Thursday, May 10, 2018

PRAWACANA PENDIDIKAN PEMBEBASAN

PRAWACANA PENDIDIKAN PEMBEBASAN

Pendidikan merupakan suatu aspek yang mendasar dalam usaha mempersiapkan sumberdaya manusia dalam menghadapi proses dan dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara ditengah-tengah pluralitas. Pendidikan juga sebuah proses yang berkelanjutan, terus menerus dan berlangsung seumur hidup (long life education) dalam rangka mewujudkan manusia dewasa, mandiri dan bertanggungjawab serta beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Maha Esa.[1]

Oleh sebab itu, pendidikan disini dapat dimaknai sebagai proses untuk meningkatkan, memperbaiki, mengubah pengetahuan, keterampilan dan sikap, serta tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mencerdaskan kehidupan manusia melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan pelatihan. Proses menunjukkan adanya aktivitas dalam bentuk tindakan aktif, dimana terjadi suatu interaksi yang dinamis dan dilakukan secara sadar dalam usaha mencapai tujuan yang diinginkan. Oleh karena pendidikan bersifat aktif dan terencana, maka pendidikan merupakan suatu perbuatan atau tindakan sadar agar terjadi perubahan sikap dan tata laku yang diharapkan, yakni pemanusiaan manusia yang cerdas dan kritis, terampil, mandiri, disiplin serta berakhlaq mulia.

Pendidikan sebagai suatu lembaga, dapat menjadi institusi yang membebaskan manusia dari kungkungan kekuasaan penguasa dalam mempertahankan kekuasaannya (status quo). Sekolah dapat melahirkan para ilmuwan dan cendekiawan yang bermoral tinggi dengan memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan universal. Dilain sisi, sekolah juga memproduksi manusia-manusia bejat, rakus, koruptor, tidak bermoral dan anti kemanusiaan universal.

Di dunia ini, sebagian besar manusia mengalami penderitaan dan penindasan yang terstruktur, sementara sebagian lainnya menikmati jerih payah orang lain dengan cara-cara yang tidak adil, dan kelompok yang menikmati ini justru bagian minoritas umat manusia. Dilihat dari segi jumlah saja menunjukkan bahwa keadaan tersebut memperlihatkan kondisi yang tidak berimbang dan tidak adil. Situasi seperti inilah yang disebut sebagai ‘situasi penindasan’. Penindasan, apapun nama dan alasannya adalah tidak manusiawi (dehumanisasi), sesuatu yang menafikkan harkat kemanusiaan.

Dehumanisasi yang menandai bukan saja mereka yang telah dirampas kemanusiaannya, namun juga―biarpun dalam cara yang berbeda―mereka yang telah merampasnya adalah sebuah penyimpangan fitrah manusia untuk menjadi manusia sejati. Penyimpangan ini terjadi sepanjang sejarah, namun bukan suatu fitrah sejarah. Mayoritas kaum tertindas menjadi tidak manusiawi, karena hak-hak asasi mereka dirampas dan dinistakan, mereka dibuat tidak berdaya dan dibenamkan dalam ‘budaya bisu’ (submerged in the culture of silence). Adapun minoritas kaum penindas menjadi tidak manusiawi, karena mereka telah mendustai hakekat keberadan dan hati nurani sendiri dengan memaksakan penindasan bagi sesamanya.

Maka dari itu, ikhtiar memanusiakan kembali manusia (humanisasi) merupakan pilihan mutlak. Humanisasi merupakan satu-satunya pilihan bagi kemanusiaan, karena walaupun dehumanisasi adalah kenyataan yang terjadi sepanjang sejarah peradaban manusia dan tetap merupakan suatu kemungkinan ontologis dimasa mendatang, ia bukanlah suatu keharusan sejarah. Secara dialektis, suatu kenyataan tidak mesti menjadi suatu keharusan. Jika kenyataan menyimpang dari keharusan, maka menjadi tugas manusia untuk merubahnya agar sesuai dengan apa yang seharusnya (the man’s ontological vocation).[2]

