Prawacana
Diskursus keislaman tidak akan pernah habis untuk dibicarakan
dan didiskusikan oleh kalangan umat manusia, terutama bagi kalangan pemuda Islam
yang notaben-nya masih dalam keadaan fress dan jernih untuk melakukan
sebuah aktivitas berfikir. Islam akan selalu mengikuti perkembangan zaman
melalui kerangka pemahaman baru dan reinterpretasi
mengenai doktrinasinya atas situasi-situasi yang berkembang.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Islam adalah likulli
zaman wal makan. Islam akan selalu mempunyai pandangan tersendiri terkait
dengan pola perkembangan yang menyertainya. Sebagaimana kita lihat, banyak
tokoh-tokoh Islam Indonesia ataupun Timur Tengah yang merekontruksi tentang
studi keislaman dengan tujuan agar Islam dapat bersaing dengan peradaban Barat
dan mencari pemaknaan baru terkait pemahaman Islam yang sesuai dengan semangat
zaman.
Dengan bergulirnya waktu―khususnya pada Abad 19-20―gagasan-gagasan
mengenai studi keislaman mulai bermunculan dan bertebaran. Hal ini disebab oleh
tantangan zaman yang bernama modernitas melalui praktek-praktek globalisasi
yang sudah memasuki sendi-sendi kehidupan untuk membawa masyarakat yang materialistik dan hedonis, bahkan sampai pada kolonialisme dan imperalisme. Di sisi lain, ada faktor internal umat Islam sendiri
yang mempunyai cara pandang berbeda-beda terkait kerangka diskursus
keislamaman, sehingga membuat umat Islam kehilangan konsentrasi dan substansi
dari doktrinasi Islam itu sendiri.
Islam secara tegas memerintahkan umatnya untuk berbuat
kebaikan kepada seluruh makhluk Allah. Islam mengajarkan untuk berbuat adil,
toleran, kasih sayang dan saling kasih mengasihi kepada seluruh makhluk.
Demikian pula, Islam tidak pernah mengajarkan untuk melakukan kekerasan,
anarkisme, radikalisme dan terorisme, bahkan Islam jusru mengutuk seluruh
tindakan negatif ini.
Namun akhir-akhir ini kemurnian Islam tercoreng oleh
sederet aksi terorisme yang dilakukan oleh meraka―yang mengatasnamakan Islam.
Mereka meyakini tindakan anarkis dan radikal yang mereka lancarkan sebagai jihad. Konsekweksi logis dari sederet
tindakan terorisme ini tentu sangat fatal. Islam kemudian dijadikan sebagai ‘si
tertuduh’. Islam kemudian disorot, dikritik, dikecam dan bahkan diberi label sebagai
agama teroris. Sikap curiga, benci serta ketakutan yang berlebihan terhadap
Islam kemudian memunculkan apa yang dikenal dengan istilah Islamo-phobia. Islam
digambarkan sebagai ancaman yang harus dimusnahkan.
Untuk menjawab tuduhan-tuduhan tersebut dan sekaligus
sebagai usaha meneguhkan kembali Islam sebagai agama yang ramah dan rahmat (rahmatan lil ‘alamin), maka dalam
konteks hari ini Islam harus mampu mengakomodasi semua kebudayaan
dan perabadan manusia diseluruh dunia. Sebab, ajaran Islam mengenai aspek
kehidupan berbangsa dan bernegara akan terwujud secara substansial tanpa
menekankan simbol ritual dan tekstual. Ajaran Islam bukanlah agama ‘baru’, melainkan agama yang
sudah dikenal dan dijalankan oleh umat manusia sepanjang zaman, karena sejak
semula telah terbit dari fitrah-nya
bahwa Islam adalah sebagai agama yang benar, agama yang sejati dan sebagai
agama yang mengutamakan perdamaian. Untuk itu―sebagai agama rahmatan lil ‘alamîn―Islam harus mampu mengakomodasi
semua kebudayaan dan perabadan manusia diseluruh dunia.
Pemahaman, pengalaman dan metode dakwah ulama Nusantara sejauh ini telah
memberikan kesan yang baik, yaitu Islam Nusantara yang tampil dengan wajah sumringah dan tidak pongah, namun Islam yang toleran dan tidak plin plan serta permai
nan damai. Maka dari itu, cara berislam penuh damai sebagaimana di Nusantara
ini kembali terafirmasi sebagai hasil tafsir yang paling memadai untuk masa
kini.[1]
Memahami gagasan Islam Nusantara, secara sederhana adalah
ajaran-ajaran Islam yang dikontekstualkan dan disesuaikan dengan
prinsip-prinsip budaya dan akar tradisi yang ada di Nusantara. Islam yang
dibawa dan digagas bukanlah Islam yang berdasarkan pada ajaran Islam yang
berkembang di Jazirah Arab, tetapi Islam yang berdasarkan pada kearifan lokal (local wisdom) pada suatu daerah. Jika Islam
berdasarkan pada nilai-nilai kebudayaan dan nilai-nilai tradisi, maka Islam
akan di terima oleh masyarakat, dan akan dikenal sebagai Islam yang ramah dan
menghargai pengetahuan lokal. Said Aqil Siroj menjelaskan bahwa mengkaji Islam
Nusantara dengan perspektif kenusantaraan ini diharapkan mampu memiliki
keunggulan dibidang akurasi
(ketepatan) dan profonditas
(kedalaman), dengan demikian akan memperkokoh serta memiliki otoritas yang lebih
tinggi dibanding pengkaji Islam.[2]
Oleh sebab itu, dapat dikatakan disini bahwa proses
kontektualisasi ajaran-ajaran Islam dan budaya Nusantara merupakan suatu
keniscayaan untuk proses penyebaran pemahaman Islam saat ini. Akulturasi ajaran
Islam dan budaya Nusantara (Indonesia saat ini)[3]
menjadi kekuatan dan titik kunci untuk suksesnya sebuah pemikiran dan gerakan
Islam yang ramah, toleran dan damai untuk diperkenalkan pada masyarakat dunia
saat ini.
