Wednesday, January 23, 2019

GENDER DAN KONSEP DASAR ISLAM


Prawacana
Ketika isu gender diangkat, yang timbul dalam benak kita adalah diskriminasi terhadap wanita dan penghilangan hak-hak terhadapnya. Gender yang telah diperjuangkan oleh beberapa kalangan, baik dari kalangan akademisi atau dari kalangan yang menanggap bahwa Islam sebagai agama yang memicu kehadiran isu gender di dunia ini. Tentunya pemahaman seperti ini berusaha dan ingin mendiskreditkan umat Islam dengan mengangkat isu ini dalam berbagai tulisan dan buku atau artikel-artikel yang menyudutkan dan memberikan opini secara sepihak tentang Islam dan gender.

Sebagai agama, Islam adalah sistem kehidupan yang mengantarkan manusia dalam memahami realitas kehidupan. Islam juga sebagai tatanan global yang diturunkan Allah sebagai Rahmatan Lil ’alamin, sehingga dalam konsekuensi logis—bila penciptaan Allah atas makhluk-Nya (laki-laki dan perempuan)—memiliki missi sebagai khalifatullah fil ardh, yang memiliki kewajiban untuk menyelamatkan dan memakmurkan alam, sampai pada kesadaran akan tujuan menyelamatkan peradaban kemanusiaan. Dengan demikian, wanita dalam konsep dasar Islam memiliki peran yang komprehensif dan kesetaraan harkat sebagai hamba Allah (‘abdullah), serta mengemban amanah yang sama dengan laki-laki.

Sejarah menunjukkan bahwa perempuan pada masa awal Islam mendapat penghargaan tinggi. Islam mengangkat harkat dan martabat perempuan dari posisi yang kurang beruntung pada zaman jahiliyah. Di dalam al-Qur’an, persoalan kesetaraan laki-laki dan perempuan ditegaskan secara eksplisit. Meskipun demikian, masyarakat muslim secara umum tidak memandang laki-laki dan perempuan adalah setara. Akar mendalam yang mendasari penolakan dalam masyarakat muslim adalah keyakinan bahwa perempuan adalah makhluk Allah yang lebih rendah karena diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok. Selain itu, perempuan dianggap sebagai makhluk yang kurang akalnya sehingga harus selalu berada dalam bimbingan laki-laki. Akibatnya, produk-produk pemikiran Islam sering memosisikan perempuan sebagai subordinat. Kenyataan ini tentu sangat memprihatinkan, padahal konsep dasar Islam pada prinsipnya adalah menjunjung tinggi kesetaraan dan tidak membedakan manusia berdasarkan jenis kelamin. Oleh karena itu, doktrin maupun pandangan yang mengatasnamakan agama yang sarat dengan praktik diskriminatif sudah selayaknya dikaji ulang, jika ingin Islam tetap menjadi rahmat bagi seluruh alam.

A.      Bias Gender dalam Teks Keagamaan
Gender adalah pandangan atau keyakinan yang dibentuk masyarakat tentang bagaimana seharusnya seorang perempuan atau laki-laki bertingkah laku maupun berpikir. Misalnya; pandangan bahwa perempuan ideal harus pandai memasak, pandai merawat diri, lemah lembut, atau keyakinan bahwa perempuan adalah makhluk sensitif, emosional dan selalu memakai perasaan. Sebaliknya, seorang laki-laki sering dilukiskan berjiwa pemimpin, pelindung, kepala rumah tangga, rasional, tegas dan sebagainya. Dengan singkat, gender secara jenis kelamin sosial yang dibuat masyarakat, yang belum tentu benar. Allah Berfiman yang artinya:
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.[1]
Allah Swt telah menciptakan laki-laki dan perempuan dengan bentuk yang terbaik dengan kedudukan yang paling hormat. Manusia juga diciptakan mulia dengan memiliki akal, perasaan dan menerima petunjuk. Oleh karena itu, al Qur’an tidak mengenal pembedaan antara laki-laki dan perempuan, karena di hadapan Allah adalah keduanya sama. Laki-laki dan perempuan mempunyai derajat dan kedudukan yang sama, dan yang membedakan antara laki-laki dan perempuan hanyalah dari segi biologisnya.[2]

Namun, dibeberapa bagian kehidupan sosial seringkali masih dibedakan, yang sering dalam pemberian hak diutamakan pihak pria. Itulah sebabnya lahir pergerakan emansipasi wanita yang berhasil menjamin persamaan hak tersebut.

