Prawacana
Mahasiswa yang
baru saja menapaki gerbang dunia kampus tentu memiliki banyak harapan dan angan-angan awal yang berbeda. Ada yang
menganggap bahwa kuliah itu sekadar cari prestise agar dianggap wah banyak orang, ada yang kuliah hanya dijadikan ajang untuk cari pacar, mendapat jodoh, dan masih banyak lagi dan lagi tujuannya. Tapi realita hari ini banyak sekali mahasiswa yang terpelanting narasi dengan penalaran normatif akademis bahwa
kuliah itu sekadar menggugurkan kewajiban orangtua karena telah banyak uang yang dikeluarkan untuk kebutuhan kuliahnya, sehingga yang terpenting bagaimana agar nilai IPK-nya cum laude, cepat
lulus, mendapat ijazah, mengurus ijab sah dan cepat dapat kerja.
Tentu penggalang narasi tujuan tersebut sangat kontras dengan mahasiswa kritis-progresif, yang dengan seperangkat pengetahuannya dijadikan steering commite untuk melabrak hegemoni intelektual yang beku, kaku dan mengasingkan
rasionalitasnya, karena dogma pengetahuan yang mengendap di otak dan alam
bawah sadar dirinya telah meracuni pola pikir eksklusif dan individualis.
Tipologi mahasiswa dengan kesadaran dan pola pikir kritis-progresif tersebut terbentuk karena ia bergumul dengan aktivitas organisasi, bersentuhan
langsung dengan berbagai literatur buku, aktif-progresif di dalam ruang-ruang
diskusi dan mediasi intelektual. Karena mereka sadar bahwa mahasiswa hari ini benar-benar dituntut agar memiliki seperangkat
pengetahuan dan intelektualitas yang kuat agar mereka menjadi sosok
mahasiswa yang cerdas, kritis, progresif dan tanggap akan realitas
sosialnya.
Mahasiswa dengan predikat intelektual kritis-progresif sembari transformatif, maka lahirlah narasi berfikir dalam dirinya bahwa pelbagai teori pengetahuan menjadi perihal penting untuk ia
konsumsi kemudian dikontekstualisasikan agar seroda dengan kalam kehidupan yang ia
jamah, serta senafas dengan situasi dan kondisi di zamannya. Mahasiswa yang bergerak pada ranah ini, sebenarnya lebih mendekati, apa yang Antonio Gramsci sebut, sebagai intelektual-organik[1]
yang mampu mempertautkan antara teori dan praksis. Sedangkan oleh Mazhab Frankfurt,[2]
dikatakan sebagai sosok intelektual yang lebih berguna bagi kehidupan dan untuk memecahkan berbagai problem
sosial masyarakat di mana ia berpijak. Pada ranah ini,
fenomena kaum intelektual sejatinya
bersifat progresif-revolusioner, meskipun lebih diwujudkan dalam revolusi
pemikiran bukan pada revolusi fisik. Hal inilah yang menjadikan sosok kaum
intelektual sebagai sosok manusia yang berperilaku, bersikap dan bertindak dengan karakter
kritis,
sehingga kaum intelektual di sini menyatakan pikiran dan
kritiknya secara jelas, jujur dan transformatif.
Sejatinya bahwa insan intelektual, dengan beberapa kualifikasi sebagaimana disebutkan di atas, bukanlah
monopoli pendidikan formal, terutama adalah Perguruan Tinggi. Banyak kaum
intelektual itu lahir dari luar benteng ‘menara
gading’ kampus. Mereka mampu mengembangkan pemikiran sendiri hingga
mencapai kemampuan pemikiran dan perilaku intelektual. Pertanyaan
kemudian, di manakah posisi Kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) yang
dikenal sebagai sosok mahasiswa intelektual yang kritis dan bahkan
transformatif dalam setiap tindakan dan perilaku organisasi?
Jawaban atas pertanyaan di atas, sangat berpengaruh terhadap pembentukan wajah
gerakan PMII dan orientasi pengembangan yang
dilakukan. Dominasi disiplin ilmu-ilmu sosial sebagai asupan gizi dan amunisi intelektual kader PMII tentu sangat berpengaruh dalam cara pandang, titik pijak
filosofis dan teologis, serta pokok-pokok
program dan gerakan yang dilakoninya. Dalam konteks pencerminan dari suatu hasil perubahan
yang diinginkan oleh warga PMII merupakan hasil serius
dari upayanya dalam memberikan suatu tatanan keorganisasian agar menjadi lebih baik.
Adanya ruang yang begitu luas untuk melakukan aktualisasi diri telah
menghasilkan suatu komunitas yang kritis, apresiatif dan dinamis
baik dalam melakukan eksplorasi gagasan, pemikiran maupun
dalam parksis gerakannya. Arah pemikiran dan langkah konkret gerakan
PMII tentu sangat erat kaitannya dengan masalah paradigma yang dibangun dan
dipakai oleh warga PMII. Sebab, paradigma adalah ‘kaca mata’ pandang yang memiliki
seperangkat asumsi, nilai, konsep dan praktek yang memengaruhi cara berfikir,
bersikap maupun bertindak seluruh kader PMII.
