Thursday, March 28, 2019

SELAYANG PANDANG PARADIGMA PMII


Prawacana
Pada dasarnya, sebuah teori itu dirumuskan untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena yang ada. Sedangkan konstruksi sebuah teori—yang merupakan abstraksi dari sejumlah konsep yang disepakatkan dalam definisi-definisi—akan mengalami perkembangan, dan perkembangan itu terjadi apabila teori sudah tidak relevan dan tidak mampu lagi menjawab berbagai persoalan yang ada, atau kurang berfungsi lagi untuk mengatasi masalah zaman. Jika suatu teori ingin diakui sebagai teori ilmiah, maka teori tersebut haruslah cocok (compatible) dengan teori-teori lain yang telah diakui sebelumnya. Sebaliknya, jika suatu teori memiliki kesimpulan prediktif yang berbeda dengan teori lainnya, maka salah satu di antara kedua teori tersebut bisa dikatakan sebagai teori yang salah.
Penerimaan suatu teori di dalam komunitas ilmiah tidak berarti teori tersebut memiliki kebenaran mutlak, namun dipengaruhi oleh pengandaian-pengandaian dan metode dari ilmuwan yang merumuskannya. Kemampuan suatu teori untuk memprediksi apa yang akan terjadi merupakan kriteria bagi validitas teori tersebut. Untuk itu, semakin prediksi dari teori tersebut dapat dibuktikan, maka semakin besar pula teori tersebut akan diterima di dalam komunitas ilmiah. Ketika suatu bentuk teori telah dianggap mapan di dalam komunitas ilmiah, maka hampir semua ilmuwan dalam komunitas ilmiah menggunakan teori yang mapan itu dalam penelitian mereka. Teori yang mapan dan dominan itulah yang oleh Thomas Kuhn dikatakan sebagai paradigma.[1]
Selanjutnya, paradigma merupakan elan vital bagi pergerakan organisasi, karena paradigma merupakan titik pijak dalam membangun konstruksi pemikiran dan cara memandang sebuah persoalan yang akan termanifestasikan dalam sikap dan perilaku organisasi. Di samping itu, dengan paradigma ini pula sebuah organisasi akan menentukan dan memilih nilai-nilai yang universal dan abstrak menjadi khusus dan praksis operasional, yang pada akhirnya menjadi karakteristik sebuah organisasi dan gaya berpikir seorang kader.
Paradigma dapat diartikan sebagai cara pandang atau kerangka berfikir yang berdasarkannya fakta atau gejala diinterpretasi dan dipahami. Para ilmuwan bekerja dalam kerangka seperangkat aturan yang sudah dirumuskan secara jelas berdasarkan paradigma dalam bidang tertentu, sehingga pada dasarnya solusinya sudah dapat diantisipasi terlebih dahulu. Jika dalam perjalanan kegiatannya timbul hasil yang tidak diharapkan atau penyimpangan dari paradigmanya, inilah yang oleh Kuhn disebut sebagai anomali.[2]
Oleh sebab itu, lewat paradigma inilah pemikiran seseorang dapat dikenali dalam melihat dan melakukan analisis terhadap suatu masalah. Dengan kata lain, paradigma merupakan cara dalam mendekati objek kajianya (the subject matter of particular dicipline) yang ada dalam ilmu pengetahuan. Orientasi atau pendekatan umum (general orientations) ini didasarkan pada asumsi-asumsi yang dibangun dalam kaitannya dengan realitas yang dilihatnya. Perbedaan paradigma yang digunakan oleh seseorang dalam memandang suatu masalah, akan berakibat pada timbulnya perbedaan dalam menyusun sebuah teori, membuat konstruk pemikiran dan cara pandang hingga sampai pada aksi dan solusi yang diambilnya.
Namun demikian, secara faktual dan operasional terdapat karakteristik tertentu yang berlaku dalam warga pergerakan ketika hendak melihat, menganalisis dan menyikapi sebuah persoalan, yaitu sikap kritis dengan pendekatan teorti kritis. Dengan demikian, secara umum telah berlaku paradigma kritis dalam tubuh warga pergerakan PMII. Sikap seperti ini muncul ketika PMII mengusung sejumlah gagasan mengenai demokratisasi, civil society, penguatan masyarakat di hadapan negara yang otoriter sebagai upaya dalam aktualisasi dan implementasi atas nilai-nilai dan ajaran keagamaan yang diyakininya.