Wanita sama derajatnya dengan pria dan berhak menikmati hidup sesuai tugas dan penampilannya sebagai wanita. Wanita juga mempunyai hak sipil seperti pria, misalnya mencari ilmu, bekerja dan sebagainya. Ia juga mempunyai hak yang sama untuk menjaga nama baiknya sampai ia meninggal. Perihal wanita yang sederajat dengan pria sesuai derajat kemanusiaannya, telah dijelaskan dalam al-Qur’an dalam surat al-Nisa’ ayat 32 dan 34. Ayat-ayat tersebut menunjukkan bahwa dalam statusnya sebagai manusia sama derajatnya di mata Tuhan. Sehingga dalam kehidupan berkeluarga suami memimpin istri dijelaskan dalam surat an-Nisa’ ayat 34, sedangkan hak istri terhadap suaminya dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 228[3], yang artinya:
Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (QS. al-Baqarah: 228)

Adapun dalil-dalil al-Qur'an yang mengatur tentang kesetaraan gender adalah:
1.          Tentang hakikat penciptaan laki-laki dan perempuan Surat al-Rum ayat 21, surat an-Nisa’ ayat 1, surat al-Hujurat ayat 13 yang intinya berisi bahwa Allah Swt telah menciptakan manusia berpasang-pasangan, yaitu laki-laki dan perempuan supaya mereka hidup tenang dan tentram, agar saling mencintai dan menyayangi serta kasih dan mengasihi, agar lahir dan menyebar banyak laki-laki dan perempuan serta agar mereka saling mengenal. Ayat-ayat tersebut menunjukkan adanya hubungan timbal balik antara lelaki dan perempuan, dan tidak ada satupun yang mengindikasikan adanya superioritas satu jenis atas jenis lainnya.
2.         Tentang kedudukan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam surat Ali Imran ayat 195, surat an-Nisa’ ayat 124, surat an-Nahl ayat 97, surat at-Taubat ayat 71-72, surat al-Ahzab ayat 35. Ayat-ayat tersebut memuat bahwa Allah Swt secara khusus menunjuk baik kepada perempuan maupun laki-laki untuk menegakkan nilai-nilai Islam dengan beriman, bertaqwa dan beramal. Allah Swt juga memberikan peran dan tanggungjawab yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam menjalankan kehidupan spiritualnya. Dan Allahpun memberikan sangsi yang sama terhadap perempuan dan laki-laki untuk semua kesalahan yang dilakukannya. Jadi, intinya bahwa kedudukan dan derajat antara laki-laki dan perempuan di mata Allah Swt adalah sama, dan yang membuatnya tidak sama hanyalah keimanan dan ketaqwaannya.[4]

Munculnya ketidakadilan terhadap perempuan dengan dalih agama adalah karena adanya implementasi yang salah dari ajaran agama tersebut, yang disebabkan oleh pengaruh faktor sejarah, lingkungan budaya dan tradisi yang patriarkhi di dalam masyarakat, sehingga menimbulkan sikap dan perilaku individual yang secara turun temurun menentukan status kaum perempuan dan ketimpangan gender tersebut. Hal inilah yang kemudian menimbulkan mitos-mitos salah yang disebarkan melalui nilai-nilai dan tafsir-tafsir ajaran agama yang keliru mengenai keunggulan kaum lelaki dan melemahkan kaum perempuan.

Al-Qur’an tidak mengajarkan diskriminasi antara lelaki dan perempuan sebagai manusia. Dihadapan Allah Swt, lelaki dan perempuan mempunyai derajat dan kedudukan yang sama. Oleh karena itu, pandangan-pandangan yang menyudutkan posisi perempuan sudah selayaknya diubah, karena al-Qur’an selalu menyerukan keadilan, keamanan dan ketenteraman, mengutamakan kebaikan dan mencegah kejahatan. Ayat-ayat inilah yang digunakan maqasid al Syari'ah atau tujuan-tujuan utama syari’at. Jika tidak ada penafsiran yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip keadilan dan hak asasi manusia, maka penafsiran itu harus ditinjau kembali.[5]

B.      Konstruk Sosial dan Watak Agama
Mendudukkan perempuan pada tempat semestinya sama halnya dengan membongkar habis sejarah manusia yang telah berlangsung berabad-abad, yang digugat tidak hanya sistem sosial yang terdiri dari kaum pria, tapi juga kaum perempuan itu sendiri. Selain itu, realitas sosial yang ada seringkali menjadikan dalil-dalil agama sebagai dasar dan alat untuk menolak keadilan gender. Kitab-kitab tafsir dijadikan dan untuk melegalkan pola hidup patriarkhi yang memberikan hak-hak istimewa kepada pria dan cenderung memojokkan perempuan, pria dianggap sebagai jenis manusia utama dan perempuan sebagai jenis manusia kelas dua (the second human being).

