Islam diyakini oleh para
pemeluknya sebagai agama yang mampu menjawab berbagai macam persoalan. Kematangan
serta kesempurnaan dalam ajarannya semestinya menjadikan umatnya (umat
Islam) unggul dibandingkan dengan umat yang lain. Namun kenyataannya berbanding
terbalik, umat Islam secara umum malah jauh tertinggal dari umat-umat lain.
Umat Islam saat ini mudah diombang-ambingkan oleh pihak lain, dan bahkan
tidak hanya didikte oleh hegemoni Barat, lebih parah lagi—menurut Abdurrahman
Mas’ud—bahwa umat Islam saat ini kehilangan jati diri (self identity)
dan penghargaan diri (self esteem) sebagai akibat dari kemunduran
ekonomi, politik, pendidikan dan kebudayaan yang berkepanjangan.[1]
Konkritnya bahwa umat Islam saat ini identik dengan kejumudan, kemandegan dan
kemunduran dari berbagai aspek kehidupannya.
Setelah sedikit mengakui
sejumlah kejumudan, kemandegan dan kemunduran umat Islam dari berbagai aspeknya,
tentu pada tahap selanjutnya nalar sehat setiap individu akan berusaha sekuat
mungkin untuk menguak biang paling fundamental dari kejumudan, kemandegan dan kemunduran
tersebut. Bila didekati secara lebih jujur akan berakar pada sistem pendidikan
yang menyimpang dari sumber ajarannya (Islam). Penyimpangan tersebut tidak
berupa penyimpangan yang brutal,
namun lebih pada penyimpangan atas orientasi pendidikan yang sifatnya jangka
pendek (temporer). Dari bentuk penyimpangan tujuan pendidikan tersebut terus
bergulir dan sangat halus.
Pengalihan orientasi
pendidikan diatas tentu sangat terstruktur, sistematis dan sangat rapih,
sehingga sama sekali tidak disadari oleh umat Islam dewasa ini. Sebagai bentuk
paling fundamental dari pergeseran orientasi pendidikan Islam tersebut adalah pemenuhan
hasrat di bidang materi dan psikologi ansich.
Orientasi tersebut tentu memiliki jangkauan yang cukup rendah dan terkungkung
oleh ruang dan waktu, sehingga dalam hal ini penulis menempatkan orientasi
tersebut sebagai bentuk orientasi jangka pendek (temporer).
Padahal, jika kita
merefleksikan makna dari pendidikan Islam itu sendiri adalah proses untuk
mengantarkan manusia (peserta didik) pada pencapaian hidup dan kehidupannya
yang optimal. Optimal disini dapat dimaknai sebagai perkembangan individu
menuju kesempurnaan hidup yang mencakup perkembangan fitrah atau potensi
yang melekat dalam diri masing-masing individu, baik perkembangan aspek dzikir
(afektif), fikir (kognitif) dan amal shaleh (psikomotorik) dalam
mengamalkan ataupun menjalankan fungsi kemanusiaannya sebagai khalifah
dimuka bumi (khalifatullah fil ‘ard) dan sekaligus ‘abdullah
yang bertakwa dan shaleh,
baik shaleh secara individual maupun shaleh sosial.
Dengan makna atau pengertian dari
pendidikan Islam tersebut, maka sayogyanya bahwa pendidikan Islam tidaklah
hanya sekedar transfer ilmu (transfer of knowledge) ansich yang
lebih berorientasi pada pembentukan “robot-bobot” yang siap pakai atau para
spesialis dan teknisi yang terkungkung dalam ruang spesialisasi yang begitu
sempit dan membosankan karena perhatian dan minatnya lebih bersifat teknis, namun
lebih dari itu bahwa pendidikan Islam adalah transformasi nilai (value)
dan pembentukan kepribadian dengan segala aspek yang dicakupnya.
