Prawacana
Pada
dasarnya, sebuah teori itu dirumuskan untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena
yang ada. Sedangkan konstruksi sebuah teori—yang merupakan abstraksi dari
sejumlah konsep yang disepakatkan dalam definisi-definisi—akan mengalami
perkembangan, dan perkembangan itu terjadi apabila teori sudah tidak relevan
dan tidak mampu lagi menjawab berbagai persoalan yang ada, atau kurang
berfungsi lagi untuk mengatasi masalah zaman. Jika suatu teori ingin diakui
sebagai teori ilmiah, maka teori tersebut haruslah cocok (compatible) dengan teori-teori lain yang telah diakui sebelumnya. Sebaliknya,
jika suatu teori memiliki kesimpulan prediktif
yang berbeda dengan teori lainnya, maka salah satu di antara kedua teori
tersebut bisa dikatakan sebagai teori yang salah.
Penerimaan
suatu teori di dalam komunitas ilmiah tidak berarti teori tersebut memiliki
kebenaran mutlak, namun dipengaruhi oleh pengandaian-pengandaian dan metode
dari ilmuwan yang merumuskannya. Kemampuan suatu teori untuk memprediksi apa
yang akan terjadi merupakan kriteria bagi validitas teori tersebut. Untuk itu,
semakin prediksi dari teori tersebut dapat dibuktikan, maka semakin besar pula
teori tersebut akan diterima di dalam komunitas ilmiah. Ketika suatu bentuk
teori telah dianggap mapan di dalam komunitas ilmiah, maka hampir semua ilmuwan
dalam komunitas ilmiah menggunakan teori yang mapan itu dalam penelitian
mereka. Teori yang mapan dan dominan itulah yang oleh Thomas Kuhn dikatakan sebagai
paradigma.[1]
Selanjutnya,
paradigma merupakan elan vital bagi pergerakan organisasi, karena paradigma
merupakan titik pijak dalam membangun konstruksi pemikiran dan cara memandang
sebuah persoalan yang akan termanifestasikan dalam sikap dan perilaku
organisasi. Di samping itu, dengan paradigma ini pula sebuah organisasi akan
menentukan dan memilih nilai-nilai yang universal dan abstrak menjadi khusus
dan praksis operasional, yang pada akhirnya menjadi karakteristik sebuah
organisasi dan gaya berpikir seorang kader.
Paradigma dapat
diartikan sebagai cara pandang atau kerangka berfikir yang berdasarkannya fakta
atau gejala diinterpretasi dan dipahami. Para ilmuwan
bekerja dalam kerangka seperangkat aturan yang sudah dirumuskan secara jelas
berdasarkan paradigma dalam bidang tertentu, sehingga pada
dasarnya solusinya sudah dapat diantisipasi terlebih dahulu. Jika dalam
perjalanan kegiatannya timbul hasil yang tidak diharapkan atau penyimpangan
dari paradigmanya, inilah yang oleh Kuhn disebut sebagai anomali.[2]
Oleh sebab
itu, lewat paradigma inilah pemikiran seseorang dapat dikenali dalam melihat
dan melakukan analisis terhadap suatu masalah. Dengan kata lain, paradigma
merupakan cara dalam mendekati objek kajianya (the subject matter of particular dicipline) yang ada
dalam ilmu pengetahuan. Orientasi atau pendekatan umum (general orientations) ini didasarkan pada asumsi-asumsi yang
dibangun dalam kaitannya dengan realitas yang dilihatnya. Perbedaan paradigma
yang digunakan oleh seseorang dalam memandang suatu masalah, akan berakibat
pada timbulnya perbedaan dalam menyusun sebuah teori, membuat konstruk pemikiran dan cara
pandang hingga sampai pada aksi dan solusi yang diambilnya.
Namun
demikian, secara faktual dan operasional terdapat karakteristik tertentu yang
berlaku dalam warga pergerakan ketika hendak melihat, menganalisis dan
menyikapi sebuah persoalan, yaitu sikap kritis dengan pendekatan teorti kritis.