A. Pegertian Islam Nusantara
Pertama-tama dalam memahami Islam
Nusantara harus meyakini bahwa terdapat dimensi keagamaan dan budaya yang
saling berjalin-kelindan satu sama lain. Dimensi ini adalah suatu cara Islam
berkompromi dengan batas wilayah teritorial yang memiliki akar budaya tertentu.
Hal ini mengakibatkan Islam sepenuh-penuhnya tidak lagi menampilkan diri secara
kaku dan tertutup, namun menghargai keberlainan. Islam dengan begitu sangat
mengakomodir nilai-nilai yang sudah terkandung dalam suatu wilayah tertentu.
Dari pernyataan di atas akhirnya meluas
ke domain tentang apa itu Islam Nusantara, apakah Islam yang ada di Nusantara
ataukah Islam yang bersifat Nusantara? Pertanyaan pertama, merujuk pada
wilayah, sedangkan yang kedua lebih kepada nilai-nilai khas. Dengan kata lain,
masih terjadi ambiguitas mengenai term
Islam Nusantara itu sendiri. Kalau Nusantara dimaknai sebagai tempat atau
wilayah maka sebutan Islam Nusantara haruslah mencatut semua aliran maupun
ormas Islam yang ada di Indonesia. Berarti Islam Nusantara semata-mata bukan
hanya milik atau ciri khas Kaum Nahdliyin.
Begitupula sebaliknya, bila Nusantara dimaknai sebagai nilai-nilai khas,
itu berarti mencatut watak dan karakteristik Islam di Indonesia yang di
dalamnya memuat unsur-unsur ibadah mahdoh dan muamalah. Paradoks
definitif seperti ini ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia saja, di
Amerika pun juga demikian. Di sana juga ada dua term, yaitu American Islam dan
Islam in America.
Berangkat dari problematika di atas,
tulisan sederhana ini bertujuan mencari titik temu (meeting point) atas
silang sengkarut paham keagamaan yang kerap terjadi di Indonesia. Berpijak dari
kerangka epistemologis dan historis, tulisan ini berusaha menjawab berbagai
pertanyaan mengenai mahkluk apa itu Islam Nusantara dan sekaligus menjawab
tudingan miring tentang term sebuah makna dari Islam Nusantara yang sedang
hangat-hangatnya diperdebatan sejumlah
pakar ilmu-ilmu keislaman.
1.
Pengertian
Islam Nusantara adalah
istilah yang akhir-akhir ini mengundang banyak perdebatan sejumlah pakar
ilmu-ilmu keislaman. Sebagian menerima dan sebagian menolak. Alasan penolakan
mungkin karena istilah tersebut tidak sejalan dengan keyakinan bahwa Islam itu
satu dan merujuk pada yang satu (sama), yaitu al-Qur’an dan Sunnah.
Memang benar adanya bahwa Islam itu hanya satu dan
memiliki lansadasan yang satu. Akan tetapi, selain memiliki landasan nash-nash
syari’at (al-Qur’an dan Sunnah),
Islam juga memiliki acuan maqashid
syari’ah (tujuan syariat). Sedangkan maqashid
syari’ah sendiri digali dari nash-nash
syari’ah melalui sekian istiqra’
(penelitian induktif).
Ulama kita zaman dahulu sudah terlalu banyak yang mereka
lakukan. Diantaranya adalah melakukan penelitian dengan menjadikan nash-nash syari’at, hukum-hukum yang
digali padanya, ‘illat-‘illat dan
hikmah-hikmahnya sebagai objek penelitian. Dari penelitian tersebut diperoleh
kesimpulan bahwa dibalik aturan-aturan syariat
didalamnya terdapat suatu tujuan yang hendak dicapai, yakni terwujudnya
kemaslahatan manusia di dunia dan di akherat.[4]
Kemaslahatan (maslahah)
semakna dengan kebaikan dan kemanfaatan. Namun, yang dimaksud dengan maslahat dalam konteks ini adalah
kebaikan dan kemanfaatan yang bernaung dibawah lima prisip pokok (al-kulliyat al-khams), yaitu
perlindungan harta (khifzhu mâl),
perlindungan jiwa (khifzhun nafs),
perlindungan agama (khifdzud dîn),
perlindungan akal (khifdzul ‘aql),
dan perlindungan keturunan (khifdzun nasl).[5]
Selajutnya, perlu ditegaskan disini bahwa Islam bukanlah
budaya, karena Islam bersifat illahiyah.
Sementara yang budaya adalah sesuatu yang bersifat insanniyah. Akan tetapi, berhubung Islam juga dipraktikkan oleh
manusia, maka pada satu dimensi ia bersifat insanniyah,
dan karenanya tidak megancam eksistensi Islam dan kebudayaan. Untuk itu, Islam
memiliki nabadiusy syari’ah atau
prinsip-prinsip syari’ah. Prinsip syariat yang paling utama dan sekaligus
sebagai ciri khas agama Islam yang paling menonjol adalah al-washathiyah. Dalam bahasa Indonesia al-washathiyah diterjemahkan dengan kata ‘moderasi’, makna yang
lain dari al-waqi’iyah atau ‘realistis’.
Realistis disini tidak berarti taslim
atau menyerah pada keadaan yang terjadi atau menutup mata pada realita yang
ada, akan tetapi selalu berusaha untuk menggapai keadaan ideal.
