Tuesday, October 17, 2017

PARADIGMA KRITIS TRANSFORMATIF (Jalan Menuju Nalar Kritis Kader PMII)

Prawacana
Mahasiswa yang baru saja menapaki gerbang dunia kampus tentu memiliki banyak harapan dan angan-angan awal yang berbeda. Ada yang menganggap bahwa kuliah itu sekadar cari prestise agar dianggap wah banyak orang, ada yang kuliah hanya dijadikan ajang untuk cari pacar, mendapat jodoh, dan masih banyak lagi dan lagi tujuannya. Tapi realita hari ini banyak sekali mahasiswa yang terpelanting narasi dengan penalaran normatif akademis bahwa kuliah itu sekadar menggugurkan kewajiban orangtua karena telah banyak uang yang dikeluarkan untuk kebutuhan kuliahnya, sehingga yang terpenting bagaimana agar nilai IPK-nya cum laudecepat lulus, mendapat ijazah, mengurus ijab sah dan cepat dapat kerja.

Tentu penggalang narasi tujuan tersebut sangat kontras dengan mahasiswa kritis-progresif, yang dengan seperangkat pengetahuannya dijadikan steering commite untuk melabrak hegemoni intelektual yang beku, kaku dan mengasingkan rasionalitasnya, karena dogma pengetahuan yang mengendap di otak dan alam bawah sadar dirinya telah meracuni pola pikir eksklusif dan individualis.

Tipologi mahasiswa dengan kesadaran dan pola pikir kritis-progresif tersebut terbentuk karena ia bergumul dengan aktivitas organisasi, bersentuhan langsung dengan berbagai literatur buku, aktif-progresif di dalam ruang-ruang diskusi dan mediasi intelektual. Karena mereka sadar bahwa mahasiswa hari ini benar-benar dituntut agar memiliki seperangkat pengetahuan dan intelektualitas yang kuat agar mereka menjadi sosok mahasiswa yang cerdas, kritis, progresif dan tanggap akan realitas sosialnya.

Mahasiswa dengan predikat intelektual kritis-progresif sembari transformatif, maka lahirlah narasi berfikir dalam dirinya bahwa pelbagai teori pengetahuan menjadi perihal penting untuk ia konsumsi kemudian dikontekstualisasikan agar seroda dengan kalam kehidupan yang ia jamah, serta senafas dengan situasi dan kondisi di zamannya. Mahasiswa yang bergerak pada ranah ini, sebenarnya lebih mendekati, apa yang Antonio Gramsci sebut, sebagai intelektual-organik[1] yang mampu mempertautkan antara teori dan praksis. Sedangkan oleh Mazhab Frankfurt,[2] dikatakan sebagai sosok intelektual yang lebih berguna bagi kehidupan dan untuk memecahkan berbagai problem sosial masyarakat di mana ia berpijak. Pada ranah ini, fenomena kaum intelektual sejatinya bersifat progresif-revolusioner, meskipun lebih diwujudkan dalam revolusi pemikiran bukan pada revolusi fisik. Hal inilah yang menjadikan sosok kaum intelektual sebagai sosok manusia yang berperilaku, bersikap dan bertindak dengan karakter kritis, sehingga kaum intelektual di sini menyatakan pikiran dan kritiknya secara jelas, jujur dan transformatif.

Sejatinya bahwa insan intelektual, dengan beberapa kualifikasi sebagaimana disebutkan di atas, bukanlah monopoli pendidikan formal, terutama adalah Perguruan Tinggi. Banyak kaum intelektual itu lahir dari luar benteng ‘menara gading’ kampus. Mereka mampu mengembangkan pemikiran sendiri hingga mencapai kemampuan pemikiran dan perilaku intelektual. Pertanyaan kemudian, di manakah posisi Kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang dikenal sebagai sosok mahasiswa intelektual yang kritis dan bahkan transformatif dalam setiap tindakan dan perilaku organisasi?

Jawaban atas pertanyaan di atas, sangat berpengaruh terhadap pembentukan wajah gerakan PMII dan orientasi pengembangan yang dilakukan. Dominasi disiplin ilmu-ilmu sosial sebagai asupan gizi dan amunisi intelektual kader PMII tentu sangat berpengaruh dalam cara pandang, titik pijak filosofis dan teologis, serta pokok-pokok program dan gerakan yang dilakoninya. Dalam konteks pencerminan dari suatu hasil perubahan yang diinginkan oleh warga PMII merupakan hasil serius dari upayanya dalam memberikan suatu tatanan keorganisasian agar menjadi lebih baik. Adanya ruang yang begitu luas untuk melakukan aktualisasi diri telah menghasilkan suatu komunitas yang kritis, apresiatif dan dinamis baik dalam melakukan eksplorasi gagasan, pemikiran maupun dalam parksis gerakannya. Arah pemikiran dan langkah konkret gerakan PMII tentu sangat erat kaitannya dengan masalah paradigma yang dibangun dan dipakai oleh warga PMII. Sebab, paradigma adalah ‘kaca mata’ pandang yang memiliki seperangkat asumsi, nilai, konsep dan praktek yang memengaruhi cara berfikir, bersikap maupun bertindak seluruh kader PMII.

