Sunday, October 22, 2017

GENEALOGI ISLAM NUSANTARA

Prawacana
Diskursus keislaman tidak akan pernah habis untuk dibicarakan dan didiskusikan oleh kalangan umat manusia, terutama bagi kalangan pemuda Islam yang notaben-nya masih dalam keadaan fress dan jernih untuk melakukan  sebuah aktivitas berfikir. Islam akan selalu mengikuti perkembangan zaman melalui kerangka pemahaman baru dan reinterpretasi mengenai doktrinasinya atas situasi-situasi yang berkembang.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Islam adalah likulli zaman wal makan. Islam akan selalu mempunyai pandangan tersendiri terkait dengan pola perkembangan yang menyertainya. Sebagaimana kita lihat, banyak tokoh-tokoh Islam Indonesia ataupun Timur Tengah yang merekontruksi tentang studi keislaman dengan tujuan agar Islam dapat bersaing dengan peradaban Barat dan mencari pemaknaan baru terkait pemahaman Islam yang sesuai dengan semangat zaman.
Dengan bergulirnya waktu―khususnya pada Abad 19-20―gagasan-gagasan mengenai studi keislaman mulai bermunculan dan bertebaran. Hal ini disebab oleh tantangan zaman yang bernama modernitas melalui praktek-praktek globalisasi yang sudah memasuki sendi-sendi kehidupan untuk membawa masyarakat yang materialistik dan  hedonis, bahkan sampai pada kolonialisme dan imperalisme. Di sisi lain, ada faktor internal umat Islam sendiri yang mempunyai cara pandang berbeda-beda terkait kerangka diskursus keislamaman, sehingga membuat umat Islam kehilangan konsentrasi dan substansi dari doktrinasi Islam itu sendiri.
Islam secara tegas memerintahkan umatnya untuk berbuat kebaikan kepada seluruh makhluk Allah. Islam mengajarkan untuk berbuat adil, toleran, kasih sayang dan saling kasih mengasihi kepada seluruh makhluk. Demikian pula, Islam tidak pernah mengajarkan untuk melakukan kekerasan, anarkisme, radikalisme dan terorisme, bahkan Islam jusru mengutuk seluruh tindakan negatif ini.
Namun akhir-akhir ini kemurnian Islam tercoreng oleh sederet aksi terorisme yang dilakukan oleh meraka―yang mengatasnamakan Islam. Mereka meyakini tindakan anarkis dan radikal yang mereka lancarkan sebagai jihad. Konsekweksi logis dari sederet tindakan terorisme ini tentu sangat fatal. Islam kemudian dijadikan sebagai ‘si tertuduh’. Islam kemudian disorot, dikritik, dikecam dan bahkan diberi label sebagai agama teroris. Sikap curiga, benci serta ketakutan yang berlebihan terhadap Islam kemudian memunculkan apa yang dikenal dengan istilah Islamo-phobia. Islam digambarkan sebagai ancaman yang harus dimusnahkan.
Untuk menjawab tuduhan-tuduhan tersebut dan sekaligus sebagai usaha meneguhkan kembali Islam sebagai agama yang ramah dan rahmat (rahmatan lil ‘alamin), maka dalam konteks hari ini Islam harus mampu mengakomodasi semua kebudayaan dan perabadan manusia diseluruh dunia. Sebab, ajaran Islam mengenai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara akan terwujud secara substansial tanpa menekankan simbol ritual dan tekstual. Ajaran Islam bukanlah agama baru’, melainkan agama yang sudah dikenal dan dijalankan oleh umat manusia sepanjang zaman, karena sejak semula telah terbit dari fitrah-nya bahwa Islam adalah sebagai agama yang benar, agama yang sejati dan sebagai agama yang mengutamakan perdamaian. Untuk itu―sebagai agama rahmatan lil ‘alamînIslam harus mampu mengakomodasi semua kebudayaan dan perabadan manusia diseluruh dunia.
Pemahaman, pengalaman dan metode dakwah ulama Nusantara sejauh ini telah memberikan kesan yang baik, yaitu Islam Nusantara yang tampil dengan wajah sumringah dan tidak pongah, namun Islam yang toleran dan tidak plin plan serta permai nan damai. Maka dari itu, cara berislam penuh damai sebagaimana di Nusantara ini kembali terafirmasi sebagai hasil tafsir yang paling memadai untuk masa kini.[1]
Memahami gagasan Islam Nusantara, secara sederhana adalah ajaran-ajaran Islam yang dikontekstualkan dan disesuaikan dengan prinsip-prinsip budaya dan akar tradisi yang ada di Nusantara. Islam yang dibawa dan digagas bukanlah Islam yang berdasarkan pada ajaran Islam yang berkembang di Jazirah Arab, tetapi Islam yang berdasarkan pada kearifan lokal (local wisdom) pada suatu daerah. Jika Islam berdasarkan pada nilai-nilai kebudayaan dan nilai-nilai tradisi, maka Islam akan di terima oleh masyarakat, dan akan dikenal sebagai Islam yang ramah dan menghargai pengetahuan lokal. Said Aqil Siroj menjelaskan bahwa mengkaji Islam Nusantara dengan perspektif kenusantaraan ini diharapkan mampu memiliki keunggulan dibidang akurasi (ketepatan) dan profonditas (kedalaman), dengan demikian akan memperkokoh serta memiliki otoritas yang lebih tinggi dibanding pengkaji Islam.[2]
Oleh sebab itu, dapat dikatakan disini bahwa proses kontektualisasi ajaran-ajaran Islam dan budaya Nusantara merupakan suatu keniscayaan untuk proses penyebaran pemahaman Islam saat ini. Akulturasi ajaran Islam dan budaya Nusantara (Indonesia saat ini)[3] menjadi kekuatan dan titik kunci untuk suksesnya sebuah pemikiran dan gerakan Islam yang ramah, toleran dan damai untuk diperkenalkan pada masyarakat dunia saat ini.

