Tuesday, June 06, 2017

ISLAM, BUDAYA DAN KEBANGSAAN

Pembubaran HTI oleh Pemerintah, memang terjadi pro dan kontra bagi umat Islam di Indonesia. Kelompok Islam cungklang, Islam daster, Islam ‘jidat geseng’, ‘pentol korek’ dan penghuni bumi datar mereka beramai-ramai menolak dibubarkannya HTI. Kemungkinan mereka juga sudah menyusun strategi untuk melangsungkan aksi yang berjilid-jilid yang tidak jelas arah jluntrungan-nya. Bagi saya pribadi sangat setuju HTI dibubarkan dan dilenyapkan dari bumi Indonesia, karena selain bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45, keberadaan HTI bagi bangsa ini bisa berpotensi merongrong keutuhan NKRI karena dakwahnya berupa penetrasi ideologi hingga pencucian otak. Mereka menolak sistem demokrasi karena dianggap kufur, sehingga ia berupaya mengganti demokrasi dengan sistem Khilafah dengan perjuangan politiknya yaitu menegakkan syariat Islam, padahal mereka sendiri tidak paham apa itu syariat Islam. Apa dikira tafsiran syariat Islam seperti yang tergambar di ‘jidat’ mereka '(yang gosong)' yang tekstualistik-skripturalistik?

HTI layaknya sebuah gerombolan yang didalamnya adalah perkumpulan orang-orang bodoh, dungu dan tolol karena tidak paham sejarah. Kader HTI, kemungkinan disaat mereka lahir di bumi Indonesia mereka di ‘pedeti’, dislameti dan dibacakan kitab al-Barzanji biar kelak mereka besar menjadi anak yang shaleh, menjadi warga negara yang baik dan cinta terhadap bangsanya. Begitu juga orangtua mereka yang sudah mati kemungkinan di do’akan dengan tradisi slametan tiga hari, tujuh hari dan empat puluh hari seperti yang dilaksanakan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Islam yang berkembang di Indonesia sebenarnya sangat Indah, karena tidak menghilangkan budaya setempat. Pemakaian budaya dalam Islam tidak lain adalah sebagai wahana atau ekspresi diri dari yang sebelumnya dikenal sebagai budaya agama atau syariat, dan kini menjadi bukti betapa besar dinamika budaya yang terjadi dan memiliki peran besar bagi keberlangsungan bangsa Indonesia hingga kini.

Islam di Indonesia tersebar lewat penyerapan dan pengembangan khazanah dan kearifah budaya lokal, dan itu telah terbukti membawa dinamika dan perkembangan penyebaran Islam yang luar biasa fantastis di bumi Indonesia. Berkat kebijakan para Wali Songo dalam menyebarkan nilai-nilai syariat Islam dengan sifat akulturatif dan membumi, sehingga tidak ada kesenjangan antara nilai-nilai syariat Islam dengan budaya setempat.

Nilai-nilai ketuhanan yang sudah melembaga dalam kehidupan umat di nusantara, kemudian menjelma menjadi falsafah hidup berbangsa dan bernegara yang tercermin dalam Pancasila. Tradisi berideologi negara di Indonesia menegaskan betapa pentingnya nilai-nilai ketuhanan yang dimuat dalam sila pertama Pancasila. Nilai-nilai ketuhanan tersebut digunakan untuk memperkokoh persatuan, persaudaraan, demokrasi dan nilai-nilai kemanusiaan. Ini semua tidak lain adalah peran para pendiri Bangsa yang telah melembagakan nilai-nilai Islam dalam tatanan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang sangat visioner dan mengakomodir kearifah budaya bangsa.

Bagi para pendiri bangsa dan para alim ulama bahwa dalam membangun bangsa Indonesia yang plural ini tidak bisa dengan dasar sektarian, tetapi harus mampu mengakomodir keberagaman dalam segala aspeknya. Keberhasilan ini semua tidak bisa lepas dari pengaruh ulama-ulama NU, seperti Hadratus Syeh KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisyri Sansuri, KH. Wahid Hasyim, KH. Mahfud Siddiq dan para sesepuh ulama NU lainnya serta para pendiri bangsa seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka dan funding father lainnya yang telah mentradisikan berfikir universal dan akulturatif dalam memahami Islam dan kebangsaan.

Maka dari itu, masih layakkah HTI hidup dan menginjak bumi Indonesia tercinta ini? Sangat tidak, dan sangat layak untuk dibubarkan.

Previous Post
Next Post

Penulis yang mengabdikan tulisannya bagi amal jariyah pemikiran. Tokoh favorit sekaligus panutannya adalah Gus Dur