Friday, May 26, 2017

IMPLIKASI FITRAH MANUSIA TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM



Pendidikan Islam senantiasa menekankan terbentuknya lulusan (out put) pendidikan yang berkepribadian utuh, yang secara internal memiliki kesadaran norma maupun kesadaran kerja. Pendidikan Islam hakikatnya adalah proses transformasi dan internalisasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai ‘din’ anak melalui penumbuhan dan pengembangan potensi fitrahnya guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan.[1]

Dari penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa dalam perspektif pendidikan Islam sifat dasar manusia merupakan sifat makhluk yang serba terbatas dan memerlukan upaya yang membuat kehadirannya dimuka bumi ini lebih sempurna. Untuk itu, perlunya upaya dan usaha sehingga ia mampu menjadi manusia paripurna. Upaya tersebut tidak lain adalah melalui proses pendidikan.

Misi utama pendidikan Islam adalah untuk menjaga dan memelihara fitrah peserta didik, mengembangkan dan mempersiapkan segala potensi yang dimiliki dan mengarahkan fitrah dan potensi tersebut menuju kebaikan dan kesempurnaan serta merealisasikan program tersebut secara bertahap.[2] Oleh karena itu, sifat khas pendidikan Islam adalah berupaya mengembangkan sifat dan potensi yang dimiliki oleh peserta didiknya secara efektif dan dinamis. Potensi-potensi (fitrah) tersebut adalah mencakup dua dimensi, yaitu segi ‘fisik biologis’ dan ‘segi ruhani’. Segi fisik biologis, terutama susunan syaraf otaknya (cerebrum) yang berfungsi untuk adaptasi dan koordinasi atas rangsangan dari panca indra, sehingga dengan struktur demikian manusia mampu mengembangkan penalaran, kreativitas dan kerja yang produktif. Selanjutnya, jika dilihat dari segi arah gerakan dan dinamikanya, sejak lahir manusia menunjukkan arah maju yang apabila dikembangkan dapat menghasilkan gerakan-gerakan yang sangat bervariasi dan bermakna.[3] Sedangkan dilihat dari segi ruhani bahwa manusia memiliki kelebihan, terutama karena memperoleh percikan sifat-sifat kesempurnaan Allah, yakni Asmaul husna yang berjumlah 99, sehingga memungkinkan manusia hidup dengan berbagai kemampuan dan kewenangan sesuai dengan Asmaul husna dalam batas-batas kemakhlukannya.[4]

Dengan berbagai potensi-potensi yang dimiliki oleh manusia tersebut, baik segi fisik biologis dan ruhani, maka pada dasarnya pendidikan Islam berfungsi sebagai media untuk menstimulus bagi perkembangan dan pertumbuhan potensi atau fitrah manusia seoptimal mungkin kearah penyempurnaan dirinya. Dengan upaya inilah sehingga akan menciptakan situasi dan model pendidikan Islam yang demokratis-fleksibel.

Dengan model pendidikan Islam yang demokratis-fleksibel tersebut, manusia tidak dapat dipandang sebagai makhluk yang reaktif, namun manusia dipandang responsif sehingga ia menjadi makhluk yang bertanggungjawab (responsible). Oleh karena itu, pendidikan Islam yang sebenarnya adalah pendidikan yang memberikan stimulus dan dilaksanakan secara demokratis.[5])

Maka dari itu, fitrah manusia yang dimaksud dapat dilihat dari dua dimensi manusia secara integral, yaitu fitrah jasmani dan ruhani. Keduanya memiliki nature dan kebutuhan yang berbeda antara satu dan yang lain, karena hakikat esensial keduanya berbeda, namun keduanya saling melengkapi antara yang satu dan lainnya. Jika salah satu dari keduanya terabaikan, maka akan berdampak negatif bagi pengembangan totalitas manusia. Untuk menyeimbangkan keduanya maka pendidikan Islam bukan hanya sekedar transfer ilmu (transfer of knowledge) atau kebudayaan dari satu generasi kepada generasi berikutnya, akan tetapi jauh dari itu bahwa pendidikan Islam merupakan suatu bentuk proses pengaktual sejumlah potensi yang dimiliki peserta didiknya yang meliputi; pengembangan jasmani, rasionalitas, intelektualitas, emosi dan akhlak yang berfungsi menyiapkan individu muslim kepribadian paripurna bagi kemaslahatan seluruh umat.

Dengan demikian, maka hakikat pendidikan Islam merupakan proses penanaman nilai-nilai ilahiyah yang diformulasikan secara sistematis dan adaptik yang disesuaikan dengan kemampuan dan perkembangan potensi atau fitrah peserta didik.

