Pendidikan secara
terminologis dapat diartikan sebagai proses perbaikan dan penyempurnaan semua
potensi manusia. Pendidikan dalam konteks ini terkait dengan gerak dinamis,
positif, dan kontinyu setiap individu menuju idealitas kehidupan manusia
melalui aktivitas individualnya yang meliputi pengembangan kecerdasan dzikir
(afektif, rasa, hati, spiritual), fikir (rasio, kognitif), dan amal
shaleh atau ketrampilan fisik (psikomotorik).[1]
Pendidikan juga dapat
diartikan sebagai suatu ikhtiar manusia untuk membina kepribadiannya sesuai
dengan nilai-nilai dan kebudayaan yang ada dalam masyarakat. Sekalipun dalam
masyarakat yang peradabannya sangat sederhana, tetap proses pendidikan dilakukan
didalamnya. Maka dari itu, tidak mengherankan jika sering dikatakan bahwa
pendidikan telah ada semenjak munculnya peradaban manusia. Sebab, semenjak awal
manusia diciptakan upaya membangun dan mengembangkan peradaban selalu
dilakukan, ini tidak lain karena manusia selalu mencita-citakan kehidupan yang
ideal, yakni bahagia dan sejahtera.[2]
Secara sederhana, pendidikan
dapat diartikan sebagai bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik
terhadap perkembangan jasmani dan ruhani si terdidik menuju terbentuknya
kepribadian yang utama.[3]
Berdasarkan batasan inilah maka pendidikan sekurang-kurangnya mengandung lima
unsur penting didalamnya; pertama, usaha (kegiatan) yang bersifat
bimbingan (pimpinan atau pertolongan) dan dilakukan secara sadar; kedua,
pendidik atau pembimbing atau penolong; ketiga, ada yang dididik atau si
terdidik; keempat, bimbingan yang memiliki dasar dan tujuan, dan; kelima,
dalam usaha itu terdapat alat-alat yang dipergunakan.
Sedangkan pendidikan
diartikan dalam arti yang lebih luas lagi yang berkaitan dengan upaya untuk
mengembangkan dalam diri seseorang tiga aspek utama dalam kehidupannya, yakni
pandangan hidup, sikap hidup serta ketrampilan hidup.[4]
Upaya untuk mengembangkan ketiga aspek tersebut bisa dilakukan di sekolah, di
masyarakat dan keluarga. Sedangkan lingkup dan sifat pendidikan biasa disebut
dengan pendidikan formal (sekolah), non formal (masyarakat), dan
informal (keluarga).
Pendidikan diperlukan dan dilakukan
pertama kali oleh anggota keluarga, terutama orang tua terhadap anak-anaknya.
Dengan mempertimbangkan efektivitas dan efisien yang pada akhirnya didirikanlah
lembaga pendidikan yang disebabkan oleh karena keterbatasan waktu dan fasilitas
yang dimiliki orang tua. Lembaga pendidikan di desain dengan pertimbangan edukatif
dengan tujuan agar proses pendidikan berlangsung dengan mudah, murah dan sukses
sesuai dengan tujuan yang disepakati dan diterapkan bersama antara guru,
lembaga pendidikan, keluarga dan masyarakat. Jika ditarik pada wilayah politik
kenegaraan, kesepakatan ini menjadi keputusan nasional yang dirumuskan menjadi
tujuan Pendidikan nasional.
Pendidikan pada umumnya
ditujukan untuk menanamkan nilai-nilai dan norma-norma tertentu sebagaimana
yang telah diterapkan dan ditetapkan dalam filsafat pendidikan, yakni nilai
atau norma yang dijunjung tinggi oleh suatu lembaga pendidikan.[5]
Oleh sebab itu, dalam rangka mempersiapkan pendidikan yang maju, maka perlu
diawali dengan menetapkan dasar filosofis yang mantap yang ditunjang oleh teori
dan konsep pendidikan yang memadai yang bersifat idealis-filosofis-teoretis.[6]
Disadari bahwa arah
pendidikan masyarakat dalam negara-bangsa (nation state) selalu
didasarkan pada ideologi bangsa itu sendiri. Setiap negara dan pemerintahannya
akan terus berupaya keras untuk mendarah dagingkan ideologinya kepada seluruh
warga negaranya. Salah satunya yaitu berupaya untuk menolak bahkan menghacurkan
ideologi lain diluar ideologi bangsa, terutama adalah ideologi lain diluar
mereka yang bertentangan dengan ideologi bangsa tersebut.