Paradigma Kritis Transformatif atau PKT PMII adalah roll models paradigma yang sampai hari ini
masih dipilih oleh warga PMII sebagai problem solver kompleksitas
permasalahan zaman yang dihadapi. Pemilihan PKT
sebagai paradigma pergerakan bagi PMII bukanlah tanpa alasan, tentu ada
pra kondisi yang muncul sebagai soft ware pergerakan. Telah tercatat dalam sejarah PMII, sebelum kemunculan PKT, ada paradigma lain
yang dijadikan PMII sebagai alat analisa dalam mengatasi kompleksitas permasalahan yang dihadapi, yaitu “Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran”. Tepatnya
dimulai pada eranya Sahabat Muhaimin Iskandar, sampai pada akhirnya dianggap kurang relevan dan tergantikan
dengan PKT di masa kepemimpian Sahabat Syaiful Bahri Anshori.
Masing-masing model paradigma yang dianut warga PMII adalah suatu
bentuk ikhtiar atau jawaban
atas realitas zamannya. Paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran,
di
latarbelakangi oleh kondisi sosio-politik bangsa (rezim
Orba) yang represif dan sangat tidak memihak terhadap kaum mustadl’afin (proletariat). Paradigma Arus Balik bernada sangat frontal dalam
mendengungkan anti kemapanan, atau lebih jelasnya anti ketidakadilan dan
penindasan. Gerakan perlawanan Paradigma Arus Balik dikemudian hari
dilanjutkan dengan Paradigma Kritis Transformatif.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba menggambarkan kajian pemikiran dan ranah
gerakan yang diusung Paradigma Kritis Transformatif yang dirasa masih
begitu relevan bagi warga PMII; di samping karena PMII sampai hari ini belum menemukan wajah atau model
paradigma baru sebagai pisau analisa dan arah gerakan untuk membaca realitas
sosial hari ini. Namun, satu kali lagi bahwa PKT masih sangat relevan, karena PKT akan membuka kran wacana pengetahuan yang akan menghasilkan kesadaran kritis bagi kader, serta dapat membuka
jalan kader menuju sosok intelektual-organik, sehingga citra diri gerakan intelektual PMII adalah intelektual transformatif yang memiliki tanggung jawab untuk menjadikan kampus sebagai 'medan pertarungan' dengan menginternalisasi kesadaran akan pentingnya pengetahuan dalam benak kader, serta kesadaran yang tinggi untuk mencari ilmu
sebanyak-banyaknya sesuai dengan basis akademis dengan tanpa menghilangkan kesadaran
ruang di mana mereka berpijak.
Pengertian Paradigma
Secara etimologi paradigma berasal dari
bahasa Inggris ‘paradig’, yang berarti bentuk sesuatu, model, dan pola (type of something,
model, pattern). Dalam bahasa Yunani, paradigma berasal dari kata ‘para’ (di samping, di sebelah), dan kata dekynai
(memperlihatkan; yang berarti; model; contoh; arketipe; ideal). Sedangkan
secara terminologi paradigma berarti a total view of a problem; a total
outlook; not just a problem in isolation. Paradigma adalah cara pandang
atau cara berfikir tentang sesuatu.[3] Jadi, paradigma dapat
dimaknai dengan cara memandang sesuatu.
Dalam ilmu pengetahuan, paradigma
berarti model, pola, ideal. Dari model-model itu sehingga fenomena yang dipandang bisa diperjelas. Karena paradigma dalam totalitas premis-premis teoretis dan metodologisnya
memberikan, menentukan, dan mendefinisikan suatu studi ilmiah konkret, juga sebagai dasar untuk menyeleksi
problem-problem dan pola untuk memecahkan problem-problem riset.[4]
Menurut Nasim Butt, paradigma
adalah teori-teori yang berhasil secara empiris, yang mulanya diterima dan
dikembangkan dalam sebuah tradisi penelitian sampai kemudian ditumbangkan oleh
paradigma yang lebih progresif secara empiris.[5]
Sedangkan menurut Husain Heriyanto, paradigma adalah seperangkat asumsi
teoretis umum dan hukum-hukum, serta teknik-teknik aplikasi yang dianut secara
bersama oleh para anggota suatu komunitas ilmiah.[6] Liek Wilaryo, mendefinisikan paradigma sebagai model yang
dipakai ilmuwan dalam kegiatan keilmuannya untuk menentukan jenis-jenis
persoalan yang perlu digarap, dengan metode apa, dan melalui prosedur
yang bagaimana penggarapan itu harus dilakukan.[7]
Lebih lanjut, konsep paradigma populer karena pemikiran
Thomas Kuhn dalam bukunya; The
Struktur of Scientific Revolution, ketika dirinya menjelaskan tentang revolusi ilmu
pengetahuan. Menurut Kuhn, ilmu pengetahuan itu berkembang dari masa awal
pembentukan, kemudian memperoleh pengakuan dan
berkembang menjadi paradigma. Pada tahap inilah kemudian teori ilmu
pengetahuan diakui sebagai kebenaran sekaligus dijadikan sebagai acuan bagi masyarakat
dalam merumuskan pertanyaan dan cara menjawab. Pada saat ini pula sebuah teori
ditempatkan sebagai paradigma, yaitu suatu pandangan mendasar tentang apa yang