Maka dari itu, dalam hal ini Ahmad Baso menjelaskan bahwa
Islam Nusantara adalah faham dan praktik keislaman di bumi Nusantara[6]
sebagai hasil dialektika antara teks syari’at dengan realita dan budaya setempat.[7]
Lebih lanjut Ahmad Baso melukiskan Islam Nusantara itu ibarat pertemuan dua
bibit pohon unggulan yang berbeda jenis, namun ketika disatukan dengan proses
persilangan akan menghasilkan sebuah bibit baru yang lebih unggul. Persilangan
‘Islam’ dan ‘Nusantara’ diperluakan untuk memperoleh ‘Genius Baru’ dengan
karakter atau sifat-sifat unggulan yang diinginkan. Diharapkan dari persilangan
ini akan muncul cara beragama dan peradaban baru dengan sifat-sifat unggulan
baru sebagai hasil gabungan dua keunggulan tadi (Islam dan Nusantara). Genius
baru itulah yang kemudian dinamakan ‘Din
Arab Jawi’ atau Islam Nusantara. Pertemuan keduanya dibutuhkan untuk
memberikan solusi pada masalah-masalah kemanusiaan umat manusia pada umumnya,
dan juga secara khusus untuk masalah-masalah kebangsaan kita sebagai sebuah
bangsa yang diikat dalam kesatuan darat dan laut Nusantara.[8]
Ketika Islam dan Nusantara digabungkan atau
dipersilangkan, maka muncullah genius bibit baru bernama Islam Nusantara. Bibit
ini akan tumbuh sehat dan mampu bertahan dalam situasi cengkraman lingkungan
manapun, toleran dan adaptif terhadap lingkungannya, sehingga bisa tumbuh dan
besar degan sehat, tidak cepat aus, rusak atau gagal tumbuh. Dengan persilangan
dua spesies berbeda tersebut, maka diharapkan muncul varietas atau spesies baru yang memiliki sifat uggulan gabungan
dari kedua induknya tersebut, yaitu Islam yang populis, memiliki kualitas
peradaban yang tinggi serta tahan banting terhadap berbagai kondisi dan tantangan
alam dan lingkungan. Dari spesies baru itulah yang dinamakan dengan Islam
Nusantara.[9]
Menurut KH. Afifuddin Muhajir,[10] makna Islam Nusantara tidak lain adalah pemahaman,
pengamalan dan penerapan Islam dalam segmen fiqih mu’amalah sebagai hasil
dialektika antara nash, syari’at dan ‘urf, budaya dan realita di bumi
Nusantara. Dalam istilah ‘Islam Nusantara’, tidak ada sentimen benci terhadap
bangsa dan budaya negara manapun, apalagi negara Arab, khususnya Saudi sebagai
tempat kelahiran Islam dan bahasanya menjadi bahasa Al-Qur’an.
Dalam ranah ini, kita bisa menyimpulkan secara sederhana
bahwa Islam Nusantara adalah:
a)
Islam yang
mengutamakan kesinambungan dan kontinuitas dengan budaya lokal.
b)
Islam yang
mampu menampilkan keragaman-keragaman melalui relasinya dengan anasir-anasir
lokal, karena kita telah tahu bahwa Nusantara sangat beragam, baik dari warisan
sejarah maupun pengaruh geografis dan kawasan. Batasan di sini adalah ‘syariat
Islam’ (sesuai tafsir yang dianggap otoritatif), apabila sesuai dengan syariat
akan diadopsi (al-aadah muhakkamah: adat
adalah hukum), bila bertentangan ada tiga sikap: (1) toleran (membiarkan
dan menghormati asal tidak mengganggu, (2) membentuk subkultur (benteng) dalam masyarakat seperti:
pesantren), atau; (3) melakukan perubahan secara bertahap dan menjauhi kekerasan.
c)
Islam yang
melakukan perubahan dan pembaruan (transformasi)
dengan mengedepankan perubahan yang terbatas, tidak radikal, ekstrim, menjauhi
cara-cara kekerasan dan mencari jalan tengah, kompromi dan sintesis.
d)
Islam yang
bertransformasi sebagai kekuatan kebangsaan dan kemajuan.
e)
Jalur dakwah
Islam Nusantara melalui dilakukan melalui pendidikan, pelayanan sosial,
kesenian dan budaya serta kegiatan-kegiatan kultural lainnya.
f)
Karakter
Islam Nusantara adalah moderat (tawassuth),
tidak ekstrim, dan tidak radikal, selalu mencari jalan tengah dan sintesis.
g)
Karakter
Islam Nusantara adalah toleran (tasamuh)
dan menjauhi fanatisme (ta’ashshub) dan
kekerasan.
2.
Islam Nusantara dari Berbagai Pendekatan: Sosiologis, Filosofis dan
Historis
a. Sosiologis
Islam nusantara adalah Islam distingtif sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi destruktif dan vernakularisasi Islam universal dengan
realitas sosial, budaya dan agama di Indonesia. Islam Nusantara yang kaya
dengan warisan Islam menjadi harapan renaisans
peradaban Islam global yang akan berakulturasi dengan tatanan dunia baru.
b.
Historis
Islam Nusantara adalah sebagai hasil ijma dan ijtihad para ulama Nusantara dalam melakukan istinbath terhadap al-muktasab
min adillatiha-tafshiliyah. Islam Nusantara adalah idrakul hukmi min dalilihi ala sabili-rujhan. Islam Nusantara
memberi karakter bermazhab dalam teks-teks para ulama Nusantara untuk
menyambungkan kita dengan tradisi leluhur kita, untuk dihormati dan untuk kita
teladani.
c.
Filosofis
Islam Nusantara adalah Islam sinkretik (penyesuaian antara aliran-aliran) yang merupakan
gabungan dari nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal (non-teologis), budaya dan adat istiadat
di tanah air.[11]
3.
Konsep Islam Nusantara
Konsep Islam Nusantara sebenarnya ialah mensinergikan
ajaran Islam dengan adat istiadat lokal yang banyak tersebar di wilayah
Indonesia. Menurut Said Aqil,[12]
Islam di Indonesia tidak harus seperti Islam di Arab atau Timur Tengah,
yang menerapkan penggunaan gamis ataupun cadar. Islam Nusantara, tegasnya adalah
Islam yang khas ala Indonesia.
