Monday, April 16, 2018

PENDIDIKAN PESANTREN: MODEL PENDIDIKAN MASA KINI DAN MASA DEPAN

Islam diyakini oleh para pemeluknya sebagai agama yang mampu menjawab berbagai macam persoalan. Kematangan serta kesempurnaan dalam ajarannya semestinya menjadikan umatnya (umat Islam) unggul dibandingkan dengan umat yang lain. Namun kenyataannya berbanding terbalik, umat Islam secara umum malah jauh tertinggal dari umat-umat lain. Umat Islam saat ini mudah diombang-ambingkan oleh pihak lain, dan bahkan tidak hanya didikte oleh hegemoni Barat, lebih parah lagi—menurut Abdurrahman Mas’ud—bahwa umat Islam saat ini kehilangan jati diri (self identity) dan penghargaan diri (self esteem) sebagai akibat dari kemunduran ekonomi, politik, pendidikan dan kebudayaan yang berkepanjangan.[1] Konkritnya bahwa umat Islam saat ini identik dengan kejumudan, kemandegan dan kemunduran dari berbagai aspek kehidupannya.

Setelah sedikit mengakui sejumlah kejumudan, kemandegan dan kemunduran umat Islam dari berbagai aspeknya, tentu pada tahap selanjutnya nalar sehat setiap individu akan berusaha sekuat mungkin untuk menguak biang paling fundamental dari kejumudan, kemandegan dan kemunduran tersebut. Bila didekati secara lebih jujur akan berakar pada sistem pendidikan yang menyimpang dari sumber ajarannya (Islam). Penyimpangan tersebut tidak berupa penyimpangan yang brutal, namun lebih pada penyimpangan atas orientasi pendidikan yang sifatnya jangka pendek (temporer). Dari bentuk penyimpangan tujuan pendidikan tersebut terus bergulir dan sangat halus.

Pengalihan orientasi pendidikan diatas tentu sangat terstruktur, sistematis dan sangat rapih, sehingga sama sekali tidak disadari oleh umat Islam dewasa ini. Sebagai bentuk paling fundamental dari pergeseran orientasi pendidikan Islam tersebut adalah pemenuhan hasrat di bidang materi dan psikologi ansich. Orientasi tersebut tentu memiliki jangkauan yang cukup rendah dan terkungkung oleh ruang dan waktu, sehingga dalam hal ini penulis menempatkan orientasi tersebut sebagai bentuk orientasi jangka pendek (temporer).

Padahal, jika kita merefleksikan makna dari pendidikan Islam itu sendiri adalah proses untuk mengantarkan manusia (peserta didik) pada pencapaian hidup dan kehidupannya yang optimal. Optimal disini dapat dimaknai sebagai perkembangan individu menuju kesempurnaan hidup yang mencakup perkembangan fitrah atau potensi yang melekat dalam diri masing-masing individu, baik perkembangan aspek dzikir (afektif), fikir (kognitif) dan amal shaleh (psikomotorik) dalam mengamalkan ataupun menjalankan fungsi kemanusiaannya sebagai khalifah dimuka bumi (khalifatullah fil ‘ard) dan sekaligusabdullah yang bertakwa dan shaleh, baik shaleh secara individual maupun shaleh sosial.

Dengan makna atau pengertian dari pendidikan Islam tersebut, maka sayogyanya bahwa pendidikan Islam tidaklah hanya sekedar transfer ilmu (transfer of knowledge) ansich yang lebih berorientasi pada pembentukan “robot-bobot” yang siap pakai atau para spesialis dan teknisi yang terkungkung dalam ruang spesialisasi yang begitu sempit dan membosankan karena perhatian dan minatnya lebih bersifat teknis, namun lebih dari itu bahwa pendidikan Islam adalah transformasi nilai (value) dan pembentukan kepribadian dengan segala aspek yang dicakupnya.