menjadi pokok persoalan (subject matter) dari suatu cabang ilmu. Normal science adalah periode
berikutnya, yang dalam hal ini terjadi akumulasi ilmu pengetahuan. Para ilmuwan
bekerja berdasarkan paradigma yang berpengaruh di dalamnya, dan asumsi yang
mendasari pun dijadikan sebagai dasar dalam memahami kenyataan.[8]
Namun dalam perkembangan selanjutnya, yaitu sejalan dengan
perkembangan masyarakat apa yang awalnya diyakini sebagai kebenaran kemudian mengalami
kekacauan (anomali), karena asumsi paradigma lama sudah tidak mampu lagi menjawab
persoalan yang muncul. Akibatnya, timbul suatu krisis karena validitas paradigma lama
benar-benar sudah tidak bisa lagi untuk dipertahankan. Pada saat inilah kemudian terjadi, apa
yang menurut Kuhn, dengan masa terjadinya suatu ‘revolusi ilmu pengetahuan’. Pada
saat revolusi ilmu pengetahuan terjadi, maka asumsi dan dasar pemikiran
paradigma yang berlaku tidak lagi dianggap relevan untuk merumuskan pertanyaan
dan mengajukan jawaban atas fenomena yang ada. Setelah terjadi revolusi,
selanjutnya ditemukanlah teori baru, dan dari sinilah kemudian dimulai munculnya paradigma
baru.[9]
Berdasar atas pemikiran, konsep dan rumusan definisi paradigma yang disusun
oleh para ahli tersebut di atas, maka dapat dirumusakan secara
sederhana, atau paling tidak menangkap poin penting bahwa istilah paradigma
dalam masyarakat PMII dapat dirumuskan
sebagai titik pijak untuk menentukan cara pandang, menyusun sebuah teori,
menyusun pertanyaan, dan membuat rumusan mengenai suatu masalah, serta medan
gerakan yang harus dilakukan oleh PMII. Atau dengan kata lain, istilah
paradigma bagi PMII merujuk pada bagaimana PMII ‘melihat realitas’. Lebih
sederhana lagi, paradigma tak ubahnya seperti kaca mata untuk melihat, memaknai
serta menafsirkan realitas; terutama dalam kasus PMII adalah realitas
sosial-masyarakat. Oleh karenanya, jika paradigma diaplikasikan secara massif, maka kemudian akan menuai respon
berupa arahan dalam bergerak.
Mengambil konsep varian atau jenis paradigma dari William Perdue, dalam ilmu sosial dikenal ada tiga jenis utama paradigma
yang merupakan sebuah sintesis perkembangan paradigma sosial.[10]
Pertama, paradigma keteraturan (Order
Paradigm). Inti dari
paradigma keteraturan ini bahwa masyarakat dipandang sebagai sistem sosial yang terdiri dari bagian-bagian atau
elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan sistemik. Asumsi
dasarnya bahwa setiap struktur sosial merupakan fungsional terhadap struktur lainnya.
Kemiskinan, peperangan, perbudakan misalnya, merupakan sesuatu yang wajar, karena fungsional terhadap
masyarakat. Ini yang kemudian melahirkan teori strukturalisme fungsional. Secara eksternal
paradigma ini dituduh ahistoris, konservatif dan pro status quo, karenanya anti-perubahan. Paradigma ini mengingkari
hukum kekuasaan bahwa ‘setiap ada kekuasaan senantiasa ada perlawanan’.
Kedua, paradigma konflik (Conflic Paradigm). Secara konseptual, paradigma konflik ini menyerang paradigma
keteraturan yang mengabaikan kenyataan
bahwa setiap unsur-unsur sosial dalam dirinya mengandung
kontradiksi-kontradiksi internal
yang menjadi prinsip penggerak perubahan. Perubahan tidak selalu gradual, tapi juga revolusioner. Dalam jangka panjang, sistem
sosial harus mengalami konflik dalam lingkar setan (vicious circle) yang tak
berujung. Pangkal kritik itulah yang kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi paradigma konflik. Karena konflik dipandangnya sebagai sesuatu yang inhern dalam setiap
komunitas, tak mungkin dikebiri, apalagi
dihilangkan. Karenanya, konflik menjadi instrumen perubahan.
Ketiga, paradigma plural (Plural Paradigm). Dari perbedaan yang kontras antara paradigma keteraturan dengan paradigma konflik tersebut,
kemudian berusaha memunculkan sintesis baru sehingga lahirlah paradigma
plural. Karena paradigma plural memandang bahwa manusia itu sebagai sosok yang independen, bebas, memiliki otoritas dan otonomi untuk melakukan pemaknaan atau menafsirkan
realitas sosial yang ada di sekitarnya.
Dari ketiga paradigma tersebut di atas, merupakan
pijakan-pijakan untuk membangun paradigma baru. Dari optik pertumbuhan teori
sosiologi, telah lahir paradigma kritis setelah dilakukan elaborasi antara
paradigma pluralis dan paradigma konflik. Paradigma pluralis memberikan dasar
pada paradigma kritis, terkait dengan asumsinya bahwa manusia merupakan sosok
yang independen, bebas dan memiliki otoritas untuk menafsirkan realitas. Sedangkan
paradigma konflik mempertajam paradigma kritis, dengan asumsinya tentang adanya
pembongkaran atas dominasi satu kelompok pada kelompok yang lain.