Pada zaman Wali Songo, perpaduan tradisi lokal dengan
ajaran Islam mulai dikembangkan. Salah satu contohnya adalah tradisi sesajen yang dulu dianut oleh nenek
moyang Indonesia dari ajaran Hindu-Buddha. Akan tetapi oleh para Wali Songo, sesajen ditransformasikan menjadi
tradisi selametan. Bila sesajen awalnya diniatkan
mempersembahkan makanan kepada roh-roh gaib, namun dalam tradisi selametan, seperti makanan justru
diberikan kepada seluruh umat Islam untuk kemudian diminta mendoakan pihak yang
mengadakan selametan. Hal seperti ini
hanya ditemukan di Indonesia, karena sejarah Indonesia yang sejak zaman dahulu
sudah hidup dengan keragaman adat istiadat. Cara pendekatan budaya inilah yang dinamakan
dengan Islam Nusantara.
B.
Islam Moderat
Konteks Nusantara: Perspektif Historis
Dalam Islam, rujukan beragama memang satu, yaitu
al-Qur’an dan al-Hadits, namun fenomena menunjukkan bahwa wajah Islam adalah
banyak. Ada berbagai golongan Islam yang terkadang mempunyai ciri khas
sendiri-sendiri dalam praktek dan amaliyah
keagamaan. Tampaknya perbedaan tersebut sudah menjadi kewajaran (sunatullah) dan bahkan sebagai rahmat. Dalah hal ini Quraish
Shihab mencatat bahwa ‘Keanekaragaman dalam kehidupan merupakan
keniscayaan yang dikehendaki Allah. Termasuk dalam hal ini perbedaan dan
keanekaragaman pendapat dalam bidang ilmiah, bahkan keanekaragaman tanggapan
manusia menyangkut kebenaran kitab-kitab suci, penafsiran kandungannya, serta
bentuk pengamalannya’.[13]
Selanjutnya, yang menjadi permasalahan adalah dapatkah
dari yang berbeda tersebut dapat saling menghormati, tidak saling menyalahkan,
tidak menyatakan paling benar sendiri (truth claim)
dan bersedia berdialog, sehingga tercermin bahwa perbedaan itu benar-benar rahmat. Jika ini yang dijadikan
pijakan dalam beramal dan beragama, maka inilah sebenarnya makna konsep ‘Islam
moderat’. Artinya, siapa pun orangnya yang dalam beragama dapat bersikap
sebagaimana kriteria tersebut, maka dapat disebut berpaham Islam yang moderat.
Walaupun dalam Islam sendiri konsep ‘Islam moderat’ tidak ada rujukannya secara
pasti,[14]
akan tetapi untuk membangun ber-Islam yang santun dan mau mengerti golongan
lain, tanpa mengurangi prinsip-prinsi Islam yang sebenarnya, konsep ‘Islam
moderat’ tampaknya patut diaktualisasikan.
Berpaham Islam moderat sebagaimana disebutkan diatas,
sebenarnya tidaklah sulit mencari rujukannya dalam sejarah perkembangan Islam,
baik di wilayah asal Islam itu sendiri maupun di Indonesia. Lebih tepatnya, Islam
moderat dapat merujuk jika di wilayah tempat turunnya Islam, kepada praktek
Islam yang dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw dan para Sahabatnya, khususnya khulafaur rashidin. Sedangkan dalam
konteks Indonesia dapat merujuk kepada para penyebar Islam yang terkenal dengan
sebutan Walisongo.
Generasi pengusung Islam moderat di Indonesia berikutnya,
hanya sekedar miniatur, mungkin dapat merujuk kepada praktek Islam yang dilakukan
organisasi semacam Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Ber-Islam dalam
konteks Indonesia semacam ini lebih cocok diungkapkan. Meminjam konsepnya
Syafi’i Ma’arif, dengan ber-‘Islam
dalam Bingkai Keindonesiaan’.[15]
Azyumardi Azra juga kerap menyebut bahwa Islam moderat merupakan karakter asli
dari keberagamaan Muslim di Nusantara.[16]
Sebagaimana dikatakan bahwa ketika sudah memasuki wacana
dialog peradaban, toleransi dan kerukunan, sebenarnya ajaran yang memegang dan
mau menerima hal tersebut lebih tepat disebut sebagai moderat. Jadi, ajaran
yang berorientasi pada perdamaian dan kehidupan harmonis dalam kebhinekaan,
lebih tepat disebut moderat, karena gerakannya menekankan pada sikap menghargai
dan menghormati keberadaan yang lain (the other).
Term moderat adalah sebuah penekanan
bahwa Islam sangat membenci kekerasan, karena bedasarkan catatan sejarah,
tindak kekerasan akan melahirkan kekerasan baru. Padahal, Islam diturunkan
Allah adalah sebagai rahmatan
lil alamin (rahmat bagi seluruh masyarakat dunia).[17]
C.
Akar Islam
Moderat Indonesia: Embrio Lahirnya Islam Nusantara
Sejak kedatangan Islam di bumi Indonesia, sepanjang
menyangkut proses penyebarannya sebagai agama dan kekuatan kultur, sebenarnya
ia telah menampakkan keramahannya. Dalam konteks ini, Islam disebarkan dengan
cara damai, tidak memaksa pemeluk lain untuk masuk agama Islam, menghargai
budaya yang tengah berjalan, dan bahkan mengakomodasikannya ke dalam kebudayaan
lokal tanpa kehilangan identitasnya. Ternyata sikap toleran inilah yang banyak menarik
simpatik masyarakat Indonesia pada saat itu untuk mengikuti ajaran Islam.
Sementara itu, Walisongo adalah arsitek yang handal dalam pembumian Islam di
Indonesia.
Menurut catatan Abdurrahman Mas’ud,[18]
Walisongo merupakan agen-agen unik
Jawa pada abad XV-XVI yang mampu memadukan aspek-aspek spiritual dan sekuler
dalam menyiarkan Islam. Posisi mereka dalam kehidupan sosio-kultural dan
religius di Jawa begitu memikat hingga bisa dikatakan Islam tidak pernah
menjadi the religion of Java, jika
sufisme yang dikembangkan oleh Walisongo tidak mengakar dalam masyarakat. Rujukan
ciri-ciri ini menunjukkan bahwa ajaran Islam yang diperkenalkan Walisongo di
Tanah Jawa hadir dengan penuh kedamaian, walaupun terkesan lamban namun meyakinkan.