Pendidikan—baca pengajaran—akhir-akhir
ini hanyalah sebatas dan atau dijadikan sebagai komoditas ansich yang
tidak memberikan kontribusi apapun, yang ada hanyalah memperkuat struktur kelas
atas yang telah mapan. Dengan kondisi dan keadaan demikian, maka muncul
berbagai implikasi terhadap kehidupan sosial kemasyarakatan yang disebabkan oleh
karena pendidikan yang seharusnya dijadikan sebagai alat pewarisan nilai-nilai
kegamaan, kebudayaan, pemikiran dan keahlian kepada generasi mudanya, kini
hanya berlangsung dalam suatu schooling sistem yang tidak lebih hanya
proses transfer ilmu dan keahlian dalam kerangka teknostruktur yang ada.
Harapan-harapan indah untuk
membangun peradaban sejati ibarat “jauh panggang dari apinya”, karena pendidikan
yang seharusnya difungsikan untuk mewariskan budaya, kecerdasan, moralitas dan
akhlaq kepada generasi berikutnya justru menjadi ajang penghancuran akhlaq yang
sama sekali bertentangan dengan syariah dan ajaran luhur sebuah agama. Keadaan
demikian tidaklah muncul secara kebetulan, namun karena sistem pendidikannya
yang lebih bersifat teoretis dengan orientasi pendidikan yang jangkauannya
cukup rendah dan terkungkung oleh ruang dan waktu. Begitu juga pendidikan agama
dipersamakan dengan bidang studi lainnya dengan waktu penyajian yang semakin
minim dan sempit, sehingga tidaklah mampu untuk menanamkan nilai akhlaq dan
budi pekerti kepada generasi bangsa. Alhasil, anak didik memang cerdas
menghafal dan mengetahui ajaran agamanya, namun tidak menghayati nilai-nilai
luhur agamanya untuk hidup sebagai warga yang baik ditengah masyarakat.
Dalam sudut pandang yang
sangat kontras dengan keadaan diatas, bahwa “pesantren” dengan suasana
kehidupan kiyai dan santri yang serba sederhana menempatkan diri menjadi
lembaga pendidikan yang begitu menarik untuk dicontoh. Maka dari itu, tidak
salah jika suasana pesantren dicoba dan diterapkan pada program “Pesantren Kilat”,
baik untuk anak-anak SD, SMP dan bahkan tingkat SMA sekalipun, dan bahkan akhir-akhir
ini berbondong-bondong muncul sekolah-sekolah, baik sekolah umum maupun Madrasah
yang dalam satu lingkup dan lingkungan pendidikannya terdapat pendidikan formal
sekaligus pondok pesantren. Tentu keadaan dengan suasana yang demikian
representatif, disamping anak didik dapat belajar pada pendidikan formal dalam
lingkungan pesantren juga dapat memperdalam ilmu agama dalam pesantren sekaligus.
Hal ini semakin memperkuat
keyakinan bahwa pesantren kini tidaklah dipandang sebelah mata dengan anggapan
sekedar wadah pendidikan tradisional, kolot dan kaum sarungan, namun kini
pesantren terangkat derajat dan martabatnya menjadi contoh atau model
pendidikan yang dinilai berhasil menanamkan pendidikan budi pekerti terhadap
anak didiknya (santri). Sebab, visi sebuah pesantren adalah menempatkan anak
didik (santri) sebagai makhluk berhati nurani dan makhluk bermoral (spiritual
being). Hal ini bukan berarti pesantren menomor-duakan nalar, namun
pesantren menempatkan segalanya pada koridor moral melalui pendidikan hati
nurani, sehingga nalar pun menempati posisi yang begitu penting dalam sistem
pendidikan di pesantren. Intinya bahwa sistem pendidikan pesantren menempatkan
dan mengintegrasikan intelektual-ruhani serta nalar-moral sekaligus.
Referensi:
Abdurrahman
Mas’ud. (2002). Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik; Humanisme Religius
sebagai Paradigma Pendidikan Islam. Yogyakarta: Gama Media.
[1] Abdurrahman Mas’ud, Menggagas Format
Pendidikan Nondikotomik; Humanisme Religius sebagai Paradigma Pendidikan Islam,
(Yogyakarta: Gama Media, 2002), hlm. 4.