Teori Kritis
Dari sudut bahasa, perkataan ‘kritis’ berasal dari perkataan
Inggris, yaitu ‘critic’. Namun begitu
kata dasar ‘kritis’ merupakan perkataan Greek, ‘kriths’ (kritikos), yang bermaksud menimbang (judge). Menimbang juga membawa maksud menilai (evaluates), membedakan (distinguishes),
memutuskan (decide) dan menyoal (question) sesuatu itu benar atau salah.[11]
Dalam kamus Ilmiah Populer, ‘kritis’ diartikan dengan genting; gawat; akut;
tajam/tegas dan teliti dalam menanggapi atau memberikan penilaian; secara
mendalam; tanggap dan mampu melontarkan kritik-kritik.[12]
Seperti halnya kata paradigma, kata ‘kritis’ seringkali
digunakan dalam berbagai konteks, tetapi teori kritis pada saat ini lebih dimaksudkan
sebagai teori yang digunakan untuk menganalisa secara tajam dan teliti terhadap
realitas.
Jika dilihat secara historis, munculnya istilah kritis sangat berhubungan erat dengan gerakan filsafat
Neo-Marxian Jerman, yaitu yang biasa disebut dengan Mazhab Frankfurt. Dalam teori sosiologi modern, teori kritis adalah produk sekelompok Neo-Marxisme[13] Jerman yang tidak puas dengan keadaan teori Marxian, terutama
kecenderungannya menuju apa yang mereka sebut determinisme ekonomi. Pada tahapan
selanjutnya, gerakan ini pun menjadi paham yang terlembagakan dalam The Institute of Social Research,
Frankfurt, Jerman. Adapun tokoh Mazhab Frankfurt adalah Max Horkheimer (1895-1973), Theodor W. Adorno
(1903-1969) dan Herbert Marcuse (1898-1979) yang kemudian
dilanjutkan oleh generasi kedua dari Mazhab Frankfurt, yaitu Jürgen Habermas.[14]
Kritik utama Mazhab Frankfurt adalah kehidupan sosial dan
intelektual pada saat itu. Para pemikir di
dalamnya berusaha mengungkapkan sifat masyarakat secara lebih akurat. Lebih
detail lagi, beberapa kritik yang disuarakan oleh Mazhab Frankfurt adalah
kritik terhadap teori Marxian (determinisme ekonomi), positivisme (generalisasi ilmu pengetahuan), (gerakan)
sosiologi (pro-status quo), dan
kritik terhadap masyarakat modern yang individualis dan sangat dehumanis.[15]
Mazhab Frankfrut mengkarakterisasikan berpikir kritis dengan empat hal; (1)
berpikir dalam totalitas (dialektis); (2) berpikir empiris-historis; (3) berpikir dalam kesatuan teori dan praksis; (4) berpikir dalam realitas yang tengah dan terus bekerja. Pada dasarnya
mereka mengembangkan apa yang disebut dengan kritik ideologi atau kritik
dominasi. Sasaran kritik ini bukan hanya pada struktur sosial, juga pada
ideologi dominan dalam masyarakat.
Selanjutnya, jika teori kritis mempergunakan konsep kritis, terlebih
dihubungkan dengan kritik yang dikembangkan setelah Renaissance, yaitu masa Aufklarung (Abad ke-17 dan 18) dan Abad ke-19. Pada masa ini, muncul para filsuf seperti Immanuel Kant, G.W.F. Hegel, Karl Marx, yang oleh Mazhab Frankfurt dipandang sebagai
filsuf kritis. Kemudian muncul seorang pemikir, yaitu Sigmund Freud yang juga dipandang
sebagai pemikir kritis. Maka dari itu, jika teori kritis mempergunakan kata
‘kritik’, sehingga hal ini langsung dikaitkan pada keempat pemikir kritis
dimaksud. Dengan demikian, maka makna kritik dapat dipahami sebagai kritik
dalam arti Kantian, kritik dalam arti Hegelian, kritik dalam arti Marxian dan kritik
dalam arti Freudian.[16]
Kritik dalam Arti Kantian
Menurut
teori kritis, Immanuel Kant adalah seorang pemikir yang kritis, karena
mempertanyakan the conditions of
possibility dari pengetahuan itu sendiri. Kant menyibukkan diri dalam
diskusi ilmu pengetahuan yang tak kunjung usai. Misalnya diskusi yang
berpretensi pada; apa itu Allah, kebebasan, dan kekekalan jiwa, dan berusaha
merumuskannya secara ontologis. Kant tidak ingin mempersoalkan semua itu, melainkan
lebih mengarahkan pada ‘rasio diri’ kita sendiri sebagai alat untuk menyelidiki
perkara-perkara metafisis. Kant menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio
dengan menunjukkan, sejauhmana klaim-klaim rasio itu dianggap benar. Jalan yang
ditempuh Kant disebutnya dengan ‘kritisisme’ dalam perlawanannya atas jalan
yang ditempuh oleh para filsuf sebelumnya, yaitu ‘dogmatisme’.
Dengan
mempertanyakan syarat-syarat kemungkinan pengetahuan, Kant menguji shahih tidaknya bentuk-bentuk
pengetahuan, seperti fisika dan metafisika. Di sini Kant dengan epistemologinya
ingin menunjukkan bahwa rasio dapat menjadi kritis terhadap kemampuannya
sendiri, dan menjadi ‘pengadilan tinggi’ terhadap hasil-hasil refleksinya
sendiri, yaitu dengan ilmu pengetahuan dan metafisika. Karenanya, kritik dalam arti Kantian berarti kegiatan berfikir tentang menguji shahih tidaknya klaim-klaim pengetahuan
tanpa prasangka, dan kegiatan ini dilakukan oleh rasio an sich.
