Pendidikan
merupakan suatu aspek yang mendasar dalam usaha mempersiapkan sumberdaya
manusia dalam menghadapi proses dan dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara ditengah-tengah pluralitas. Pendidikan juga sebuah proses yang
berkelanjutan, terus menerus dan berlangsung seumur hidup (long life
education) dalam rangka mewujudkan manusia dewasa, mandiri dan bertanggungjawab
serta beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Maha Esa.[1]
Oleh
sebab itu, pendidikan disini dapat dimaknai sebagai proses untuk meningkatkan,
memperbaiki, mengubah pengetahuan, keterampilan dan sikap, serta tata laku
seseorang atau kelompok orang dalam usaha mencerdaskan kehidupan manusia
melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan pelatihan. Proses menunjukkan adanya
aktivitas dalam bentuk tindakan aktif, dimana terjadi suatu interaksi yang
dinamis dan dilakukan secara sadar dalam usaha mencapai tujuan yang diinginkan.
Oleh karena pendidikan bersifat aktif dan terencana, maka pendidikan merupakan
suatu perbuatan atau tindakan sadar agar terjadi perubahan sikap dan tata laku
yang diharapkan, yakni pemanusiaan manusia yang cerdas dan kritis, terampil,
mandiri, disiplin serta berakhlaq mulia.
Pendidikan
sebagai suatu lembaga, dapat menjadi institusi yang membebaskan manusia dari
kungkungan kekuasaan penguasa dalam mempertahankan kekuasaannya (status quo).
Sekolah dapat melahirkan para ilmuwan dan cendekiawan yang bermoral tinggi dengan
memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan universal. Dilain sisi, sekolah juga memproduksi manusia-manusia bejat, rakus, koruptor, tidak
bermoral dan anti kemanusiaan universal.
Di
dunia ini, sebagian besar manusia mengalami penderitaan dan penindasan yang
terstruktur, sementara sebagian lainnya menikmati jerih payah orang lain dengan
cara-cara yang tidak adil, dan kelompok yang menikmati ini justru bagian
minoritas umat manusia. Dilihat dari segi jumlah saja menunjukkan bahwa keadaan
tersebut memperlihatkan kondisi yang tidak berimbang dan tidak adil. Situasi
seperti inilah yang disebut sebagai ‘situasi penindasan’. Penindasan, apapun
nama dan alasannya adalah tidak manusiawi (dehumanisasi), sesuatu yang menafikkan harkat kemanusiaan.
Dehumanisasi yang menandai bukan
saja mereka yang telah dirampas kemanusiaannya, namun juga―biarpun dalam cara
yang berbeda―mereka yang telah merampasnya adalah sebuah penyimpangan fitrah manusia
untuk menjadi manusia sejati. Penyimpangan ini terjadi sepanjang sejarah, namun
bukan suatu fitrah sejarah. Mayoritas kaum tertindas menjadi tidak manusiawi, karena
hak-hak asasi mereka dirampas dan dinistakan, mereka dibuat tidak berdaya dan
dibenamkan dalam ‘budaya bisu’ (submerged in the culture of silence).
Adapun minoritas kaum penindas menjadi tidak manusiawi, karena mereka telah
mendustai hakekat keberadan dan hati nurani sendiri dengan memaksakan
penindasan bagi sesamanya.
Maka
dari itu, ikhtiar memanusiakan kembali manusia (humanisasi) merupakan pilihan mutlak. Humanisasi merupakan satu-satunya pilihan bagi kemanusiaan, karena
walaupun dehumanisasi adalah
kenyataan yang terjadi sepanjang sejarah peradaban manusia dan tetap merupakan
suatu kemungkinan ontologis dimasa mendatang, ia bukanlah suatu keharusan
sejarah. Secara dialektis, suatu kenyataan tidak mesti menjadi suatu keharusan.
Jika kenyataan menyimpang dari keharusan, maka menjadi tugas manusia untuk
merubahnya agar sesuai dengan apa yang seharusnya (the man’s ontological
vocation).[2]
Bertolak
dari pandangan filsafat tentang manusia (fitrah manusia) dan realitas dunia
tersebut, perlunya untuk merumuskan kembali gagasan-gagasan tentang hakekat manusia
dalam dimensi pendidikan yang benar-benar mencerahkan umat manusia, serta pembebasan
bagi manusia atas kungkungan kekuasaan yang membelenggu dan menindas. Reformulasi gagasan-gagasan
pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan pembebasan, yakni proses pendidikan yang
mengakui akan pentingnya peran dan proses penyadaran (konsientisasi), pembebasan dan pemanusiaan manusia dalam artian
yang sesungguhnya, yakni manusia yang benar-benar telah menyadari realitas
dirinya sendiri dan dunia sekitarnya secara kritis dan cerdas.
Kenyataan
yang nampak hingga hari ini justru proses dan reproduksi pendidikan sangat jauh
dari keinginan untuk mampu membaca realitas sosial secara kritis dan cerdas.
Karena, pendidikan hari ini hanya mampu mencetak individu-individu yang hanya
diam manakala mereka harus berhubungan dengan sistem sosial yang menindas. Pendidikan
hari ini harus mampu mendorong manusia pada titik kulminasi kesadaran untuk
melakukan pembebasan. Sehingga pendidikan mampu membentuk ‘masyarakat baru’,
yakni masyarakat dengan tatanan struktur sosial yang tidak berkelas, memberikan
ruang kebebasan penuh atas masyarakat secara keseluruhan, adil dan manusiawi. Sehingga
pendidikan itu sebagai momen kesadaran kritis terhadap berbagai problem sosial
yang ada dalam masyarakat.
Referensi:
M.
Zainuddin. (2008). Reformasi Pendidikan;
Kritik Kurikulum dan Manajemen Berbasis Sekolah. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Paulo
Freire. (2000). Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta:
LP3ES, 2000.