Bertolak dari pandangan filsafat tentang manusia (fitrah manusia) dan realitas dunia tersebut, perlunya untuk merumuskan kembali gagasan-gagasan tentang hakekat manusia dalam dimensi pendidikan yang benar-benar mencerahkan umat manusia, serta pembebasan bagi manusia atas kungkungan kekuasaan yang membelenggu dan menindas. Reformulasi gagasan-gagasan pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan pembebasan, yakni proses pendidikan yang mengakui akan pentingnya peran dan proses penyadaran (konsientisasi), pembebasan dan pemanusiaan manusia dalam artian yang sesungguhnya, yakni manusia yang benar-benar telah menyadari realitas dirinya sendiri dan dunia sekitarnya secara kritis dan cerdas.

Kenyataan yang nampak hingga hari ini justru proses dan reproduksi pendidikan sangat jauh dari keinginan untuk mampu membaca realitas sosial secara kritis dan cerdas. Karena, pendidikan hari ini hanya mampu mencetak individu-individu yang hanya diam manakala mereka harus berhubungan dengan sistem sosial yang menindas. Pendidikan hari ini harus mampu mendorong manusia pada titik kulminasi kesadaran untuk melakukan pembebasan. Sehingga pendidikan mampu membentuk ‘masyarakat baru’, yakni masyarakat dengan tatanan struktur sosial yang tidak berkelas, memberikan ruang kebebasan penuh atas masyarakat secara keseluruhan, adil dan manusiawi. Sehingga pendidikan itu sebagai momen kesadaran kritis terhadap berbagai problem sosial yang ada dalam masyarakat.

Referensi:
M. Zainuddin. (2008). Reformasi Pendidikan; Kritik Kurikulum dan Manajemen Berbasis Sekolah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Paulo Freire. (2000). Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: LP3ES, 2000.



[1] M. Zainuddin, Reformasi Pendidikan; Kritik Kurikulum dan Manajemen Berbasis Sekolah, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hal. 1.
[2] Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, (Jakarta: LP3ES, 2000), hal, 11.

Tuesday, May 01, 2018

MAHASISWA DAN TANGGUNGJAWAB SOSIAL

MAHASISWA DAN TANGGUNGJAWAB SOSIAL
Fenomena mahasiswa hari ini yang kadang menggelikan dan bikin ketawa jika melihat tingkah-polah kebanyakan mahasiswa masa kini. Dalam hal penampilan sebagai misal, mereka berlomba-lomba memamerkan baju, aksesoris, kendaraan bagus, dan yang lagi trend saat ini adalah smart phone atau hand phone android dari berbagai merk yang setiap harinya mereka pegang dan menjadi sahabat setianya dalam aktivitas keseharian mahasiswa.

Jika kita amati di banyak kampus, mahasiswa begitu semangatnya mengeksploitasi pemikirannya untuk sekedar curhat pacar, pasang status di WhatsApp, Instagram, face book dan sosial media lainnya, namun ketika dihadapkan dalam dunia diskusi, aktif berorganisasi, menciptakan ruang-ruang dialektika intelektual, membaca buku, mereka menganggapnya sebagai dunia mitos, membosankan dan buang-buang waktu saja.

Menjadi fenomena langka di kampus-kampus umum dan bahkan kampus agama, mahasiswanya memiliki kesadaran untuk bergabung dalam dunia organisasi dan menciptakan ruang-ruang diskusi intelektual diluar aktivitas perkuliahannya, serta bersentuhan langsung dengan elemen masyarakat dan melakukan advokasi untuk memecahkan berbagai macam problem sosial hari ini. Kebanyakan mahasiswa hanya terfokus pada ruang akademik, melulu kuliah dan melupakan peran dan tanggungjawab sosialnya sebagai seorang mahasiswa. Sebelumnya, ijinkanlah penulis untuk mengutip dengan meminjam sebuah teori yang dikemukakan oleh Jurgen Habermas dan Madzhab Frankfurt tentang teori kritisnya yang ingin menembus dimensi esensi dari realitas sosial. Konsepsi teori kritis tentang esensi ini diberi syarah oleh Theodor W. Adorno: “Esensi realitas sosial adalah sesuatu yang tersembunyi dibalik permukaan dari apa yang nampak atau dari fakta-fakta yang diperkirakan. 'Esensi' itulah yang membuat fakta-fakta sebagai sesungguhnya”.[1]