Dengan demikian, secara umum telah berlaku paradigma kritis
dalam tubuh warga pergerakan PMII. Sikap seperti ini muncul ketika PMII mengusung
sejumlah gagasan mengenai demokratisasi, civil
society, penguatan masyarakat di hadapan
negara yang otoriter sebagai upaya dalam aktualisasi dan implementasi atas
nilai-nilai dan ajaran keagamaan yang diyakininya.
A.
Pengertian Paradigma
Secara etimologi, paradigma
berasal dari bahasa Inggris, yaitu ‘paradig’ yang berarti bentuk sesuatu, model dan pola (type of
something, model, pattern). Dalam bahasa Yunani, paradigma berasal dari
kata ‘para’ (di samping,
di sebelah) dan kata dekynai (memperlihatkan, yang berarti model, contoh, arketipe, ideal).[3]
Sedangkan secara terminologi, paradigma berarti a total view of a problem; a
total outlook; not just a problem in isolation. Paradigma adalah cara
pandang atau cara berfikir tentang sesuatu.[4] Oleh sebab
itu, paradigma dapat pula dimaknai sebagai:
1.
Cara memandang
sesuatu;
2.
Dalam ilmu
pengetahuan berarti model, pola, ideal. Dari model-model ini fenomena yang
dipandang dan diperjelas;
3.
Totalitas
premis-premis teoretis dan metodologis yang menentukan atau mendefinisikan
suatu studi ilmiah konkret; dan,
4.
Dasar untuk
menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem riset.[5]
Menurut Nasim Butt, paradigma merupakan teori-teori
yang berhasil secara empiris yang pada mulanya diterima dan dikembangkan dalam tradisi penelitian, sampai kemudian ditumbangkan oleh paradigma yang
lebih progresif secara empiris.[6] Sedangkan
menurut Husain Heriyanto, paradigma adalah seperangkat asumsi-asumsi teoretis
umum dan hukum-hukum serta teknik-teknik aplikasi yang dianut secara bersama
oleh para anggota suatu komunitas ilmiah.[7] Liek Wilaryo
mendefinisikan paradigma sebagai model yang dipakai ilmuan dalam kegiatan
keilmuannya untuk menentukan jenis-jenis persoalan yang perlu digarap, dan
dengan metode apa, serta melalui prosedur yang bagaimana penggarapan itu harus
dilakukan.[8]
Sedangkan
konsep paradigma populer karena pemikiran Thomas Kuhn dalam bukunya: "The
Struktur of Scientific Revolution", ketika menjelaskan revolusi ilmu pengetahuan.
Menurutnya, ilmu pengetahuan berkembang dari masa awal pembentukan. Setelahnya, ilmu pengetahuan memperoleh pengakuan dan berkembang mejadi
paradigma. Pada tahap inilah sebuah teori ilmu pengetahuan diakui sebagai
kebenaran, dan dijadikan acuan masyarakat dalam merumuskan pertanyaan
dan cara menjawab. Pada saat ini pula suatu teori ditempatkan sebagai paradigma, yaitu pandangan mendasar tentang apa yang menjadi pokok
persoalan (subject matter) dari suatu cabang ilmu. Normal science
adalah periode berikutnya, yang dalam hal ini terjadi akumulasi ilmu
pengetahuan. Karena para ilmuwan bekerja berdasarkan paradigma yang berpengaruh di dalamnya, dan asumsi yang mendasari dijadikan sebagai dasar dalam memahami kenyataan.[9]
Namun
dalam perkembangan selanjutnya (sejalan dengan perkembangan masyarakat) apa
yang diyakini sebagai kebenaran itu kemudian mengalami kekacauan (anomali),
karena asumsi-asumsi paradigma lama tidak lagi mampu menjawab persoalan yang
muncul. Akibatnya timbul krisis, karena validitas paradigma lama benar-benar sudah tidak bisa lagi dipertahankan. Pada saat inilah terjadi, apa yang menurut Kuhn, dengan masa terjadinya revolusi ilmu pengetahuan. Pada saat revolusi ilmu
pengetahuan terjadi, maka asumsi dan dasar-dasar pemikiran paradigma yang
berlaku saat itu tidak lagi dianggap relevan untuk merumuskan pertanyaan dan
mengajukan jawaban terhadap fenomena atau kehidupan yang ada. Setelah terjadi
revolusi akan ditemukan teori baru, dan dari sinilah dimulai munculnya paradigma
baru.[10]
Mengingat
banyaknya definisi yang dibentuk oleh para sosiologi, maka perlu ada pemilihan
atau perumusan yang tegas mengenai definisi paradigma yang hendak diambil oleh
PMII. Hal ini perlu dilakukan untuk memberi batasan yang jelas mengenai
paradigma dalam pengertian komunitas PMII agar tidak terjadi perbedaan persepsi
dalam memaknai paradigma. Berdasarkan pemikiran dan rumusan definisi yang
disusun oleh para ahli sosiologi tersebut di atas, maka pengertian paradigma
dalam masyarakat PMII dapat dirumuskan sebagai titik pijak untuk menentukan
cara pandang, menyusun sebuah teori, menyusun pertanyaan dan membuat rumusan
mengenai suatu masalah.
