Tuesday, May 01, 2018

MAHASISWA DAN TANGGUNGJAWAB SOSIAL

Fenomena mahasiswa hari ini yang kadang menggelikan dan bikin ketawa jika melihat tingkah-polah kebanyakan mahasiswa masa kini. Dalam hal penampilan sebagai misal, mereka berlomba-lomba memamerkan baju, aksesoris, kendaraan bagus, dan yang lagi trend saat ini adalah smart phone atau hand phone android dari berbagai merk yang setiap harinya mereka pegang dan menjadi sahabat setianya dalam aktivitas keseharian mahasiswa.

Jika kita amati di banyak kampus, mahasiswa begitu semangatnya mengeksploitasi pemikirannya untuk sekedar curhat pacar, pasang status di WhatsApp, Instagram, face book dan sosial media lainnya, namun ketika dihadapkan dalam dunia diskusi, aktif berorganisasi, menciptakan ruang-ruang dialektika intelektual, membaca buku, mereka menganggapnya sebagai dunia mitos, membosankan dan buang-buang waktu saja.

Menjadi fenomena langka di kampus-kampus umum dan bahkan kampus agama, mahasiswanya memiliki kesadaran untuk bergabung dalam dunia organisasi dan menciptakan ruang-ruang diskusi intelektual diluar aktivitas perkuliahannya, serta bersentuhan langsung dengan elemen masyarakat dan melakukan advokasi untuk memecahkan berbagai macam problem sosial hari ini. Kebanyakan mahasiswa hanya terfokus pada ruang akademik, melulu kuliah dan melupakan peran dan tanggungjawab sosialnya sebagai seorang mahasiswa. Sebelumnya, ijinkanlah penulis untuk mengutip dengan meminjam sebuah teori yang dikemukakan oleh Jurgen Habermas dan Madzhab Frankfurt tentang teori kritisnya yang ingin menembus dimensi esensi dari realitas sosial. Konsepsi teori kritis tentang esensi ini diberi syarah oleh Theodor W. Adorno: “Esensi realitas sosial adalah sesuatu yang tersembunyi dibalik permukaan dari apa yang nampak atau dari fakta-fakta yang diperkirakan. 'Esensi' itulah yang membuat fakta-fakta sebagai sesungguhnya”.[1]

Kampus sebagai habitat mahasiswa harus menjadi laboratorium kepemimpinan, membentuk kepribadian yang mengintegrasikan potensi intelektual, fisikal dan spiritual. Dispolarisasi antara akademik dan organisasi harus diwujudkan sebagai langkah strategis. Penguasaan keilmuan harus menjadi pedoman mahasiswa dalam mengorganisasikan pergerakannya. Akhirnya, dimanapun keberadaan mahasiswa, harusnya, menciptakan sinergisitas dengan semua elemen masyarakat yang ada diatasnya maupun dibawah mereka agar benar-benar menjadi pemimpin yang strategis pada masa kini, terutama bagi masa depan bangsa.

Lebih dari itu, mahasiswa harus menumbuhkan tanggungjawab dan jiwa-jiwa sosialnya yang dalam, atau dengan kata lain ‘solidaritas sosial’. Solidaritas yang dimaksud adalah solidaritas yang tidak melulu dibatasi oleh sekat-sekat kelompok, tapi solidaritas universal dan komprehensif, serta dapat melepaskan dirinya dari sifat angkuh, sombong dan picik. Manifestasi solidaritas sosial yang dimaksud adalah perwujudan diri mahasiswa yang tidak buta akan realitas sosial ketika melihat penderitaan rakyat dan kaum tertindas dibiarkan begitu saja. Dengan sikap responsif dan sifat kasih sayangnya sehingga mahasiswa turun langsung untuk memberikan bantuan, baik dalam bentuk moril maupun materil bagi siapa saja yang mengalami penderitaan, ketidakadilan yang menindas dan dehumanisasi, baik struktur maupun kultur budaya yang melingkupinya. Untuk itu, kampus bagi mahasiswa sejatinya adalah bukan hanya sebatas gedung dan institusi yang sekedar hanya tempat kuliah, mencatat omongan dosen, duduk manis dikelas, pulang dan tidur. Akan tetapi kampus bagi mahasiswa adalah sebagai tempat atau kawah cendekiawan untuk penggemblengan dirinya dalam melakukan kontempelasi intelektual dan ruang-ruang dialektis agar mereka mempunyai segudang pengetahuan, spirit gerakan, idealisme dan komitmen perjuangan sekaligus tuntutan perubahan. Hal ini sebagai konsekwensi logis agresitivitas mahasiswa dalam merespons gejala sosial ketimbang kelompok lain dari sebuah sistem sivitas akademika.

