Prawacana
Ketika isu gender diangkat, yang
timbul dalam benak kita adalah diskriminasi
terhadap wanita dan penghilangan hak-hak terhadapnya. Gender yang telah
diperjuangkan oleh beberapa kalangan, baik dari kalangan akademisi atau dari
kalangan yang menanggap bahwa Islam sebagai agama yang memicu kehadiran isu
gender di dunia ini. Tentunya pemahaman seperti ini berusaha dan ingin
mendiskreditkan umat Islam dengan mengangkat isu ini dalam berbagai tulisan dan
buku atau artikel-artikel yang menyudutkan dan memberikan opini secara sepihak
tentang Islam dan gender.
Sebagai
agama, Islam adalah sistem kehidupan yang mengantarkan manusia dalam memahami
realitas kehidupan. Islam juga sebagai tatanan global yang diturunkan Allah
sebagai Rahmatan Lil ’alamin, sehingga dalam konsekuensi logis—bila
penciptaan Allah atas makhluk-Nya (laki-laki dan perempuan)—memiliki missi
sebagai khalifatullah fil ardh, yang memiliki kewajiban untuk
menyelamatkan dan memakmurkan alam, sampai pada kesadaran akan tujuan
menyelamatkan peradaban kemanusiaan. Dengan demikian, wanita dalam konsep dasar
Islam memiliki peran yang komprehensif dan kesetaraan harkat sebagai hamba
Allah (‘abdullah), serta mengemban amanah yang sama dengan laki-laki.
Sejarah menunjukkan bahwa perempuan
pada masa awal Islam mendapat penghargaan tinggi. Islam mengangkat harkat dan
martabat perempuan dari posisi yang kurang beruntung pada zaman jahiliyah. Di
dalam al-Qur’an, persoalan kesetaraan laki-laki dan perempuan ditegaskan secara
eksplisit. Meskipun demikian, masyarakat muslim secara umum tidak memandang
laki-laki dan perempuan adalah setara. Akar mendalam yang mendasari penolakan
dalam masyarakat muslim adalah keyakinan bahwa perempuan adalah makhluk Allah
yang lebih rendah karena diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Selain itu,
perempuan dianggap sebagai makhluk yang kurang akalnya sehingga harus selalu
berada dalam bimbingan laki-laki. Akibatnya, produk-produk pemikiran Islam
sering memosisikan perempuan sebagai subordinat.
Kenyataan ini tentu sangat memprihatinkan, padahal konsep dasar Islam pada
prinsipnya adalah menjunjung tinggi kesetaraan dan tidak membedakan manusia
berdasarkan jenis kelamin. Oleh karena itu, doktrin maupun pandangan yang
mengatasnamakan agama yang sarat dengan praktik diskriminatif sudah selayaknya dikaji ulang, jika ingin Islam tetap
menjadi rahmat bagi seluruh alam.
A.
Bias Gender dalam Teks Keagamaan
Gender adalah pandangan atau keyakinan yang
dibentuk masyarakat tentang bagaimana seharusnya seorang perempuan atau
laki-laki bertingkah laku maupun berpikir. Misalnya; pandangan bahwa perempuan
ideal harus pandai memasak, pandai merawat diri, lemah lembut, atau keyakinan
bahwa perempuan adalah makhluk sensitif, emosional dan selalu memakai perasaan.
Sebaliknya, seorang laki-laki sering dilukiskan berjiwa pemimpin, pelindung,
kepala rumah tangga, rasional, tegas dan sebagainya. Dengan singkat, gender secara
jenis kelamin sosial yang dibuat masyarakat, yang belum tentu benar. Allah
Berfiman yang artinya:
“Dan sesungguhnya telah Kami
muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri
mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.[1]
Allah Swt telah menciptakan laki-laki
dan perempuan dengan bentuk yang terbaik dengan kedudukan yang paling hormat.
Manusia juga diciptakan mulia dengan memiliki akal, perasaan dan menerima
petunjuk. Oleh karena itu, al Qur’an tidak mengenal pembedaan antara laki-laki
dan perempuan, karena di hadapan Allah adalah keduanya sama. Laki-laki dan
perempuan mempunyai derajat dan kedudukan yang sama, dan yang membedakan antara
laki-laki dan perempuan hanyalah dari segi biologisnya.[2]
Namun, dibeberapa bagian kehidupan sosial seringkali masih
dibedakan, yang sering dalam pemberian hak diutamakan pihak pria. Itulah
sebabnya lahir pergerakan emansipasi wanita yang berhasil menjamin persamaan
hak tersebut.