A.      Pengertian Paradigma
Secara etimologi, paradigma berasal dari bahasa Inggris, yaitu ‘paradig yang berarti bentuk sesuatu, model dan pola (type of something, model, pattern). Dalam bahasa Yunani, paradigma berasal dari kata ‘para (di samping, di sebelah) dan kata dekynai (memperlihatkan, yang berarti model, contoh, arketipe, ideal).[3] Sedangkan secara terminologi, paradigma berarti a total view of a problem; a total outlook; not just a problem in isolation. Paradigma adalah cara pandang atau cara berfikir tentang sesuatu.[4] Oleh sebab itu, paradigma dapat pula dimaknai sebagai:
1.          Cara memandang sesuatu;
2.         Dalam ilmu pengetahuan berarti model, pola, ideal. Dari model-model ini fenomena yang dipandang dan diperjelas;
3.         Totalitas premis-premis teoretis dan metodologis yang menentukan atau mendefinisikan suatu studi ilmiah konkret; dan,
4.        Dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem riset.[5]
Menurut Nasim Butt, paradigma merupakan teori-teori yang berhasil secara empiris yang pada mulanya diterima dan dikembangkan dalam tradisi penelitian, sampai kemudian ditumbangkan oleh paradigma yang lebih progresif secara empiris.[6] Sedangkan menurut Husain Heriyanto, paradigma adalah seperangkat asumsi-asumsi teoretis umum dan hukum-hukum serta teknik-teknik aplikasi yang dianut secara bersama oleh para anggota suatu komunitas ilmiah.[7] Liek Wilaryo mendefinisikan paradigma sebagai model yang dipakai ilmuan dalam kegiatan keilmuannya untuk menentukan jenis-jenis persoalan yang perlu digarap, dan dengan metode apa, serta melalui prosedur yang bagaimana penggarapan itu harus dilakukan.[8]
Sedangkan konsep paradigma populer karena pemikiran Thomas Kuhn dalam bukunya: "The Struktur of Scientific Revolution", ketika menjelaskan revolusi ilmu pengetahuan. Menurutnya, ilmu pengetahuan berkembang dari masa awal pembentukan. Setelahnya, ilmu pengetahuan memperoleh pengakuan dan berkembang mejadi paradigma. Pada tahap inilah sebuah teori ilmu pengetahuan diakui sebagai kebenaran, dan dijadikan acuan masyarakat dalam merumuskan pertanyaan dan cara menjawab. Pada saat ini pula suatu teori ditempatkan sebagai paradigma, yaitu pandangan mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter) dari suatu cabang ilmu. Normal science adalah periode berikutnya, yang dalam hal ini terjadi akumulasi ilmu pengetahuan. Karena para ilmuwan bekerja berdasarkan paradigma yang berpengaruh di dalamnya, dan asumsi yang mendasari dijadikan sebagai dasar dalam memahami kenyataan.[9]
Namun dalam perkembangan selanjutnya (sejalan dengan perkembangan masyarakat) apa yang diyakini sebagai kebenaran itu kemudian mengalami kekacauan (anomali), karena asumsi-asumsi paradigma lama tidak lagi mampu menjawab persoalan yang muncul. Akibatnya timbul krisis, karena validitas paradigma lama benar-benar sudah tidak bisa lagi dipertahankan. Pada saat inilah terjadi, apa yang menurut Kuhn, dengan masa terjadinya revolusi ilmu pengetahuan. Pada saat revolusi ilmu pengetahuan terjadi, maka asumsi dan dasar-dasar pemikiran paradigma yang berlaku saat itu tidak lagi dianggap relevan untuk merumuskan pertanyaan dan mengajukan jawaban terhadap fenomena atau kehidupan yang ada. Setelah terjadi revolusi akan ditemukan teori baru, dan dari sinilah dimulai munculnya paradigma baru.[10]
Mengingat banyaknya definisi yang dibentuk oleh para sosiologi, maka perlu ada pemilihan atau perumusan yang tegas mengenai definisi paradigma yang hendak diambil oleh PMII. Hal ini perlu dilakukan untuk memberi batasan yang jelas mengenai paradigma dalam pengertian komunitas PMII agar tidak terjadi perbedaan persepsi dalam memaknai paradigma. Berdasarkan pemikiran dan rumusan definisi yang disusun oleh para ahli sosiologi tersebut di atas, maka pengertian paradigma dalam masyarakat PMII dapat dirumuskan sebagai titik pijak untuk menentukan cara pandang, menyusun sebuah teori, menyusun pertanyaan dan membuat rumusan mengenai suatu masalah.