Paradigma Kritis Transformatif atau PKT PMII adalah roll models paradigma yang sampai hari ini masih dipilih oleh warga PMII sebagai problem solver kompleksitas permasalahan zaman yang dihadapi. Pemilihan PKT sebagai paradigma pergerakan bagi PMII bukanlah tanpa alasan, tentu ada pra kondisi yang muncul sebagai soft ware pergerakan. Telah tercatat dalam sejarah PMII, sebelum kemunculan PKT, ada paradigma lain yang dijadikan PMII sebagai alat analisa dalam mengatasi kompleksitas permasalahan yang dihadapi, yaitu “Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran”. Tepatnya dimulai pada eranya Sahabat Muhaimin Iskandar, sampai pada akhirnya dianggap kurang relevan dan tergantikan dengan PKT di masa kepemimpian Sahabat Syaiful Bahri Anshori.

Masing-masing model paradigma yang dianut warga PMII adalah suatu bentuk ikhtiar atau jawaban atas realitas zamannya. Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran, di latarbelakangi oleh kondisi sosio-politik bangsa (rezim Orba) yang represif dan sangat tidak memihak terhadap kaum mustadl’afin (proletariat). Paradigma Arus Balik bernada sangat frontal dalam mendengungkan anti kemapanan, atau lebih jelasnya anti ketidakadilan dan penindasan. Gerakan perlawanan Paradigma Arus Balik dikemudian hari dilanjutkan dengan Paradigma Kritis Transformatif.

Dalam tulisan ini, penulis mencoba menggambarkan kajian pemikiran dan ranah gerakan yang diusung Paradigma Kritis Transformatif yang dirasa masih begitu relevan bagi warga PMII; di samping karena PMII sampai hari ini belum menemukan wajah atau model paradigma baru sebagai pisau analisa dan arah gerakan untuk membaca realitas sosial hari ini. Namun, satu kali lagi bahwa PKT masih sangat relevan, karena PKT akan membuka kran wacana pengetahuan yang akan menghasilkan kesadaran kritis bagi kader, serta dapat membuka jalan kader menuju sosok intelektual-organik, sehingga citra diri gerakan intelektual PMII adalah intelektual transformatif yang memiliki tanggung jawab untuk menjadikan kampus sebagai 'medan  pertarungan' dengan menginternalisasi kesadaran akan pentingnya pengetahuan dalam benak kader, serta kesadaran yang tinggi untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya sesuai dengan basis akademis dengan tanpa menghilangkan kesadaran ruang di mana mereka berpijak.

Pengertian Paradigma
Secara etimologi paradigma berasal dari bahasa Inggris ‘paradigyang berarti bentuk sesuatu, model, dan pola (type of something, model, pattern). Dalam bahasa Yunani, paradigma berasal dari kata ‘para (di samping, di sebelah), dan kata dekynai (memperlihatkan; yang berarti; model; contoh; arketipe; ideal). Sedangkan secara terminologi paradigma berarti a total view of a problem; a total outlook; not just a problem in isolation. Paradigma adalah cara pandang atau cara berfikir tentang sesuatu.[3] Jadi, paradigma dapat dimaknai dengan cara memandang sesuatu.

Dalam ilmu pengetahuan, paradigma berarti model, pola, ideal. Dari model-model itu sehingga fenomena yang dipandang bisa diperjelas. Karena paradigma dalam totalitas premis-premis teoretis dan metodologisnya memberikan, menentukan, dan mendefinisikan suatu studi ilmiah konkret, juga sebagai dasar untuk menyeleksi problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem riset.[4]

Menurut Nasim Butt, paradigma adalah teori-teori yang berhasil secara empiris, yang mulanya diterima dan dikembangkan dalam sebuah tradisi penelitian sampai kemudian ditumbangkan oleh paradigma yang lebih progresif secara empiris.[5] Sedangkan menurut Husain Heriyanto, paradigma adalah seperangkat asumsi teoretis umum dan hukum-hukum, serta teknik-teknik aplikasi yang dianut secara bersama oleh para anggota suatu komunitas ilmiah.[6] Liek Wilaryo, mendefinisikan paradigma sebagai model yang dipakai ilmuwan dalam kegiatan keilmuannya untuk menentukan jenis-jenis persoalan yang perlu digarap, dengan metode apa, dan melalui prosedur yang bagaimana penggarapan itu harus dilakukan.[7]

Lebih lanjut, konsep paradigma populer karena pemikiran Thomas Kuhn dalam bukunya; The Struktur of Scientific Revolution, ketika dirinya menjelaskan tentang revolusi ilmu pengetahuan. Menurut Kuhn, ilmu pengetahuan itu berkembang dari masa awal pembentukan, kemudian memperoleh pengakuan dan berkembang menjadi paradigma. Pada tahap inilah kemudian teori ilmu pengetahuan diakui sebagai kebenaran sekaligus dijadikan sebagai acuan bagi masyarakat dalam merumuskan pertanyaan dan cara menjawab. Pada saat ini pula sebuah teori ditempatkan sebagai paradigma, yaitu suatu pandangan mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter) dari suatu cabang ilmu. Normal science adalah periode berikutnya, yang dalam hal ini terjadi akumulasi ilmu pengetahuan. Para ilmuwan bekerja berdasarkan paradigma yang berpengaruh di dalamnya, dan asumsi yang mendasari pun dijadikan sebagai dasar dalam memahami kenyataan.[8]