Wanita sama derajatnya dengan pria dan berhak menikmati hidup
sesuai tugas dan penampilannya sebagai wanita. Wanita juga mempunyai hak sipil
seperti pria, misalnya mencari ilmu, bekerja dan sebagainya. Ia juga mempunyai
hak yang sama untuk menjaga nama baiknya sampai ia meninggal. Perihal wanita
yang sederajat dengan pria sesuai derajat kemanusiaannya, telah dijelaskan
dalam al-Qur’an dalam surat al-Nisa’ ayat 32 dan 34. Ayat-ayat tersebut
menunjukkan bahwa dalam statusnya sebagai manusia sama derajatnya di mata Tuhan.
Sehingga dalam kehidupan berkeluarga suami memimpin istri dijelaskan dalam
surat an-Nisa’ ayat 34, sedangkan hak istri terhadap suaminya dijelaskan dalam
surat al-Baqarah ayat 228[3],
yang artinya:
“Dan para wanita mempunyai
hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (QS.
al-Baqarah: 228)
Adapun dalil-dalil al-Qur'an yang mengatur tentang kesetaraan gender
adalah:
1.
Tentang hakikat
penciptaan laki-laki dan perempuan Surat al-Rum ayat 21, surat an-Nisa’ ayat 1,
surat al-Hujurat ayat 13 yang intinya berisi bahwa Allah Swt telah menciptakan
manusia berpasang-pasangan, yaitu laki-laki dan perempuan supaya mereka hidup
tenang dan tentram, agar saling mencintai dan menyayangi serta kasih dan
mengasihi, agar lahir dan menyebar banyak laki-laki dan perempuan serta agar
mereka saling mengenal. Ayat-ayat tersebut menunjukkan adanya hubungan timbal
balik antara lelaki dan perempuan, dan tidak ada satupun yang mengindikasikan
adanya superioritas satu jenis atas jenis lainnya.
2.
Tentang kedudukan
dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam surat Ali Imran ayat 195,
surat an-Nisa’ ayat 124, surat an-Nahl ayat 97, surat at-Taubat ayat 71-72,
surat al-Ahzab ayat 35. Ayat-ayat tersebut memuat bahwa Allah Swt secara khusus
menunjuk baik kepada perempuan maupun laki-laki untuk menegakkan nilai-nilai
Islam dengan beriman, bertaqwa dan beramal. Allah Swt juga memberikan peran dan
tanggungjawab yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam menjalankan
kehidupan spiritualnya. Dan Allahpun memberikan sangsi yang sama terhadap
perempuan dan laki-laki untuk semua kesalahan yang dilakukannya. Jadi, intinya
bahwa kedudukan dan derajat antara laki-laki dan perempuan di mata Allah Swt
adalah sama, dan yang membuatnya tidak sama hanyalah keimanan dan ketaqwaannya.[4]
Munculnya ketidakadilan terhadap perempuan dengan dalih agama
adalah karena adanya implementasi yang salah dari ajaran agama tersebut, yang
disebabkan oleh pengaruh faktor sejarah, lingkungan budaya dan tradisi yang patriarkhi di dalam masyarakat, sehingga
menimbulkan sikap dan perilaku individual yang secara turun temurun menentukan
status kaum perempuan dan ketimpangan gender tersebut. Hal inilah yang
kemudian menimbulkan mitos-mitos salah yang disebarkan melalui nilai-nilai dan
tafsir-tafsir ajaran agama yang keliru mengenai keunggulan kaum lelaki dan
melemahkan kaum perempuan.
Al-Qur’an tidak mengajarkan diskriminasi antara lelaki dan
perempuan sebagai manusia. Dihadapan Allah Swt, lelaki dan perempuan mempunyai
derajat dan kedudukan yang sama. Oleh karena itu, pandangan-pandangan yang
menyudutkan posisi perempuan sudah selayaknya diubah, karena al-Qur’an selalu
menyerukan keadilan, keamanan dan ketenteraman, mengutamakan kebaikan dan
mencegah kejahatan. Ayat-ayat inilah yang digunakan maqasid al Syari'ah atau
tujuan-tujuan utama syari’at. Jika tidak ada penafsiran yang tidak sejalan
dengan prinsip-prinsip keadilan dan hak asasi manusia, maka penafsiran itu
harus ditinjau kembali.[5]
B.