Apabila kita melihat program pendidikan sebagai usaha untuk menumbuhkan daya kreatifitas anak, melestarikan nilai-nilai ilahi dan insane, serta membekali anak didik dengan kemampuan yang produktif. Dapat kita katakana bahwa fitrah merupakan potensi dasar anak didik yang dapat menghantarkan pada tumbuhnya daya kreatifitas dan produktifitas serta komitmen pada nilai-nilai ilahi dan insani. Hal tersebut dapat dilakukan melalui pembekalan berbagai kemampuan dari lingkungan sekolah dan luar sekolah yang terpola dalam program pendidikan. Seorang pendidik tidak dituntut untuk mencetak anak didiknya menjadi orang ini dan orang itu, namun cukup dengan menumbuhkan dan mengembangkan potensi dasarnya dan kecenderungan-kecenderungannya terhadap sesuatu yang diminati sesuai dengan kemampuan dan bakat yang diminati anak. Apabila anak mempunyai sifat dasar yang dipandang sebagai pembawaan jahat, upaya pendidikan diarahkan dan difokuskan untuk menghilangkan serta menggantikan atau setidaknya mengurangi elemen-elemen kejahatan tersebut.

Jelasnya bahwa seorang pendidik tidak perlu sibuk-sibuk menghilangkan dan menggantikan kejahatan yang telah dibawa anak didik sejak lahir, melainkan berikhtiar sebaik-baiknya untuk menjauhkan tibulnya pelajaran yang dapat menyebabkan kebiasaan-kebiasaan yang tidak baik.

Manusia adalah makhluk individu dan sekaligus sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk Individualisasi merupakan bagian sangat penting dari pendidikan, karena individualisasi memusatkan perhatian secara individual proses pemeliharaan fitrah dan pengembangan sumberdaya manusia. Kegagalan dalam individualisasi berarti gagalnya pendidikan, karena tidak mampu mengantarkan peserta didik dalam merealisasikan diri yang mampu hidup mandiri dan bertanggungjawab.[6]

Sedangkan manusia sebagai makhluk sosial juga berarti setiap individu tidak mungkin hidup layak tanpa terkait dengan kelompok masyarakat manusia lainnya. Sebab manusia dipengaruhi oleh masyarakat dalam pembentukan pribadinya. Didamping itu juga bahwa individu mempengaruhi masyarakat, dan bahkan pengaruhnya bisa menimbulkan perubahan besar bagi tatanan masyarakat.[7]

Referensi:

Achmadi. (2010). Ideologi Pendidikan Islam; Paradigma Humanisme Teosentris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Zubaedi. (2010). Isu-Isu Baru dalam Diskursus Filsafat Pendidikan Islam dan Kapita Selekta Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


[1] Zubaedi, Isu-Isu Baru dalam Diskursus Filsafat Pendidikan Islam dan Kapita Selekta Pendidikan Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 2.
[2] Ibid., hlm. 2-3.
[3] Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam; Paradigma Humanisme Teosentris, Cet. II, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 46.
[4] Dengan percikan Asmaul husna sifat ar-Rahman-Rahim (Maha Kasih Sayang) misalnya, maka manusia dapat menampilkan kasih sayangnya kepada sesama. Dengan percikan al-Khaliq (Maha Mencipta) manusia memiliki daya kreatifitas untuk mencipta sesuatu yang baru dan berguna. Dengan percikan al-Mulk (Yang Memiliki Segala Kekuasaan) manusia mampu menguasai alam sekitarnya demi kepentingan dan kebaikan diri dan lingkungannya. Dengan percikan al-Quddus (Yang Maha Suci) manusia dapat membersihkan dirinya dari berbagai tindakan tercela. Dengan percikap al-‘Adl (Maha Adil) manusia mampu berbuat adil. Dengan percikan al-‘Alim (Maha Mengetahui) manusia cenderung ingin mengetahui segala sesuatu, dan kemudian dia memperoleh ilmu pengetahuan baru. Dengan percikan ar-Rabbu (Maha Mendidik Memelihara) manusia mampu mendidik dirinya sendiri maupun orang lain. Lihat: Ibid., hlm. 47.
[5] Bukan memberikan ilmu atau nilai-nilai yang seakan-akan guru sebagai sumber ilmu dan gudang nilai, sedangkan anak didik ibarat gelas kosong yang siap di isi. Pendekatan demokratis sesuai dengan fitrah manusia, karena anak didik mendapatkan kebebasan yang bertanggungjawab dalam interaksi pendidikan.
[6] Ibid., hlm. 58-59.
[7] Ibid., hlm. 60-61.
Previous Post
Next Post

Penulis yang mengabdikan tulisannya bagi amal jariyah pemikiran. Tokoh favorit sekaligus panutannya adalah Gus Dur