Namun dalam perkembangan selanjutnya, yaitu sejalan dengan perkembangan masyarakat apa yang awalnya diyakini sebagai kebenaran kemudian mengalami kekacauan (anomali), karena asumsi paradigma lama sudah tidak mampu lagi menjawab persoalan yang muncul. Akibatnya, timbul suatu krisis karena validitas paradigma lama benar-benar sudah tidak bisa lagi untuk dipertahankan. Pada saat inilah kemudian terjadi, apa yang menurut Kuhn, dengan masa terjadinya suatu ‘revolusi ilmu pengetahuan’. Pada saat revolusi ilmu pengetahuan terjadi, maka asumsi dan dasar pemikiran paradigma yang berlaku tidak lagi dianggap relevan untuk merumuskan pertanyaan dan mengajukan jawaban atas fenomena yang ada. Setelah terjadi revolusi, selanjutnya ditemukanlah teori baru, dan dari sinilah kemudian dimulai munculnya paradigma baru.[9]

Berdasar atas pemikiran, konsep dan rumusan definisi paradigma yang disusun oleh para ahli tersebut di atas, maka dapat dirumusakan secara sederhana, atau paling tidak menangkap poin penting bahwa istilah paradigma dalam masyarakat PMII dapat dirumuskan sebagai titik pijak untuk menentukan cara pandang, menyusun sebuah teori, menyusun pertanyaan, dan membuat rumusan mengenai suatu masalah, serta medan gerakan yang harus dilakukan oleh PMII. Atau dengan kata lain, istilah paradigma bagi PMII merujuk pada bagaimana PMII ‘melihat realitas’. Lebih sederhana lagi, paradigma tak ubahnya seperti kaca mata untuk melihat, memaknai serta menafsirkan realitas; terutama dalam kasus PMII adalah realitas sosial-masyarakat. Oleh karenanya, jika paradigma diaplikasikan secara massif, maka kemudian akan menuai respon berupa arahan dalam bergerak.

Mengambil konsep varian atau jenis paradigma dari William Perdue, dalam ilmu sosial dikenal ada tiga jenis utama paradigma yang merupakan sebuah sintesis perkembangan paradigma sosial.[10] Pertama, paradigma keteraturan (Order Paradigm). Inti dari paradigma keteraturan ini bahwa masyarakat dipandang sebagai sistem sosial yang terdiri dari bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan sistemik. Asumsi dasarnya bahwa setiap struktur sosial merupakan fungsional terhadap struktur lainnya. Kemiskinan, peperangan, perbudakan misalnya, merupakan sesuatu yang wajar, karena fungsional terhadap masyarakat. Ini yang kemudian melahirkan teori strukturalisme fungsional. Secara eksternal paradigma ini dituduh ahistoris, konservatif dan pro status quo, karenanya anti-perubahan. Paradigma ini mengingkari hukum kekuasaan bahwa ‘setiap ada kekuasaan senantiasa ada perlawanan.

Kedua, paradigma konflik (Conflic Paradigm). Secara konseptual, paradigma konflik ini menyerang paradigma keteraturan yang mengabaikan kenyataan bahwa setiap unsur-unsur sosial dalam dirinya mengandung kontradiksi-kontradiksi internal yang menjadi prinsip penggerak perubahan. Perubahan tidak selalu gradual, tapi juga revolusioner. Dalam jangka panjang, sistem sosial harus mengalami konflik dalam lingkar setan (vicious circle) yang tak berujung. Pangkal kritik itulah yang kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi paradigma konflik. Karena konflik dipandangnya sebagai sesuatu yang inhern dalam setiap komunitas, tak mungkin dikebiri, apalagi dihilangkan. Karenanya, konflik menjadi instrumen perubahan.

Ketiga, paradigma plural (Plural Paradigm). Dari perbedaan yang kontras antara paradigma keteraturan dengan paradigma konflik tersebut, kemudian berusaha memunculkan sintesis baru sehingga lahirlah paradigma plural. Karena paradigma plural memandang bahwa manusia itu sebagai sosok yang independen, bebas, memiliki otoritas dan otonomi untuk melakukan pemaknaan atau menafsirkan realitas sosial yang ada di sekitarnya.

Dari ketiga paradigma tersebut di atas, merupakan pijakan-pijakan untuk membangun paradigma baru. Dari optik pertumbuhan teori sosiologi, telah lahir paradigma kritis setelah dilakukan elaborasi antara paradigma pluralis dan paradigma konflik. Paradigma pluralis memberikan dasar pada paradigma kritis, terkait dengan asumsinya bahwa manusia merupakan sosok yang independen, bebas dan memiliki otoritas untuk menafsirkan realitas. Sedangkan paradigma konflik mempertajam paradigma kritis, dengan asumsinya tentang adanya pembongkaran atas dominasi satu kelompok pada kelompok yang lain.