Konstruk Sosial dan Watak Agama
Mendudukkan perempuan pada tempat semestinya sama halnya dengan
membongkar habis sejarah manusia yang telah berlangsung berabad-abad, yang
digugat tidak hanya sistem sosial yang terdiri dari kaum pria, tapi juga kaum
perempuan itu sendiri. Selain itu, realitas sosial yang ada seringkali
menjadikan dalil-dalil agama sebagai dasar dan alat untuk menolak keadilan gender.
Kitab-kitab tafsir dijadikan dan untuk melegalkan pola hidup patriarkhi yang memberikan hak-hak
istimewa kepada pria dan cenderung memojokkan perempuan, pria dianggap sebagai
jenis manusia utama dan perempuan sebagai jenis manusia kelas dua (the second human being).
Pemahaman agama seperti ini mengendap di alam bawah sadar
perempuan dan berlangsung sedemikian lama, sehingga melahirkan kesan seolah
perempuan memang tidak pantas sejajar dengan pria dan membentuk etos kerja yang
timpang antara kedua jenis hamba Tuhan tersebut. Dalam kaitan ini, fenomena gender
mengindikasikan adanya pemahaman agama (teologi) dan merupakan sebab utama
(prima causa) dalam melahirkan berbagai persepsi yang bias gender.[6]
Di dalam Islam, ada beberapa isu kontroversial berkaitan dengan
relasi gender, antara lain soal asal-usul penciptaan perempuan, konsep
kewarisan, persaksian, poligami, hak-hak reproduksi, hak talak, serta peran
publik perempuan. Memang, membaca sepintas teks ayat-ayat yang berhubungan
dengan masalah tersebut mengesankan adanya ketimpangan (ketidak-adilan)
terhadap perempuan. Akan tetapi, jika disimak secara mendalam dengan
menggunakan metode analisa semantik-semiotik-hermeneutik dan dengan
memperhatikan teori sabab nuzul, maka dapat dipahami bahwa ayat-ayat
tersebut merupakan suatu proses dalam mewujudkan keadilan secara konstruktif di
dalam masyarakat.
Jika dilihat sebab turunnya ayat (asbabun nuzul) tentang
perempuan itu, ternyata menanggapi kasus-kasus tertentu yang terjadi masa
Rasulullah pada masa itu. Ini berarti bahwa ayat-ayat tersebut bersifat khusus.
Selain itu, penafsiran telah diyakini menjadi penyebab utama munculnya bias gender.
Selain dari pada itu—dalam konteks Indonesia—bahasa Indonesia yang miskin untuk
menafsirkan bahasa Arab juga menjadi faktor besarnya toleransi konsep poligami
yang menjadi sorotan kontroversial dalam ajaran Islam, serta sebagai sebuah
kemustahilan yang juga disebutkan oleh al-Qur’an.
Islam adalah agama manusiawi yang tidak sekedar dipahami secara
tekstual saja, termasuk konsep poligami. Kalaupun Rasulullah berpoligami, namu
bertujuan untuk mematahkan mitos di masa itu yang mendiskreditkan janda dan
anak yatim sebagai manusia sial dan pantas dijauhi. Perempuan yang dinikahi
Rasulullah di usia senjanya adalah janda-janda veteran perang Uhud dan lainnya yang juga menjadi pemimpin
kabilah-kabilah. Pernikahan Nabi juga tidak lain untuk mempertahankan
eksistensi Islam sebagai strategi penyiaran dakwah Nabi. Sebab—dengan mitos
berkembang—kehadiran janda dan anak yatim yang jumlahnya meningkat setelah
peperangan terancam menjadi murtad. Oleh sebab itu, poligami itu harus dipahami
dari hasil pembacaan ayat secara mendalam dan bukan sekedar selera saja.[7]
Selanjutnya, meskipun al-Qur’an adalah kebenaran abadi, namun
penafsirannya tidak bisa terhindar dari sesuatu yang relatif. Perkembangan
historis berbagai madzhab kalam, fiqih dan tasawuf merupakan bukti positif
tentang betapa relatifnya penghayatan keagamaan umat Islam. Pada suatu kurun
waktu, kadar intelektualitas yang menonjol, sementara pada kurun waktu lainnya,
kadar emosionalitas yang menonjol. Itulah sebabnya mengapa persepsi tentang
perempuan dikalangan umat Islam sendiri juga berubah-ubah.[8]
Dari penjelasan dan uraian tersebut di atas, gender itu sendiri adalah
pandangan atau keyakinan yang dibentuk oleh masyarakat tentang bagaimana
seharusnya seorang perempuan atau laki-laki dalam bertingkah laku maupun
berpikir. Di dalam al-Qur’an disebutkan bahwa al-Qur’an tidak mengenal
pembedaan antara laki-laki dan perempuan dan yang membedakan antara laki-laki
dan perempuan hanyalah dari segi biologisnya. Al-Qur’an tidak mengajarkan
diskriminasi antara laki-laki dan perempuan sebagai manusia. konstruk sosial
dan agama mendudukkan perempuan pada tempat semestinya, sama halnya dengan
membongkar habis sejarah manusia yang telah berlangsung berabad-abad, dan yang
digugat tidak hanya sistem sosial yang terdiri dari kaum pria, tapi juga dari
kaum perempuan itu sendiri.