A.      Pegertian Islam Nusantara
Pertama-tama dalam memahami Islam Nusantara harus meyakini bahwa terdapat dimensi keagamaan dan budaya yang saling berjalin-kelindan satu sama lain. Dimensi ini adalah suatu cara Islam berkompromi dengan batas wilayah teritorial yang memiliki akar budaya tertentu. Hal ini mengakibatkan Islam sepenuh-penuhnya tidak lagi menampilkan diri secara kaku dan tertutup, namun menghargai keberlainan. Islam dengan begitu sangat mengakomodir nilai-nilai yang sudah terkandung dalam suatu wilayah tertentu.
Dari pernyataan di atas akhirnya meluas ke domain tentang apa itu Islam Nusantara, apakah Islam yang ada di Nusantara ataukah Islam yang bersifat Nusantara? Pertanyaan pertama, merujuk pada wilayah, sedangkan yang kedua lebih kepada nilai-nilai khas. Dengan kata lain, masih terjadi ambiguitas mengenai term Islam Nusantara itu sendiri. Kalau Nusantara dimaknai sebagai tempat atau wilayah maka sebutan Islam Nusantara haruslah mencatut semua aliran maupun ormas Islam yang ada di Indonesia. Berarti Islam Nusantara semata-mata bukan hanya milik atau ciri khas Kaum Nahdliyin. Begitupula sebaliknya, bila Nusantara dimaknai sebagai nilai-nilai khas, itu berarti mencatut watak dan karakteristik Islam di Indonesia yang di dalamnya memuat unsur-unsur ibadah mahdoh dan muamalah. Paradoks definitif seperti ini ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia saja, di Amerika pun juga demikian. Di sana juga ada dua term, yaitu American Islam dan Islam in America.
Berangkat dari problematika di atas, tulisan sederhana ini bertujuan mencari titik temu (meeting point) atas silang sengkarut paham keagamaan yang kerap terjadi di Indonesia. Berpijak dari kerangka epistemologis dan historis, tulisan ini berusaha menjawab berbagai pertanyaan mengenai mahkluk apa itu Islam Nusantara dan sekaligus menjawab tudingan miring tentang term sebuah makna dari Islam Nusantara yang sedang hangat-hangatnya diperdebatan sejumlah pakar ilmu-ilmu keislaman.
1.         Pengertian
Islam Nusantara adalah istilah yang akhir-akhir ini mengundang banyak perdebatan sejumlah pakar ilmu-ilmu keislaman. Sebagian menerima dan sebagian menolak. Alasan penolakan mungkin karena istilah tersebut tidak sejalan dengan keyakinan bahwa Islam itu satu dan merujuk pada yang satu (sama), yaitu al-Qur’an dan Sunnah.
Memang benar adanya bahwa Islam itu hanya satu dan memiliki lansadasan yang satu. Akan tetapi, selain memiliki landasan nash-nash syari’at (al-Qur’an dan Sunnah), Islam juga memiliki acuan maqashid syari’ah (tujuan syariat). Sedangkan maqashid syari’ah sendiri digali dari nash-nash syari’ah melalui sekian istiqra’ (penelitian induktif).
Ulama kita zaman dahulu sudah terlalu banyak yang mereka lakukan. Diantaranya adalah melakukan penelitian dengan menjadikan nash-nash syari’at, hukum-hukum yang digali padanya, ‘illat-‘illat dan hikmah-hikmahnya sebagai objek penelitian. Dari penelitian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa dibalik aturan-aturan syariat didalamnya terdapat suatu tujuan yang hendak dicapai, yakni terwujudnya kemaslahatan manusia di dunia dan di akherat.[4]
Kemaslahatan (maslahah) semakna dengan kebaikan dan kemanfaatan. Namun, yang dimaksud dengan maslahat dalam konteks ini adalah kebaikan dan kemanfaatan yang bernaung dibawah lima prisip pokok (al-kulliyat al-khams), yaitu perlindungan harta (khifzhu mâl), perlindungan jiwa (khifzhun nafs), perlindungan agama (khifdzud dîn), perlindungan akal (khifdzul ‘aql), dan perlindungan keturunan (khifdzun nasl).[5]
Selajutnya, perlu ditegaskan disini bahwa Islam bukanlah budaya, karena Islam bersifat illahiyah. Sementara yang budaya adalah sesuatu yang bersifat insanniyah. Akan tetapi, berhubung Islam juga dipraktikkan oleh manusia, maka pada satu dimensi ia bersifat insanniyah, dan karenanya tidak megancam eksistensi Islam dan kebudayaan. Untuk itu, Islam memiliki nabadiusy syari’ah atau prinsip-prinsip syari’ah. Prinsip syariat yang paling utama dan sekaligus sebagai ciri khas agama Islam yang paling menonjol adalah al-washathiyah. Dalam bahasa Indonesia al-washathiyah diterjemahkan dengan kata ‘moderasi’, makna yang lain dari al-waqi’iyah atau ‘realistis’. Realistis disini tidak berarti taslim atau menyerah pada keadaan yang terjadi atau menutup mata pada realita yang ada, akan tetapi selalu berusaha untuk menggapai keadaan ideal.
