Sunday, April 22, 2018

IDEOLOGI PENDIDIKAN ISLAM (Pilar Jati Diri Pendidikan Nasional)

IDEOLOGI PENDIDIKAN ISLAM (Pilar Jati Diri Pendidikan Nasional)
Pendidikan secara terminologis dapat diartikan sebagai proses perbaikan dan penyempurnaan semua potensi manusia. Pendidikan dalam konteks ini terkait dengan gerak dinamis, positif, dan kontinyu setiap individu menuju idealitas kehidupan manusia melalui aktivitas individualnya yang meliputi pengembangan kecerdasan dzikir (afektif, rasa, hati, spiritual), fikir (rasio, kognitif), dan amal shaleh atau ketrampilan fisik (psikomotorik).[1] 

Pendidikan juga dapat diartikan sebagai suatu ikhtiar manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai dan kebudayaan yang ada dalam masyarakat. Sekalipun dalam masyarakat yang peradabannya sangat sederhana, tetap proses pendidikan dilakukan didalamnya. Maka dari itu, tidak mengherankan jika sering dikatakan bahwa pendidikan telah ada semenjak munculnya peradaban manusia. Sebab, semenjak awal manusia diciptakan upaya membangun dan mengembangkan peradaban selalu dilakukan, ini tidak lain karena manusia selalu mencita-citakan kehidupan yang ideal, yakni bahagia dan sejahtera.[2] 

Secara sederhana, pendidikan dapat diartikan sebagai bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan ruhani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.[3] Berdasarkan batasan inilah maka pendidikan sekurang-kurangnya mengandung lima unsur penting didalamnya; pertama, usaha (kegiatan) yang bersifat bimbingan (pimpinan atau pertolongan) dan dilakukan secara sadar; kedua, pendidik atau pembimbing atau penolong; ketiga, ada yang dididik atau si terdidik; keempat, bimbingan yang memiliki dasar dan tujuan, dan; kelima, dalam usaha itu terdapat alat-alat yang dipergunakan.

Sedangkan pendidikan diartikan dalam arti yang lebih luas lagi yang berkaitan dengan upaya untuk mengembangkan dalam diri seseorang tiga aspek utama dalam kehidupannya, yakni pandangan hidup, sikap hidup serta ketrampilan hidup.[4] Upaya untuk mengembangkan ketiga aspek tersebut bisa dilakukan di sekolah, di masyarakat dan keluarga. Sedangkan lingkup dan sifat pendidikan biasa disebut dengan pendidikan formal (sekolah), non formal (masyarakat), dan informal (keluarga).

Pendidikan diperlukan dan dilakukan pertama kali oleh anggota keluarga, terutama orang tua terhadap anak-anaknya. Dengan mempertimbangkan efektivitas dan efisien yang pada akhirnya didirikanlah lembaga pendidikan yang disebabkan oleh karena keterbatasan waktu dan fasilitas yang dimiliki orang tua. Lembaga pendidikan di desain dengan pertimbangan edukatif dengan tujuan agar proses pendidikan berlangsung dengan mudah, murah dan sukses sesuai dengan tujuan yang disepakati dan diterapkan bersama antara guru, lembaga pendidikan, keluarga dan masyarakat. Jika ditarik pada wilayah politik kenegaraan, kesepakatan ini menjadi keputusan nasional yang dirumuskan menjadi tujuan Pendidikan nasional.