Pendidikan—baca pengajaran—akhir-akhir ini hanyalah sebatas dan atau dijadikan sebagai komoditas ansich yang tidak memberikan kontribusi apapun, yang ada hanyalah memperkuat struktur kelas atas yang telah mapan. Dengan kondisi dan keadaan demikian, maka muncul berbagai implikasi terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan yang disebabkan oleh karena pendidikan yang seharusnya dijadikan sebagai alat pewarisan nilai-nilai kegamaan, kebudayaan, pemikiran dan keahlian kepada generasi mudanya, kini hanya berlangsung dalam suatu schooling sistem yang tidak lebih hanya proses transfer ilmu dan keahlian dalam kerangka teknostruktur yang ada.

Harapan-harapan indah untuk membangun peradaban sejati ibarat “jauh panggang dari apinya”, karena pendidikan yang seharusnya difungsikan untuk mewariskan budaya, kecerdasan, moralitas dan akhlaq kepada generasi berikutnya justru menjadi ajang penghancuran akhlaq yang sama sekali bertentangan dengan syariah dan ajaran luhur sebuah agama. Keadaan demikian tidaklah muncul secara kebetulan, namun karena sistem pendidikannya yang lebih bersifat teoretis dengan orientasi pendidikan yang jangkauannya cukup rendah dan terkungkung oleh ruang dan waktu. Begitu juga pendidikan agama dipersamakan dengan bidang studi lainnya dengan waktu penyajian yang semakin minim dan sempit, sehingga tidaklah mampu untuk menanamkan nilai akhlaq dan budi pekerti kepada generasi bangsa. Alhasil, anak didik memang cerdas menghafal dan mengetahui ajaran agamanya, namun tidak menghayati nilai-nilai luhur agamanya untuk hidup sebagai warga yang baik ditengah masyarakat.

Dalam sudut pandang yang sangat kontras dengan keadaan diatas, bahwa “pesantren” dengan suasana kehidupan kiyai dan santri yang serba sederhana menempatkan diri menjadi lembaga pendidikan yang begitu menarik untuk dicontoh. Maka dari itu, tidak salah jika suasana pesantren dicoba dan diterapkan pada program “Pesantren Kilat”, baik untuk anak-anak SD, SMP dan bahkan tingkat SMA sekalipun, dan bahkan akhir-akhir ini berbondong-bondong muncul sekolah-sekolah, baik sekolah umum maupun Madrasah yang dalam satu lingkup dan lingkungan pendidikannya terdapat pendidikan formal sekaligus pondok pesantren. Tentu keadaan dengan suasana yang demikian representatif, disamping anak didik dapat belajar pada pendidikan formal dalam lingkungan pesantren juga dapat memperdalam ilmu agama dalam pesantren sekaligus.

Hal ini semakin memperkuat keyakinan bahwa pesantren kini tidaklah dipandang sebelah mata dengan anggapan sekedar wadah pendidikan tradisional, kolot dan kaum sarungan, namun kini pesantren terangkat derajat dan martabatnya menjadi contoh atau model pendidikan yang dinilai berhasil menanamkan pendidikan budi pekerti terhadap anak didiknya (santri). Sebab, visi sebuah pesantren adalah menempatkan anak didik (santri) sebagai makhluk berhati nurani dan makhluk bermoral (spiritual being). Hal ini bukan berarti pesantren menomor-duakan nalar, namun pesantren menempatkan segalanya pada koridor moral melalui pendidikan hati nurani, sehingga nalar pun menempati posisi yang begitu penting dalam sistem pendidikan di pesantren. Intinya bahwa sistem pendidikan pesantren menempatkan dan mengintegrasikan intelektual-ruhani serta nalar-moral sekaligus.


Referensi:

Abdurrahman Mas’ud. (2002). Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik; Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam. Yogyakarta: Gama Media.


[1] Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik; Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 4.
Previous Post
Next Post

Penulis yang mengabdikan tulisannya bagi amal jariyah pemikiran. Tokoh favorit sekaligus panutannya adalah Gus Dur