Maka dari itu, dalam hal ini Ahmad Baso menjelaskan bahwa Islam Nusantara adalah faham dan praktik keislaman di bumi Nusantara[6] sebagai hasil dialektika antara teks syari’at dengan realita dan budaya setempat.[7] Lebih lanjut Ahmad Baso melukiskan Islam Nusantara itu ibarat pertemuan dua bibit pohon unggulan yang berbeda jenis, namun ketika disatukan dengan proses persilangan akan menghasilkan sebuah bibit baru yang lebih unggul. Persilangan ‘Islam’ dan ‘Nusantara’ diperluakan untuk memperoleh ‘Genius Baru’ dengan karakter atau sifat-sifat unggulan yang diinginkan. Diharapkan dari persilangan ini akan muncul cara beragama dan peradaban baru dengan sifat-sifat unggulan baru sebagai hasil gabungan dua keunggulan tadi (Islam dan Nusantara). Genius baru itulah yang kemudian dinamakan ‘Din Arab Jawi’ atau Islam Nusantara. Pertemuan keduanya dibutuhkan untuk memberikan solusi pada masalah-masalah kemanusiaan umat manusia pada umumnya, dan juga secara khusus untuk masalah-masalah kebangsaan kita sebagai sebuah bangsa yang diikat dalam kesatuan darat dan laut Nusantara.[8]
Ketika Islam dan Nusantara digabungkan atau dipersilangkan, maka muncullah genius bibit baru bernama Islam Nusantara. Bibit ini akan tumbuh sehat dan mampu bertahan dalam situasi cengkraman lingkungan manapun, toleran dan adaptif terhadap lingkungannya, sehingga bisa tumbuh dan besar degan sehat, tidak cepat aus, rusak atau gagal tumbuh. Dengan persilangan dua spesies berbeda tersebut, maka diharapkan muncul varietas atau spesies baru yang memiliki sifat uggulan gabungan dari kedua induknya tersebut, yaitu Islam yang populis, memiliki kualitas peradaban yang tinggi serta tahan banting terhadap berbagai kondisi dan tantangan alam dan lingkungan. Dari spesies baru itulah yang dinamakan dengan Islam Nusantara.[9]
Menurut KH. Afifuddin Muhajir,[10] makna Islam Nusantara tidak lain adalah pemahaman, pengamalan dan penerapan Islam dalam segmen fiqih mu’amalah sebagai hasil dialektika antara nash, syari’at dan ‘urf, budaya dan realita di bumi Nusantara. Dalam istilah ‘Islam Nusantara’, tidak ada sentimen benci terhadap bangsa dan budaya negara manapun, apalagi negara Arab, khususnya Saudi sebagai tempat kelahiran Islam dan bahasanya menjadi bahasa Al-Qur’an.
Dalam ranah ini, kita bisa menyimpulkan secara sederhana bahwa Islam Nusantara adalah:
a)        Islam yang mengutamakan kesinambungan dan kontinuitas dengan budaya lokal.
b)       Islam yang mampu menampilkan keragaman-keragaman melalui relasinya dengan anasir-anasir lokal, karena kita telah tahu bahwa Nusantara sangat beragam, baik dari warisan sejarah maupun pengaruh geografis dan kawasan. Batasan di sini adalah ‘syariat Islam’ (sesuai tafsir yang dianggap otoritatif), apabila sesuai dengan syariat akan diadopsi (al-aadah muhakkamah: adat adalah hukum), bila bertentangan ada tiga sikap: (1) toleran (membiarkan dan menghormati asal tidak mengganggu, (2) membentuk subkultur (benteng) dalam masyarakat seperti: pesantren), atau; (3) melakukan perubahan secara bertahap dan menjauhi kekerasan.
c)        Islam yang melakukan perubahan dan pembaruan (transformasi) dengan mengedepankan perubahan yang terbatas, tidak radikal, ekstrim, menjauhi cara-cara kekerasan dan mencari jalan tengah, kompromi dan sintesis.
d)       Islam yang bertransformasi sebagai kekuatan kebangsaan dan kemajuan.
e)        Jalur dakwah Islam Nusantara melalui dilakukan melalui pendidikan, pelayanan sosial, kesenian dan budaya serta kegiatan-kegiatan kultural lainnya.
f)         Karakter Islam Nusantara adalah moderat (tawassuth), tidak ekstrim, dan tidak radikal, selalu mencari jalan tengah dan sintesis.
g)       Karakter Islam Nusantara adalah toleran (tasamuh) dan menjauhi fanatisme (ta’ashshub) dan kekerasan.
2.        Islam Nusantara dari Berbagai Pendekatan: Sosiologis, Filosofis dan Historis
a.       Sosiologis
Islam nusantara adalah Islam distingtif sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi destruktif dan vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial, budaya dan agama di Indonesia. Islam Nusantara yang kaya dengan warisan Islam menjadi harapan renaisans peradaban Islam global yang akan berakulturasi dengan tatanan dunia baru.
b.       Historis
Islam Nusantara adalah sebagai hasil ijma dan ijtihad para ulama Nusantara dalam melakukan istinbath terhadap al-muktasab min adillatiha-tafshiliyah. Islam Nusantara adalah idrakul hukmi min dalilihi ala sabili-rujhan. Islam Nusantara memberi karakter bermazhab dalam teks-teks para ulama Nusantara untuk menyambungkan kita dengan tradisi leluhur kita, untuk dihormati dan untuk kita teladani.
c.        Filosofis
Islam Nusantara adalah Islam sinkretik (penyesuaian antara aliran-aliran) yang merupakan gabungan dari nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal (non-teologis), budaya dan adat istiadat di tanah air.[11]
3.         Konsep Islam Nusantara
Konsep Islam Nusantara sebenarnya ialah mensinergikan ajaran Islam dengan adat istiadat lokal yang banyak tersebar di wilayah Indonesia. Menurut Said Aqil,[12] Islam di Indonesia tidak harus seperti Islam di Arab atau Timur  Tengah, yang menerapkan penggunaan gamis ataupun cadar. Islam Nusantara, tegasnya adalah Islam yang khas ala Indonesia.