Kritik dalam Arti Hegelian
Hegel mengembangkan kritik yang berbeda dengan Kant,
bahkan mengkritik epistemologinya Kant. Kritik dalam artian Kant adalah bersifat transcendental. Dengan cara ini, Kant
sebenarnya ingin meletakkan rasio kritis di atas suatu dasar yang pasti dan
tidak tergoyahkan. Sehingga rasio semacam ini tidak mengenal waktu, netral, dan
ahistoris. Berbeda dengan pandangan Hegel, di mana rasio itu bersifat kritis
dan tidak dengan cara transcendental,
apalagi ahistoris yang seakan-akan
rasio itu sudah sempurna. Rasio bukanlah kesadaran lengkap yang bebas dari
segala rintangan dalam sejarah perjalanan umat manusia dan alam, melainkan
adalah proses menjadi sadar justru di dalam rintangan-rintangan itu. Jika rasio
menyadari rintangan-rintangan mana yang menghalanginya untuk menjadi semakin
rasional dan semakin sadar, sehingga rasio mengarah pada kualitas rasionalitas
yang lebih tinggi. Dengan menyadari adanya rintangan-rintangan itu, dalam
pandangan Hegel, sama dengan menyadari asal-usul kesadaran. Atau dengan kata
lain, kesadaran rasional akan sesuatu justru muncul setelah kita merefleksikan
rintangan-rintangan. Dengan munculnya kesadaran itulah, sehingga kita dapat
membebaskan diri dari rintangan-rintangan untuk menjadi semakin rasional.
Dengan penjelasan tersebut di atas,
sehingga kita sampai pada kritik dalam arti Hegelian, yakni kritik adalah
hasil dari refleksi atau refleksi diri atas rintangan-rintangan,
tekanan-tekanan, dan kontradiksi-kontradiksi yang menghambat proses pembentukan
diri dari rasio dalam sejarah. Secara singkat, kritik berarti negasi atau
dialektika, karena kesadaran itu timbul adalah melalui rintangan-rintangan,
yaitu dengan cara menegasi atau mengingkari rintangan-rintangan tersebut.
Kritik dalam Arti Marxian
Jika
Hegel mengembangkan konsep kritis dalam konteks
filsafat idealismenya, sedangkan Marx mengembangkan konsep kritik dalam rangka
materialismenya. Menurut pandangan Marx, kritik dalam filsafat Hegel masih
kabur dan membingungkan, karena ia memahami sejarah secara abstrak. Sejarah
bukanlah sejarah konkret dari manusia yang berdarah daging, namun sejarah itu
adalah sejarah kesadaran atau sejarah rasio. Dengan cara realistis itu—seperti
juga dengan cara transendental—kritik tidak menghasilkan apapun bagi dunia
praksis, karena tidak jelas sasaran
pragmatisnya. Teori kritik yang diartikan Marx, yaitu kritik dalam konteks
materialisme sejarah, yang berarti praksis revolusioner yang dilakukan kaum
proletariat atau perjuangan kelas. Sehingga kritik itu
sendiri berarti usaha-usaha mengemansipasi diri dari penindasan dan alienasi
yang dihasilkan oleh hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat, yaitu dengan
membuka selubung kesadaran akan mekanisme-mekanisme objektif, hubungan-hubungan
penindasan dan pemecahan masalahnya. Sehingga, kritik dalam arti Marxian
berarti teori dengan tujuan emansipatoris, bukan sekadar melukiskan masyarakat,
melainkan hendak membebaskannya. Karenanya, kritik dalam arti Marxian
berarti teori dan praksis-emansipatoris, inilah kritik dalam
artian Marxian yang sesungguhnya.
Kritik dalam Arti Freudian
Sebenarnya,
teori kritis itu berupaya mengintegrasikan konsep-konsep
kritis dari Freud, mengenai gangguan-gangguan psikis dan naluri-naluri ke dalam
kritik ideologi Marx. Dengan cara ini, sehingga kritik itu bersifat
kemasyarakatan dengan mendapatkan pendasaran psikologisnya. Menurut pandangan Freudian, kritik adalah refleksi, baik
dari masyarakat maupun pihak individu atas konflik-konflik psikis yang
menghasilkan represi dan ketidakbebasan internal. Dengan cara refleksi ini,
sehingga masyarakat dan individu dapat membebaskan diri dari kekuatan-kekuatan
asing yang mengacaukan kesadarannya. Maka dari itu, secara singkat dapat
dijelaskan bahwa kritik dalam arti Freudian berarti pembebasan individu dan
masyarakat dari irasionalitas menjadi rasional, dan dari ketidaksadaran menjadi
kesadaran.
Dari keempat kritik di atas, yang kemudian dimaksudkan oleh para
pendiri teori kritis, sebenarnya kritik mereka lebih ditujukan pada sebuah analisis
kenyataan ideologis dari masyarakat zaman kita. Sehingga, dengan sebutan yang
lazim bahwa kerangka kritik yang mereka lontarkan, sesungguhnya adalah apa yang
disebut dengan ‘kritik ideologi’.