B. Sejarah dan
Perkembangan Paradigma PMII
Dalam realitasnya, memang
setiap Kongres PMII, selalu ada wacana penggodokan paradigma baru oleh PB PMII,
tapi belum membuahkan hasil. Tidak hanya pucuk pimpinan PMII di Jakarta, di
berbagai daerah pun berlomba-lomba menunjukkan sense of belonging dengan menggelar workshop, seminar,
diskusi, kajian dan sebagainya untuk merumuskan paradigma baru bagi PMII.
Sebagaimana dipahami
bahwa paradigma merupakan ‘kaca mata’ yang memiliki seperangkat asumsi, nilai,
konsep dan praktik yang mempengaruhi cara berfikir, bersikap dan bertindak seluruh
kader PMII. Maka dari itu, perlunya formulasi konsep atau gagasan segar dan kontekstual
terkait paradigma baru bagi PMII. Sebab, masa-masa sekarang kita sudah tidak vis a vis dengan negara dan penguasa,
akan tetapi kita justru harus merebutnya.
Perlu juga kita cermati
dialektika sejarah terkait perkembangan paradigma PMII. Sebelum Paradigma Kritis Transformatif (PKT)
hadir, sudah ada orok paradigma lain
yang pernah dilahirkan PMII, yaitu Paradigma
Arus Balik Masyarakat Pinggiran (Paradigma Pergerakan) yang dirumuskan pada
saat Sahabat Muhaimin Iskandar menjadi Ketua Umum PB PMII pada tahun 1994-1997.
Paradigma ini dibuat untuk melawan kesewenang-wenangan orde baru yang menindas
rakyat. Landasan teori kritis dan konsep perlawanannya membuat kader PMII ibarat
‘singa’ yang siap
menerkam. Sifat frontal paradigma ini diperkuat oleh gerakan intelektual
organik melalui advokasi, proses rekayasa sosial dan free market of ideas yang dilakukan PMII untuk melawan hegemoni
kekuasaan dan kemapanan. Totalitas pemikiran, sikap dan tindakan kader PMII
dicurahkan sepenuhnya untuk melawan. Sehingga pada masa ini mulai populer
jargon-jargon perlawanan seperti "hanya
ada satu kata, lawan!", "diam
tertindas atau bangkit melawan" dan sebagainya.
Tidak ingin disebut
kalah dengan pendahulunya, Sahabat Syaiful Bahri Ansori mentransformasi
Paradigma Pergerakan menjadi Paradigma
Kritis Transformatif (PKT); pada saat periode kepemimpinannya pada tahun
1997-2000. PKT memperkaya perlawanannya secara teoretik dengan konsep pemikiran
kritis ala Mazhab Frankfurt yang bersifat totality
against, juga wacana intelektual kiri Islam ala Hassan Hanafi, Ali
Syariati, Asghar Ali Engineer dan lain sebagainya, yang bicara soal hermeneutika
pembebasan dan tafsir revolusioner tentang pembaharuan menyeluruh dan
transformasi radikal. Bedanya, perlawanan dalam PKT tidak lagi frontal, tapi
substansial karena meniscayakan adanya transformasi. Hal ini dibuat untuk
sedikit menyesuaikan realitas sosial politik ketika Gus Dur yang tadinya
sebagai inspirasi perlawan, tiba-tiba muncul ke permukaan sebagai penguasa.