Teori Kritis
Dari sudut bahasa, perkataan ‘kritis’ berasal dari perkataan Inggris, yaitu ‘critic’. Namun begitu kata dasar ‘kritis’ merupakan perkataan Greek, ‘kriths’ (kritikos), yang bermaksud menimbang (judge). Menimbang juga membawa maksud menilai (evaluates), membedakan (distinguishes), memutuskan (decide) dan menyoal (question) sesuatu itu benar atau salah.[11] Dalam kamus Ilmiah Populer, ‘kritis’ diartikan dengan genting; gawat; akut; tajam/tegas dan teliti dalam menanggapi atau memberikan penilaian; secara mendalam; tanggap dan mampu melontarkan kritik-kritik.[12] Seperti halnya kata paradigma, kata ‘kritis’ seringkali digunakan dalam berbagai konteks, tetapi teori kritis pada saat ini lebih dimaksudkan sebagai teori yang digunakan untuk menganalisa secara tajam dan teliti terhadap realitas.

Jika dilihat secara historis, munculnya istilah kritis sangat berhubungan erat dengan gerakan filsafat Neo-Marxian Jerman, yaitu yang biasa disebut dengan Mazhab Frankfurt. Dalam teori sosiologi modern, teori kritis adalah produk sekelompok Neo-Marxisme[13] Jerman yang tidak puas dengan keadaan teori Marxian, terutama kecenderungannya menuju apa yang mereka sebut determinisme ekonomi. Pada tahapan selanjutnya, gerakan ini pun menjadi paham yang terlembagakan dalam The Institute of Social Research, Frankfurt, Jerman. Adapun tokoh Mazhab Frankfurt adalah Max Horkheimer (1895-1973), Theodor W. Adorno (1903-1969) dan Herbert Marcuse (1898-1979) yang kemudian dilanjutkan oleh generasi kedua dari Mazhab Frankfurt, yaitu Jürgen Habermas.[14]

Kritik utama Mazhab Frankfurt adalah kehidupan sosial dan intelektual pada saat itu. Para pemikir di dalamnya berusaha mengungkapkan sifat masyarakat secara lebih akurat. Lebih detail lagi, beberapa kritik yang disuarakan oleh Mazhab Frankfurt adalah kritik terhadap teori Marxian (determinisme ekonomi), positivisme (generalisasi ilmu pengetahuan), (gerakan) sosiologi (pro-status quo), dan kritik terhadap masyarakat modern yang individualis dan sangat dehumanis.[15]

Mazhab Frankfrut mengkarakterisasikan berpikir kritis dengan empat hal; (1) berpikir dalam totalitas (dialektis); (2) berpikir empiris-historis; (3) berpikir dalam kesatuan teori dan praksis; (4) berpikir dalam realitas yang tengah dan terus bekerja. Pada dasarnya mereka mengembangkan apa yang disebut dengan kritik ideologi atau kritik dominasi. Sasaran kritik ini bukan hanya pada struktur sosial, juga pada ideologi dominan dalam masyarakat.

Selanjutnya, jika teori kritis mempergunakan konsep kritis, terlebih dihubungkan dengan kritik yang dikembangkan setelah Renaissance, yaitu masa Aufklarung (Abad ke-17 dan 18) dan Abad ke-19. Pada masa ini, muncul para filsuf seperti Immanuel Kant, G.W.F. Hegel, Karl Marx, yang oleh Mazhab Frankfurt dipandang sebagai filsuf kritis. Kemudian muncul seorang pemikir, yaitu Sigmund Freud yang juga dipandang sebagai pemikir kritis. Maka dari itu, jika teori kritis mempergunakan kata ‘kritik’, sehingga hal ini langsung dikaitkan pada keempat pemikir kritis dimaksud. Dengan demikian, maka makna kritik dapat dipahami sebagai kritik dalam arti Kantian, kritik dalam arti Hegelian, kritik dalam arti Marxian dan kritik dalam arti Freudian.[16]
Kritik dalam Arti Kantian
Menurut teori kritis, Immanuel Kant adalah seorang pemikir yang kritis, karena mempertanyakan the conditions of possibility dari pengetahuan itu sendiri. Kant menyibukkan diri dalam diskusi ilmu pengetahuan yang tak kunjung usai. Misalnya diskusi yang berpretensi pada; apa itu Allah, kebebasan, dan kekekalan jiwa, dan berusaha merumuskannya secara ontologis. Kant tidak ingin mempersoalkan semua itu, melainkan lebih mengarahkan pada ‘rasio diri’ kita sendiri sebagai alat untuk menyelidiki perkara-perkara metafisis. Kant menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio dengan menunjukkan, sejauhmana klaim-klaim rasio itu dianggap benar. Jalan yang ditempuh Kant disebutnya dengan ‘kritisisme’ dalam perlawanannya atas jalan yang ditempuh oleh para filsuf sebelumnya, yaitu ‘dogmatisme’.

