), kodifikasi, perjanjian-perjanjian internasional, deklaraasi hak manusia, surat-surat kontrak, surat wasiat, kesaksian dan sebagainya.

Ketiga, penelitian hukum Islam sebagai gejala sosial. Sasaran utama dari penelitian ini adalah perilaku hukum masyarakat Muslim dan masalah-masalah interaksi antara sesama manusia, baik antara sesama muslim dan non-muslim, disekitar masalah-masalah hukum ini mencakup masalah-masalah pelitik (siyasah), perumusan dan penetapan hukum (siyasah al-shar’iyah), perilaku penegak hukum (qadhi), mujtahid, fuqaha, mufti dan lainnya.[10]

Ketiga bentuk studi tersebut dapat dilakukan secara terpisah dan bersaama-bersama. Untuk melihat keterkaitannya satu sama lainnya mengenai masalah hukum Islam. Dua bentuk studi Islam yang pertama, yakni stusi hukum Islam sebagai doktrin azas dan penelitian Hukum Islam sebagai normatif dapat digabungkan dan disebut sebagai studi Hukum Islam doktrinal. Sedangkan bentuk studi hukum Islam yang ketiga dapat disebut sebagai studi Hukum Islam sosiologis (nondoktrinal). Dua bentuk studi yang pertama melihat Islam sebagai gejala budaya, dan bentuk studi Islam yang ketiga melihat Islam sebagai gejala sosial.

Selanjutnya, ketimpangan-ketimpangan gender (gender difference) yang demikian tajam telah terjadi melalui proses yang sangat panjang. Terbentuknya perbedaan peran gender dikarenakan banyak hal, di antaranya adalah dibentuk, disosialisasikan, diperkuat bahkan dikontruksi secara sosial atau kultural melalui tafsiran ajaran keagamaan maupun hukum.

Menurut Bustanul Arifin sebagai tokoh yang punya andil besar dalam melahirkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwa posisi perempuan dalam KHI mulai disejajarkan. Sudah banyak bukti yang dapat dijadikan landasan menuju terciptanya struktur sosial yang emansipatoris. Posisi perempuan dalam KHI merupakan cerminan atas keadilan antara laki-laki dan perempuan, yaitu dalam relasi-keluarga suami dan istri terupayakan memiliki hak dan kewajiban yang seimbang. Menurutnya, kesejajaran tersebut misalnya dalam pasal 2 KHI bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Kemudian pasal 3 KHI; bahwa perkawinan bertujuan mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Bagi Bustanul Arifin, rumusan tersebut telah memposisikan perempuan dan laki-laki dalam perkawinan secara seimbang. Keseimbangan juga dirumuskan dalam pasal 79 KHI bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga. Menurutnya, rumusan ini jelas mengenai keseimbangan kedudukan suami istri dengan masing-masing mempunyai fungsi dan tanggung jawab yang berbeda tetapi dengan tujuan yang sama yaitu kebahagian rumah tangga (keluarga) yang sakinah, mawadah wa rahmah.[11]

Sampai saat ini, pandangan ‘mainstream’ menyatakan Kompilasi Hukum Islam telah sesuai dengan karakter dan budaya masyarakat Indonesia. Ketika ada wacana perubahan rumusan Kompilasi Hukum Islam agar lebih mencerminkan keadilan dan kesetaraan gender seperti counter-Legal Draf Kompilasi Hukum Islam yang diajukan oleh kelompok Kerja Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI banyak penolakan secara keras, meskipun ada sebagian yang mendukung.

Sebagaimana disebutkan diatas bahwa seseorang dalam menilai apakah keduduakan dan hak-hak perempuan sudah sejajar atau tidak akan sangat bergantung pada kenyataan apakah diuntungkan oleh sistem yang ada atau tidak. Begitu pula dalam menilai KHI, terlebih jika menggunakan struktur relasi gender dengan kaca mata fiqih klasik, sehingga terkesan berat sebelah dalam menilai seberapa jauh ketidakadilan gender tersebut.