Pada zaman Wali Songo, perpaduan tradisi lokal dengan ajaran Islam mulai dikembangkan. Salah satu contohnya adalah tradisi sesajen yang dulu dianut oleh nenek moyang Indonesia dari ajaran Hindu-Buddha. Akan tetapi oleh para Wali Songo, sesajen ditransformasikan menjadi tradisi selametan. Bila sesajen awalnya diniatkan mempersembahkan makanan kepada roh-roh gaib, namun dalam tradisi selametan, seperti makanan justru diberikan kepada seluruh umat Islam untuk kemudian diminta mendoakan pihak yang mengadakan selametan. Hal seperti ini hanya ditemukan di Indonesia, karena sejarah Indonesia yang sejak zaman dahulu sudah hidup dengan keragaman adat istiadat. Cara pendekatan budaya inilah yang dinamakan dengan Islam Nusantara.

B.      Islam Moderat Konteks Nusantara: Perspektif Historis
Dalam Islam, rujukan beragama memang satu, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits, namun fenomena menunjukkan bahwa wajah Islam adalah banyak. Ada berbagai golongan Islam yang terkadang mempunyai ciri khas sendiri-sendiri dalam praktek dan amaliyah keagamaan. Tampaknya perbedaan tersebut sudah menjadi kewajaran (sunatullah) dan bahkan sebagai rahmat. Dalah hal ini Quraish Shihab mencatat bahwa ‘Keanekaragaman dalam kehidupan merupakan keniscayaan yang dikehendaki Allah. Termasuk dalam hal ini perbedaan dan keanekaragaman pendapat dalam bidang ilmiah, bahkan keanekaragaman tanggapan manusia menyangkut kebenaran kitab-kitab suci, penafsiran kandungannya, serta bentuk pengamalannya’.[13]
Selanjutnya, yang menjadi permasalahan adalah dapatkah dari yang berbeda tersebut dapat saling menghormati, tidak saling menyalahkan, tidak menyatakan paling benar sendiri (truth claim) dan bersedia berdialog, sehingga tercermin bahwa perbedaan itu benar-benar rahmat. Jika ini yang dijadikan pijakan dalam beramal dan beragama, maka inilah sebenarnya makna konsep ‘Islam moderat’. Artinya, siapa pun orangnya yang dalam beragama dapat bersikap sebagaimana kriteria tersebut, maka dapat disebut berpaham Islam yang moderat. Walaupun dalam Islam sendiri konsep ‘Islam moderat’ tidak ada rujukannya secara pasti,[14] akan tetapi untuk membangun ber-Islam yang santun dan mau mengerti golongan lain, tanpa mengurangi prinsip-prinsi Islam yang sebenarnya, konsep ‘Islam moderat’ tampaknya patut diaktualisasikan.
Berpaham Islam moderat sebagaimana disebutkan diatas, sebenarnya tidaklah sulit mencari rujukannya dalam sejarah perkembangan Islam, baik di wilayah asal Islam itu sendiri maupun di Indonesia. Lebih tepatnya, Islam moderat dapat merujuk jika di wilayah tempat turunnya Islam, kepada praktek Islam yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw dan para Sahabatnya, khususnya khulafaur rashidin. Sedangkan dalam konteks Indonesia dapat merujuk kepada para penyebar Islam yang terkenal dengan sebutan Walisongo.
Generasi pengusung Islam moderat di Indonesia berikutnya, hanya sekedar miniatur, mungkin dapat merujuk kepada praktek Islam yang dilakukan organisasi semacam Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Ber-Islam dalam konteks Indonesia semacam ini lebih cocok diungkapkan. Meminjam konsepnya Syafi’i Ma’arif, dengan ber-‘Islam dalam Bingkai Keindonesiaan’.[15] Azyumardi Azra juga kerap menyebut bahwa Islam moderat merupakan karakter asli dari keberagamaan Muslim di Nusantara.[16]
Sebagaimana dikatakan bahwa ketika sudah memasuki wacana dialog peradaban, toleransi dan kerukunan, sebenarnya ajaran yang memegang dan mau menerima hal tersebut lebih tepat disebut sebagai moderat. Jadi, ajaran yang berorientasi pada perdamaian dan kehidupan harmonis dalam kebhinekaan, lebih tepat disebut moderat, karena gerakannya menekankan pada sikap menghargai dan menghormati keberadaan yang lain (the other). Term moderat adalah sebuah penekanan bahwa Islam sangat membenci kekerasan, karena bedasarkan catatan sejarah, tindak kekerasan akan melahirkan kekerasan baru. Padahal, Islam diturunkan Allah adalah sebagai rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh masyarakat dunia).[17]

C.      Akar Islam Moderat Indonesia: Embrio Lahirnya Islam Nusantara
Sejak kedatangan Islam di bumi Indonesia, sepanjang menyangkut proses penyebarannya sebagai agama dan kekuatan kultur, sebenarnya ia telah menampakkan keramahannya. Dalam konteks ini, Islam disebarkan dengan cara damai, tidak memaksa pemeluk lain untuk masuk agama Islam, menghargai budaya yang tengah berjalan, dan bahkan mengakomodasikannya ke dalam kebudayaan lokal tanpa kehilangan identitasnya. Ternyata sikap toleran inilah yang banyak menarik simpatik masyarakat Indonesia pada saat itu untuk mengikuti ajaran Islam. Sementara itu, Walisongo adalah arsitek yang handal dalam pembumian Islam di Indonesia.
Menurut catatan Abdurrahman Mas’ud,[18] Walisongo merupakan agen-agen unik Jawa pada abad XV-XVI yang mampu memadukan aspek-aspek spiritual dan sekuler dalam menyiarkan Islam. Posisi mereka dalam kehidupan sosio-kultural dan religius di Jawa begitu memikat hingga bisa dikatakan Islam tidak pernah menjadi the religion of Java, jika sufisme yang dikembangkan oleh Walisongo tidak mengakar dalam masyarakat. Rujukan ciri-ciri ini menunjukkan bahwa ajaran Islam yang diperkenalkan Walisongo di Tanah Jawa hadir dengan penuh kedamaian, walaupun terkesan lamban namun meyakinkan. Berdasarkan fakta sejarah bahwa dengan cara menoleransi tradisi lokal serta memodifikasinya ke dalam ajaran Islam dan tetap bersandar pada prinsip-prinsip Islam, agama baru ini dipeluk oleh bangsawan-bangsawan serta mayoritas masyarakat Jawa di pesisir utara.