Karena, kritik yang mereka bangun lebih memusatkan diri pada kenyataan
ideologis dari masyarakat, di samping mereka juga berinteraksi dan bersentuhan
langsung dengan kenyataan material masyarakat.
Jika kita sederhanakan, teori kritis adalah teori yang bukan hanya
sekedar pembacaan pasif terhadap problem realitas, tetapi lebih bersifat
emansipatoris. Teori yang emansipatoris harus memenuhi minimal tiga syarat. Pertama, bersifat kritis dan curiga
terhadap segala sesuatu yang terjadi pada zamannya. Kedua, berfikir secara historis, artinya selalu melihat proses perkembangan masyarakat. Ketiga, tidak memisahkan antara teori
dan praksis, serta tidak melepaskan fakta dari nilai yang semata-mata untuk
mendapatkan hasil yang objektif.
Kritis yang Transformatif
Kritis saja tidak cukup tanpa diimbangi dengan transformatif. Kritis hanya
sebatas proses analisis yang masih abstrak dan perlu dikristalkan menjadi wujud
konkret. Paradigma kritis adalah alat analisa, ia baru menjawab serial
pertanyaan ‘kekinian’ modernitas. Ini baru sampai pada logika dan mekanisme working system yang menciptakan relasi tidak adil,
hegemonik, dominatif dan eksploitatif, namun belum mampu memberikan perspektif
jawaban terhadap formasi sosial. Oleh sebab itu, transformatif dihadirkan dalam
rangka melengkapi kemandegan pasca analisa atau kontemplasi.
Transformatif adalah adjective
dari kata transformasi, yang secara leksikal dalam
bahasa Inggris ialah transform yang berarti merubah bentuk atau rupa, transformation
merupakan perubahan bentuk atau penjelmaan.[17] Dari
pengertian tersebut, sehingga transformatif adalah proses pengubahan dari satu
bentuk, yaitu berupa ide, gagasan dan sistem gerakan menjadi bentuk baru yang
mampu menjamah realitas masyarakat pada wilayah tindakan praksis. Contoh transformasi antara lain adalah transformasi dari elitisme ke
populisme, dari negara ke masyarakat, dari struktur ke kultur, dari
individualisme ke massa, atau dari hedonisme ke altruisme.[18]
Dari alur uraian tersebut di atas, transformatif dimunculkan dalam konsep
paradigma kritis tidak lain adalah dalam rangka untuk membumikan atau
memanifestasikan paradigma kritis, sehingga paradigma kritis tidak menjadi
sebuah utopia yang melayang-layang,
melangit dan jauh dari sasaran, namun membumi dan aplikatif terhadap realitas
sosial dan transformatif.
Pembacaan PKT Terhadap Realitas Sosial
Pada esensinya, PKT hanyalah produk pemikiran para
intelektual baik Barat maupun Timur. Yang pasti,
ia dipandang sekuler oleh khalayak, dan bahkan juga dipandang sebelah mata,
khususnya oleh golongan kanan. Meski demikian, PMII justru sangat merespon PKT dengan
mengaplikasikannya dalam menjawab problem realitas sosial, khususnya yang
dihadapi PMII, dan tentunya juga PMII melakukan filtrasi atas PKT. Bagi PMII,
PKT bukanlah cara pandang dogmatis yang dianggap final, melainkan hanyalah alat
analisa yang kebetulan dipilih oleh PMII. Sehingga, dengan melihat realitas
yang ada di masyarakat, dan sesuai dengan tuntutan keadaan masyarakat PMII baik
secara sosiologis, politis dan antropologis, maka PMII memilih pradigma kritis
transformatif sebagai pijakan gerakan organisasi.
Pilihan paradigma kritis transformatif sesungguhnya berawal dari dialektika
model gerakan yang harus dipilih oleh PMII, dalam menghadapi realitas
kebangsaan dan kemanusiaan, antara yang ber”politicho-thing” yang hobinya bermanja-manja
dengan kekuasaan, dengan yang berkeinginan untuk mengembalikan PMII pada
khittah gerakan mahasiswa, gerakan pemikiran dan gerakan moral (moral force) yang independen.[19]
Terdapat beberapa alasan yang menyebabkan PMII memilih PKT sebagai dasar untuk bertindak dan
mengaplikasikan pemikiran, serta menyusun cara pandang dalam melakukan analisa.
Pertama, masyarakat Indonesia sedang
terbelenggu oleh kekuatan represif imperialis kapitalisme modern di satu sisi.
Di sisi lain, masyarakat dikondisikan untuk berfikir ala
positivistik-modernisme yang elitis-individualis dan serba instan. Untuk itu,
PKT menjadi ‘jurus jitu’ untuk
melawan ‘berhala’ modernitas yang menjadi sesembahan.