Berdasarkan fakta sejarah bahwa dengan cara menoleransi tradisi lokal serta
memodifikasinya ke dalam ajaran Islam dan tetap bersandar pada prinsip-prinsip
Islam, agama baru ini dipeluk oleh bangsawan-bangsawan serta mayoritas
masyarakat Jawa di pesisir utara.
Transmisi Islam yang dipelopori Walisonggo merupakan
perjuangan brilian yang diimplementasikan dengan cara sederhana, yaitu
menunjukkan jalan dan alternatif baru yang tidak mengusik tradisi dan kebiasaan
lokal, serta mudah ditangkap oleh orang awam dikarenakan
pendekatan-pendekatannya konkrit dan realistis, tidak njelimet, dan menyatu dengan
kehidupan masyarakat. Model ini menunjukkan keunikan sufi Jawa yang mampu
menyerap elemen-elemen budaya lokal dan asing, tetapi dalam waktu yang sama
masih berdiri tegar di atas prinsip-prinsip Islam.[19]
Demikian pula dikatakan bahwa proses pergumulan Islam
dengan kebudayaan setempat yang paling intensif terlihat pada zaman Walisongo.
Masa ini merupakan masa peralihan besar dari Hindu-Jawa yang mulai pudar menuju
fajar zaman Islam. Keramahan terhadap tradisi dan budaya setempat itu diramu
menjadi watak dasar budaya Islam pesantren. Wajah seperti itulah yang
manjadikan Islam begitu mudah diterima oleh berbagai etnis yang ada di Nusantara.
Hal ini terjadi karena adanya kesesuaian antara agama baru (Islam) dan
kepercayaan lama. Setidaknya, kehadiran Islam tidak mengusik kepercayaan lama,
tetapi sebaliknya kepercayaan tersebut diapresiasi dan kemudian diintegrasikan
ke dalam doktrin dan budaya Islam.[20]
Tampaknya Walisongo sadar, bagaimana seharusnya Islam
dibumikan di Indonesia. Mereka paham bahwa Islam harus dikontekstualisasikan tanpa
menghilangkan prinsip-prinsip dan esensi ajaran Islam serta sesuai dengan
kondisi wilayah atau bumi tempat Islam disebarkan. Inilah yang kemudian dikenal
dengan konsep ‘pribumisasi Islam’.
Gagasan ini dimaksudkan untuk mencairkan pola dan karakter Islam sebagai suatu
yang normatif dan praktek keagamaan menjadi sesuatu yang kontekstual. Dalam pribumisasi Islam tergambar bagaimana
Islam sebagai ajaran yang normatif berasal dari Tuhan diakomodasikan kedalam
kebudayaan yang berasal dari manusia tanpa kehilangan identitasnya masing-masing.
Lebih konkritnya bahwa kontekstual Islam dipahami sebagai ajaran yang terkait
dengan konteks zaman dan tempat. Perubahan waktu dan perbedaan wilayah menjadi
kunci untuk kerja-kerja penafsiran dan ijtihad.
Dengan demikian, Islam akan mampu terus memperbaharui diri dan dinamis dalam
merespons perubahan zaman. Selain dari pada itu, Islam dengan gaya dinamis (lentur)
mampu berdialog dengan kondisi masyarakat yang berbeda-beda dari sudut dunia
yang satu ke sudut yang lain. Kemampuan beradaptasi secara kritis inilah yang
sesungguhnya akan menjadikan Islam dapat benar-benar shalih li kulli zaman wa makan (cocok
untuk setiap zaman dan tempat).[21]
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apakah praktek
Islam sebagaimana yang diajarkan Walisongo dan diamalkan oleh sebagian besar
masyarakat Jawa dapat disebut Islam kaffah atau
Islam yang benar. Beragam pandangan pun muncul terkait dengan hal ini, baik
dari beberapa golongan dalam Islam sendiri maupun para pengamat asing dan dalam
negeri. Misalnya, Geertz adalah salah satu tokoh yang menyangsikan ke-Muslim-an
mayoritas orang Jawa, karena fenomena sinkretisme
begitu nyata di kalangan mereka.[22]
Cliffort Geertz merupakan tokoh penting dalam studi Islam
Jawa yang mengatakan praktek keagamaan orang Jawa campur aduk dengan
unsur-unsur tradisi-tradisi non Islam. Menurutnya, kelompok priyayi dan abangan dengan jelas mencerminkan
tipisnya pengaruh Islam dalam kehidupan orang Jawa. Bahkan, dalam pandangannya,
kelompok yang diangap paling Islami, yaitu santri tidak
terlepas dari pengaruh tradisi pra-Islam. Identitas ke-Islaman orang Jawa
kurang lebih sama dengan ‘Islam Nominal’.[23]
Sebaliknya, pengamat lain menyebutkan, mungkin benar
bahwa Islam di Asia Tenggara secara geografis adalah periferal (Islam nominal) atau
Islam yang jauh dari bentuk ‘asli’ yang terdapat dan berkembang dipusatnya,
yaitu Timur Tengah. Akan tetapi, Islam di Asia Tenggara periferal dari segi ajaran perlu diuji secara kritis. Jadi, tidak
berarti tradisi intelektual yang berkembang di Asia Tenggara sejak masa awalnya
terlepas dari ‘tradisi besar’ Islam. Bahkan―khususunya sejak abad ke-17―dapat
disaksikan semakin tingginya intensitas dan kontak intelektual keagamaan antara
Timur Tengah dengan Nusantara, yang pada esensinya bertujuan mendekatkan ‘tradisi
lokal’ Islam di Asia tenggara dengan ‘tradisi besar’ (tradisi normatif dan
idealistik) sebagaimana terdapat dalam sumber-sumber pokok ajaran Islam, yaitu al-Qur’an
dan Sunnah.[24]
Demikian pula, berdasarkan kesimpulan Mark Woodward,
kalau ditelaah secara mendalam dan ditinjau dari segi perspektif Islam secara
luas, didapati bahwa hampir seluruh ajaran, tradisi dan penekanan yang bersifat
spiritual yang selama ini berkembang dalam masyarakat Jawa pada dasarnya