Oleh sebab itu, perlu diwacanakan kembali sebagai agenda tuntutan terhadap keadilan dan persamaan. Sebab KHI sebagai cerminan hukum Islam ala Indonesia dalam rumusan pasal-pasalnya cenderung patriarkat (mengutamakan laki-laki) dan menempatkan perempuan dalam sektor domestik dan pemberian hak yang tidak sebanding dengan laki-laki. Rumusan yang timpang tersebut tertuang dalam hukum perkawinan seperti dalam peminangan, rukun dan syarat perkawinan, pemberian mahar, larangan kawin, poligami, batalnya perkawinan, hak dan kewajiban suami istri, pemeliharaan anak, putusnya perkawinan, akibat putusnya perkawinan, masa berkabung, besarnya bagian warisan dan hirarkinya sebagaimana telah disebutkan dalam bab III. Jika diukur dengan prinsip-prinsip ajaran Islam pun banyak rumusan yang tidak sesuai dengan prinsip persamaan (al-musawah), persaudaraan (al-ikha’), dan keadilan (al-adl) yang merupakan ajaran Islam.

Perlu diingat kembali atas status yang diberikan al-Qur’an kepada perempuan dan bagaimana para fuqaha memandangnya dalam kondisi yang berbeda-beda. Secara prinsipil Islam menghargai kaum perempuan, bahkan berusaha memberdayakannya. Penafsiran keagamaanlah yang memandang bahwa perempuan diberikan status yang lebih rendah, sebagaimana tuangan dalam kitab-kitab fiqh klasik. Mereka menghargai perempuan separuh dari harga laki-laki. Sekedar contoh, dalam kesaksian 2 orang perempuan sederajat dengan nilai kesaksian seorang laki-laki. Setiap orang yang baru lahir, dianjurkan menyembelih akikah (kekah Jawa). Bagi anak-laki-laki minimal dua ekor kambing, untuk anak perempuan cukup satu ekor saja. Di dalam pembagian harta waris, bagian perempuan lebih dari satu (poligami), bahkan sampai empat meskipun dengan persyaratan yang berat. Berbeda dengan perempuan yang secara mutlak hanya dibenarkan memiliki seorang suami saja.[12]

Kemudian dalam wilayah hukum dan politik dengan pola interaksi antara masyarakat sekitar dengan hukum Islam. Bagaimana kelompok-kelompok keagamaan dan politik di Indonesia merespons RUU anti pornografi dan pornoaksi (RUUPP), atau tidaknya wanita menjadi pemimpin negara ketika fatwa tersebut muncul ditengah gegap gempitanya kampanye dalam pilihan Presiden[13] dan Pemilu lainnya.[14] Hukum tersebut mendorong dan mendiskriminasi bahwa wanita sesuai dengan syari’ah tidak dibolehkan menjadi seorang pemimpin. Ini sebagai salah satu contoh kasus hukum yang didengungkan dalam iklim pilitik di Indonesia. Janga-jangan quota 30 persen bagi keterwakilan perempuan di DPR dan DPRD serta komisi pemilihan itu juga bias gender? Artinya, filosofi 30 persen itu pencapur bauran antara perjuangan perempuan dan pembagian negara yang dikuasai oleh laki-laki sebagai proses pengambilan kembali atas satu rusuk kirinya yang hilang itu. Kalau begitu, tetap saja perempuan tersubordinasi. Maka, budaya patriarki pun tetap berlangssung dan perempuan tetap menjadi pelengkap dari 70 persen kekuasaan laki-laki.[15]

Bukti-bukti yang diberikan diatas member gambaran kepada kita mengenai pemarginalan, kekerasan dan ketidakadilan terhadap perempuan yang dikukuhkan oleh penafsiran terhadap teks agama, lembaga keluarga dan kebijakan pemerintah atau negara merupakan tiga faktor penentu berlangsungnya hubungan laki-laki perempuan di Indonesia yang bias gender. Semua itu berasal dari budaya patriarki yang memposisikan laki-laki sebagai yang superior dan perempuan sebagai inferior.