Kedua, masyarakat
Indonesia adalah masyarakat yang plural baik etnik, tradisi, budaya, agama
maupun kepercayaan. Sehingga, PKT dianggap cocok untuk
merepresentasikan dan memposisikan ke-pluralan tersebut. Karena bagi PMII, PKT
dipandang inklusif-humanis, sehingga dengan PKT diharapkan individu-individu
atau kelompok-kelompok mempunyai kesempatan yang sama dalam bereksplorasi tanpa
saling merugikan dan mengganggu. PKT dipilih oleh PMII juga untuk melawan
secara frontal terhadap sistem politik apapun dan kapanpun yang bersifat
represif, otoriter dan menghegemoni masyarakat (baca: mustadl’afin). Dalam kasus ini, PMII memposisikan PKT (critical paradigm) vis a vis dengan paradigma
keteraturan (order paradigm).[20]
Selain masalah sosial-politik, PKT juga dihadirkan dalam rangka
menjawab realitas keberagamaan dan sikap terhadap tradisi yang sangat
tekstualis-dogmatis, sehingga pemahaman dan tindakannya sangat reduksif (kering
dan ganjil). Dalam hal ini, PMII meniru semangatnya tokoh Kiri Islam, seperti Hasan
Hanafi, Mohammad Arkoun, Nasir Hamid
Abu Zaid, Abid Al-Jabiri, Asghar Ali Engineer dan tokoh-tokoh Kiri Islam lainnya, serta
masih masih banyak alasan lain yang mengharuskan kenapa PMII harus ber-PKT.
Pada intinya, PKT ‘ada’ adalah dalam rangka menghapus
dehumanisasi dan menggantinya dengan upaya
menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan dari bermacam belenggu kepicikan
modernisme. Dan jika kita amati, PKT PMII sangatlah mewarisi semangat yang
terkandung dalam Islam, terutama Islam Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja). Dalam hal ini, penerapan paradigma kritis bukan menyentuh pada hal-hal
yang sifatnya sakral, melainkan pada persoalan yang profan. Lewat paradigma
kritis, sehingga PMII berupaya menegakkan sikap kritis dalam kehidupan dengan
menjadikan ajaran Islam (Aswaja) sebagai inspirasi yang hidup dan dinamis.
Konklusi
Paradigma kritis berupaya menegakkan harkat dan martabat kemanusiaan dari
berbagai belenggu yang diakibatkan oleh proses sosial yang bersifat profan.
Selain itu, paradigma kritis juga sebagai upaya dalam melawan segala bentuk dominasi
dan penindasan, serta membuka tabir dan selubung pengetahuan yang munafik dan hegemonik.
Semua ini adalah semangat yang dikandung oleh Islam. Oleh karenanya,
pokok-pokok pikiran inilah yang dapat diterima sebagai titik pijak paradigma
kritis di kalangan warga PMII.
Paradigma kritis yang digunakan PMII adalah kritik konstruktif yang mampu mewujudkan
perubahan, sehingga menjadi paradigma kritis transformatif. PKT dipilih sebagai paradigma bagi PMII adalah sebagai upaya dalam menjembatani kekurangan-kekurangan yang ada dalam paradigma
kritis pada wilayah-wilayah turunan dan bacaan kritisnya terhadap realitas.
Dengan demikian, paradigma kritis transformatif dituntut untuk memiliki
instrumen-instrumen gerak yang dapat digunakan oleh masyarakat PMII, mulai dari
ranah filosofis hingga sampai pada ranah praksis.
Referensi:
Agger,
Ben. (2016). Teori Sosial Kritis; Kritik,
Penerapan dan Implikasinya, Judul Asli: Critical Social Theories; An Itroduction. terj. Nurhadi.
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Akrom, Mizanul. (2019). Pendidikan Islam Kritis,
Pluralis dan Kontekstual. Bali: Mudilan Group.
Alfas,
Fauzan. (2015). PMII dalam Simpul-Simpul
Sejarah Perjuangan. Jawa Timur: PB PMII dan Intimedia.
Bagus,
Lorens. (2002). Kamus Filsafat.
Jakarta: Gramedia.
Hamid,
Ab, Mohd Azhar. (2001). Pengenalan Pemikiran Kritis dan Kreatif. Skudai:
Penerbit UTM.
Hardiman,
Fransisco Budi. (2004). Kritik Ideologi; Menyingkap Kepentingan
Pengetahuan Bersama Jürgen Habermas. Yogyakarta: Buku Baik.
Heriyanto,
Husain. (2003). Paradigma Holisti; Dialog
Filsafat, Sains dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead. Jakarta:
Teraju.
Kuhn, Thomas
S. (2012). The Structure of Scientific
Revolution; Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains. terj. Tjun Surjaman. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Perdue, William D. (1986). Sosiological Theory; Explanation, Paradigm
and Ideology. California: Mayfield Publishing Company.
Saifullah.
(2007). Refleksi Sosiologi Hukum.
Bandung: Refika Aditama.
Salim,
Peter. (1996). The Contempory English-Indonesian Dictionary. Jakarta:
Modern English Press.
Soetrisno
dan Rita Hanafie, SRDm. (2007). Filsafat
Ilmu dan Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Andi Offset.
Tim
Pustaka Agung Harapan. (tt.). Kamus
Ilmiah Populer Lengkap. Surabaya: Pustaka Agung Harapan.
[1]
Intelektual organik yang dimaksud dalam tulisan ini sebagaimana tradisi
pemikiran Gramscian, yaitu jenis intelektual yang bekerja untuk komunitasnya, hidup
bersama-sama dan menciptakan perubahan secara bersama pula. Secara metodologi,
intelektual organik memadukan kerja teoretik dan aktivitas praktik. Jurang
pemisah antara ide dan materi di atasi dengan kerja-kerja yang berorientasi
pada perubahan sosial secara kolektif, serta sadar akan medan geraknya.