Transmisi Islam yang dipelopori Walisonggo merupakan perjuangan brilian yang diimplementasikan dengan cara sederhana, yaitu menunjukkan jalan dan alternatif baru yang tidak mengusik tradisi dan kebiasaan lokal, serta mudah ditangkap oleh orang awam dikarenakan pendekatan-pendekatannya konkrit dan realistis, tidak njelimet, dan menyatu dengan kehidupan masyarakat. Model ini menunjukkan keunikan sufi Jawa yang mampu menyerap elemen-elemen budaya lokal dan asing, tetapi dalam waktu yang sama masih berdiri tegar di atas prinsip-prinsip Islam.[19]
Demikian pula dikatakan bahwa proses pergumulan Islam dengan kebudayaan setempat yang paling intensif terlihat pada zaman Walisongo. Masa ini merupakan masa peralihan besar dari Hindu-Jawa yang mulai pudar menuju fajar zaman Islam. Keramahan terhadap tradisi dan budaya setempat itu diramu menjadi watak dasar budaya Islam pesantren. Wajah seperti itulah yang manjadikan Islam begitu mudah diterima oleh berbagai etnis yang ada di Nusantara. Hal ini terjadi karena adanya kesesuaian antara agama baru (Islam) dan kepercayaan lama. Setidaknya, kehadiran Islam tidak mengusik kepercayaan lama, tetapi sebaliknya kepercayaan tersebut diapresiasi dan kemudian diintegrasikan ke dalam doktrin dan budaya Islam.[20]
Tampaknya Walisongo sadar, bagaimana seharusnya Islam dibumikan di Indonesia. Mereka paham bahwa Islam harus dikontekstualisasikan tanpa menghilangkan prinsip-prinsip dan esensi ajaran Islam serta sesuai dengan kondisi wilayah atau bumi tempat Islam disebarkan. Inilah yang kemudian dikenal dengan konsep ‘pribumisasi Islam’. Gagasan ini dimaksudkan untuk mencairkan pola dan karakter Islam sebagai suatu yang normatif dan praktek keagamaan menjadi sesuatu yang kontekstual. Dalam pribumisasi Islam tergambar bagaimana Islam sebagai ajaran yang normatif berasal dari Tuhan diakomodasikan kedalam kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing. Lebih konkritnya bahwa kontekstual Islam dipahami sebagai ajaran yang terkait dengan konteks zaman dan tempat. Perubahan waktu dan perbedaan wilayah menjadi kunci untuk kerja-kerja penafsiran dan ijtihad. Dengan demikian, Islam akan mampu terus memperbaharui diri dan dinamis dalam merespons perubahan zaman. Selain dari pada itu, Islam dengan gaya dinamis (lentur) mampu berdialog dengan kondisi masyarakat yang berbeda-beda dari sudut dunia yang satu ke sudut yang lain. Kemampuan beradaptasi secara kritis inilah yang sesungguhnya akan menjadikan Islam dapat benar-benar shalih li kulli zaman wa makan (cocok untuk setiap zaman dan tempat).[21]
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah praktek Islam sebagaimana yang diajarkan Walisongo dan diamalkan oleh sebagian besar masyarakat Jawa dapat disebut Islam kaffah atau Islam yang benar. Beragam pandangan pun muncul terkait dengan hal ini, baik dari beberapa golongan dalam Islam sendiri maupun para pengamat asing dan dalam negeri. Misalnya, Geertz adalah salah satu tokoh yang menyangsikan ke-Muslim-an mayoritas orang Jawa, karena fenomena sinkretisme begitu nyata di kalangan mereka.[22]
Cliffort Geertz merupakan tokoh penting dalam studi Islam Jawa yang mengatakan praktek keagamaan orang Jawa campur aduk dengan unsur-unsur tradisi-tradisi non Islam. Menurutnya, kelompok priyayi dan abangan dengan jelas mencerminkan tipisnya pengaruh Islam dalam kehidupan orang Jawa. Bahkan, dalam pandangannya, kelompok yang diangap paling Islami, yaitu santri tidak terlepas dari pengaruh tradisi pra-Islam. Identitas ke-Islaman orang Jawa kurang lebih sama dengan ‘Islam Nominal’.[23]
Sebaliknya, pengamat lain menyebutkan, mungkin benar bahwa Islam di Asia Tenggara secara geografis adalah periferal (Islam nominal) atau Islam yang jauh dari bentuk ‘asli’ yang terdapat dan berkembang dipusatnya, yaitu Timur Tengah. Akan tetapi, Islam di Asia Tenggara periferal dari segi ajaran perlu diuji secara kritis. Jadi, tidak berarti tradisi intelektual yang berkembang di Asia Tenggara sejak masa awalnya terlepas dari ‘tradisi besar’ Islam. Bahkan―khususunya sejak abad ke-17―dapat disaksikan semakin tingginya intensitas dan kontak intelektual keagamaan antara Timur Tengah dengan Nusantara, yang pada esensinya bertujuan mendekatkan ‘tradisi lokal’ Islam di Asia tenggara dengan ‘tradisi besar’ (tradisi normatif dan idealistik) sebagaimana terdapat dalam sumber-sumber pokok ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan Sunnah.[24]
Demikian pula, berdasarkan kesimpulan Mark Woodward, kalau ditelaah secara mendalam dan ditinjau dari segi perspektif Islam secara luas, didapati bahwa hampir seluruh ajaran, tradisi dan penekanan yang bersifat spiritual yang selama ini berkembang dalam masyarakat Jawa pada dasarnya bersumber dari ajaran Islam di Timur Tengah. Apa yang dikenal dalam upacara keagamaan Jawa, seperti grebeg, selametan, kalimasodo dan sebagainya adalah bagian dari ajaran Islam. Selain itu, doktrin Kawula Gusti, Martabat Tujuh[25] dan tradisi wayang yang dikenal dan dilestarikan dalam masyarakat Jawa, dapat ditelusuri asal usulnya dari tradisi tasawuf Islam.[26]