Dengan mempertanyakan syarat-syarat kemungkinan pengetahuan, Kant menguji shahih tidaknya bentuk-bentuk pengetahuan, seperti fisika dan metafisika. Di sini Kant dengan epistemologinya ingin menunjukkan bahwa rasio dapat menjadi kritis terhadap kemampuannya sendiri, dan menjadi ‘pengadilan tinggi’ terhadap hasil-hasil refleksinya sendiri, yaitu dengan ilmu pengetahuan dan metafisika. Karenanya, kritik dalam arti Kantian berarti kegiatan berfikir tentang menguji shahih tidaknya klaim-klaim pengetahuan tanpa prasangka, dan kegiatan ini dilakukan oleh rasio an sich.

Kritik dalam Arti Hegelian
Hegel mengembangkan kritik yang berbeda dengan Kant, bahkan mengkritik epistemologinya Kant. Kritik dalam artian Kant adalah bersifat transcendental. Dengan cara ini, Kant sebenarnya ingin meletakkan rasio kritis di atas suatu dasar yang pasti dan tidak tergoyahkan. Sehingga rasio semacam ini tidak mengenal waktu, netral, dan ahistoris. Berbeda dengan pandangan Hegel, di mana rasio itu bersifat kritis dan tidak dengan cara transcendental, apalagi ahistoris yang seakan-akan rasio itu sudah sempurna. Rasio bukanlah kesadaran lengkap yang bebas dari segala rintangan dalam sejarah perjalanan umat manusia dan alam, melainkan adalah proses menjadi sadar justru di dalam rintangan-rintangan itu. Jika rasio menyadari rintangan-rintangan mana yang menghalanginya untuk menjadi semakin rasional dan semakin sadar, sehingga rasio mengarah pada kualitas rasionalitas yang lebih tinggi. Dengan menyadari adanya rintangan-rintangan itu, dalam pandangan Hegel, sama dengan menyadari asal-usul kesadaran. Atau dengan kata lain, kesadaran rasional akan sesuatu justru muncul setelah kita merefleksikan rintangan-rintangan. Dengan munculnya kesadaran itulah, sehingga kita dapat membebaskan diri dari rintangan-rintangan untuk menjadi semakin rasional.

Dengan penjelasan tersebut di atas, sehingga kita sampai pada kritik dalam arti Hegelian, yakni kritik adalah hasil dari refleksi atau refleksi diri atas rintangan-rintangan, tekanan-tekanan, dan kontradiksi-kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri dari rasio dalam sejarah. Secara singkat, kritik berarti negasi atau dialektika, karena kesadaran itu timbul adalah melalui rintangan-rintangan, yaitu dengan cara menegasi atau mengingkari rintangan-rintangan tersebut.

Kritik dalam Arti Marxian
Jika Hegel mengembangkan konsep kritis dalam konteks filsafat idealismenya, sedangkan Marx mengembangkan konsep kritik dalam rangka materialismenya. Menurut pandangan Marx, kritik dalam filsafat Hegel masih kabur dan membingungkan, karena ia memahami sejarah secara abstrak. Sejarah bukanlah sejarah konkret dari manusia yang berdarah daging, namun sejarah itu adalah sejarah kesadaran atau sejarah rasio. Dengan cara realistis itu—seperti juga dengan cara transendental—kritik tidak menghasilkan apapun bagi dunia praksis, karena tidak jelas sasaran pragmatisnya. Teori kritik yang diartikan Marx, yaitu kritik dalam konteks materialisme sejarah, yang berarti praksis revolusioner yang dilakukan kaum proletariat atau perjuangan kelas. Sehingga kritik itu sendiri berarti usaha-usaha mengemansipasi diri dari penindasan dan alienasi yang dihasilkan oleh hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat, yaitu dengan membuka selubung kesadaran akan mekanisme-mekanisme objektif, hubungan-hubungan penindasan dan pemecahan masalahnya. Sehingga, kritik dalam arti Marxian berarti teori dengan tujuan emansipatoris, bukan sekadar melukiskan masyarakat, melainkan hendak membebaskannya. Karenanya, kritik dalam arti Marxian berarti teori dan praksis-emansipatoris, inilah kritik dalam artian Marxian yang sesungguhnya.

Kritik dalam Arti Freudian
Sebenarnya, teori kritis itu berupaya mengintegrasikan konsep-konsep kritis dari Freud, mengenai gangguan-gangguan psikis dan naluri-naluri ke dalam kritik ideologi Marx. Dengan cara ini, sehingga kritik itu bersifat kemasyarakatan dengan mendapatkan pendasaran psikologisnya. Menurut pandangan Freudian, kritik adalah refleksi, baik dari masyarakat maupun pihak individu atas konflik-konflik psikis yang menghasilkan represi dan ketidakbebasan internal. Dengan cara refleksi ini, sehingga masyarakat dan individu dapat membebaskan diri dari kekuatan-kekuatan asing yang mengacaukan kesadarannya. Maka dari itu, secara singkat dapat dijelaskan bahwa kritik dalam arti Freudian berarti pembebasan individu dan masyarakat dari irasionalitas menjadi rasional, dan dari ketidaksadaran menjadi kesadaran.