bersumber dari ajaran Islam di Timur Tengah. Apa yang dikenal dalam upacara
keagamaan Jawa, seperti grebeg,
selametan, kalimasodo dan sebagainya adalah bagian dari ajaran
Islam. Selain itu, doktrin Kawula Gusti, Martabat Tujuh[25]
dan tradisi wayang yang dikenal dan dilestarikan dalam masyarakat Jawa, dapat
ditelusuri asal usulnya dari tradisi tasawuf Islam.[26]
Sejalan dengan pernyataan Woodward dan Azra, dapatlah
dibenarkan bahwa tidak satu pun budaya di dunia ini yang tidak sinkretik, karena semua budaya pasti
memiliki aspek historisnya yang tidak tunggal dan dengan demikian bersifat sinkretik.[27]
Baik agama maupun budaya tidak dapat mengelak dari proses yang tak mungkin
terhindarkan, yakni perubahan. Memang benar, ajaran agama sebagaimana tercantum
secara tekstual dalam kitab suci, kata demi kata tetap seperti keadaannya
semula. Akan tetapi, begitu ajaran agama harus dipahami, ditafsirkan dan
diterjemahkan ke dalam perbuatan nyata dalam suatu setting budaya, politik dan
ekonomi tertentu, maka pada saat itu pemahaman yang didasari ajaran agama
tersebut pada dasarnya telah berubah menjadi kebudayan.[28]
Menurut Fazlur Rahman, memang secara historis sumber
utama Islam adalah wahyu Ilahi yang
kemudian termuat dalam kitab yang disebut al-Qur’an. Namun, kitab ini tidak
turun sekaligus dalam jangka waktu berbarengan, melainkan turun sedikit demi
sedikit dan baru terkumpul setelah beberapa puluh tahun lamanya. Oleh karena
itu, wahyu jenis ini merupakan reaksi dari kondisi sosial-historis yang
berlangsung pada saat itu. Hubungan antara pemeluk dan teks wahyu dimungkinkan
oleh aspek normatif wahyu itu, adapun pola yang berlangsung berjalan melalui
cara interpretasi
(penafsiran). Teks tidak pernah berbicara sendiri, dan ia akan bermakna jika
dihubungkan dengan manusia. Apa yang diperbuat, disetujui dan dikatakan oleh
Rasul adalah hasil usaha (ijtihad)
Rasul memahami dimensi normatif wahyu. Sementara itu, upaya interpretasi Rasul terhadap teks
dipengaruhi oleh situasi historis yang bersifat partikular pada masanya.
Bahkan, tidak jarang Rasul sendiri sering mengubah interpretasi-nya terhadap al-Qur’an jika diperlukan.[29]
Terjadinya pluralitas budaya dari penganut agama yang
sama tidak mungkin dihindari ketika agama tersebut telah menyebar ke wilayah
begitu luas dengan latar belakang kultur yang beraneka ragam. Dalam interaksi
dan dialog antara ajaran agama dengan budaya lokal yang lebih bersifat lokal
itu, kuat atau lemahnya akar budaya yang telah ada sebelumnya dengan sendirinya
akan sangat menentukan terhadap seberapa dalam dan kuat ajaran agama yang
universal mencapai realitas sosial budaya lokal. Pluralitas wajah agama itu
dapat pula diakibatkan respons yang berbeda dari penganut agama yang sama terhadap
kondisi sosial, budaya maupun ekonomi yang mereka hadapi. Dari perspektif
inilah dapat diterangkan mengapa, misalnya, gerakan Islam yang selama ini
dikenal sebagai ‘modernis’, yakni Muhammadiyah cenderung memperoleh dukungan
yang kuat didaerah perkotaan, sedangkan NU yang sering disebut sebagai golongan
‘tradisional’ memperoleh pengaruh luas di daerah pedesaan.[30]
Jadi, yang perlu digarisbawahi disini adalah meskipun suatu
agama itu diajarkan oleh Nabi yang satu dan kitab suci yang satu pula, tetapi
semakin agama tersebut berkembang dan semakin besar jumlah penganutnya serta
semakin luas daerah pengaruhnya, maka akan semakin sukar pula kesatuan wajah
dari agama tersebut dapat dipertahankan. Karena, sewaktu ajaran dan agama yang
berasal dari langit itu hendak dilendingkan ke dataran empirik, maka mau tidak
mau harus dihadapkan dengan serangkaian realitas sosial budaya yang ada.
Sekali lagi, perselingkuhan antara agama dan tradisi
adalah sunatullah.
Tradisi adalah pemikiran manusia yang profan
atas teks-teks keagamaan yang sakral.
Dengan demikian, relasi Islam dan tradisi dalam pemikiran umat Islam sangatlah
erat. Memahami Islam tanpa sokongan penguasaan warisan intelektual para
pendahulu amat sulit mencapai titik kesempurnaan. Oleh sebab itu, dalam kaitan
ini, Ahmad Baso mencirikan Islam Nusantara sebagai cara bermazhab secara qauli dan manhaji dalam beristimbath tentang Islam dari dalil-dalilnya yang
disesuaikan dengan teritori, wilayah, kondisi alam dan cara pengalamannya
penduduk kita.[31]
Atau dengan kata lain bahwa semua kekayaan di Nusantara menjadi sumber
inspirasi bagi para ulama untuk memberikan warna, suara da substansi terhadap
Islam itu sendiri. Baik alamnya, airnya, lautnya, tanahnya maupun kultur dan
peradabannya serta semua kekayaan Nusantara menjadi rujukan dalam berijtihad.[32]
Dalam kaitannya dengan Islam Nusantara, maka kita dapat
menghitung beberapa sifat unggulan yag dimilikiya. Diantaranya adalah sikap
adaptif, fleksibel, toleran, multikultural, berdaya tahan kuat dan awet dalam
zaman manapun, guyub, kolektif atau komual, yakni ada musyawarah mufakat,
konsensus dan ijma’, mengedepankan suri tauladan, sopan santun beradab, tidak
merugikan orag lain, teposliro, salig membantu, kekerabatan dan kekeluargaan
serta gotog royong.