D.     Konklusi
Kita seharusnya tidak lagi melihat pembagian kerja secara jenis kelamin sebagai permasalahan didalam keluarga, hukum dan negara, tetapi sebagai sebuah permasalahan struktural-kultural didalam masyarakat secara keseluruhan. Maka dari itu, agar dapat tercapai kesetaraan gender diperlukan pembagian kerja, akses dan mobilitas yang tidak lagi dikait-kaitkan dengan jenis kelamin, namun lebih dilihat berdasarkan kualifikasi dan kemampuan.

Oleh karena persoalan ketidakadilan gender dilatarbelakangi oleh budaya patriarkhi dan dikukuhkan melalui lembaga-lembaga di masyarakat dan negara, maka perjuangan kesetaraan gender kini dan masa datang harus diperlakukan dengan dua strategi yang perlu didorong secara simultan. Pertama, merombak tatanan kebudayaan yang patriarkhis melalui proses pembalikan budaya menjadi budaya egaliter. Kedua, menumbuhkan sebuah kesadaran baru mengenai masyarakat tanpa stereotip gender, tanpa pembedaan atas laki-laki dan perempuan dalam kesempatan mobilitas.

Kedua strategi diatas harus di introduksi kedalam lembaga-lembaga pendidikan dan diperjuangkan secara politik, hukum dan budaya dalam proses pengambilan kebijakan penting ditingkat negara yang berhubungan dengan perempuan (tidak sekedar 30 persen keterwakilan perempuan di Dewan yang boleh jadi bias gender).

Disamping hal diatas, Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam merumuskan peran, kedudukan dan hak-hak perempuan sangat memperlihatkan konsep keluarga patriarkhi. Perempuan lebih banyak ditempatkan pada sektor domestik, sedangkan laki-laki disektor publik. Ekses sosial dari domestifikasi perempuan tersebut menyebabkan perempuan tergeser dari penguasaan sumber daya ekonomi sosial dan politik, yang secara ekonomis ia tergantung pada suaminya, sedang peran suami sebagai pencari nafkah lebih memungkinkannya untuk memiliki ekses sumber daya sosial, politik dan ekonomi. Oleh karenanya, dengan memperhatikan ekses sosial dan argumentasi-argumentasi tersebut, sebagai upaya menegakkan keadilan dan persamaan hak sebagaimana yang diajarkan oleh Islam, maka relasi gender dalam Kompilasi Hukum Islam yang merumuskan peran, kedudukan dan hak-hak perempuan berbeda dengan laki-laki sangat perlu untuk direkonstruksi.


Referensi:

Aden Wijdan SZ. dkk. (2007). Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Safiria Insania Press.
Adnan Mahmud, dkk. (Eds). (2012). Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
Azyumardi Azra. (2013). Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVII. Jakarta: Kencana.
Howard M. Fiderspiel. (1996). Persatuan Islam; Pembaruan Islam Indonesia Abad XX. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Maftukhin, dkk. (2010). Nuansa Studi Islam; Sebuah Pergulatan Pemikiran. Yogyakarta: Teras.
Mas’udi, M. F. (1996). Membincang Feminisme; Diskursus Gender Perspektif Islam. Surabaya: Risalah Gusti.
Nashir, L. M. & Meuleman, J. H., (Ed.). (1993). Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual. Jakarta: TNIS.
Sulasman. (2013). Sejarah Islam di Asa & Eropa. Bandung: Pustaka Setia.