Babak baru dialektika
dan dinamika pemikiran, juga pertarungan gerakan PMII menemukan persimpangannya
ketika Gus Dur dilantik menjadi Presiden pada 20 Oktober 1999. Setiap jalan
menyimpan madu dan racun sekaligus. Dikatakan madu karena kelompok NU―termasuk
PMII―yang tadinya adalah kaum pinggiran kemudian naik tahta setelah 30 tahun
diperlakukan diskriminatif oleh rezim orde baru. Sedang dikatakan racun karena
paradigma PMII yang membuka jalan kekritisan harus mampu menjaga komitmen dan
konsistensinya sebagai agent of change
dan agent of social control jika
tidak mau disebut hipokrit intelektual. Sehingga jalan
tengahnya, Sahabat Malik Haramain (Ketua Umum periode 2003-2005) mencoba
memperkenalkan paradigma "Membangun Sentrum Gerakan di Era Neo Liberal".
Paradigma baru ini diharapkan menjadi alternatif bagi lahirnya new common enemy sebagai sasaran gerakan
kritis PMII. Neo liberalisme diposisikan sebagai musuh baru yang nyatanya sulit
diidentifikasi dan dimaterialkan secara praxis,
sehingga paradigma ini tidak disahkan sebagai pengganti PKT.
Upaya yang sama pula
dilakukan oleh Sahabat Hery Haryanto Azumi (Periode 2005-2008) dengan membuat “Paradigma
Menggiring Arus” sebagai antitesa dari Paradigma Arus Balik Masyarakat
Pinggiran, paling tidak transformasi atau penggeseran dari Paradigma
Pergerakan. PMII dipandang sudah tidak perlu melawan arus yang hanya
menghabiskan energi tanpa hasil apa-apa, tetapi bagaimana arus itu digiring ke
arah yang diinginkan oleh PMII. Namun lagi-lagi belum diterima secara terbuka
oleh seluruh kader PMII yang telanjur memaknai PMII sebagai wadah gerakan
mahasiswa kritis anti kemapanan.
Dialektika sejarah
perkembangan paradigma PMII menggambarkan betapa alotnya transformasi gagasan
kritis ke pandangan moderat, sehingga PKT masih bertahan hingga saat ini.
Sebenarnya, kader PMII sudah memposisikan diri dalam percaturan gerakan
substansial-partisipatif. Hal itu terbukti dengan adanya diaspora kader PMII ke
berbagai posisi di pemerintahan, baik eksekutif, legislatif, yudikatif dan
berbagai profesi seperti bidang ekonomi, keuangan, perbankkan, media, bisnis,
pertambangan, perminyakan dan dunia industri lainnya.
Dalam koteks
sekarang, di mana Era Presiden Jokowi lebih banyak pos menteri dipegang oleh
kader PMII.[11]
Di berbagai partai pun terdapat kader PMII, bahkan menjadi pucuk pimpinan
partai politik yang nota bene berorientasi pada kekuasaan. Intinya
bahwa negara bukan lagi musuh rakyat, tetapi alat untuk mensejahterakan rakyat.
Politik dan kekuasaan bukan lagi alat untuk melanggengkan hegemoni, melainkan sebagai jembatan untuk memperbaiki dan memajukan bangsa.
C.
Paradigma
PMII ?
Pergerakan Mahasiswa
Islam Indoesia (PMII) merupakan organisasi kemahasiswaan dan keindonesiaan yang
berhaluan Islam Ahlussunnah wal Jama'ah
(Aswaja), yang sejak berdirinya pada 17 April 1960 sejatinya bukanlah gerakan
perlawanan, tetapi perkumpulan ideologis yang hendak memperjuangkan nilai-nilai
yang moderat, toleran, adil dan seimbang, mengukuhkan Islam rahmatan lil'alamin dan perjuangan
menjaga cita-cita kemerdekaan Indonesia.
Maka dari itu, PMII harus kembali ke khittah-nya,
yakni sebagai pergerakan mahasiswa yang berjuang untuk Islam dan Indonesia.