Sejalan dengan pernyataan Woodward dan Azra, dapatlah dibenarkan bahwa tidak satu pun budaya di dunia ini yang tidak sinkretik, karena semua budaya pasti memiliki aspek historisnya yang tidak tunggal dan dengan demikian bersifat sinkretik.[27] Baik agama maupun budaya tidak dapat mengelak dari proses yang tak mungkin terhindarkan, yakni perubahan. Memang benar, ajaran agama sebagaimana tercantum secara tekstual dalam kitab suci, kata demi kata tetap seperti keadaannya semula. Akan tetapi, begitu ajaran agama harus dipahami, ditafsirkan dan diterjemahkan ke dalam perbuatan nyata dalam suatu setting budaya, politik dan ekonomi tertentu, maka pada saat itu pemahaman yang didasari ajaran agama tersebut pada dasarnya telah berubah menjadi kebudayan.[28]
Menurut Fazlur Rahman, memang secara historis sumber utama Islam adalah wahyu Ilahi yang kemudian termuat dalam kitab yang disebut al-Qur’an. Namun, kitab ini tidak turun sekaligus dalam jangka waktu berbarengan, melainkan turun sedikit demi sedikit dan baru terkumpul setelah beberapa puluh tahun lamanya. Oleh karena itu, wahyu jenis ini merupakan reaksi dari kondisi sosial-historis yang berlangsung pada saat itu. Hubungan antara pemeluk dan teks wahyu dimungkinkan oleh aspek normatif wahyu itu, adapun pola yang berlangsung berjalan melalui cara interpretasi (penafsiran). Teks tidak pernah berbicara sendiri, dan ia akan bermakna jika dihubungkan dengan manusia. Apa yang diperbuat, disetujui dan dikatakan oleh Rasul adalah hasil usaha (ijtihad) Rasul memahami dimensi normatif wahyu. Sementara itu, upaya interpretasi Rasul terhadap teks dipengaruhi oleh situasi historis yang bersifat partikular pada masanya. Bahkan, tidak jarang Rasul sendiri sering mengubah interpretasi-nya terhadap al-Qur’an jika diperlukan.[29]
Terjadinya pluralitas budaya dari penganut agama yang sama tidak mungkin dihindari ketika agama tersebut telah menyebar ke wilayah begitu luas dengan latar belakang kultur yang beraneka ragam. Dalam interaksi dan dialog antara ajaran agama dengan budaya lokal yang lebih bersifat lokal itu, kuat atau lemahnya akar budaya yang telah ada sebelumnya dengan sendirinya akan sangat menentukan terhadap seberapa dalam dan kuat ajaran agama yang universal mencapai realitas sosial budaya lokal. Pluralitas wajah agama itu dapat pula diakibatkan respons yang berbeda dari penganut agama yang sama terhadap kondisi sosial, budaya maupun ekonomi yang mereka hadapi. Dari perspektif inilah dapat diterangkan mengapa, misalnya, gerakan Islam yang selama ini dikenal sebagai ‘modernis’, yakni Muhammadiyah cenderung memperoleh dukungan yang kuat didaerah perkotaan, sedangkan NU yang sering disebut sebagai golongan ‘tradisional’ memperoleh pengaruh luas di daerah pedesaan.[30]
Jadi, yang perlu digarisbawahi disini adalah meskipun suatu agama itu diajarkan oleh Nabi yang satu dan kitab suci yang satu pula, tetapi semakin agama tersebut berkembang dan semakin besar jumlah penganutnya serta semakin luas daerah pengaruhnya, maka akan semakin sukar pula kesatuan wajah dari agama tersebut dapat dipertahankan. Karena, sewaktu ajaran dan agama yang berasal dari langit itu hendak dilendingkan ke dataran empirik, maka mau tidak mau harus dihadapkan dengan serangkaian realitas sosial budaya yang ada.
Sekali lagi, perselingkuhan antara agama dan tradisi adalah sunatullah. Tradisi adalah pemikiran manusia yang profan atas teks-teks keagamaan yang sakral. Dengan demikian, relasi Islam dan tradisi dalam pemikiran umat Islam sangatlah erat. Memahami Islam tanpa sokongan penguasaan warisan intelektual para pendahulu amat sulit mencapai titik kesempurnaan. Oleh sebab itu, dalam kaitan ini, Ahmad Baso mencirikan Islam Nusantara sebagai cara bermazhab secara qauli dan manhaji dalam beristimbath tentang Islam dari dalil-dalilnya yang disesuaikan dengan teritori, wilayah, kondisi alam dan cara pengalamannya penduduk kita.[31] Atau dengan kata lain bahwa semua kekayaan di Nusantara menjadi sumber inspirasi bagi para ulama untuk memberikan warna, suara da substansi terhadap Islam itu sendiri. Baik alamnya, airnya, lautnya, tanahnya maupun kultur dan peradabannya serta semua kekayaan Nusantara menjadi rujukan dalam berijtihad.[32]
Dalam kaitannya dengan Islam Nusantara, maka kita dapat menghitung beberapa sifat unggulan yag dimilikiya. Diantaranya adalah sikap adaptif, fleksibel, toleran, multikultural, berdaya tahan kuat dan awet dalam zaman manapun, guyub, kolektif atau komual, yakni ada musyawarah mufakat, konsensus dan ijma’, mengedepankan suri tauladan, sopan santun beradab, tidak merugikan orag lain, teposliro, salig membantu, kekerabatan dan kekeluargaan serta gotog royong.