Akan tetapi, fenomena yang berkembang hari ini menunjukkan bahwa derap lenting modernisasi serta perkembangan teknologi-informasi telah memunculkan kehidupan baru bagi mahasiswa. Media sosial (Medsos) sangat mempengaruhi cara hidup mahasiswa dalam bersosialisasi dan berinteraksi dengan realitas sosialnya. Semakin banyak mahasiswa masa kini yang lebih tertarik untuk bersosial dan bersosialisasi lewat Medsos, dibandingkan bersosial dan berinteraksi secara langsung untuk bertatap muka. Keadaan yang demikian inilah yang kemudian memunculkan iritasi sosial dan menjadi budaya baru bagi mahasiswa hari ini. Dengan kata lain, Medsos ternyata menjauhkan orang-orang yang ada disekitarnya, dan mendekatkan orang jauh dalam kehidupan sehari-harinya. Komunikasi tatap muka yang dilakukan semakin menurun, karena mahasiswa hari ini merasa bahwa dengan adanya Medsos lebih praktis dari pada bertemu secara langsung. Hal ini tentunya akan membentuk pola hidup baru mahasiswa yang semakin terisolasi dengan orang yang ada disekitarnya, kurang peka dan a-sosial. Karena mereka lebih menyibukkan dirinya pada smartphone untuk sekedar selfi, pasang status di whatsapp, facebook, instagram dan sosial media lainnya. Intinya bahwa mahasiswa hari ini telah kecanduan teknologi, dan layaknya mereka seperti budak teknologi dan sedang terjangkit penyakit iritasi sosial yang kronis.

Sebagai kaum terpelajar, seharusnya teknologi bagi mahasiswa adalah sebagai sarana informasi untuk memudahkan aktivitasnya dalam menempuh dunia kampus, mengembangkan keilmuan dan pengetahuannya. Bukan sebaliknya, memenjarakan kehidupan mahasiswa dalam sekat institusionalisasi, transpolitisasi dan depolitisasi dalam kampus. Pada sisi yang lain juga perkembangan teknologi informasi bagi mahasiswa justru menjadikannya lebih terkungkung oleh dunia maya dan terisolasi oleh dunia nyata, hingga akhirnya mahasiswa tercerabut dari akar historis dan realitas sosial yang melingkupinya. Akibatnya, mahasiswa mengalami kegamangan atas dirinya maupun peran-peran sosial kemasyarakatan yang semestinya harus mereka ambil. Mahasiswapun tidak lagi memiliki kesadaran kritis, justru sebaliknya mereka bersikap apolitis dan ‘pekok’ realitas.

Mudah dimengerti bahwa potret mahasiswa hari ini yang lebih dibalut oleh kendornya semangat belajar dan berinterksi sosial. Mereka lebih terpesona dengan derap lenting kemajuan teknologi-informasi yang justru menjadikannya terpenjara dalam kehidupan maya dan menyandang budak teknologi yang kronis, serta rapuhnya kesadaran diri mereka dalam melihat kehidupan nyata dan tanggungjawab sosialnya, sehingga atmosfir dan nuansa berfikir mereka berwajah individualistik. Keadaan inilah yang menimbulkan stagnansi pemikiran dan dinamika gerakan mahasiswa. Geliat pemikiran dan gerakan sosialnya kian meredup, berbalut oleh tebalnya nalar individualisme dan pragmatisme, serta hilangnya idealisme pemikiran, semangat gerakan dan tanggungjawab sosialnya sebagai seorang mahasiswa.

Melihat realitas mahasiswa hari ini, maka perlu ditumbuhkan kesadaran kritisnya agar mereka dapat merespons gejala-gejala sosial hari ini, serta mampu merespons positif atas perkembangan teknologi-informasi dalam kehidupan dan zaman ini. Sehingga, derap lenting kemajuan teknologi-informasi bukan menjadi bencana, namun sebagai anugrah dalam membangun peradaban baru yang tercerahkan, dapat menumbuhkan kesadaran kritisnya serta menumbuhkan tanggungjawab sosialnya sebagai seorang mahasiswa. Karena disamping belum tersentuh kepentingan praktis, mahasiswa lebih relatif tercerahkan (well informed) dan potensi sebagai kelompok dinamis yang diharapkan mampu mempengaruhi atau menjadi penyuluh pada basis mayarakat, baik dalam lingkup kecil maupun secara luas. Dengan tataran ideal seperti ini, semestinya mahasiswa dapat mengambil peran kemasyarakatan dan tanggungjawab sosial yang lebih bermakna bagi kehidupan kampus, masyarakat dan bangsa.

Referensi:
F. Budi Hardiman. (2004). Kritik Ideologi; Menyikap Kepentingan Pengetahuan Bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta: Buku Baik.





[1] F. Budi Hardiman, Kritik Ideologi; Menyikap Kepentingan Pengetahuan Bersama Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Buku Baik, 2004).
Previous Post
Next Post

Penulis yang mengabdikan tulisannya bagi amal jariyah pemikiran. Tokoh favorit sekaligus panutannya adalah Gus Dur