C.
Konstruksi Keberadaan Perempuan dalam
Islam
Mayoritas intelektual dan sejarahwan, terutama dari kalangan
Islam, memandang posisi perempuan pada masa pra-Islam sebagai sebuah gambaran
kehidupan yang sangat buram dan memprihatinkan. Perempuan dipandang sebagai
makhluk tidak berharga,[9]
menjadi bagian dari laki-laki (subordinatif).
Keberadaannya sering menimbulkan masalah, tidak memiliki independensi diri, hak-haknya ditindas dan dirampas, tubuhnya dapat
diperjual-belikan atau diwariskan dan diletakkan dalam posisi marginal serta
pandangan-pandangan yang menyedihkan lainnya.[10]
Setelah Islam datang, secara bertahap Islam mengembalikan hak-hak
perempuan sebagai manusia merdeka. Perempuan boleh menjadi saksi dan berhak
atas sejumlah warisan, meskipun keduanya hanya bernilai setengah dari kesaksian
atau jumlah warisan yang berhak diterima laki-laki, dan boleh jadi dianggap
tidak adil dalam konteks sekarang. Namun pada prinsipnya jika dilihat pada
konteks ketika perintah tersebut diturunkan, ini mencerminkan semangat
keadilan. Artinya bahwa secara frontal ajaran Islam menentang tradisi jahiliyah
yang berkaitan dengan perempuan. Ini merupakan gerakan emansipatif yang tiada tara pada masanya di saat perempuan terpuruk
dalam kegelapan.
Sejarah menunjukan secara jelas bagaimana perempuan pada masa-masa
Islam diturunkan mendapat penghargaan tinggi, justru terutama dari Nabi
Muhammad Saw. Ini menunjukkan suatu revolusi besar dimana Nabi Muhammad Saw
telah memrakarsai dan melakukan perubahan dalam masyarakat Makah secara
menyeluruh. Secara bertahap Islam menjadi agama yang sangat mapan dengan ritualisasi
yang sangat tinggi dan berani.
Dalam perspektif Islam, semua yang diciptakan Allah Swt
berdasarkan kudratnya masing-masing. Para pemikir Islam mengartikan qadar di dalam al-Quran dengan
ukuran-ukuran, sifat-sifat yang ditetapkan Allah Swt bagi segala sesuatu, dan
itu dinamakan kudrat. Dengan
demikian, laki-laki dan perempuan sebagai individu dan jenis kelamin memiliki
kudratnya masing-masing. Syeikh Mahmud Syaltut mengatakan bahwa tabi’at
kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan berbeda, namun dapat dipastikan
bahwa Allah Swt lebih menganugerahkan potensi dan kemampuan kepada perempuan
sebagaimana telah menganugerahkannya kepada laki-laki. Ayat al-Quran yang
populer dijadikan rujukan dalam pembicaraan tentang asal kejadian perempuan
adalah firman Allah dalam Surat an-Nisa ayat 1, yang artinya:
“Hai sekalian manusia,
bertaqwalah kepada Tuhanmu, yang telah menciptakan kamu dari diri (nafs) yang
satu, dan darinya Allah menciptakan pasangannya dan keduanya Allah
mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”.[11]
Yang dimaksud dengan nafs
di sini, menurut mayoritas ulama tafsir adalah Adam dan pasangannya adalah
istrinya yaitu Siti Hawa. Pandangan ini kemudian telah melahirkan pandangan
negatif kepada perempuan dengan menyatakan bahwa perempuan adalah bagian
laki-laki. Tanpa laki-laki perempuan tidak ada, dan bahkan tidak sedikit di
antara mereka berpendapat bahwa perempuan (Hawa) diciptakan dari tulang rusuk
Adam. Kitab-kitab tafsir terdahulu hampir bersepakat mengartikan demikian.