Sistem pendidikan di
Indonesia sudah memiliki ideologi pendidikan sendiri, yaitu ideologi Pancasila.
Namun, pada taraf implementasi dan penyelenggaraan pendidikannya―walaupun sudah
ada Undang-Undang Sisdiknas―masih belum jelas arahannya. Terbukti bahwa sistem
pendidikan di Indonesia masih banyak mengadopsi strategi dari ideologi
pendidikan lain (ideologi pendidikan Barat). Maka dari itu, jika nilai-nilai
dasar ideologi bangsa terdistorsi sudah barang tentu dalam jangka waktu
yang panjang akan merugikan jati diri bangsa kita.
Pendidikan Islam sebagai
subsistem pendidikan nasional tidak terpisahkan dari ideologi Pancasila.
Nilai-nilai yang terkandung didalamnya—ideologi Pancasila—secara substansial
tidaklah bertentangan dengan nilai-nilai dasar Islam. Karena sayogyanya
Islam―yang sarat akan nilai transendental, universal dan memenuhi hajat hidup
manusia―sudah seharusnya untuk berperan didalamnya. Disamping itu, ideologi
pendidikan Islam juga yang secara paradigmatik di dasarkan pada nilai-nilai Islam
itu sendiri. Untuk itu, memikirkan ideologi pendidikan Islam tidak perlu
dicurigai akan mengaburkan ideologi pendidikan nasional. Malah justru
diharapkan akan tercipta―meminjam istilah Achmadi―simbiosis mutualistis[7]
antara keduanya, sehingga dapat memperkuat pilar dan jati diri pendidikan
nasional itu sendiri.
Referensi:
Moh. Roqib. (2009). Ilmu Pendidikan Islam;
Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat.
Yogyakarta: LKiS.
Abuddin Nata. (2001). Paradigma Pendidikan
Islam. Jakarta: Grasindo.
Ahmad Arifi. Politik Pendidikan Islam;
Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi Pendidikan Islam di Tengah Arus Globalisasi.
Yogyakarta: Teras.
Achmadi. (2010). Ideologi Pendidikan Islam;
Paradigma Humanisme Teosentris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[1] Dimensi kemanusiaan mencakup tiga hal paling
mendasar. Pertama, Dzikir (afektif) yang tercermin pada kwalitas
keimanan, ketaqwaan, akhlaq mulia (akhlaqul karimah) termasuk
budi pekerti luhur serta kepribadian unggul dan kompetensi estetis.
Kedua, Fikir (kognitif) yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya
intelektualitas untuk menggali dan mengembangkan serta menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi. Ketiga, Amal Shaleh (psikomotorik) yang
tercermin pada kemampuan mengembangkan ketrampilan teknis, kecakapan praktis
dan kompetensi kinestetis serta mengamalkan, mentaati ajaran dasar dan
nilai-nilai agama kearah kebaikan dan pencapaian kesempurnaan hidup.
[2] Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam;
Pengembangan Pendidikan Integratif di Sekolah, Keluarga dan Masyarakat,
Cet. I, (Yogyakarta: LKiS, 2009), hal. 15-16.
[3] Abuddin Nata, Paradigma Pendidikan Islam,
(Jakarta: Grasindo, 2001), hal. 1.
[4] Ahmad Arifi, Politik Pendidikan Islam;
Menelusuri Ideologi dan Aktualisasi Pendidikan Islam di Tengah Arus Globalisasi,
Cet. I, (Yogyakarta: Teras, 2010), hal. 7.
[5] Moh. Roqib, Op. Cit., hal. 17.
[6] Ibid.
[7] Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam;
Paradigma Humanisme Teosentris, Cet. II, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010), hal. 9.