Kampus sebagai habitat mahasiswa harus menjadi laboratorium kepemimpinan, membentuk kepribadian yang mengintegrasikan potensi intelektual, fisikal dan spiritual. Dispolarisasi antara akademik dan organisasi harus diwujudkan sebagai langkah strategis. Penguasaan keilmuan harus menjadi pedoman mahasiswa dalam mengorganisasikan pergerakannya. Akhirnya, dimanapun keberadaan mahasiswa, harusnya, menciptakan sinergisitas dengan semua elemen masyarakat yang ada diatasnya maupun dibawah mereka agar benar-benar menjadi pemimpin yang strategis pada masa kini, terutama bagi masa depan bangsa.

Lebih dari itu, mahasiswa harus menumbuhkan tanggungjawab dan jiwa-jiwa sosialnya yang dalam, atau dengan kata lain ‘solidaritas sosial’. Solidaritas yang dimaksud adalah solidaritas yang tidak melulu dibatasi oleh sekat-sekat kelompok, tapi solidaritas universal dan komprehensif, serta dapat melepaskan dirinya dari sifat angkuh, sombong dan picik. Manifestasi solidaritas sosial yang dimaksud adalah perwujudan diri mahasiswa yang tidak buta akan realitas sosial ketika melihat penderitaan rakyat dan kaum tertindas dibiarkan begitu saja. Dengan sikap responsif dan sifat kasih sayangnya sehingga mahasiswa turun langsung untuk memberikan bantuan, baik dalam bentuk moril maupun materil bagi siapa saja yang mengalami penderitaan, ketidakadilan yang menindas dan dehumanisasi, baik struktur maupun kultur budaya yang melingkupinya. Untuk itu, kampus bagi mahasiswa sejatinya adalah bukan hanya sebatas gedung dan institusi yang sekedar hanya tempat kuliah, mencatat omongan dosen, duduk manis dikelas, pulang dan tidur. Akan tetapi kampus bagi mahasiswa adalah sebagai tempat atau kawah cendekiawan untuk penggemblengan dirinya dalam melakukan kontempelasi intelektual dan ruang-ruang dialektis agar mereka mempunyai segudang pengetahuan, spirit gerakan, idealisme dan komitmen perjuangan sekaligus tuntutan perubahan. Hal ini sebagai konsekwensi logis agresitivitas mahasiswa dalam merespons gejala sosial ketimbang kelompok lain dari sebuah sistem sivitas akademika.

Akan tetapi, fenomena yang berkembang hari ini menunjukkan bahwa derap lenting modernisasi serta perkembangan teknologi-informasi telah memunculkan kehidupan baru bagi mahasiswa. Media sosial (Medsos) sangat mempengaruhi cara hidup mahasiswa dalam bersosialisasi dan berinteraksi dengan realitas sosialnya. Semakin banyak mahasiswa masa kini yang lebih tertarik untuk bersosial dan bersosialisasi lewat Medsos, dibandingkan bersosial dan berinteraksi secara langsung untuk bertatap muka. Keadaan yang demikian inilah yang kemudian memunculkan iritasi sosial dan menjadi budaya baru bagi mahasiswa hari ini. Dengan kata lain, Medsos ternyata menjauhkan orang-orang yang ada disekitarnya, dan mendekatkan orang jauh dalam kehidupan sehari-harinya. Komunikasi tatap muka yang dilakukan semakin menurun, karena mahasiswa hari ini merasa bahwa dengan adanya Medsos lebih praktis dari pada bertemu secara langsung. Hal ini tentunya akan membentuk pola hidup baru mahasiswa yang semakin terisolasi dengan orang yang ada disekitarnya, kurang peka dan a-sosial. Karena mereka lebih menyibukkan dirinya pada smartphone untuk sekedar selfi, pasang status di whatsapp, facebook, instagram dan sosial media lainnya. Intinya bahwa mahasiswa hari ini telah kecanduan teknologi, dan layaknya mereka seperti budak teknologi dan sedang terjangkit penyakit iritasi sosial yang kronis.

