Pembubaran HTI oleh Pemerintah, memang
terjadi pro dan kontra bagi umat Islam di Indonesia. Kelompok Islam cungklang,
Islam daster, Islam ‘jidat geseng’, ‘pentol korek’ dan
penghuni bumi datar mereka beramai-ramai menolak dibubarkannya HTI. Kemungkinan
mereka juga sudah menyusun strategi untuk melangsungkan aksi yang
berjilid-jilid yang tidak jelas arah jluntrungan-nya.
Bagi saya pribadi sangat setuju HTI dibubarkan dan dilenyapkan dari bumi
Indonesia, karena selain bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45, keberadaan
HTI bagi bangsa ini bisa berpotensi merongrong keutuhan NKRI karena dakwahnya
berupa penetrasi ideologi hingga pencucian otak. Mereka menolak sistem
demokrasi karena dianggap kufur, sehingga ia berupaya mengganti demokrasi
dengan sistem Khilafah dengan perjuangan politiknya yaitu menegakkan syariat
Islam, padahal mereka sendiri tidak paham apa itu syariat Islam. Apa dikira
tafsiran syariat Islam seperti yang tergambar di ‘jidat’ mereka
'(yang gosong)' yang tekstualistik-skripturalistik?
HTI layaknya sebuah gerombolan yang
didalamnya adalah perkumpulan orang-orang bodoh, dungu dan tolol karena tidak
paham sejarah. Kader HTI, kemungkinan disaat mereka lahir di bumi Indonesia
mereka di ‘pedeti’,
dislameti dan dibacakan kitab al-Barzanji biar kelak mereka besar menjadi anak
yang shaleh, menjadi warga negara yang baik dan cinta terhadap bangsanya.
Begitu juga orangtua mereka yang sudah mati kemungkinan di do’akan dengan
tradisi slametan tiga hari, tujuh hari dan empat puluh hari seperti yang
dilaksanakan masyarakat Indonesia pada umumnya.
Islam yang berkembang di Indonesia
sebenarnya sangat Indah, karena tidak menghilangkan budaya setempat. Pemakaian
budaya dalam Islam tidak lain adalah sebagai wahana atau ekspresi diri dari
yang sebelumnya dikenal sebagai budaya agama atau syariat, dan kini menjadi
bukti betapa besar dinamika budaya yang terjadi dan memiliki peran besar bagi
keberlangsungan bangsa Indonesia hingga kini.
Islam di Indonesia tersebar lewat
penyerapan dan pengembangan khazanah dan kearifah budaya lokal, dan itu telah
terbukti membawa dinamika dan perkembangan penyebaran Islam yang luar biasa fantastis di bumi
Indonesia. Berkat kebijakan para Wali Songo dalam menyebarkan nilai-nilai
syariat Islam dengan sifat akulturatif dan membumi, sehingga tidak ada
kesenjangan antara nilai-nilai syariat Islam dengan budaya setempat.
Nilai-nilai ketuhanan yang sudah
melembaga dalam kehidupan umat di nusantara, kemudian menjelma menjadi falsafah
hidup berbangsa dan bernegara yang tercermin dalam Pancasila. Tradisi
berideologi negara di Indonesia menegaskan betapa pentingnya nilai-nilai ketuhanan
yang dimuat dalam sila pertama Pancasila. Nilai-nilai ketuhanan tersebut
digunakan untuk memperkokoh persatuan, persaudaraan, demokrasi dan nilai-nilai
kemanusiaan. Ini semua tidak lain adalah peran para pendiri Bangsa yang telah
melembagakan nilai-nilai Islam dalam tatanan kehidupan kebangsaan dan
kenegaraan yang sangat visioner dan mengakomodir kearifah budaya bangsa.
Bagi para pendiri bangsa dan para alim
ulama bahwa dalam membangun bangsa Indonesia yang plural ini tidak bisa dengan
dasar sektarian, tetapi harus mampu mengakomodir keberagaman dalam segala
aspeknya. Keberhasilan ini semua tidak bisa lepas dari pengaruh ulama-ulama NU,
seperti Hadratus Syeh KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisyri
Sansuri, KH. Wahid Hasyim, KH. Mahfud Siddiq dan para sesepuh ulama NU lainnya
serta para pendiri bangsa seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Tan Malaka dan
funding father lainnya yang telah mentradisikan berfikir universal dan
akulturatif dalam memahami Islam dan kebangsaan.
Maka dari itu, masih layakkah HTI
hidup dan menginjak bumi Indonesia tercinta ini? Sangat tidak, dan sangat layak
untuk dibubarkan.