D.     Konklusi
Kita tidak bisa mendikotomi (mengkotak-kotakkan) sebuah gerakan atau term Islam selama itu demi kemaslahatan bersama, dan sesuai dengan tuntunan agama. Term Islam Nusantara merupakan gagasan brilian untuk membumikan Islam yang damai dan toleran serta sebagai antitesis dari gerakan Islam yang ada di Syiria dan Iraq yang menampilkan wajah Islam yang sangat bertentangan dengan prinsip Islam yang termaktub didalam al-Qur’an, yaitu Islam rahmatan lil ’alamin.
Islam Nusantara merupakan Islam yang tetap berpegang teguh pada aqidah Tauhid yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw. Islam yang dekat dengan budaya dengan tetap berdampingan dengan Islam, selagi budaya itu tidak menyimpang dari ajaran Islam. Karakteristik Islam Nusantara yaitu  toleran dan cinta damai. Penjiwaan dari rahmatan lil alamin yaitu Islam yang merangkul, menuntun, memakai hati, mengajak taubat serta memberikan pemahaman. Sedangkan prinsip Islam itu sendiri yaitu keselarasan dengan budaya setempat, sehingga terciptanya Islam yang indah dan harmonis.
Maka dari itu, Islam di Indonesia tidak harus seperti Islam yang ada di Arab, melainkan Islam yang mempunyai ciri khas dari Indonesia, atau yang sering disebut dengan Islam ala Indonesia, yaitu Islam yang tetap mempertahankan budaya asli Indonesia dengan tidak melupakan ajaran-ajaran Islam yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw. Prinsip Islam dalam beradaptasi dengan budaya yaitu menjadikan Islam dengan keragaman akibat perbedaan kebudayaan dimasing-masing daerah.
Maka dari itu, umat Islam Indonesia saat ini harus memikirkan untuk bagaimana merumuskan sebuah gerakan yang mampu mengkotomi dan merangkul seluruh ormas yang saling bersinggungan dan berbeda faham. Perbedaan pemahaman yang dianut pada hakikatnya adalah suatu kewajaran, akan tetapi fanatisme golongan yang berlebihan tidak boleh untuk ditampilkan apalagi dipelihara, karena itu semua akan memberikan dampak negatif yang akan berimbas pada kesatuan umat Islam dan juga bangsa Indonesia. Islam merupakan sesuatu bagian, sedangkan umat Islam adalah bagian yang lain. Meski berbeda, namun merupakan sebah sistem dan kesatuan yang utuh dan tidak bisa dipisahkan.

Daftar Pustaka

Referensi Buku:
Abdurrahman Mas’ud. (2006). Dari Haramain ke Nusantara; Jejak Intelektual Arsitek Pesantren. Jakarta: Kencana.
Achmad  Amiruddin, et.all. (1997). Keluar  dari Kemelut Pendidikan Nasional. Jakarta: Intermasa.
Ahmad Baso.(2015). Islam Nusantara; Ijtihad Jenius & Ijma’ Ulama Indonesia. Jakarta: Pustaka Afid.
Ahmad Syafi’i Ma’arif. (2009). Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan; Sebuah Refleksi Sejarah. Bandung: Mizan.
Alwi Shihab. (1997). Islam Inklusif; Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama. Bandung: Mizan.
Azyumardi Azra. (2000). Renaisans Islam Asia Tenggara; Sejarah Wacana dan Kekuasaan. Bandung: Rosdakarya.
Badrus Sholeh (ed.). (2007). Budaya Damai Komunitas Pesantren. Jakarta: LP3ES.
Bambang Pranowo. (1999). Islam Faktual; Antara Tradisi dan Relasi Kuasa. Yogyakarta: Adicit.
Hendro Prasetyo. (1994). Mengislamkan Orang Jawa; Antropologi Baru Islam Indonesia. Islamika No.3, Januari-Maret.
Imdadun Rahmat, et all. (2003). Islam Pribumi; Mendialogkan Agama Membaca Realitas. Jakarta: Erlangga.
M. Quraish Shihab. (2007). Secercah Cahaya Ilahi; Hidup Bersama al-Qur’an. Bandung: Mizan.
Said Aqil Siroj. (2015). Islam Sumber Inspirasi Budaya Nusantara Menuju Masyarakat Mutamaddin. Jakarta: LTN NU.

Referensi Internet:
Hafizhuddin. (2015). Mengeal Istilah Islam Nusantara; Konsep dan Polemiknya, dalam https://hafizhuddin30.wordpress.com/tag/pengertian-islam-nusantara/. Diakses pada 22 Juli.
Islam Nusantara. (2016). Makalah Studi Islam tentang Islam Nusantara, dalam http://kelompok8studis.blogspot.co.id/2016/04/makalah-studi-islam-tentang-islam.html. Diakses pada Sabtu, 16 April.
KH. Afifuddin Muhajir. (2015). Maksud Istilah Islam Nusantara, dalam http://www.nu.or.id/post/read/60458/maksud-istilah-islam-nusantara. Diakses pada Sabtu, 27 Juni.
M. Hilaly Basya. (2009). Menelusuri Artikulasi Islam Moderat di Indonesia, dalam http://www.madina sk.com/index.php?option=com, diakses tanggal 23 Juli.




[1] Ahmad Baso, Islam Nusantara; Ijtihad Jenius & Ijma’ Ulama Indonesia, Cet. I, (Jakarta: Pustaka Afid, 2015), hal. xvii.