Sebagai kaum terpelajar, seharusnya teknologi bagi mahasiswa adalah sebagai sarana informasi untuk memudahkan aktivitasnya dalam menempuh dunia kampus, mengembangkan keilmuan dan pengetahuannya. Bukan sebaliknya, memenjarakan kehidupan mahasiswa dalam sekat institusionalisasi, transpolitisasi dan depolitisasi dalam kampus. Pada sisi yang lain juga perkembangan teknologi informasi bagi mahasiswa justru menjadikannya lebih terkungkung oleh dunia maya dan terisolasi oleh dunia nyata, hingga akhirnya mahasiswa tercerabut dari akar historis dan realitas sosial yang melingkupinya. Akibatnya, mahasiswa mengalami kegamangan atas dirinya maupun peran-peran sosial kemasyarakatan yang semestinya harus mereka ambil. Mahasiswapun tidak lagi memiliki kesadaran kritis, justru sebaliknya mereka bersikap apolitis dan ‘pekok’ realitas.

Mudah dimengerti bahwa potret mahasiswa hari ini yang lebih dibalut oleh kendornya semangat belajar dan berinterksi sosial. Mereka lebih terpesona dengan derap lenting kemajuan teknologi-informasi yang justru menjadikannya terpenjara dalam kehidupan maya dan menyandang budak teknologi yang kronis, serta rapuhnya kesadaran diri mereka dalam melihat kehidupan nyata dan tanggungjawab sosialnya, sehingga atmosfir dan nuansa berfikir mereka berwajah individualistik. Keadaan inilah yang menimbulkan stagnansi pemikiran dan dinamika gerakan mahasiswa. Geliat pemikiran dan gerakan sosialnya kian meredup, berbalut oleh tebalnya nalar individualisme dan pragmatisme, serta hilangnya idealisme pemikiran, semangat gerakan dan tanggungjawab sosialnya sebagai seorang mahasiswa.

Melihat realitas mahasiswa hari ini, maka perlu ditumbuhkan kesadaran kritisnya agar mereka dapat merespons gejala-gejala sosial hari ini, serta mampu merespons positif atas perkembangan teknologi-informasi dalam kehidupan dan zaman ini. Sehingga, derap lenting kemajuan teknologi-informasi bukan menjadi bencana, namun sebagai anugrah dalam membangun peradaban baru yang tercerahkan, dapat menumbuhkan kesadaran kritisnya serta menumbuhkan tanggungjawab sosialnya sebagai seorang mahasiswa. Karena disamping belum tersentuh kepentingan praktis, mahasiswa lebih relatif tercerahkan (well informed) dan potensi sebagai kelompok dinamis yang diharapkan mampu mempengaruhi atau menjadi penyuluh pada basis mayarakat, baik dalam lingkup kecil maupun secara luas. Dengan tataran ideal seperti ini, semestinya mahasiswa dapat mengambil peran kemasyarakatan dan tanggungjawab sosial yang lebih bermakna bagi kehidupan kampus, masyarakat dan bangsa.

Referensi:
F. Budi Hardiman. (2004). Kritik Ideologi; Menyikap Kepentingan Pengetahuan Bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta: Buku Baik.





[1] F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi; Menyikap Kepentingan Pengetahuan Bersama Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Buku Baik, 2004).