B.      Sejarah dan Perkembangan Paradigma PMII
Dalam realitasnya, memang setiap Kongres PMII, selalu ada wacana penggodokan paradigma baru oleh PB PMII, tapi belum membuahkan hasil. Tidak hanya pucuk pimpinan PMII di Jakarta, di berbagai daerah pun berlomba-lomba menunjukkan sense of belonging dengan menggelar workshop, seminar, diskusi, kajian dan sebagainya untuk merumuskan paradigma baru bagi PMII.
Sebagaimana dipahami bahwa paradigma merupakan ‘kaca mata’ yang memiliki seperangkat asumsi, nilai, konsep dan praktik yang mempengaruhi cara berfikir, bersikap dan bertindak seluruh kader PMII. Maka dari itu, perlunya formulasi konsep atau gagasan segar dan kontekstual terkait paradigma baru bagi PMII. Sebab, masa-masa sekarang kita sudah tidak vis a vis dengan negara dan penguasa, akan tetapi kita justru harus merebutnya.
Perlu juga kita cermati dialektika sejarah terkait perkembangan paradigma PMII. Sebelum Paradigma Kritis Transformatif (PKT) hadir, sudah ada orok paradigma lain yang pernah dilahirkan PMII, yaitu Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran (Paradigma Pergerakan) yang dirumuskan pada saat Sahabat Muhaimin Iskandar menjadi Ketua Umum PB PMII pada tahun 1994-1997. Paradigma ini dibuat untuk melawan kesewenang-wenangan orde baru yang menindas rakyat. Landasan teori kritis dan konsep perlawanannya membuat kader PMII ibarat singa yang siap menerkam. Sifat frontal paradigma ini diperkuat oleh gerakan intelektual organik melalui advokasi, proses rekayasa sosial dan free market of ideas yang dilakukan PMII untuk melawan hegemoni kekuasaan dan kemapanan. Totalitas pemikiran, sikap dan tindakan kader PMII dicurahkan sepenuhnya untuk melawan. Sehingga pada masa ini mulai populer jargon-jargon perlawanan seperti "hanya ada satu kata, lawan!", "diam tertindas atau bangkit melawan" dan sebagainya.
Tidak ingin disebut kalah dengan pendahulunya, Sahabat Syaiful Bahri Ansori mentransformasi Paradigma Pergerakan menjadi Paradigma Kritis Transformatif (PKT); pada saat periode kepemimpinannya pada tahun 1997-2000. PKT memperkaya perlawanannya secara teoretik dengan konsep pemikiran kritis ala Mazhab Frankfurt yang bersifat totality against, juga wacana intelektual kiri Islam ala Hassan Hanafi, Ali Syariati, Asghar Ali Engineer dan lain sebagainya, yang bicara soal hermeneutika pembebasan dan tafsir revolusioner tentang pembaharuan menyeluruh dan transformasi radikal. Bedanya, perlawanan dalam PKT tidak lagi frontal, tapi substansial karena meniscayakan adanya transformasi. Hal ini dibuat untuk sedikit menyesuaikan realitas sosial politik ketika Gus Dur yang tadinya sebagai inspirasi perlawan, tiba-tiba muncul ke permukaan sebagai penguasa.
