Fenomena mahasiswa
hari ini yang kadang menggelikan dan bikin ketawa jika melihat tingkah-polah
kebanyakan mahasiswa masa kini. Dalam hal penampilan sebagai misal, mereka
berlomba-lomba memamerkan baju, aksesoris, kendaraan bagus, dan yang lagi trend saat ini adalah smart phone atau hand phone android dari berbagai merk yang setiap harinya mereka pegang dan menjadi sahabat setianya dalam aktivitas keseharian mahasiswa.
Jika kita amati di banyak kampus, mahasiswa begitu semangatnya mengeksploitasi pemikirannya untuk sekedar curhat pacar, pasang status di WhatsApp, Instagram, face book dan sosial media lainnya, namun ketika dihadapkan dalam dunia diskusi, aktif berorganisasi, menciptakan ruang-ruang dialektika intelektual, membaca buku, mereka menganggapnya sebagai dunia mitos, membosankan dan buang-buang waktu saja.
Jika kita amati di banyak kampus, mahasiswa begitu semangatnya mengeksploitasi pemikirannya untuk sekedar curhat pacar, pasang status di WhatsApp, Instagram, face book dan sosial media lainnya, namun ketika dihadapkan dalam dunia diskusi, aktif berorganisasi, menciptakan ruang-ruang dialektika intelektual, membaca buku, mereka menganggapnya sebagai dunia mitos, membosankan dan buang-buang waktu saja.
Menjadi fenomena langka di
kampus-kampus umum dan bahkan kampus agama, mahasiswanya memiliki kesadaran
untuk bergabung dalam dunia organisasi dan menciptakan ruang-ruang diskusi
intelektual diluar aktivitas perkuliahannya, serta bersentuhan langsung dengan
elemen masyarakat dan melakukan advokasi untuk memecahkan berbagai macam problem sosial hari ini. Kebanyakan mahasiswa hanya terfokus pada ruang akademik,
melulu kuliah dan melupakan peran dan tanggungjawab sosialnya sebagai seorang
mahasiswa. Sebelumnya, ijinkanlah penulis untuk mengutip dengan meminjam sebuah
teori yang dikemukakan oleh Jurgen Habermas dan Madzhab Frankfurt tentang teori
kritisnya yang ingin menembus dimensi esensi dari realitas
sosial. Konsepsi teori kritis tentang esensi ini diberi syarah oleh
Theodor W. Adorno: “Esensi
realitas sosial adalah sesuatu yang tersembunyi dibalik permukaan dari apa yang
nampak atau dari fakta-fakta yang diperkirakan. 'Esensi' itulah yang membuat
fakta-fakta sebagai sesungguhnya”.[1]
Kampus sebagai habitat
mahasiswa harus menjadi laboratorium kepemimpinan, membentuk kepribadian yang
mengintegrasikan potensi intelektual, fisikal dan spiritual. Dispolarisasi antara
akademik dan organisasi harus diwujudkan sebagai langkah strategis.
Penguasaan keilmuan harus menjadi pedoman mahasiswa dalam mengorganisasikan
pergerakannya. Akhirnya, dimanapun keberadaan mahasiswa, harusnya, menciptakan
sinergisitas dengan semua elemen masyarakat yang ada diatasnya maupun dibawah
mereka agar benar-benar menjadi pemimpin yang strategis pada masa kini,
terutama bagi masa depan bangsa.
Lebih dari itu, mahasiswa harus menumbuhkan tanggungjawab dan jiwa-jiwa sosialnya yang dalam,
atau dengan kata lain ‘solidaritas sosial’. Solidaritas yang dimaksud adalah
solidaritas yang tidak melulu dibatasi oleh sekat-sekat kelompok, tapi
solidaritas universal dan komprehensif, serta dapat
melepaskan dirinya dari sifat angkuh, sombong dan picik.
Manifestasi solidaritas sosial yang dimaksud adalah perwujudan diri mahasiswa
yang tidak buta akan realitas sosial ketika melihat penderitaan rakyat dan kaum
tertindas dibiarkan begitu saja. Dengan sikap responsif dan sifat
kasih sayangnya sehingga mahasiswa turun langsung untuk memberikan bantuan,
baik dalam bentuk moril maupun materil bagi
siapa saja yang mengalami penderitaan, ketidakadilan yang menindas dan
dehumanisasi, baik struktur maupun kultur budaya yang melingkupinya. Untuk itu, kampus
bagi mahasiswa sejatinya adalah bukan hanya sebatas gedung dan institusi yang sekedar hanya tempat kuliah,
mencatat omongan dosen, duduk manis dikelas, pulang dan tidur. Akan tetapi
kampus bagi mahasiswa adalah sebagai tempat atau kawah cendekiawan untuk penggemblengan dirinya dalam
melakukan kontempelasi intelektual dan ruang-ruang dialektis agar mereka
mempunyai segudang pengetahuan, spirit gerakan, idealisme dan komitmen
perjuangan sekaligus tuntutan perubahan. Hal ini sebagai konsekwensi
logis agresitivitas mahasiswa dalam merespons gejala sosial
ketimbang kelompok lain dari sebuah sistem sivitas akademika.