[2]
Istilah Mazhab Frankfurt diberikan
pada sekelompok filsuf yang memiliki afiliasi dengan Institusi Penelitian
Sosial (Institute for Social Research)
di Frankfurt-Jerman, dan pemikir lainnya yang dipengaruhi oleh mereka. Sebagian
di antara filsuf terkenal yang tergabung di dalamnya yaitu Theodor W. Adorno,
Walter Benjamin dan Jürgen Habermas. Sebenarnya, para
pemikir ini tidak pernah mendefinisikan diri mereka sendiri di dalam sebuah
kelompok atau mazhab, namun penamaan ini muncul secara retrospektif.
Lihat: Ben Agger, Teori Sosial
Kritis; Kritik, Penerapan dan Implikasinya, Judul Asli: Critical Social Theories; An Itroduction,
terj. Nurhadi, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2016), hlm. 157-158.
[3]
Mizanul Akrom, Pendidikan Islam
Kritis, Pluralis dan Kontekstual, (Bali: Mudilan Group, 2019), hlm. 85.
[4]
Lorens Bagus, Kamus Filsafat,
(Jakarta: Gramedia, 2002), hlm. 779.
[5]
Soetrisno dan SRDm Rita Hanafie, Filsafat
Ilmu dan Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Andi Offset, 2007), hlm. 32.
[6]
Husain Heriyanto, Paradigma Holisti;
Dialog Filsafat, Sains dan Kehidupan Menurut Shadra dan Whitehead,
(Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 28.
[7]
Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum,
(Bandung: Refika Aditama, 2007), hlm. 84.
[8]
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolution; Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains, terj. Tjun Surjaman,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2012), hlm. 10.
[9]
Ibid.
[10] William D. Perdue, Sosiological Theory; Explanation, Paradigm
and Ideology, (California: Mayfield Publishing Company, 1986), hlm. 24.
[11]
Mohd Azhar Ab. Hamid, Pengenalan Pemikiran Kritis dan Kreatif, (Skudai:
Penerbit UTM, 2001), hlm. 91.
[12]
Tim Pustaka Agung Harapan, Kamus Ilmiah
Populer Lengkap, (Surabaya: Pustaka Agung Harapan, tt.), hlm. 337.
[13]
Neo-Marxisme adalah paham yang mengacu pada kebangkitan
kritis teori Marxis pada pasca perang, yang paling sering digunakan untuk
menunjukkan pekerjaan di bidang ekonomi politik radikal, yang mencoba
untuk menggabungkan aspirasi revolusioner dan berorientasi konsep Marxisme dengan beberapa perangkat yang disediakan oleh
ekonomi non-Marxis, terutama karya Keynes. Neo-Marxisme sebenarnya adalah
sebutan untuk menunjukkan upaya, selama dan setelah perang Dunia II, yang
bercermin pada ketepatan kategori Marxis untuk memahami kondisi perubahan
akumulasi modal. Aliran ini berusaha untuk memberi kritik terhadap perkembangan
yang ada, dengan menggunakan sudut pandang Marxisme, sekaligus menyusun teori
yang menyatakan konstribusi mereka terhadap trend
global.
[14]
Fransisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi; Menyingkap Kepentingan
Pengetahuan Bersama Jürgen Habermas, (Yogyakarta: Buku
Baik, 2004), hlm. 33.
[15]
Ben Agger, Op. Cit., hlm. 19-20.
[16]
Fransisco Budi Hardiman, Op. Cit., hlm.
[17]
Peter Salim, The Contempory English-Indonesian Dictionary, (Jakarta:
Modern English Press, 1996), hlm. 2009.
[18]
Altruisme adalah paham (sifat) manusia yang lebih memperhatikan dan
mengutamakan kepentingan dan kebaikan bagi orang lain (kebalikan dari sikap
egoisme). Altruisme juga sebagai sikap naluri manusia berupa dorongan untuk
berbuat jasa kepada manusia lain.
[19]
Gagasan awal mengenai pilihan Paradigma Gerakan PMII, yang kemudian kita kenal
Paradigma Kritis Transformatif ini, sebenarnya berawal dari berbagai
perbincangan yang muncul selama Musyawarah Pimpinan (MUSPIM 1995), yang
kemudian ditindaklanjuti dalam Sarasehan Nasional Kebudayaan, pada tanggal 17
April 1997 di Kaliurang Yogyakarta. Lihat: Fauzan Alfas, PMII dalam Simpul-Simpul Sejarah Perjuangan, (Jawa Timur: PB PMII
dan Intimedia, 2015), hlm. 302
[20]
Dalam paradigma keteraturan (order
Paradigm), masyarakat dipandang sebagai sistem sosial yang terdiri dari
bagian-bagian, atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu
dalam keseimbangan sistemik. Asumsi dasarnya bahwa setiap struktur sosial
adalah fungsional terhadap struktur lainnya. Kemiskinan, peperangan, perbudakan
misalnya, merupakan sesuatu yang wajar, sebab fungsional terhadap masyarakat.
Ini yang kemudian melahirkan teori strukturalisme-fungsional. Secara eksternal
paradigma ini dituduh ahistoris, konservatif, pro satus quo dan karenanya anti-perubahan.