Babak baru dialektika dan dinamika pemikiran, juga pertarungan gerakan PMII menemukan persimpangannya ketika Gus Dur dilantik menjadi Presiden pada 20 Oktober 1999. Setiap jalan menyimpan madu dan racun sekaligus. Dikatakan madu karena kelompok NU―termasuk PMII―yang tadinya adalah kaum pinggiran kemudian naik tahta setelah 30 tahun diperlakukan diskriminatif oleh rezim orde baru. Sedang dikatakan racun karena paradigma PMII yang membuka jalan kekritisan harus mampu menjaga komitmen dan konsistensinya sebagai agent of change dan agent of social control jika tidak mau disebut hipokrit intelektual. Sehingga jalan tengahnya, Sahabat Malik Haramain (Ketua Umum periode 2003-2005) mencoba memperkenalkan paradigma "Membangun Sentrum Gerakan di Era Neo Liberal". Paradigma baru ini diharapkan menjadi alternatif bagi lahirnya new common enemy sebagai sasaran gerakan kritis PMII. Neo liberalisme diposisikan sebagai musuh baru yang nyatanya sulit diidentifikasi dan dimaterialkan secara praxis, sehingga paradigma ini tidak disahkan sebagai pengganti PKT.
Upaya yang sama pula dilakukan oleh Sahabat Hery Haryanto Azumi (Periode 2005-2008) dengan membuat “Paradigma Menggiring Arus” sebagai antitesa dari Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran, paling tidak transformasi atau penggeseran dari Paradigma Pergerakan. PMII dipandang sudah tidak perlu melawan arus yang hanya menghabiskan energi tanpa hasil apa-apa, tetapi bagaimana arus itu digiring ke arah yang diinginkan oleh PMII. Namun lagi-lagi belum diterima secara terbuka oleh seluruh kader PMII yang telanjur memaknai PMII sebagai wadah gerakan mahasiswa kritis anti kemapanan. 
Dialektika sejarah perkembangan paradigma PMII menggambarkan betapa alotnya transformasi gagasan kritis ke pandangan moderat, sehingga PKT masih bertahan hingga saat ini. Sebenarnya, kader PMII sudah memposisikan diri dalam percaturan gerakan substansial-partisipatif. Hal itu terbukti dengan adanya diaspora kader PMII ke berbagai posisi di pemerintahan, baik eksekutif, legislatif, yudikatif dan berbagai profesi seperti bidang ekonomi, keuangan, perbankkan, media, bisnis, pertambangan, perminyakan dan dunia industri lainnya.
Dalam koteks sekarang, di mana Era Presiden Jokowi lebih banyak pos menteri dipegang oleh kader PMII.[11] Di berbagai partai pun terdapat kader PMII, bahkan menjadi pucuk pimpinan partai politik yang nota bene berorientasi pada kekuasaan. Intinya bahwa negara bukan lagi musuh rakyat, tetapi alat untuk mensejahterakan rakyat. Politik dan kekuasaan bukan lagi alat untuk melanggengkan hegemoni, melainkan sebagai jembatan untuk memperbaiki dan memajukan bangsa.
C.      Paradigma PMII ?
Pergerakan Mahasiswa Islam Indoesia (PMII) merupakan organisasi kemahasiswaan dan keindonesiaan yang berhaluan Islam Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja), yang sejak berdirinya pada 17 April 1960 sejatinya bukanlah gerakan perlawanan, tetapi perkumpulan ideologis yang hendak memperjuangkan nilai-nilai yang moderat, toleran, adil dan seimbang, mengukuhkan Islam rahmatan lil'alamin dan perjuangan menjaga cita-cita kemerdekaan Indonesia.
Maka dari itu, PMII harus kembali ke khittah-nya, yakni sebagai pergerakan mahasiswa yang berjuang untuk Islam dan Indonesia. Islam yang ditanam, disebar dan diperjuangkan secara terus-menerus oleh PMII, sekali lagi adalah Islam ramah (bukan Islam marah) sebagai representasi Aswaja. Indonesia yang diidam-idamkan oleh PMII adalah Indonesia yang maju dan merdeka, bukan Indonesia yang selalu disandera oleh perlawanan kelompok intelektualnya, tetapi dibangun dengan keringat dan kemapanan generasinya. Untuk itu, mahasiswa khususnya kader PMII sudah seharusnya partisipasi membangun bangsa di berbagai sektor kehidupan.