Islam yang ditanam, disebar dan diperjuangkan secara terus-menerus
oleh PMII, sekali lagi adalah Islam ramah (bukan
Islam marah) sebagai representasi Aswaja. Indonesia yang
diidam-idamkan oleh PMII adalah Indonesia yang maju dan merdeka, bukan
Indonesia yang selalu disandera oleh perlawanan kelompok intelektualnya, tetapi
dibangun dengan keringat dan kemapanan generasinya. Untuk
itu, mahasiswa khususnya kader PMII sudah seharusnya partisipasi membangun
bangsa di berbagai sektor kehidupan.
Mengapa PMII harus
terlibat? Karena PMII memiliki nilai luhur Aswaja, Islam rahmatan lil'alamin, dan memiliki komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia. Di samping
itu, PMII juga memiliki Nilai Dasar Pergerakan (NDP) yang merupakan pemberi
keyakinan dan pembenar mutlak, dan spirit serta elan vital pergerakan sekaligus sebagai sumber kekuatan ideal-moral dari aktivitas pergerakan. Jika
memang PMII punya nilai, tujuan dan cita-cita adiluhung, maka PMII harus
menjalankan fungsinya dengan baik dalam rangka memberikan ilmu dan bakti untuk
bangsa, memperjuangkan keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat
Indonesia.
D. Konklusi
Kenyataan global
nyaris bukan lagi menjadi realitas yang ada di luar diri kita. Melainkan kita,
mau tidak mau, telah dan masih akan lagi menjadi bagian dari kenyataan
tersebut. Kenyataan saat ini ditandai oleh besarnya daya tekan modal, lobby
politik, isu-isu sosial dan budaya. Pada saat ini, kemiskinan tidak bisa lagi
dijelaskan dari varibel kegagalan negara semata. Mengapa? Karena setiap
fenomena berjejalin dengan fenomena yang lain dalam pola hubungan yang rumit.
Demikianlah kurang lebih gambaran
kasar dari titik berangkat paradigma PMII.
Oleh sebab itu,
kenyataan bukan dihadapi dengan perlawanan, karena kenyataan hari ini tidak
mengikuti hukum oposisi biner (binary
opposition). Sehingga kenyataan hanya bisa dihadapi
dengan strategi yang disusun untuk jangka waktu panjang. Dalah hal strategi, selain dibutuhkan pengetahuan, ketrampilan dan loyalitas terhadap
organisasi, juga dibutuhkan kesabaran revolusioner. Karena, sebuah paradigma akan melahirkan
gerakan yang bernas ketika paradigma tersebut sebangun dengan kenyataan di mana
gerakan tersebut berada.[]
Daftar
Pustaka:
Husain Heriyanto. (2003). Paradigma Holistik; Dialog Filsafat, Sains
dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead. Jakarta: Teraju.
Komaruddin, dkk. (2002). Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah. Jakarta: Bumi Aksara.
Lorens Bagus. (2002). Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.
Mahmud. (2011). Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Saifullah. (2007). Refleksi Sosiologi Hukum. Bandung: Refika Aditama.
Soetrisno dan SRDm Rita Hanafie. (2007). Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian.
Yogyakarta: Andi Offset.
Thomas
S. Kuhn. (2012). The Structure of
Scientific Revolution; Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, terj. Tjun
Surjaman. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Zainuddin
Maliki. (2010). Sosiologi Pendidikan. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
[1] Thomas S.
Kuhn, The Structure of Scientific
Revolution; Peran Paradigma dalam Revolusi Sains, terj. Tjun Surjaman, cet. VII,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hal. 10.
[4] Ibid.
[6] Soetrisno dan SRDm Rita
Hanafie, Filsafat Ilmu dan Metodologi
Penelitian, cet.. I, (Yogyakarta: Andi Offset,
2007), hal. 32.
[7] Husain Heriyanto, Paradigma Holistik; Dialog Filsafat, Sains
dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead, cet. I, (Jakarta: Teraju, 2003), hal.
28.
[9] Zainuddin Maliki, Sosiologi Pendidikan,
cet. II, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2010), hal. 15-16.
[10] Ibid.
[11] Khofifah Indar Parawansa
(Menteri Sosial), M. Hanif Dhakiri (Meteri Tenaga Kerja), Imam Nahrawi (Menteri
Pemuda dan Olahraga), Lukman Hakim Saifuddin (Menteri Agama).