Akan tetapi, fenomena yang
berkembang hari ini menunjukkan bahwa derap lenting modernisasi serta
perkembangan teknologi-informasi telah memunculkan kehidupan baru bagi
mahasiswa. Media sosial (Medsos) sangat mempengaruhi cara hidup mahasiswa dalam
bersosialisasi dan berinteraksi dengan realitas sosialnya. Semakin banyak
mahasiswa masa kini yang lebih tertarik untuk bersosial dan bersosialisasi
lewat Medsos, dibandingkan bersosial dan berinteraksi secara langsung untuk
bertatap muka. Keadaan yang demikian inilah yang kemudian memunculkan iritasi
sosial dan menjadi budaya baru bagi mahasiswa hari ini. Dengan kata lain,
Medsos ternyata menjauhkan orang-orang yang ada disekitarnya, dan mendekatkan
orang jauh dalam kehidupan sehari-harinya. Komunikasi tatap muka yang dilakukan
semakin menurun, karena mahasiswa hari ini merasa bahwa dengan adanya Medsos
lebih praktis dari pada bertemu secara langsung. Hal ini tentunya akan
membentuk pola hidup baru mahasiswa yang semakin terisolasi dengan orang yang
ada disekitarnya, kurang peka dan a-sosial. Karena mereka lebih
menyibukkan dirinya pada smartphone untuk sekedar selfi, pasang status di
whatsapp, facebook, instagram dan sosial media lainnya. Intinya bahwa mahasiswa
hari ini telah kecanduan teknologi, dan layaknya mereka seperti budak
teknologi dan sedang terjangkit penyakit iritasi sosial yang kronis.
Sebagai kaum terpelajar,
seharusnya teknologi bagi mahasiswa adalah sebagai sarana informasi untuk
memudahkan aktivitasnya dalam menempuh dunia kampus, mengembangkan keilmuan dan
pengetahuannya. Bukan sebaliknya, memenjarakan kehidupan mahasiswa dalam sekat
institusionalisasi, transpolitisasi dan depolitisasi dalam kampus. Pada sisi
yang lain juga perkembangan teknologi informasi bagi mahasiswa justru
menjadikannya lebih terkungkung oleh dunia maya dan terisolasi oleh dunia
nyata, hingga akhirnya mahasiswa tercerabut dari akar historis dan realitas
sosial yang melingkupinya. Akibatnya, mahasiswa mengalami kegamangan atas
dirinya maupun peran-peran sosial kemasyarakatan yang semestinya harus mereka
ambil. Mahasiswapun tidak lagi memiliki kesadaran kritis, justru sebaliknya
mereka bersikap apolitis dan ‘pekok’ realitas.
Mudah dimengerti bahwa
potret mahasiswa hari ini yang lebih dibalut oleh kendornya semangat belajar
dan berinterksi sosial. Mereka lebih terpesona dengan derap lenting kemajuan
teknologi-informasi yang justru menjadikannya terpenjara dalam kehidupan maya
dan menyandang budak teknologi yang kronis, serta rapuhnya kesadaran diri
mereka dalam melihat kehidupan nyata dan tanggungjawab sosialnya, sehingga
atmosfir dan nuansa berfikir mereka berwajah individualistik. Keadaan inilah
yang menimbulkan stagnansi pemikiran dan dinamika gerakan mahasiswa. Geliat
pemikiran dan gerakan sosialnya kian meredup, berbalut oleh tebalnya nalar
individualisme dan pragmatisme, serta hilangnya idealisme pemikiran, semangat
gerakan dan tanggungjawab sosialnya sebagai seorang mahasiswa.
Melihat realitas mahasiswa
hari ini, maka perlu ditumbuhkan kesadaran kritisnya agar mereka dapat
merespons gejala-gejala sosial hari ini, serta mampu merespons positif atas
perkembangan teknologi-informasi dalam kehidupan dan zaman ini. Sehingga, derap
lenting kemajuan teknologi-informasi bukan menjadi bencana, namun sebagai
anugrah dalam membangun peradaban baru yang tercerahkan, dapat menumbuhkan
kesadaran kritisnya serta menumbuhkan tanggungjawab sosialnya sebagai seorang
mahasiswa. Karena disamping belum tersentuh kepentingan praktis, mahasiswa
lebih relatif tercerahkan (well informed) dan potensi sebagai kelompok
dinamis yang diharapkan mampu mempengaruhi atau menjadi penyuluh pada basis
mayarakat, baik dalam lingkup kecil maupun secara luas. Dengan tataran ideal
seperti ini, semestinya mahasiswa dapat mengambil peran kemasyarakatan dan
tanggungjawab sosial yang lebih bermakna bagi kehidupan kampus, masyarakat dan
bangsa.
Referensi:
F. Budi Hardiman.
(2004). Kritik Ideologi; Menyikap Kepentingan Pengetahuan Bersama
Jurgen Habermas. Yogyakarta: Buku Baik.
[1] F. Budi
Hardiman, Kritik Ideologi; Menyikap
Kepentingan Pengetahuan Bersama Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Buku Baik, 2004).