Dari keempat kritik di atas, yang kemudian dimaksudkan oleh para pendiri teori kritis, sebenarnya kritik mereka lebih ditujukan pada sebuah analisis kenyataan ideologis dari masyarakat zaman kita. Sehingga, dengan sebutan yang lazim bahwa kerangka kritik yang mereka lontarkan, sesungguhnya adalah apa yang disebut dengan ‘kritik ideologi’. Karena, kritik yang mereka bangun lebih memusatkan diri pada kenyataan ideologis dari masyarakat, di samping mereka juga berinteraksi dan bersentuhan langsung dengan kenyataan material masyarakat.

Jika kita sederhanakan, teori kritis adalah teori yang bukan hanya sekedar pembacaan pasif terhadap problem realitas, tetapi lebih bersifat emansipatoris. Teori yang emansipatoris harus memenuhi minimal tiga syarat. Pertama, bersifat kritis dan curiga terhadap segala sesuatu yang terjadi pada zamannya. Kedua, berfikir secara historis, artinya selalu melihat proses perkembangan masyarakat. Ketiga, tidak memisahkan antara teori dan praksis, serta tidak melepaskan fakta dari nilai yang semata-mata untuk mendapatkan hasil yang objektif.

Kritis yang Transformatif
Kritis saja tidak cukup tanpa diimbangi dengan transformatif. Kritis hanya sebatas proses analisis yang masih abstrak dan perlu dikristalkan menjadi wujud konkret. Paradigma kritis adalah alat analisa, ia baru menjawab serial pertanyaan ‘kekinian’ modernitas. Ini baru sampai pada logika dan mekanisme working system yang menciptakan relasi tidak adil, hegemonik, dominatif dan eksploitatif, namun belum mampu memberikan perspektif jawaban terhadap formasi sosial. Oleh sebab itu, transformatif dihadirkan dalam rangka melengkapi kemandegan pasca analisa atau kontemplasi.

Transformatif adalah adjective dari kata transformasi, yang secara leksikal dalam bahasa Inggris ialah transform yang berarti merubah bentuk atau rupa, transformation merupakan perubahan bentuk atau penjelmaan.[17] Dari pengertian tersebut, sehingga transformatif adalah proses pengubahan dari satu bentuk, yaitu berupa ide, gagasan dan sistem gerakan menjadi bentuk baru yang mampu menjamah realitas masyarakat pada wilayah tindakan praksis. Contoh transformasi antara lain adalah transformasi dari elitisme ke populisme, dari negara ke masyarakat, dari struktur ke kultur, dari individualisme ke massa, atau dari hedonisme ke altruisme.[18]

Dari alur uraian tersebut di atas, transformatif dimunculkan dalam konsep paradigma kritis tidak lain adalah dalam rangka untuk membumikan atau memanifestasikan paradigma kritis, sehingga paradigma kritis tidak menjadi sebuah utopia yang melayang-layang, melangit dan jauh dari sasaran, namun membumi dan aplikatif terhadap realitas sosial dan transformatif.

Pembacaan PKT Terhadap Realitas Sosial
Pada esensinya, PKT hanyalah produk pemikiran para intelektual baik Barat maupun Timur. Yang pasti, ia dipandang sekuler oleh khalayak, dan bahkan juga dipandang sebelah mata, khususnya oleh golongan kanan. Meski demikian, PMII justru sangat merespon PKT dengan mengaplikasikannya dalam menjawab problem realitas sosial, khususnya yang dihadapi PMII, dan tentunya juga PMII melakukan filtrasi atas PKT. Bagi PMII, PKT bukanlah cara pandang dogmatis yang dianggap final, melainkan hanyalah alat analisa yang kebetulan dipilih oleh PMII. Sehingga, dengan melihat realitas yang ada di masyarakat, dan sesuai dengan tuntutan keadaan masyarakat PMII baik secara sosiologis, politis dan antropologis, maka PMII memilih pradigma kritis transformatif sebagai pijakan gerakan organisasi.

Pilihan paradigma kritis transformatif sesungguhnya berawal dari dialektika model gerakan yang harus dipilih oleh PMII, dalam menghadapi realitas kebangsaan dan kemanusiaan, antara yang ber”politicho-thing” yang hobinya bermanja-manja dengan kekuasaan, dengan yang berkeinginan untuk mengembalikan PMII pada khittah gerakan mahasiswa, gerakan pemikiran dan gerakan moral (moral force) yang independen.[19]

Terdapat beberapa alasan yang menyebabkan PMII memilih PKT sebagai dasar untuk bertindak dan mengaplikasikan pemikiran, serta menyusun cara pandang dalam melakukan analisa. Pertama, masyarakat Indonesia sedang terbelenggu oleh kekuatan represif imperialis kapitalisme modern di satu sisi. Di sisi lain, masyarakat dikondisikan untuk berfikir ala positivistik-modernisme yang elitis-individualis dan serba instan. Untuk itu, PKT menjadi ‘jurus jitu’ untuk melawan ‘berhala’ modernitas yang menjadi sesembahan.