D. Konklusi
Kita tidak bisa mendikotomi (mengkotak-kotakkan)
sebuah gerakan atau term Islam selama
itu demi kemaslahatan bersama, dan sesuai dengan tuntunan agama. Term Islam Nusantara merupakan gagasan brilian
untuk membumikan Islam yang damai dan toleran serta sebagai antitesis dari
gerakan Islam yang ada di Syiria dan Iraq yang menampilkan wajah Islam yang
sangat bertentangan dengan prinsip Islam yang termaktub didalam al-Qur’an, yaitu
Islam rahmatan lil ’alamin.
Islam Nusantara merupakan Islam
yang tetap berpegang teguh pada aqidah Tauhid yang diajarkan oleh Nabi Muhammad
Saw. Islam yang dekat dengan budaya dengan tetap berdampingan dengan Islam,
selagi budaya itu tidak menyimpang dari ajaran Islam. Karakteristik Islam
Nusantara yaitu toleran dan cinta damai. Penjiwaan dari rahmatan lil alamin yaitu Islam yang
merangkul, menuntun, memakai hati, mengajak taubat serta memberikan pemahaman.
Sedangkan prinsip Islam itu sendiri yaitu keselarasan dengan budaya setempat,
sehingga terciptanya Islam yang indah dan harmonis.
Maka dari itu, Islam di Indonesia
tidak harus seperti Islam yang ada di Arab, melainkan Islam yang mempunyai ciri
khas dari Indonesia, atau yang sering disebut dengan Islam ala Indonesia, yaitu
Islam yang tetap mempertahankan budaya asli Indonesia dengan tidak melupakan
ajaran-ajaran Islam yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw. Prinsip Islam
dalam beradaptasi dengan budaya yaitu menjadikan Islam dengan keragaman akibat
perbedaan kebudayaan dimasing-masing daerah.
Maka dari itu, umat Islam
Indonesia saat ini harus memikirkan untuk bagaimana merumuskan sebuah gerakan
yang mampu mengkotomi dan merangkul seluruh ormas yang saling bersinggungan dan
berbeda faham. Perbedaan pemahaman yang dianut pada hakikatnya adalah suatu
kewajaran, akan tetapi fanatisme golongan yang berlebihan tidak boleh untuk ditampilkan
apalagi dipelihara, karena itu semua akan memberikan dampak negatif yang akan
berimbas pada kesatuan umat Islam dan juga bangsa Indonesia. Islam merupakan sesuatu
bagian, sedangkan umat Islam adalah bagian yang lain. Meski berbeda, namun
merupakan sebah sistem dan kesatuan yang utuh dan tidak bisa dipisahkan.
Daftar Pustaka
Referensi Buku:
Abdurrahman
Mas’ud. (2006). Dari Haramain ke Nusantara;
Jejak Intelektual Arsitek Pesantren. Jakarta: Kencana.
Achmad
Amiruddin, et.all. (1997). Keluar dari Kemelut Pendidikan Nasional.
Jakarta: Intermasa.
Ahmad
Baso.(2015). Islam Nusantara; Ijtihad
Jenius & Ijma’ Ulama Indonesia. Jakarta: Pustaka Afid.
Ahmad
Syafi’i Ma’arif. (2009). Islam
dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan; Sebuah Refleksi Sejarah. Bandung:
Mizan.
Alwi Shihab.
(1997). Islam Inklusif; Menuju Sikap
Terbuka dalam Beragama. Bandung: Mizan.
Azyumardi
Azra. (2000). Renaisans Islam Asia
Tenggara; Sejarah Wacana dan Kekuasaan. Bandung: Rosdakarya.
Badrus
Sholeh (ed.). (2007). Budaya
Damai Komunitas Pesantren. Jakarta: LP3ES.
Bambang
Pranowo. (1999). Islam Faktual; Antara Tradisi
dan Relasi Kuasa. Yogyakarta: Adicit.
Hendro
Prasetyo. (1994). Mengislamkan Orang
Jawa; Antropologi Baru Islam Indonesia. Islamika
No.3, Januari-Maret.
Imdadun
Rahmat, et all. (2003). Islam Pribumi; Mendialogkan Agama Membaca
Realitas. Jakarta: Erlangga.
M. Quraish
Shihab. (2007). Secercah Cahaya Ilahi; Hidup
Bersama al-Qur’an. Bandung: Mizan.
Said Aqil Siroj. (2015). Islam Sumber
Inspirasi Budaya Nusantara Menuju Masyarakat Mutamaddin.
Jakarta: LTN NU.
Referensi Internet:
Hafizhuddin.
(2015). Mengeal Istilah Islam Nusantara;
Konsep dan Polemiknya, dalam https://hafizhuddin30.wordpress.com/tag/pengertian-islam-nusantara/.
Diakses pada 22 Juli.
Islam
Nusantara. (2016). Makalah Studi Islam
tentang Islam Nusantara, dalam http://kelompok8studis.blogspot.co.id/2016/04/makalah-studi-islam-tentang-islam.html.
Diakses pada Sabtu, 16 April.
KH. Afifuddin Muhajir. (2015). Maksud Istilah Islam Nusantara, dalam http://www.nu.or.id/post/read/60458/maksud-istilah-islam-nusantara.
Diakses pada Sabtu, 27 Juni.
M. Hilaly
Basya. (2009). Menelusuri Artikulasi
Islam Moderat di Indonesia, dalam http://www.madina sk.com/index.php?option=com, diakses tanggal 23
Juli.
[1] Ahmad Baso, Islam Nusantara;
Ijtihad Jenius & Ijma’ Ulama Indonesia, Cet. I, (Jakarta: Pustaka Afid,
2015), hal. xvii.
[2] Said Aqil Siroj, Islam Sumber Inspirasi Budaya Nusantara Menuju Masyarakat
Mutamaddin, Cet. II, (Jakarta: LTN NU, 2015), hal. 203.