[1] Wacana gender mulai dikembangkan di Indonesia pada tahun 80-an, tapi baru mulai memasuki isu keagamaan pada tahun 90-an. Isu ini berkembang sejalan dengan masuknya buku-buku terjemahan yang berwawasan gender atau dapat dikategorikan feminis, seperti buku-buku Aminah Wadud Muhsin, Fatima Mersina, Zafrullah Khan dan buku-buku lainnya. Setelah Rifaat Hasan Berkunjung pertama kali ke Indonesia, respon terhadap isu gender berkembang sangat cepat hingga saat ini. Lihat: Aden Wijdan SZ. dkk., Pemikiran dan Peradaban Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2007), hal. 218.
[2] Tiga agama besar di dunia seperti Yahudi, Kristen dan Islam, misalnya memaknai secara relatif sama terhadap ajaran mengenai turunnya manusia pertama kali ke dunia. Kejatuhan Adam dan Hawa disebabkan oleh karena pelanggaran yang dilakukan terhadap larangan Tuhan untuk tidak memetik buah ‘khuldi’ (pohon kekekalan) karena permintaan Hawa. Hawa yang sudah terkena bujukan setan terus-menerus merayu Adam agar memetik buah khuldi. Semula Adam tetap bertahan, namun karena bujukan rayu Istrinya akhirnya Adam melanggar larangan Tuhan dan kemudian memetik buah itu. Sehingga keduanya terusir dari syurga dan terlempar ke bumi menuju kehidupan yang penuh dengan penderitaan. Dari kisah tersebut merupakan salah satu contoh dan tafsiran atas teks agama yang secara relatif dipengaruhi oleh kosmopolik berfikir dan berbudaya masyarakat penafsirnya. Hawa (dalam tafsir ini) dijadikan sebagai makhluk penyebab terjerambabnya manusia ke bumi. Disinilah dalam pandangan feminis sebagai bukti utama penafsiran atas teks agama yang didasarkan pada pandangan budaya patriarkhi. Lihat: Adnan Mahmud, dkk. (Eds), Pemikiran Islam Kontemporer di Indonesai, Cet. II, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2012), hal. 95-96.
[3] Sulasman, Sejarah Islam di Asia & Eropa, Cet. I, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), hal. 299.
[4] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVII, Cet. II, (Jakarta: Kencana, 2013), hal. 2.
[5] Sulasman, Op. Cit., hal. 300-301
[6] Azyumardi Azra, Op. Cit., hal. 2-3
[7] Sulasman, Op. Cit., hal. 300.
[8] Ibid.
[9] Howard M. Fiderspiel, Persatuan Islam; Pembaruan Islam Indonesia Abad XX, Cet. I, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1996), hal. 1-3.
[10] Maftukhin, dkk., Nuansa Studi Islam; Sebuah Pergulatan Pemikiran, Cet. I, (Yogyakarta: Teras, 2010), hal. 217-218.
[11] Nashir, L. M. & Meuleman, J. H., (Ed.), Wanita Islam Indonesia dalam Kajian Tekstual dan Kontekstual, Cet. I, (Jakarta: TNIS, 1993), hal. 48-49.
[12] Mas’udi, M. F., Membincang Feminisme; Diskursus Gender Perspektif Islam, Cet. I, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hal. 170-171.
[13] Kelompok yang tidak setuju dengan pemimpin perempuan setingkat Presiden pada umumnya di dominasi oleh ulama konservatif dan orang-orang gerakan, seperti Majelis Mujahidin, Front Pembela Islam (FPI), Hizbuth Tahrir Indonesia (HTI) dan sebagainya. Mereka banyak menukil argumentasi dari ulama terdahulu yang salah satunya adalah Taqiyuddin al-Nabhany dan Abdul Qodim Zallum. Menurutnya, ada tujuh syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh seorang calon Khalifah sebagai kepala Negara kaum Muslim, yaitu Muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka dan mampu. Ketujuh syarat itu ditetapkan sebagai syarat mutlak calon Khalifah lantaran memiliki dalil-dalil yang menunjukkan kepastian hukum dari nash-nash syara’. Lihat: Adan Wijdan SZ., Op. Cit., hal. 223.
[14] Maftukhin, Op. Cit., hal. 119-120.
[15] Adnan Mahmud, dkk., (Eds), Op. Cit., hal. 97-98.
Previous Post
Next Post

Penulis yang mengabdikan tulisannya bagi amal jariyah pemikiran. Tokoh favorit sekaligus panutannya adalah Gus Dur

0 comments: