Sunday, January 27, 2019

GENDER PERSPEKTIF AL-QUR’AN

GENDER PERSPEKTIF AL-QUR’AN
Prawacana
Sifat inferioritas yang telah dilekatkan oleh tradisi (turats) kepada perempuan bahwa mereka adalah kurang dalam hal akal, dan agama hanyalah pandangan yang mengada-ada yang telah ditetapkan oleh sistem masyarakat patriarkis yang berlaku saat itu.[1]

Seperti yang diungkapkan oleh Shahrur di atas bahwa pengaruh budaya patriarki telah membentuk stereotip dan paradigma kultural yang merendahkan, melecehkan dan menyebabkan perspektif misoginistik terhadap kaum perempuan. Semua itu telah menjadi tradisi yang begitu mengakar, sehingga menjadi tugas yang sulit dan berbenturan dengan banyak kendala untuk menghapuskan disparitas subordinatif kaum perempuan dari laki-laki.

Isu gender menguat ketika disadari bahwa perbedaan gender antara manusia laki-laki dan perempuan telah melahirkan ketidakadilan dalam berbagai bentuk seperti marginalisasi atau pemiskinan ekonomi, subordinate atau anggapan tidak penting dalam urusan politik, stereotype atau pencitraan negatif bagi perempuan. Citra perempuan yang dimaksud hanya bergelut 3R (dapur, sumur, kasur), kekerasan dan double burden (beban ganda) terhadap perempuan yang bermuara pada perbuatan tidak adil yang dibenci oleh Allah Swt.

Gerakan perubahan yang terjadi masa sekarang dan masa-masa mendatang lebih mengutamakan persamaan antara kedua jenis laki-laki dan perempuan. Nilai-nilai baru telah tumbuh bersamaan dengan desakan teknologi modern, sehingga muncul peradaban yang mendorong pembebasan beban historis yang dipikul kaum perempuan. Dalam konteks kekinian, banyak sektor strategis yang menuntut ketelibatan perempuan, mengingat mereka memiliki kemampuan dalam bidang dan jasa tertentu yang bagi laki-laki mungkin sulit untuk melakukannya.

Harus pula dipahami bahwa fakta tersebut di atas, akan sangat menarik jika dihubungkan dengan al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam. Sebab misi utama al-Qur’an adalah membebaskan manusia dari berbagai bentuk anarki, ketimpangan dan ketidakadilan. Al-Qur’an pada dasarnya sangat bijak berbicara tentang masalah gender dengan mengedepankan prinsip keadilan, kesetaraan dan kemitraan. Al-Qur’an tidak pula menafikan adanya perbedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan, tetapi perbedaan tersebut bukanlah pembedaan (discrimination) yang menguntungkan salah satu pihak dan merugikan pihak lain.

Jika di lihat dari segi historis, al-Qur’an merupakan sumber nilai yang pertama kali menggagas konsep keadilan gender. Di antara kebudayaan dan peradaban dunia yang hidup pada masa turunnya al-Qur’an seperti Yunani, Romawi, Yahudi, Persia, China, India, Kristen dan Arab (pra-Islam), tidak ada satupun yang menempatkan perempuan lebih terhormat dan lebih bermartabat daripada nilai-nilai yang diperkenalkan oleh Qur’an.

Berangkat dari hal tersebut, setidaknya ada dua pertanyaan yang muncul ketika mencermati topik di atas yaitu; Pertama, apakah yang dimaksud dengan kesetaraan gender? Kedua, bagaimana persoalan ini dilihat dari teks dan konteks di hubungkan dengan nash al-Quran.

A.      Pengertian Gender dan Perbedaannya dengan Sex
Istilah "gender" berasal dari bahasa Inggris "gender" yang berarti jenis kelamin. Dalam kamus Webster diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara lelaki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. H.T. Wilson mengartikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan. Singkatnya, menurut Nasaruddin, gender merupakan suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial budaya. Gender dalam arti ini mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari sudut non biologis.[2]

Terdapat perbedaan yang jelas antara gender dan sex. Jika gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari aspek sosial budaya, maka istilah sex secara umum dipakai untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi biologi. Istilah sex lebih banyak berkonsentrasi pada aspek biologi seseorang, meliputi perbedaan komposisi kimia dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi dan karakteristik biologis lainnya. Sex juga merupakan jenis kelamin biologis ciptaan Tuhan, seperti perempuan memiliki vagina, payudara, rahim, bisa melahirkan dan menyusui sementara laki-laki memiliki jakun, penis, dan sperma, yang sudah ada sejak dahulu kala. Sedangkan gender menyangkut perbedaan fungsi, dan peran Sedangkan gender lebih banyak berkonsentrasi pada aspek sosial, budaya, psikologis dan aspek-aspek non biologis lainnya.[3]

Berikut tabel perbedaan antara gender dengan sex:
Gender
Sex (Jenis Kelamin)
·      Dapat berubah
·      Dapat dipertukarkan
·      Tergantung musim
·      Tergantung budaya masing-masing
·      Bukan kodrat (buatan masyarakat)
·      Tidak dapat berubah
·      Tidak dapat dipertukarkan
·      Berlaku sepanjang masa
·      Berlaku dimana saja
·   Kodrat (ciptaan Tuhan); perempuan menstruasi, hamil, melahirkan, menyusui

Dari penjelasan mengenai gender dan sex tersebut di atas, dapat dipahami bahwa sex merupakan pembagian jenis kelamin berdasarkan dimensi biologis dan tidak dapat diubah-ubah, sedangkan gender merupakan hasil konstruksi manusia berdasarkan dimensi sosial-kultural tentang laki-laki atau perempuan.

Perbedaan tersebut penting untuk diungkapkan, karena banyak persepsi yang bias dan tidak membedakan antara gender dan sex. Banyak masyarakat yang memahami bahwa atribut biologis pada seseorang seperti penis pada lelaki dan vagina pada perempun, maka hal itu akan menjadi identitas gender bagi yang bersangkutan dan akan menentukan peran sosial dalam masyarakat. Padahal relasi gender tidak didasarkan pada faktor biologis, melainkan pada kualitas, skil dan konvensi-konvensi sosial.

B.      Perspektif Gender dalam Penafsiran al-Qur’an
Al-Qur`an, menurut Asghar Ali Engineer, seorang feminis Muslim dari India, secara normatif menegaskan konsep kesetaraan status antara laki-laki dan perempuan. Konsep kesetaraan itu mengisyarakatkan dua hal. Pertama, dalam pengertiannya yang umum, yaitu penerimaan martabat kedua jenis kelamin dalam ukuran yang setara. Kedua, orang harus mengetahui bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak-hak yang setara dalam bidang sosial, ekonomi dan politik, keduanya memiliki hak yang setara untuk mengadakan kontrak perkawinan atau memutuskannya, keduanya memiliki hak untuk memiliki atau mengatur harta miliknya tanpa campur tangan yang lain, keduanya bebas memilih profesi atau cara hidup, dan keduanya juga setara dalam tanggungjawab sebagaimana dalam hal kebebasan.[4]

Dalam beberapa ayat al-Qur`an, masalah kesetaraan antara laki-laki dan perempuan ini mendapat penegasan. Secara umum dinyatakan oleh Allah Swt dalam Surat al-Hujurat ayat 13 bahwa semua manusia, tanpa membedakan jenis kelamin, warna kulit dan perbedaan-perbedaan yang bersifat given lainnya, mempunyai status yang sama di sisi Allah. Mulia dan tidaknya mereka di sisi Allah ditentukan oleh ketaqwaannya, yaitu sebuah prestasi yang dapat diusahakan. Secara khusus kesetaraan laki-laki dan perempuan itu ditegaskan oleh Allah dalam Surat al-Ahzab ayat 35, yang artinya:
Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu’min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar. (QS. al-Ahzab:35)

Namun demikian, dalam beberapa ayat yang lain, muncul problem kesetaraan, terutama dalam penafsiran terhadap teks-teks tersebut. Misalnya, problem kesetaraan muncul dalam masalah penciptaan laki-laki (Adam As) dari tanah, sementara perempuan (Hawa) dari tulang rusuk Adam. Dalam tugas-tugas keagamaan problem kesetaraan muncul mulai dari tidak adanya perempuan jadi Nabi, dan tidak bolehnya perempuan mengimami jama’ah laki-laki dalam shalat, atau jadi khatib shalat Jum’at dan ‘Iedain (penafsiran terhadap ayat-ayat tentang shalat berdasarkan hadits Nabi), bahkan kaum perempuan tidak dibolehkan shalat selagi mereka haidh.

Dalam perkawinan muncul problem kesetaraan dalam masalah perwalian (perempuan harus menikah dengan wali), perceraian (kenapa hak menjatuhkan talak hanya ada pada laki-laki), poligami (laki-laki boleh poligini sedangkan perempuan tidak boleh poliandri), nikah beda agama (kenapa laki-laki Muslim boleh menikahi perempuan Ahlul Kitab, sementara perempuan Muslimah tidak diizinkan menikah dengan laki-laki non Muslim manapun, termasuk dengan Ahlul Kitab).

Dalam bidang lain juga muncul problem kesetaraan dalam masalah pembagian warisan (anak laki-laki dapat dua bagian anak perempuan), kesaksian dalam transaksi kredit (formula dua saksi laki-laki atau satu laki-laki dua perempuan), dan juga problem kesetaraan muncul dalam masalah pembagian tugas publik dan domestik antara laki-laki dan perempuan.

Problem kesetaraan di atas, dapat diatasi dengan menafsirkannya secara kontekstual. Karena secara konstektual, al-Qur`an memang menyatakan adanya kelebihan tertentu kaum laki-laki atas perempuan. Tetapi dari beberapa mufassir dengan mengabaikan konteksnya, dan ini sangat disayangkan. Metode para mufassir yang memahami ayat ini semata-mata bersifat teologis dengan mengabaikan pendekatan sosiologis. Seharusnya para mufassir menggunakan sosio-teologis.[5] Sebab satu cara untuk menghindari penafsiran yang bersifat diskriminatif terhadap perempuan adalah dengan pendekatan kontekstual. Tapi sebelumnya harus di diskusikan lebih dahulu apakah bentuk sebuah penafsiran bersifat diskriminatif sehingga perlu ditafsirkan secara kontekstual. Dalam kasus kepemimpinan rumah tangga misalnya, menafsirkan teks kepemimpinan suami atas istri dalam rumah tangga apa adanya secara tekstual (dengan argumen yang disebutkan sendiri oleh teks itu), apakah bersifat diskriminatif yang dengan sendirinya bertentangan dengan ide tentang kesetaraan, atau memang sudah seharusnya demikian dengan alasan-alasan yang rasional dan realistis? Apakah kesetaraan harus diartikan bahwa segala sesuatu harus sama? Tidakkah posisi pemimpin dan yang dipimpin atau status struktural tersebut hanyalah sesuatu yang bersifat fungsional semata, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan persoalan kesetaraan, sebab kesetaraan menyangkut nilai yang esensi misalnya adalah kemanusiaan.

Jadi, perspektif gender memang diperlukan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an, terutama dalam masalah perempuan, dalam hubungannya dengan laki-laki. Tetapi baik para mufassir maupun para pengkritiknya dari kalangan feminis haruslah berusaha sama-sama menjaga kejernihan cara pandang, sehingga masing-masing tidak terjebak dari bias-bias yang tidak diperlukan.

C.      Identitas Gender dalam al-Qur’an
Dalam al-Qur’an, terdapat beberapa kata yang berkonotasi laki-laki dan perempuan, seperti al-rajul, al-dzakar, al-mar' dan al-nisa, al-untsa serta al-mar'ah. Dari kata-kata tersebut, ada distingsi makna yang signifikan di antara berbagai istilah tersebut. Bila kata al-rajul, al-nisa, al-mar' dan al-mar'ah digunakan untuk laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa, telah berumah tangga atau telah mempunyai peran tertentu dalam masyarakat.

Semua kata tersebut dipakai manakala memenuhi kriteria sosial dan budaya tertentu, termasuk mempunyai kecakapan bertindak atau skil; untuk hal-hal yang berhubungan dengan fungsi dan relasi gender. Sedangkan istilah al-dzakar dan al-untsa hanya menunjukkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan secara biologis tanpa dikaitkan faktor kedewasaan atau kematangan yang bersangkutan. Dengan demikian, semua kata al-rajul dan al-nisa misalnya, mencakup kategori al-dzakar dan al-untsa. Tapi tidak semua al-dzakar dan al-untsa meliputi kategori al-rajul dan al-nisa.

Pada titik inilah, khithab (perintah dan larangan) Tuhan yang menggunakan kata al-dzakar dan al-untsa yang mengacu kepada faktor biologis lebih mudah dipahami karena identitas biologis lelaki dan perempuan mempunyai ciri-ciri universal, sedangkan khithab Tuhan yang menggunakan kata al-rajul, al-nisa atau al-mar'ah memerlukan pemahaman lebih kontekstual karena identitas gender banyak dipengaruhi faktor budaya, sementara budaya setiap masyarakat mempunyai kekhususan-kekhususan.

Melalui paradigma di atas, maka kata al-rijal, misalnya, dalam ayat yang menyatakan: Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Dan laki-laki mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada istrinya (Qs 2: 228), merupakan laki-laki tertentu yang mempunyai kapasitas tertentu, karena tidak semua laki-laki mempunyai tingkatan lebih tinggi daripada perempuan. Kerena itulah, Tuhan tidak menggunakan kata al-dzakar (wa lidzakari), sebab jika demikian secara alami berkonotasi bahwa semua lelaki memiliki tingkatan lebih tinggi ketimbang perempuan.[6]

D.     Konsep Gender dalam al-Quran
Terdapat lima variabel yang dapat digunakan sebagai standar untuk menganalisis prinsip-prinsip kesetaraan gender dalam al-Qur’an. Pertama, laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba. Ayat al-Qur’an yang bisa dijadikan justifikasi yaitu surat al-Zariyat ayat 56: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan mereka supaya beribadah kepada-Ku.

Dalam kedudukannya atau kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan antara lelaki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan peluang yang sama untuk menjadi hamba ideal, yang biasa diistilahkan al-Qur’an dengan orang-orang yang bertaqwa (muttaqun). Bahkan untuk mencapai derajat muttaqun ini tidak dikenal adanya perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atau kelompok etnis tertentu (Qs 49: 13).[7]

Kedua, laki-laki dan perempuan sebagai khalifah di bumi. Selain menjadi hamba yang tunduk dan patuh serta mengabdi kepada Allah, maksud dan tujuan penciptaan manusia di muka bumi adalah untuk mengemban amanah sebagai pemimpin (khlifah fi al-ardl). Postulat yang menjadi pijakan mengenai hal tersebut yaitu surat al-An'am: 165: Dan Dialah yang menjadikan kalian penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kalian atas sebagian yang lain beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepada kalian.

Sebenarnya banyak cerita sukses kaum wanita dalam mengemban amanah sebagai pemimpin. Dalam investigasi historis-sosiologisnya, Fatima Mernisi menemukan 15 penguasa perempuan di berbagai wilayah Muslim antara abad 13 sampai 17. 2 (dua) orang penguasa Turki yaitu Sultanah Radiyyah dan Sultanah Syajarat al-Durr; 6 (enam) orang dari lingkungan penguasa Mongol; 3 (tiga) ratu pada entitas politik Islam di Maldives; serta 4 (empat) ratu dari kerajaan Aceh, yakni Sultanah Taj al-Alim Sufiyyah al-Din Syah, Sultanah Nur Alam Nakkiyah al-Din Syah, Sultanah Inayah Syah dan Sultanah Kamalat Syah.[8]

Ketiga, laki-laki dan perempuan menerima perjanjian primordial. Baik laki-laki dan perempuan keduanya mendapatkan perjanjian primordial dari Tuhan. Al-Qur’an mendeskripsikan perjanjian tersebut saat manusia berada dalam rahim, dalam keadaan pra-eksistensial: Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Qs. 7: 172)

Tidak seorang anak manusia pun lahir di muka bumi ini yang tidak berikrar akan keberadaan Tuhan dan ikrar mereka disaksikan para malaikat. Tidak ada seorang pun yang mengatakan "tidak" sehingga dalam Islam tanggungjawab individual dan kemandirian berlangsung sejak dini. Sejak awal sejarah manusia dalam Islam tidak dikenal diskriminasi jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan sama-sama menyatakan ikrar ketuhanan yang sama.
Keempat, Adam dan Hawa terlibat secara aktif dalam drama kosmis. Semua ayat yang mengisahkan keadaan Adam dan pasangannya dalam surga sampai keluar ke bumi, selalu menekankan kedua belah pihak secara aktif dengan menggunakan kata ganti untuk dua orang (huma), yakni kata ganti untuk Adam dan Hawa: keduanya diciptakan di surga dan memanfaatkan fasilitas surga (Qs. 2: 35); keduanya mendapat godaan yang sama dari setan (Qs. 7: 20); sama-sama memakan buah khuldi (Qs. 7: 22); keduanya memohon ampun dan sama-sama diampuni Tuhan (Qs. 7: 23); dan keduanya mengembangkan keturunan, saling melengkapi dan saling membutuhkan setelah berada di bumi (Qs. 2: 187).