Pendidikan pada umumnya ditujukan untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma tertentu sebagaimana yang telah diterapkan dan ditetapkan dalam filsafat pendidikan, yakni nilai atau norma yang dijunjung tinggi oleh suatu lembaga pendidikan.[5] Oleh sebab itu, dalam rangka mempersiapkan pendidikan yang maju, maka perlu diawali dengan menetapkan dasar filosofis yang mantap yang ditunjang oleh teori dan konsep pendidikan yang memadai yang bersifat idealis-filosofis-teoretis.[6] 

Disadari bahwa arah pendidikan masyarakat dalam negara-bangsa (nation state) selalu didasarkan pada ideologi bangsa itu sendiri. Setiap negara dan pemerintahannya akan terus berupaya keras untuk mendarah dagingkan ideologinya kepada seluruh warga negaranya. Salah satunya yaitu berupaya untuk menolak bahkan menghacurkan ideologi lain diluar ideologi bangsa, terutama adalah ideologi lain diluar mereka yang bertentangan dengan ideologi bangsa tersebut.

Sistem pendidikan di Indonesia sudah memiliki ideologi pendidikan sendiri, yaitu ideologi Pancasila. Namun, pada taraf implementasi dan penyelenggaraan pendidikannya―walaupun sudah ada Undang-Undang Sisdiknas―masih belum jelas arahannya. Terbukti bahwa sistem pendidikan di Indonesia masih banyak mengadopsi strategi dari ideologi pendidikan lain (ideologi pendidikan Barat). Maka dari itu, jika nilai-nilai dasar ideologi bangsa terdistorsi sudah barang tentu dalam jangka waktu yang panjang akan merugikan jati diri bangsa kita.

Pendidikan Islam sebagai subsistem pendidikan nasional tidak terpisahkan dari ideologi Pancasila. Nilai-nilai yang terkandung didalamnya—ideologi Pancasila—secara substansial tidaklah bertentangan dengan nilai-nilai dasar Islam. Karena sayogyanya Islam―yang sarat akan nilai transendental, universal dan memenuhi hajat hidup manusia―sudah seharusnya untuk berperan didalamnya. Disamping itu, ideologi pendidikan Islam juga yang secara paradigmatik di dasarkan pada nilai-nilai Islam itu sendiri. Untuk itu, memikirkan ideologi pendidikan Islam tidak perlu dicurigai akan mengaburkan ideologi pendidikan nasional. Malah justru diharapkan akan tercipta―meminjam istilah Achmadi―simbiosis mutualistis[7] antara keduanya, sehingga dapat memperkuat pilar dan jati diri pendidikan nasional itu sendiri.

Referensi:

Moh. Roqib. (2009). Ilmu Pendidikan Islam; Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat. Yogyakarta: LKiS.
Abuddin Nata. (2001). Paradigma Pendidikan Islam. Jakarta: Grasindo.
Ahmad Arifi. Politik Pendidikan Islam; Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi Pendidikan Islam di Tengah Arus Globalisasi. Yogyakarta: Teras.
Achmadi. (2010). Ideologi Pendidikan Islam; Paradigma Humanisme Teosentris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.



[1] Dimensi kemanusiaan mencakup tiga hal paling mendasar. Pertama, Dzikir (afektif) yang tercermin pada kwalitas keimanan, ketaqwaan, akhlaq mulia (akhlaqul karimah) termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian unggul dan kompetensi estetis. Kedua, Fikir (kognitif) yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali dan mengembangkan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Ketiga, Amal Shaleh (psikomotorik) yang tercermin pada kemampuan mengembangkan ketrampilan teknis, kecakapan praktis dan kompetensi kinestetis serta mengamalkan, mentaati ajaran dasar dan nilai-nilai agama kearah kebaikan dan pencapaian kesempurnaan hidup.
[2] Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam; Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat, Cet. I, (Yogyakarta: LKiS, 2009), hal. 15-16.
[3] Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam, (Jakarta: Grasindo, 2001), hal. 1.
[4] Ahmad Arifi, Politik Pendidikan Islam; Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi Pendidikan Islam di Tengah Arus Globalisasi, Cet. I, (Yogyakarta: Teras, 2010), hal. 7.
[5] Moh. Roqib, Op. Cit., hal. 17.
[6] Ibid.
[7] Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam; Paradigma Humanisme Teosentris, Cet. II, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 9.

Monday, April 16, 2018

PENDIDIKAN PESANTREN: MODEL PENDIDIKAN MASA KINI DAN MASA DEPAN

PENDIDIKAN PESANTREN: MODEL PENDIDIKAN MASA KINI DAN MASA DEPAN
Islam diyakini oleh para pemeluknya sebagai agama yang mampu menjawab berbagai macam persoalan. Kematangan serta kesempurnaan dalam ajarannya semestinya menjadikan umatnya (umat Islam) unggul dibandingkan dengan umat yang lain. Namun kenyataannya berbanding terbalik, umat Islam secara umum malah jauh tertinggal dari umat-umat lain. Umat Islam saat ini mudah diombang-ambingkan oleh pihak lain, dan bahkan tidak hanya didikte oleh hegemoni Barat, lebih parah lagi—menurut Abdurrahman Mas’ud—bahwa umat Islam saat ini kehilangan jati diri (self identity) dan penghargaan diri (self esteem) sebagai akibat dari kemunduran ekonomi, politik, pendidikan dan kebudayaan yang berkepanjangan.[1] Konkritnya bahwa umat Islam saat ini identik dengan kejumudan, kemandegan dan kemunduran dari berbagai aspek kehidupannya.

Setelah sedikit mengakui sejumlah kejumudan, kemandegan dan kemunduran umat Islam dari berbagai aspeknya, tentu pada tahap selanjutnya nalar sehat setiap individu akan berusaha sekuat mungkin untuk menguak biang paling fundamental dari kejumudan, kemandegan dan kemunduran tersebut. Bila didekati secara lebih jujur akan berakar pada sistem pendidikan yang menyimpang dari sumber ajarannya (Islam). Penyimpangan tersebut tidak berupa penyimpangan yang brutal, namun lebih pada penyimpangan atas orientasi pendidikan yang sifatnya jangka pendek (temporer). Dari bentuk penyimpangan tujuan pendidikan tersebut terus bergulir dan sangat halus.

Pengalihan orientasi pendidikan diatas tentu sangat terstruktur, sistematis dan sangat rapih, sehingga sama sekali tidak disadari oleh umat Islam dewasa ini. Sebagai bentuk paling fundamental dari pergeseran orientasi pendidikan Islam tersebut adalah pemenuhan hasrat di bidang materi dan psikologi ansich. Orientasi tersebut tentu memiliki jangkauan yang cukup rendah dan terkungkung oleh ruang dan waktu, sehingga dalam hal ini penulis menempatkan orientasi tersebut sebagai bentuk orientasi jangka pendek (temporer).

Padahal, jika kita merefleksikan makna dari pendidikan Islam itu sendiri adalah proses untuk mengantarkan manusia (peserta didik) pada pencapaian hidup dan kehidupannya yang optimal. Optimal disini dapat dimaknai sebagai perkembangan individu menuju kesempurnaan hidup yang mencakup perkembangan fitrah atau potensi yang melekat dalam diri masing-masing individu, baik perkembangan aspek dzikir (afektif), fikir (kognitif) dan amal shaleh (psikomotorik) dalam mengamalkan ataupun menjalankan fungsi kemanusiaannya sebagai khalifah dimuka bumi (khalifatullah fil ‘ard) dan sekaligusabdullah yang bertakwa dan shaleh, baik shaleh secara individual maupun shaleh sosial.

Dengan makna atau pengertian dari pendidikan Islam tersebut, maka sayogyanya bahwa pendidikan Islam tidaklah hanya sekedar transfer ilmu (transfer of knowledge) ansich yang lebih berorientasi pada pembentukan “robot-bobot” yang siap pakai atau para spesialis dan teknisi yang terkungkung dalam ruang spesialisasi yang begitu sempit dan membosankan karena perhatian dan minatnya lebih bersifat teknis, namun lebih dari itu bahwa pendidikan Islam adalah transformasi nilai (value) dan pembentukan kepribadian dengan segala aspek yang dicakupnya.

Pendidikan—baca pengajaran—akhir-akhir ini hanyalah sebatas dan atau dijadikan sebagai komoditas ansich yang tidak memberikan kontribusi apapun, yang ada hanyalah memperkuat struktur kelas atas yang telah mapan. Dengan kondisi dan keadaan demikian, maka muncul berbagai implikasi terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan yang disebabkan oleh karena pendidikan yang seharusnya dijadikan sebagai alat pewarisan nilai-nilai kegamaan, kebudayaan, pemikiran dan keahlian kepada generasi mudanya, kini hanya berlangsung dalam suatu schooling sistem yang tidak lebih hanya proses transfer ilmu dan keahlian dalam kerangka teknostruktur yang ada.

Harapan-harapan indah untuk membangun peradaban sejati ibarat “jauh panggang dari apinya”, karena pendidikan yang seharusnya difungsikan untuk mewariskan budaya, kecerdasan, moralitas dan akhlaq kepada generasi berikutnya justru menjadi ajang penghancuran akhlaq yang sama sekali bertentangan dengan syariah dan ajaran luhur sebuah agama. Keadaan demikian tidaklah muncul secara kebetulan, namun karena sistem pendidikannya yang lebih bersifat teoretis dengan orientasi pendidikan yang jangkauannya cukup rendah dan terkungkung oleh ruang dan waktu. Begitu juga pendidikan agama dipersamakan dengan bidang studi lainnya dengan waktu penyajian yang semakin minim dan sempit, sehingga tidaklah mampu untuk menanamkan nilai akhlaq dan budi pekerti kepada generasi bangsa. Alhasil, anak didik memang cerdas menghafal dan mengetahui ajaran agamanya, namun tidak menghayati nilai-nilai luhur agamanya untuk hidup sebagai warga yang baik ditengah masyarakat.

Dalam sudut pandang yang sangat kontras dengan keadaan diatas, bahwa “pesantren” dengan suasana kehidupan kiyai dan santri yang serba sederhana menempatkan diri menjadi lembaga pendidikan yang begitu menarik untuk dicontoh. Maka dari itu, tidak salah jika suasana pesantren dicoba dan diterapkan pada program “Pesantren Kilat”, baik untuk anak-anak SD, SMP dan bahkan tingkat SMA sekalipun, dan bahkan akhir-akhir ini berbondong-bondong muncul sekolah-sekolah, baik sekolah umum maupun Madrasah yang dalam satu lingkup dan lingkungan pendidikannya terdapat pendidikan formal sekaligus pondok pesantren. Tentu keadaan dengan suasana yang demikian representatif, disamping anak didik dapat belajar pada pendidikan formal dalam lingkungan pesantren juga dapat memperdalam ilmu agama dalam pesantren sekaligus.

Hal ini semakin memperkuat keyakinan bahwa pesantren kini tidaklah dipandang sebelah mata dengan anggapan sekedar wadah pendidikan tradisional, kolot dan kaum sarungan, namun kini pesantren terangkat derajat dan martabatnya menjadi contoh atau model pendidikan yang dinilai berhasil menanamkan pendidikan budi pekerti terhadap anak didiknya (santri). Sebab, visi sebuah pesantren adalah menempatkan anak didik (santri) sebagai makhluk berhati nurani dan makhluk bermoral (spiritual being). Hal ini bukan berarti pesantren menomor-duakan nalar, namun pesantren menempatkan segalanya pada koridor moral melalui pendidikan hati nurani, sehingga nalar pun menempati posisi yang begitu penting dalam sistem pendidikan di pesantren. Intinya bahwa sistem pendidikan pesantren menempatkan dan mengintegrasikan intelektual-ruhani serta nalar-moral sekaligus.


Referensi:

Abdurrahman Mas’ud. (2002). Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik; Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam. Yogyakarta: Gama Media.


[1] Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik; Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 4.