Kedua, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang plural baik etnik, tradisi, budaya, agama maupun kepercayaan. Sehingga, PKT dianggap cocok untuk merepresentasikan dan memposisikan ke-pluralan tersebut. Karena bagi PMII, PKT dipandang inklusif-humanis, sehingga dengan PKT diharapkan individu-individu atau kelompok-kelompok mempunyai kesempatan yang sama dalam bereksplorasi tanpa saling merugikan dan mengganggu. PKT dipilih oleh PMII juga untuk melawan secara frontal terhadap sistem politik apapun dan kapanpun yang bersifat represif, otoriter dan menghegemoni masyarakat (baca: mustadl’afin). Dalam kasus ini, PMII memposisikan PKT (critical paradigm) vis a vis dengan paradigma keteraturan (order paradigm).[20]

Selain masalah sosial-politik, PKT juga dihadirkan dalam rangka menjawab realitas keberagamaan dan sikap terhadap tradisi yang sangat tekstualis-dogmatis, sehingga pemahaman dan tindakannya sangat reduksif (kering dan ganjil). Dalam hal ini, PMII meniru semangatnya tokoh Kiri Islam, seperti Hasan Hanafi, Mohammad Arkoun, Nasir Hamid Abu Zaid, Abid Al-Jabiri, Asghar Ali Engineer dan tokoh-tokoh Kiri Islam lainnya, serta masih masih banyak alasan lain yang mengharuskan kenapa PMII harus ber-PKT.

Pada intinya, PKT ‘ada’ adalah dalam rangka menghapus dehumanisasi dan menggantinya dengan upaya menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan dari bermacam belenggu kepicikan modernisme. Dan jika kita amati, PKT PMII sangatlah mewarisi semangat yang terkandung dalam Islam, terutama Islam Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja). Dalam hal ini, penerapan paradigma kritis bukan menyentuh pada hal-hal yang sifatnya sakral, melainkan pada persoalan yang profan. Lewat paradigma kritis, sehingga PMII berupaya menegakkan sikap kritis dalam kehidupan dengan menjadikan ajaran Islam (Aswaja) sebagai inspirasi yang hidup dan dinamis.

Konklusi
Paradigma kritis berupaya menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan dari berbagai belenggu yang diakibatkan oleh proses sosial yang bersifat profan. Selain itu, paradigma kritis juga sebagai upaya dalam melawan segala bentuk dominasi dan penindasan, serta membuka tabir dan selubung pengetahuan yang munafik dan hegemonik. Semua ini adalah semangat yang dikandung oleh Islam. Oleh karenanya, pokok-pokok pikiran inilah yang dapat diterima sebagai titik pijak paradigma kritis di kalangan warga PMII.

Paradigma kritis yang digunakan PMII adalah kritik konstruktif yang mampu mewujudkan perubahan, sehingga menjadi paradigma kritis transformatif. PKT dipilih sebagai paradigma bagi PMII adalah sebagai upaya dalam menjembatani kekurangan-kekurangan yang ada dalam paradigma kritis pada wilayah-wilayah turunan dan bacaan kritisnya terhadap realitas. Dengan demikian, paradigma kritis transformatif dituntut untuk memiliki instrumen-instrumen gerak yang dapat digunakan oleh masyarakat PMII, mulai dari ranah filosofis hingga sampai pada ranah praksis.


Referensi:
Agger, Ben. (2016). Teori Sosial Kritis; Kritik, Penerapan dan Implikasinya, Judul Asli: Critical Social Theories; An Itroduction. terj. Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Akrom, Mizanul. (2019). Pendidikan Islam Kritis, Pluralis dan Kontekstual. Bali: Mudilan Group.
Alfas, Fauzan. (2015). PMII dalam Simpul-Simpul Sejarah Perjuangan. Jawa Timur: PB PMII dan Intimedia.
Bagus, Lorens. (2002). Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.
Hamid, Ab, Mohd Azhar. (2001). Pengenalan Pemikiran Kritis dan Kreatif. Skudai: Penerbit UTM.
Hardiman, Fransisco Budi. (2004). Kritik Ideologi; Menyingkap Kepentingan Pengetahuan Bersama Jürgen Habermas. Yogyakarta: Buku Baik.
Heriyanto, Husain. (2003). Paradigma Holisti; Dialog Filsafat, Sains dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead. Jakarta: Teraju.
Kuhn, Thomas S. (2012). The Structure of Scientific Revolution; Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains. terj. Tjun Surjaman. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Perdue, William D. (1986). Sosiological Theory; Explanation, Paradigm and Ideology. California: Mayfield Publishing Company.
Saifullah. (2007). Refleksi Sosiologi Hukum. Bandung: Refika Aditama.
Salim, Peter. (1996). The Contempory English-Indonesian Dictionary. Jakarta: Modern English Press.
Soetrisno dan Rita Hanafie, SRDm. (2007). Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Andi Offset.
Tim Pustaka Agung Harapan. (tt.). Kamus Ilmiah Populer Lengkap. Surabaya: Pustaka Agung Harapan.