Fenomena ini diakui pula oleh Annemarie Schimmel dalam penelitiannya tentang ayat-ayat yang mendeskripsikan drama kosmis bahwa tak pernah sekalipun disebutkan dalam al-Qur’an bahwa Hawa (secara tunggal) bertanggunggjawab atas terusirnya Adam dan Hawa dari surge.[9] Bahkan menurut Quraish Shihab, kalaupun ada ayat yang membicarakan godaan setan berbentuk tunggal, justru ditujukan kepada Adam seperti dalam surat Thaha ayat 120.[10]

Lebih jauh, dalam pegamatan okjektif sebagian ilmuwan terhadap Al-quran justru memperlihatkan gambaran kepribadian yang memukau dan simpatik dari al-Qur’an tentang wanita: Ratu Balkis—si pemimpin teladan—Ibu Musa yang menyerahkan anaknya kepada kehendak Tuhan; Istri Fir'aun yang menyelamatkan bayi Musa dan memohon pelindungan Allah dari penindasan suaminya; serta Maryam wanita suci yang melahirkan Isa yang langsung menjadi saksi akan kesuciannya.[11]

Persoalan yang mengganggu pikiran adalah mengapa banyak terjadi bias yang menyudutkan perempuan dalam menafsirkan Al-quran? Menurut Nasaruddin ada beberapa faktor penyebab, di antaranya adalah biasnya penafsiran al-Qur’an, dan pendekatan fiqh (penafsiran kultural) yang bercorak patriarki yang dilakukan ulama.[12]

Fenomena ini diakui pula oleh para pengamat kontemporer, Nasr Hamid menemukan kaum salafi tradisionalis yang mengganggap kesetaraan laki-laki dan perempuan hanya dalam pahala dan siksa di akhirat bukan kesetaraan sosial dengan justifikasi ayat-ayat al-Qur’an. Kemudian Budhi Munawar melihat adanya pembedaan dalam kitab-kitab fiqh dan tafsir-tafsir klasik bahwa lelaki dalam wilayah public, sementara wanita dalam sektor domestik; serta Karen Armstrong, seorang peneliti agama-agama Ibrahim asal Inggris, menemukan banyak ulama yang menafsirkan al-Qur’an dengan pandangan negatif terhadap kaum wanita.[13]

Kelima, laki-laki dan perempuan berpotensi meraih prestasi. Beberapa ayat secara khusus yang menegaskan tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam peluang untuk meraih prestasi secara maksimum, yaitu surat ali-Imran: 195, al-Nisa: 124, al-Nahl: 97, dan Gafir: 40. Di sini diturunkan arti dari surat al-Nahl: 97: Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.

Ayat tersebut mengisyaratkan konsep kesetaraan gender yang ideal dan menegaskan bahwa prestasi individual, baik dalam bidang spiritual maupun urusan karir profesional, tidak mesti dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Laki-laki dan perempuan memperoleh kesempatan yang sama dalam meraih prestasi optimal. Namun, dalam kenyataan masyarakat, konsep ideal ini membutuhkan tahapan dan sosialisasi, karena masih terdapat sejumlah kendala, terutama kendala budaya yang sulit diselesaikan.[14]

Contoh kasuistik mengenai hal ini adalah pengamatan Jeffrey Lang yang langsung melakukan journey dan observation di Arab Saudi selama setahun penuh. Lang menemukan masih banyak ulama di Arab Saudi yang mengklaim bahwa perempuan lebih rendah daripada laki-laki baik dalam tataran moral, spiritual maupun intelektual. Mereka menyatakan bahwa betapapun kerasnya wanita berusaha, maka mereka tidak akan mampu secara intelektual bersaing dengan lelaki. Terlebih lagi mereka memperkuat dengan postulat-postulat keagamaan secara naqli.[15]