[2] Said Aqil Siroj, Islam Sumber Inspirasi Budaya Nusantara Menuju Masyarakat Mutamaddin, Cet. II, (Jakarta: LTN NU, 2015), hal. 203.
[3] Sebutan Indonesia baru muncul di Aceh diparuh kedua abad 19, yang kemudian menjadi nama negara kita sekarag. Sebelum istilah itu muncul, bangsa kita mengenal sebutan al-Jawidari masa Wali Songo. Itu pula yang dikenal di dunia Islam. Di Makkah dari abad 16, dan di Kairo  sejak pertengahan abad 19 ada sebuah kampung atau pemukiman dengan nama al-Jawi, yang berarti Nusantara, dimana Singapura, malay, Malaka dan Patani (masuk wilayah Thailand kini) juga ikut masuk kedalamnya. Lihat Ahmad Baso, Op. Cit., hal. 6.
[4] Ahmad Baso, Op. Cit., hal. xi.
[5] Achmad Amiruddin, et.all., Keluar  dari Kemelut Pendidikan Nasional, Cet. I, (Jakarta: Intermasa, 1997), hal. 12-14.                            
[6] Nusantara itu berarti negeri pulau-pulau luar. Majapahit menggunakan istilah untuk menyebut negeri-negeri diluar pusat kekuasaan Majapahit, seperti pulau-pulau diluar Jawa. Nama Nusantara berasal dari dua kata bahasa Sansekerta, yaitu nusa yang berarti ‘pulau’, dan antara yang berarti ‘luar’. Nusantara digunakan untuk menyebut pulau-pulau diluar Majapahit (Jawa). Perkataan Nusantara kita dapatkan dari Sumpah Palapa Patih Gajah Mada yang diucapkan dalam upacara pengangkatannya menjadi Patih Amangkubhumi Kerajaan Majapahit (tahun 1258 Saka/ 1336 M) yang tertulis dalam Kitab Pararaton (Raja-Raja). Dalam Sumpahnya itu disebut kata-kata ‘lamun huwus kalah nusantara’ (Jika telah mengalahkan Nusantara). Lihat Ahmad Baso, Op. Cit., hal. 4.
[7] Lihat Ibid., hal. xiv-xvi.
[8] Ibid., hal. 15-16.
[9] Ibid., hal. 17-18.

[10] Afifuddin Muhajir, Maksud Istilah Islam Nusantara, dalam

http://www.nu.or.id/post/read/60458/maksud-istilah-islam-nusantara. Diakses pada Sabtu 27 Juni 2015 17:01.

[11] Islam Nusantara, Makalah Studi Islam tentang Islam Nusantara, dalam
[12] Hafizhuddin, Mengeal Istilah Islam Nusantara; Konsep dan Polemiknya, dalam
[13] M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi; Hidup Bersama al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2007), hal. 52.
[14] Hanya saja istilah ‘Islam moderat’ mungkin lebih dekat dengan konsep ummatan wasathan (menjadi umat yang tengah-tengah), terutama dalam amaliyah keagamaan.
[15] Lihat Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan; Sebuah Refleksi Sejarah, (Bandung: Mizan, 2009).
[16] Lihat M. Hilaly Basya, Menelusuri Artikulasi Islam Moderat di Indonesia, dalam
http://www.madina sk.com/index.php?option=com, diakses tanggal 23 Juli 2009.
[17] Ibid.
[18] Abdurrahman Mas’ud, Dari Haramain ke Nusantara; Jejak Intelektual Arsitek Pesantren, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 54-58.
[19] Ibid., hal. 67.
[20] Abdul Mun’im DZ, Pergumulan Pesantren dengan Kebudayaan, dalam Badrus Sholeh (ed.), Budaya Damai Komunitas Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 2007), hal. 41.
[21] M. Imdadun Rahmat, Islam Pribumi, Islam Indonesia, dalam M. Imdadun Rahmat, et all., Islam Pribumi; Mendialogkan Agama Membaca Realitas, (Jakarta: Erlangga, 2003), hal. xx-xxi.
[22] Ahmad Syafi’i Ma’arif, Op. Cit., hal. 60-61.
[23] Hendro Prasetyo, Mengislamkan Orang Jawa; Antropologi Baru Islam Indonesia, (Islamika No.3, Januari-Maret, 1994), hal. 75.
[24] Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara; Sejarah Wacana dan Kekuasaan, (Bandung: Rosdakarya, 2000), hal. 8.
[25] Sufi lain yang juga terkenal adalah Syamsuddin Sumatrani (w. 1039 H/1630 M). Ia mungkin murid Hamzah Fansuri dan sebagai perumus ajaran martabat tujuh pertama di Nusantara beserta pengaturan nafas pada waktu dzikir. Syamsuddin diduga berafiliasi dengan tarekat Syattariyyah, karena ia mengadopsi ajaran martabat tujuh. Kemudian Muhammad ibn Fadhlullah al-Burhanpuri (w. 1519 M) yang berafiliasi kepada tarekat Syattariyyah, melalui adaptasi dari teori emanasi Ibn al-‘Arabi. Tarekat ini menjadi sangat populer di kalangan orang-orang Nusantara setelah kematiannya.
[26] Alwi Shihab, Islam Inklusif; Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan, 1997), hal. 314.
[27] Ibid., hal. 79.
[28] Bambang Pranowo, Islam Faktual; Antara Tradisi dan Relasi Kuasa, (Yogyakarta: Adicita, 1999), hal. 20.
[29] Hendro Prasetyo, Op. Cit., hal. 80.
[30] Bambang Pranowo, Op. Cit., hal. 19.
[31] Ahmad Baso, Op. Cit., hal. 18.
[32] Ibid., hal. 21.
Previous Post
Next Post

Penulis yang mengabdikan tulisannya bagi amal jariyah pemikiran. Tokoh favorit sekaligus panutannya adalah Gus Dur