Mengapa PMII harus terlibat? Karena PMII memiliki nilai luhur Aswaja, Islam rahmatan lil'alamin, dan memiliki komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia. Di samping itu, PMII juga memiliki Nilai Dasar Pergerakan (NDP) yang merupakan pemberi keyakinan dan pembenar mutlak, dan spirit serta elan vital pergerakan sekaligus sebagai sumber kekuatan ideal-moral dari aktivitas pergerakan. Jika memang PMII punya nilai, tujuan dan cita-cita adiluhung, maka PMII harus menjalankan fungsinya dengan baik dalam rangka memberikan ilmu dan bakti untuk bangsa, memperjuangkan keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
D.     Konklusi
Kenyataan global nyaris bukan lagi menjadi realitas yang ada di luar diri kita. Melainkan kita, mau tidak mau, telah dan masih akan lagi menjadi bagian dari kenyataan tersebut. Kenyataan saat ini ditandai oleh besarnya daya tekan modal, lobby politik, isu-isu sosial dan budaya. Pada saat ini, kemiskinan tidak bisa lagi dijelaskan dari varibel kegagalan negara semata. Mengapa? Karena setiap fenomena berjejalin dengan fenomena yang lain dalam pola hubungan yang rumit. Demikianlah kurang lebih gambaran kasar dari titik berangkat paradigma PMII.
Oleh sebab itu, kenyataan bukan dihadapi dengan perlawanan, karena kenyataan hari ini tidak mengikuti hukum oposisi biner (binary opposition).  Sehingga kenyataan hanya bisa dihadapi dengan strategi yang disusun untuk jangka waktu panjang. Dalah hal strategi, selain dibutuhkan pengetahuan, ketrampilan dan loyalitas terhadap organisasi, juga dibutuhkan kesabaran revolusioner. Karena, sebuah paradigma akan melahirkan gerakan yang bernas ketika paradigma tersebut sebangun dengan kenyataan di mana gerakan tersebut berada.[]


Daftar Pustaka:

Husain Heriyanto. (2003). Paradigma Holistik; Dialog Filsafat, Sains dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead. Jakarta: Teraju.
Komaruddin, dkk. (2002). Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah. Jakarta: Bumi Aksara.
Lorens Bagus. (2002). Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.
Mahmud. (2011). Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Saifullah. (2007). Refleksi Sosiologi Hukum. Bandung: Refika Aditama.
Soetrisno dan SRDm Rita Hanafie. (2007). Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Andi Offset.
Thomas S. Kuhn. (2012). The Structure of Scientific Revolution; Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, terj. Tjun Surjaman. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Zainuddin Maliki. (2010). Sosiologi Pendidikan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.


[1] Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolution; Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, terj. Tjun Surjaman, cet. VII, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hal. 10.
[2] Ibid., hal. 63.
[3] Mahmud, Pemikiran Pendidikan Islam, cet. I, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hal. 55.
[4] Ibid.
[5] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, cet.. III, (Jakarta: Gramedia, 2002), hal. 779.
[6] Soetrisno dan SRDm Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, cet.. I, (Yogyakarta: Andi Offset, 2007), hal. 32.
[7] Husain Heriyanto, Paradigma Holistik; Dialog Filsafat, Sains dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead, cet. I, (Jakarta: Teraju, 2003), hal. 28.
[8] Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, cet. I, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hal. 84.
[9] Zainuddin Maliki, Sosiologi Pendidikan, cet. II, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), hal. 15-16.
[10] Ibid.
[11] Khofifah Indar Parawansa (Menteri Sosial), M. Hanif Dhakiri (Meteri Tenaga Kerja), Imam Nahrawi (Menteri Pemuda dan Olahraga), Lukman Hakim Saifuddin (Menteri Agama).
Previous Post
Next Post

Penulis yang mengabdikan tulisannya bagi amal jariyah pemikiran. Tokoh favorit sekaligus panutannya adalah Gus Dur