[3] Sebutan Indonesia baru muncul di Aceh diparuh kedua abad 19, yang
kemudian menjadi nama negara kita sekarag. Sebelum istilah itu muncul, bangsa
kita mengenal sebutan al-Jawi―dari masa Wali Songo. Itu pula yang dikenal di dunia Islam. Di Makkah
dari abad 16, dan di Kairo sejak
pertengahan abad 19 ada sebuah kampung atau pemukiman dengan nama al-Jawi, yang berarti Nusantara, dimana
Singapura, malay, Malaka dan Patani (masuk wilayah Thailand kini) juga ikut
masuk kedalamnya. Lihat Ahmad Baso, Op.
Cit., hal. 6.
[4] Ahmad Baso, Op. Cit., hal.
xi.
[5] Achmad Amiruddin, et.all., Keluar dari Kemelut Pendidikan Nasional,
Cet. I, (Jakarta: Intermasa, 1997), hal. 12-14.
[6] Nusantara itu berarti negeri pulau-pulau luar. Majapahit menggunakan
istilah untuk menyebut negeri-negeri diluar pusat kekuasaan Majapahit, seperti
pulau-pulau diluar Jawa. Nama Nusantara berasal dari dua kata bahasa
Sansekerta, yaitu nusa yang berarti
‘pulau’, dan antara yang berarti
‘luar’. Nusantara digunakan untuk menyebut pulau-pulau diluar Majapahit (Jawa).
Perkataan Nusantara kita dapatkan dari Sumpah Palapa Patih Gajah Mada yang
diucapkan dalam upacara pengangkatannya menjadi Patih Amangkubhumi Kerajaan
Majapahit (tahun 1258 Saka/ 1336 M) yang tertulis dalam Kitab Pararaton (Raja-Raja). Dalam Sumpahnya
itu disebut kata-kata ‘lamun huwus kalah
nusantara’ (Jika telah mengalahkan Nusantara). Lihat Ahmad Baso, Op. Cit.,
hal. 4.
[7] Lihat Ibid., hal. xiv-xvi.
[8] Ibid., hal. 15-16.
[9] Ibid., hal. 17-18.
[10] Afifuddin Muhajir, Maksud Istilah Islam Nusantara, dalam
http://www.nu.or.id/post/read/60458/maksud-istilah-islam-nusantara. Diakses pada Sabtu 27 Juni 2015 17:01.
[11] Islam Nusantara, Makalah Studi
Islam tentang Islam Nusantara, dalam
http://kelompok8studis.blogspot.co.id/2016/04/makalah-studi-islam-tentang-islam.html.
Diakses pada Sabtu, 16 April 2016.
[12] Hafizhuddin, Mengeal Istilah
Islam Nusantara; Konsep dan Polemiknya, dalam
https://hafizhuddin30.wordpress.com/tag/pengertian-islam-nusantara/.
Diakses pada 22 Juli 2015.
[13] M. Quraish Shihab, Secercah
Cahaya Ilahi; Hidup Bersama al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2007), hal. 52.
[14] Hanya saja istilah ‘Islam moderat’ mungkin lebih dekat dengan konsep ummatan wasathan (menjadi umat yang
tengah-tengah), terutama dalam amaliyah
keagamaan.
[15] Lihat Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam
dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan; Sebuah Refleksi Sejarah, (Bandung:
Mizan, 2009).
[16] Lihat M. Hilaly Basya, Menelusuri
Artikulasi Islam Moderat di Indonesia, dalam
http://www.madina sk.com/index.php?option=com, diakses tanggal 23
Juli 2009.
[17] Ibid.
[18] Abdurrahman Mas’ud, Dari
Haramain ke Nusantara; Jejak Intelektual Arsitek Pesantren,
(Jakarta: Kencana, 2006), hal. 54-58.
[19] Ibid., hal. 67.
[20] Abdul Mun’im DZ, Pergumulan
Pesantren dengan Kebudayaan, dalam Badrus Sholeh (ed.), Budaya Damai Komunitas Pesantren, (Jakarta:
LP3ES, 2007), hal. 41.
[21] M. Imdadun Rahmat, Islam Pribumi,
Islam Indonesia, dalam M. Imdadun Rahmat, et all., Islam
Pribumi; Mendialogkan Agama Membaca Realitas, (Jakarta: Erlangga,
2003), hal. xx-xxi.
[22] Ahmad Syafi’i Ma’arif, Op.
Cit., hal. 60-61.
[23] Hendro Prasetyo, Mengislamkan
Orang Jawa; Antropologi Baru Islam Indonesia, (Islamika No.3, Januari-Maret, 1994), hal. 75.
[24] Azyumardi Azra, Renaisans
Islam Asia Tenggara; Sejarah Wacana dan Kekuasaan, (Bandung:
Rosdakarya, 2000), hal. 8.
[25] Sufi lain yang juga terkenal adalah Syamsuddin Sumatrani
(w. 1039 H/1630 M). Ia mungkin murid Hamzah Fansuri dan sebagai perumus ajaran martabat tujuh pertama di
Nusantara beserta pengaturan nafas pada waktu dzikir.
Syamsuddin diduga berafiliasi dengan tarekat Syattariyyah, karena ia mengadopsi ajaran martabat tujuh. Kemudian Muhammad
ibn Fadhlullah al-Burhanpuri (w. 1519 M) yang berafiliasi kepada tarekat Syattariyyah, melalui adaptasi dari
teori emanasi Ibn al-‘Arabi. Tarekat ini menjadi sangat populer di kalangan
orang-orang Nusantara setelah kematiannya.
[26] Alwi Shihab, Islam
Inklusif; Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, (Bandung: Mizan,
1997), hal. 314.
[27] Ibid., hal. 79.
[28] Bambang Pranowo, Islam
Faktual; Antara Tradisi dan Relasi Kuasa, (Yogyakarta: Adicita, 1999),
hal. 20.
[29] Hendro Prasetyo, Op. Cit.,
hal. 80.
[30] Bambang Pranowo, Op.
Cit., hal. 19.
[31] Ahmad Baso, Op. Cit., hal. 18.
[32] Ibid., hal. 21.