Konklusi
Al-Qur’an dalam memandang gender cenderung mempersilahkan kepada kecerdasan-kecerdasan manusia dalam menata pembagian peran laki-laki dan perempuan. Dengan menyadari bahwa persoalan ini cukup penting, tetapi tidak dirinci dalam al-Qur’an. Maka dari itu, menjadi isyarat adanya kewenangan manusia untuk menggunakan hak-hak kebebasannya dalam memilih pola pembagian peran laki-laki dan perempuan yang saling menguntungkan. Karena al-Qur’an cenderung memberikan kesempatan kepada para ahlinya untuk menata pembagian peran antara laki-laki dan perempuan sebaik mungkin dan saling menguntungkan di antara keduanya dalam menjalankan hak dan kewajiban masing-masing, sehingga terwujudnya suasana serasi dan harmonis di tengah galaunya kehidupan ini.


Referensi:

Annemarie Schimmel. (1998). Jiwaku adalah Wanita. terj. Rahmani Astuti. Bandung: Mizan.
Asghar Ali Engineer. (1994). Hak-hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.
Azyumardi Azra. (2000). Menuju Masyarakat Madani. Bandung: Rosdakarya.
Budhi Munawar-Rachman. (2004). Islam Pluralis. Jakarta: Grafindo Persada.
Jeffrey Lang. (2002). Bahkan Malaikat Pun Bertanya. terj. Abdullah Ali. Jakarta: Serambi.
Karen Armstrong. (2004). Sejarah Tuhan. terj. Zaimul Am. Bandung: Mizan.  
Muhammad Shahrur. (2004). Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin dan Burhanuddin. Yogyakarta: Elsaq.
Nasaruddin Umar. (2001). Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: Paramadina.
Nasr Hamid Abu Zayd. (2003). Dekonstruksi Gender, terj. Moch. Nur Ichwan dan Moch. Syamsul Hadi. Yogyakarta: PSW IAIN SUKA.
Quraish Shihab. (1996). Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan.
__________________. Membumikan Al-Qur’an. Bandung: Mizan.
Waryono Abdul Ghafur. (2005). Tafsir Sosial. Yogyakarta: Elsaq Press.



[1] M. Shahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin dan Burhanuddin, (Yogyakarta: Elsaq, 2004), hlm. 441.
[2] Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 2001), hlm. 35.
[3] Ibid., hlm. 35-38.
[4] Asghar Ali Engineer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, terj. Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1994), hlm. 57.
[5] Meskipun demikian, al-Qur`an memang berbicara tentang laki-laki yang memiliki kelebihan dan keunggulan sosial atas perempuan. Ini harus dilihat dalam konteks sosialnya yang tepat. Struktur sosial pada zaman Nabi tidaklah benar-benar mengakui kesetaraan laki-laki dan perempuan. Orang tidak dapat mengambil pandangan yang semata-mata teologis dalam hal semacam ini. Orang harus menggunakan pandangan sosio-teologis. Bahkan al-Qur’an pun terdiri dari ajaran yang kontekstual dan juga normatif. Tidak akan ada kitab yang bisa efektif; jika mengabaikan konteksnya sama sekali. Lihat: Ibid., hlm. 64.
[6] Ibid., hlm. 144-172.
[7] Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2005), hlm. 109.
[8] Azyumardi Azra, Menuju Masyarakat Madani, (Bandung: Rosdakarya, 2000), hlm. 28.
[9] Annemarie Schimmel, Jiwaku adalah Wanita, terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 94.  
[10] Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan,1996), hlm. 302. Lihat juga: Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan,1997), hlm. 272.  
[11] Annemarie Schimmel, op. cit., hlm. 92-97.
[12] Nasaruddin Umar, op. cit., hlm. 281-297.
[13] Nasr Hamid Abu Zayd, Dekonstruksi Gender, terj. Moch. Nur Ichwan dan Moch. Syamsul Hadi, (Yogyakarta: PSW IAIN SUKA, 2003), hlm. 171. Lihat juga: Budhi Munawar-Rachman, Islam Pluralis, (Jakarta: Grafindo Persada, 2004), hlm. 534; Karen Armstrong, Sejarah Tuhan, terj. Zaimul Am, (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 219.  
[14] Nasaruddin Umar, op. cit., hlm. 247-265.  
[15] Jeffrey Lang, Bahkan Malaikat Pun Bertanya, terj. Abdullah Ali, (Jakarta: Serambi, 2002), hlm. 167.