Kalaupun pandangan di atas diterima yang mana asal kejadian Hawa
dari rusuk Adam, maka harus diakui bahwa ini hanya terbatas pada Hawa saja,
karena anak cucu mereka baik laki-laki maupun perempuan berasal dari perpaduan
sperma dan ovum. Maka dari itu, adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan
tidak dapat disangkal karena memiliki kudrat
masing-masing. Perbedaan tersebut paling tidak dari segi biologis.
Namun dapat dipastikan disini bahwa perbedaan yang ada tentu
mengakibatkan fungsi utama yang harus mereka emban masing-masing. Di sisi lain,
dapat pula dipastikan tiada perbedaan dalam tingkat kecerdasan dan kemampuan
berfikir antara kedua jenis kelamin itu. Al-Quran memuji ulul albab, yaitu yang
berzikir dan memikirkan tentang kejadian langit dan bumi. Zikir dan fikir dapat
mengantar manusia mengetahui rahasia-rahasia alam raya. Ulul albab tidak terbatas
pada kaum laki-laki saja, tetapi juga kaum perempuan, karena setelah al-Quran
menguraikan sifat-sifat ulul albab ditegaskannya bahwa; “Maka Tuhan mereka mengabulkan permintaan
mereka dengan berfirman; “Sesungguhnya
Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik
lelaki maupun perempuan”. (QS. Ali Imran: 195). Ayat ini menunjukkan bahwa
kaum perempuan sejajar dengan laki-laki dalam potensi intelektualnya, mereka
juga dapat berpikir, mempelajari kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati
dari zikir kepada Allah serta apa yang mereka pikirkan dari alam raya ini.
Jenis laki-laki dan perempuan sama di hadapan Allah. Memang ada
ayat yang menegaskan bahwa; “Para
laki-laki (suami) adalah pemimpin para perempuan (istri)” (QS. An-Nisa: 34), namun
kepemimpinan ini tidak boleh mengantarnya kepada kesewenang-wenangan, karena
dari satu sisi al-Quran memerintahkan untuk tolong menolong antara laki-laki
dan perempuan, dan pada sisi lain al-Quran memerintahkan pula agar suami dan
istri hendaknya mendiskusikan dan memusyawarahkan persoalan mereka bersama.[12]
Jika dipahami dalam segala dimensinya secara utuh, Islam itu
sebagai way of life yang membangkitkan kesadaran akan amanah untuk
menegakkan risalah keadilan dalam segala bidang, dan sebagai sokoguru perdaban
dunia. Namun dalam perjalanannya, terjadi pergeseran pemahaman tentang Islam
dalam persoalan teologis. Menurut Riffat, terdapat tiga asumsi teologis, dimana
supra struktur superioritas laki-laki atas perempuan—yang mengimplikasikan
ketidak-setaraan laki-laki dan perempuan—ditegakkan. Tiga asumsi tersebut
adalah:
1.
Isu penciptaan
manusia. Bahwa ciptaan Tuhan yang utama laki-laki bukan perempuan. Karena
perempuan diyakini telah diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, karenanya
secara ontologis bersifat derivatif
dan sekunder. Menurut Riffat penciptaan Hawa dari tulang rusuk merupakan
keyakinan yang berakar kokoh dari Injil dan bertentangan dengan al-Quran.
Kalaupun terdapat hadist Nabi yang mendukung penciptaan perempuan dari tulang
rusuk laki-laki, menurut analisisnya, adalah dho’if karena memiliki
sejumlah perawi yang tidak bisa dipercaya.
2.
Perempuan adalah
penyebab kejatuhan diusirnya manusia dari surga, dan bukannya laki-laki. Riffat
menolak interpretasi yang selalu memojokkan wanita. Menurutnya, tidak ada
konsep kejatuhan dalam al-Quran, karenanya tidak ada dosa asal.
3.
Perempuan
diciptakan tidak saja dari laki-laki, tapi juga untuk laki-laki, yang membuat
eksistensinya semata-mata bersifat instrumental dan tidak memiliki makna yang
mendasar. Menurut Riffat, pendapat ini bertentangan dengan al-Quran yang
menjelaskan bahwa manusia diciptakan hanya untuk mengabdi kepada Allah dan
dengan sebaik-baik bentuk. Laki-laki dan perempuan setara di hadapan Allah.[13]
Dari ketiga asumsi tersebut, yang dianggap Riffat sebagai isu
sentral adalah isu penciptaan manusia. Di mana secara filosofis maupun teologis
adalah hal yang paling mendasar dalam konteks kesetaraan laki-laki-perempuan.
Sebab, jika laki-laki dan perempuan telah diciptakan setara oleh Allah sebagai
penentu nilai tertinggi, maka di kemudian hari tidak bisa berubah menjadi tidak
setara. Di sisi lain, jika laki-laki dan perempuan diciptakan tidak setara oleh
Allah, maka secara esensial di kemudian hari tidak bisa menjadi setara.
Dengan demikian, Islam memahami hubungan manusia dengan manusia
lain maupun hubungan manusia dengan makhluk lain adalah hubungan antar obyek.
Jika ada kelebihan manusia dari makhluk lainnya, maka ini adalah kelebihan yang
potensial saja dan sifatnya untuk dipersiapkan bagi tugas dan fungsi
kemanusiaan sebagai hamba (sama seperti jin, QS 51:56) dan khalifatullah (khusus manusia QS 2:30). Kelebihan yang disyaratkan
sebagai kelebihan pengetahuan (konseptual) menempatkan manusia untuk memiliki
kemampuan yang lebih tinggi dari obyek makhluk lain dihadapan Allah. Akan
tetapi kelebihan potensial ini bisa saja menjadi tidak berarti ketika tidak
digunakan sesuai fungsinya atau bahkan menempatkan manusia lebih rendah dari
makhluk yang lain (QS 7:179).
Secara normatif, pemihakan wahyu atas kesetaraan kemanusiaan laki-
laki dan perempuan dinyatakan di dalam Al Qur’an surat 9:71. Kelebihan tertentu
laki-laki atas perempuan dieksplisitkan al-Qur‟an dalam kerangka yang konteksual (QS 4:34).
Sehingga tidak kemudian menjadikan yang satu adalah subordinat yang lain. Dalam kerangka yang normatif inilah nilai
ideal universal wahyu relevan dalam setiap ruang dan waktu. Sedangkan dalam
kerangka konstektual, wahyu mesti dipahami lengkap dengan latar belakang
konteksnya (asbabun nuzul-nya).
Syari’at adalah suatu wujud formal wahyu dalam kehidupan manusia
yang menjadi ruh kehidupan masyarakat. Antara wahyu (normatif) dengan
masyarakat (konteks) selalu ada hubungan dinamis sebagaimana al-Qur’an itu
sendiri turun dengan tidak mengabaikan realitas masyarakat, tetapi dengan cara
berangsur dan bertahap. Dengan proses yang demikian idealitas, Islam adalah idealitas
yang realistis bukan elitis atau utopis karena jauhnya dari realitas konteks.
Maka dari itu, dapat dipahami disini bahwa terdapat dua faktor
yang menghambat perjuangan gender:
1.
faktor internal
yang merupakan faktor dari dalam diri perempuan itu sendiri, misalnya perempuan
selalu mempersepsikan status dirinya berada di bawah status laki-laki, sehingga
tidak mempunyai keberanian dan kepercayaan diri untuk maju.
2.
faktor ekternal
yaitu faktor yang berada diluar diri perempuan itu sendiri, dan hal yang paling
dominan adalah terdapatnya nilai-nilai budaya patriarki yang mendominasi segala kehidupan di dalam keluarga
masyarakat, sehingga menomor duakan peran perempuan.
Selain itu juga interprestasi agama yang bias gender, kebijakan
umum, peraturan perundang-undangan dan sistem serta aparatur hukum yang dikriminatif serta bias gender, baik di
pusat maupun daerah. Selain dari pada itu, masih kuatnya budaya sebagian besar
masyarakat yang menganggap bahwa perempuan kurang berkiprah diruang publik,
ditambah dengan adanya ajaran agama yang dipahami secara keliru, sehingga
membuat perjuangan perempuan untuk mencapai keadilan dan kesetaraan gender
semakin sulit tercapai.