[1] Intelektual organik yang dimaksud dalam tulisan ini sebagaimana tradisi pemikiran Gramscian, yaitu jenis intelektual yang bekerja untuk komunitasnya, hidup bersama-sama dan menciptakan perubahan secara bersama pula. Secara metodologi, intelektual organik memadukan kerja teoretik dan aktivitas praktik. Jurang pemisah antara ide dan materi di atasi dengan kerja-kerja yang berorientasi pada perubahan sosial secara kolektif, serta sadar akan medan geraknya.
[2] Istilah Mazhab Frankfurt diberikan pada sekelompok filsuf yang memiliki afiliasi dengan Institusi Penelitian Sosial (Institute for Social Research) di Frankfurt-Jerman, dan pemikir lainnya yang dipengaruhi oleh mereka. Sebagian di antara filsuf terkenal yang tergabung di dalamnya yaitu Theodor W. Adorno, Walter Benjamin dan Jürgen Habermas. Sebenarnya, para pemikir ini tidak pernah mendefinisikan diri mereka sendiri di dalam sebuah kelompok atau mazhab, namun penamaan ini muncul secara retrospektif. Lihat: Ben Agger, Teori Sosial Kritis; Kritik, Penerapan dan Implikasinya, Judul Asli: Critical Social Theories; An Itroduction, terj. Nurhadi, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2016), hlm. 157-158.
[3] Mizanul Akrom, Pendidikan Islam Kritis, Pluralis dan Kontekstual, (Bali: Mudilan Group, 2019), hlm. 85.
[4] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm. 779.
[5] Soetrisno dan SRDm Rita Hanafie, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Andi Offset, 2007), hlm. 32.
[6] Husain Heriyanto, Paradigma Holisti; Dialog Filsafat, Sains dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead, (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 28.
[7] Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hlm. 84.
[8] Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolution; Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains, terj. Tjun Surjaman, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 10.
[9] Ibid.
[10] William D. Perdue, Sosiological Theory; Explanation, Paradigm and Ideology, (California: Mayfield Publishing Company, 1986), hlm. 24.
[11] Mohd Azhar Ab. Hamid, Pengenalan Pemikiran Kritis dan Kreatif, (Skudai: Penerbit UTM, 2001), hlm. 91.
[12] Tim Pustaka Agung Harapan, Kamus Ilmiah Populer Lengkap, (Surabaya: Pustaka Agung Harapan, tt.), hlm. 337.
[13] Neo-Marxisme adalah paham yang mengacu pada kebangkitan kritis teori Marxis pada pasca perang, yang paling sering digunakan untuk menunjukkan pekerjaan di bidang ekonomi  politik radikal, yang mencoba untuk menggabungkan aspirasi revolusioner dan berorientasi konsep Marxisme dengan beberapa perangkat yang disediakan oleh ekonomi non-Marxis, terutama karya Keynes. Neo-Marxisme sebenarnya adalah sebutan untuk menunjukkan upaya, selama dan setelah perang Dunia II, yang bercermin pada ketepatan kategori Marxis untuk memahami kondisi perubahan akumulasi modal. Aliran ini berusaha untuk memberi kritik terhadap perkembangan yang ada, dengan menggunakan sudut pandang Marxisme, sekaligus menyusun teori yang menyatakan konstribusi mereka terhadap trend global.
[14] Fransisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi; Menyingkap Kepentingan Pengetahuan Bersama Jürgen Habermas, (Yogyakarta: Buku Baik, 2004), hlm. 33.
[15] Ben Agger, Op. Cit., hlm. 19-20.
[16] Fransisco Budi Hardiman, Op. Cit., hlm.
[17] Peter Salim, The Contempory English-Indonesian Dictionary, (Jakarta: Modern English Press, 1996), hlm. 2009.
[18] Altruisme adalah paham (sifat) manusia yang lebih memperhatikan dan mengutamakan kepentingan dan kebaikan bagi orang lain (kebalikan dari sikap egoisme). Altruisme juga sebagai sikap naluri manusia berupa dorongan untuk berbuat jasa kepada manusia lain.
[19] Gagasan awal mengenai pilihan Paradigma Gerakan PMII, yang kemudian kita kenal Paradigma Kritis Transformatif ini, sebenarnya berawal dari berbagai perbincangan yang muncul selama Musyawarah Pimpinan (MUSPIM 1995), yang kemudian ditindaklanjuti dalam Sarasehan Nasional Kebudayaan, pada tanggal 17 April 1997 di Kaliurang Yogyakarta. Lihat: Fauzan Alfas, PMII dalam Simpul-Simpul Sejarah Perjuangan, (Jawa Timur: PB PMII dan Intimedia, 2015), hlm. 302
[20] Dalam paradigma keteraturan (order Paradigm), masyarakat dipandang sebagai sistem sosial yang terdiri dari bagian-bagian, atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan sistemik. Asumsi dasarnya bahwa setiap struktur sosial adalah fungsional terhadap struktur lainnya. Kemiskinan, peperangan, perbudakan misalnya, merupakan sesuatu yang wajar, sebab fungsional terhadap masyarakat. Ini yang kemudian melahirkan teori strukturalisme-fungsional. Secara eksternal paradigma ini dituduh ahistoris, konservatif, pro satus quo dan karenanya anti-perubahan.
Previous Post
Next Post

Penulis yang mengabdikan tulisannya bagi amal jariyah pemikiran. Tokoh favorit sekaligus panutannya adalah Gus Dur