Konklusi
Pengertian Gender
adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat
dari nilai dan tingkah laku, gender merupakan suatu konsep kultural, berupaya
membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas,
dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang
dalam masyarakat. Ketimpangan peran gender sebagai suatu permasalahan dalam
dunia Islam, serta sisi gelap perilaku-perilaku yang di kaitkan dengan maskulin
tidak bisa hanya didekati melalui prespektif perempuan saja, namun juga harus
secara empati melihatnya dari sisi pria.
Berangkat dari
posisi di atas, perempuan memiliki peran yang sangat strategis dalam mendidik
ummat, memperbaiki masyarakat dan membangun peradaban dan mengantarkan
masyarakat yang hidup di zamannya pada satu keunggulan peradaban. Wanita
berperan dalam masyarakatnya dengan azzam
yang tinggi untuk mengoptimalkan seluruh potensi yang ada pada diri mereka,
sehingga kita tidak menemukan satu sisipun dari seluruh aspek kehidupan mereka
terabaikan. Karena perempuan berperan dalam setiap waktu, ruang dan tatanan
kehidupannya.
Referensi:
Abuddin Nata. (2006). Metodologi
Studi Islam. Jakarta:
Grafindo Persada, 2006.
Baharuddin Lopa. (1996). Al-Qur’an
dan Hak-hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa.
Hj. Mursyidah Thahir (ed.). (2000). Pemikiran
Islam tentang Pemberdayaan Perempuan. Jakarta: PP Muslimat NU Kerjasama
dengan Logos Wacana Ilmu.
Leonard Grob, Riffat Hasan dan Hain
Gordon. (1993). ”Jihad fi Sabilillah;
Wornan’s Faith Journey From Struggle to Struggle”, dalam buku Woman’s
and Men’s Liberation. USA: Greenwood Press.
Menteri Agama RI. (1989). Al-Qur’an dan Terjemahnya. Semarang,
Toha Putra Semarang.
Nasaruddin Umar. (2002). Qur’an
untuk Perempuan. Jakarta: Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Teater Utan
Kayu.
Salman Harun. (1999). Mutiara
Al-Qur’an; Aktualisasi Pesan al-Qur’an dalam Kehidupan. Jakarta: Logos.
Syafiq Hasyim. (2001). Hal-hal yang
Tak Terpikirkan; Tentang Isu-isu Keperempuanan dalam Islam. Bandung: Mizan.
www.republikaonline.com, diakses 27
Januari 2014.
[1] Menteri Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang, Toha Putra Semarang, 1989),
hlm. 435.
[2] Nasaruddin Umar, Qur’an untuk
Perempuan, (Jakarta: Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Teater Utan Kayu,
2002), hlm. 27.
[3] Baharuddin Lopa, Al-Qur’an dan
Hak-hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1996), hlm.
66-67.
[4] Nasaruddin Umar, op.cit., hlm. 27.
[5] Hj. Mursyidah Thahir (ed.), Pemikiran
Islam tentang Pemberdayaan Perempuan, (Jakarta: PP Muslimat NU Kerjasama
dengan Logos Wacana Ilmu, 2000), hlm. 35.
[6] Nasaruddin Umar, op.cit., hlm. 27.
[7] Ibid.,
hlm. 30.
[8] www.republikaonline.com, diakses 27 Januari
2014.
[9] Pada zaman jahiliyah, di antara
kabilah-kabilah Arab ada yang merasa hina sekali ketika memperoleh anak
perempuan, dan karena itu mereka segera mengubur bayi perempuan itu begitu
muncul ke dunia. Lihat: Salman Harun, Mutiara Al-Qur’an; Aktualisasi Pesan
al-Qur’an dalam Kehidupan, (Jakarta:
Logos, 1999), hlm. 129.
[10] Syafiq Hasyim, Hal-hal yang Tak
Terpikirkan; Tentang Isu-isu Keperempuanan dalam Islam, (Bandung: Mizan,
2001), hlm. 18-19.
[11] Abuddin. Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT. Grafindo
Persada, 2006) hlm. 23.
[12] Ibid.,
hlm. 142.
[13] Leonard Grob, Riffat Hasan dan Hain Gordon, ”Jihad fi Sabilillah; Wornan’s Faith Journey
From Struggle to Struggle”, dalam buku Woman’s and Men’s Liberation,
(USA: Greenwood Press, 1993), hlm. 20.