Pemahaman agama seperti ini mengendap di alam bawah sadar perempuan dan berlangsung sedemikian lama, sehingga melahirkan kesan seolah perempuan memang tidak pantas sejajar dengan pria dan membentuk etos kerja yang timpang antara kedua jenis hamba Tuhan tersebut. Dalam kaitan ini, fenomena gender mengindikasikan adanya pemahaman agama (teologi) dan merupakan sebab utama (prima causa) dalam melahirkan berbagai persepsi yang bias gender.[6]

Di dalam Islam, ada beberapa isu kontroversial berkaitan dengan relasi gender, antara lain soal asal-usul penciptaan perempuan, konsep kewarisan, persaksian, poligami, hak-hak reproduksi, hak talak, serta peran publik perempuan. Memang, membaca sepintas teks ayat-ayat yang berhubungan dengan masalah tersebut mengesankan adanya ketimpangan (ketidak-adilan) terhadap perempuan. Akan tetapi, jika disimak secara mendalam dengan menggunakan metode analisa semantik-semiotik-hermeneutik dan dengan memperhatikan teori sabab nuzul, maka dapat dipahami bahwa ayat-ayat tersebut merupakan suatu proses dalam mewujudkan keadilan secara konstruktif di dalam masyarakat.

Jika dilihat sebab turunnya ayat (asbabun nuzul) tentang perempuan itu, ternyata menanggapi kasus-kasus tertentu yang terjadi masa Rasulullah pada masa itu. Ini berarti bahwa ayat-ayat tersebut bersifat khusus. Selain itu, penafsiran telah diyakini menjadi penyebab utama munculnya bias gender. Selain dari pada itu—dalam konteks Indonesia—bahasa Indonesia yang miskin untuk menafsirkan bahasa Arab juga menjadi faktor besarnya toleransi konsep poligami yang menjadi sorotan kontroversial dalam ajaran Islam, serta sebagai sebuah kemustahilan yang juga disebutkan oleh al-Qur’an.

Islam adalah agama manusiawi yang tidak sekedar dipahami secara tekstual saja, termasuk konsep poligami. Kalaupun Rasulullah berpoligami, namu bertujuan untuk mematahkan mitos di masa itu yang mendiskreditkan janda dan anak yatim sebagai manusia sial dan pantas dijauhi. Perempuan yang dinikahi Rasulullah di usia senjanya adalah janda-janda veteran perang Uhud dan lainnya yang juga menjadi pemimpin kabilah-kabilah. Pernikahan Nabi juga tidak lain untuk mempertahankan eksistensi Islam sebagai strategi penyiaran dakwah Nabi. Sebab—dengan mitos berkembang—kehadiran janda dan anak yatim yang jumlahnya meningkat setelah peperangan terancam menjadi murtad. Oleh sebab itu, poligami itu harus dipahami dari hasil pembacaan ayat secara mendalam dan bukan sekedar selera saja.[7]

Selanjutnya, meskipun al-Qur’an adalah kebenaran abadi, namun penafsirannya tidak bisa terhindar dari sesuatu yang relatif. Perkembangan historis berbagai madzhab kalam, fiqih dan tasawuf merupakan bukti positif tentang betapa relatifnya penghayatan keagamaan umat Islam. Pada suatu kurun waktu, kadar intelektualitas yang menonjol, sementara pada kurun waktu lainnya, kadar emosionalitas yang menonjol. Itulah sebabnya mengapa persepsi tentang perempuan dikalangan umat Islam sendiri juga berubah-ubah.[8]

Dari penjelasan dan uraian tersebut di atas, gender itu sendiri adalah pandangan atau keyakinan yang dibentuk oleh masyarakat tentang bagaimana seharusnya seorang perempuan atau laki-laki dalam bertingkah laku maupun berpikir. Di dalam al-Qur’an disebutkan bahwa al-Qur’an tidak mengenal pembedaan antara laki-laki dan perempuan dan yang membedakan antara laki-laki dan perempuan hanyalah dari segi biologisnya. Al-Qur’an tidak mengajarkan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan sebagai manusia. konstruk sosial dan agama mendudukkan perempuan pada tempat semestinya, sama halnya dengan membongkar habis sejarah manusia yang telah berlangsung berabad-abad, dan yang digugat tidak hanya sistem sosial yang terdiri dari kaum pria, tapi juga dari kaum perempuan itu sendiri.

C.      Konstruksi Keberadaan Perempuan dalam Islam
Mayoritas intelektual dan sejarahwan, terutama dari kalangan Islam, memandang posisi perempuan pada masa pra-Islam sebagai sebuah gambaran kehidupan yang sangat buram dan memprihatinkan. Perempuan dipandang sebagai makhluk tidak berharga,[9] menjadi bagian dari laki-laki (subordinatif). Keberadaannya sering menimbulkan masalah, tidak memiliki independensi diri, hak-haknya ditindas dan dirampas, tubuhnya dapat diperjual-belikan atau diwariskan dan diletakkan dalam posisi marginal serta pandangan-pandangan yang menyedihkan lainnya.[10]

Setelah Islam datang, secara bertahap Islam mengembalikan hak-hak perempuan sebagai manusia merdeka. Perempuan boleh menjadi saksi dan berhak atas sejumlah warisan, meskipun keduanya hanya bernilai setengah dari kesaksian atau jumlah warisan yang berhak diterima laki-laki, dan boleh jadi dianggap tidak adil dalam konteks sekarang. Namun pada prinsipnya jika dilihat pada konteks ketika perintah tersebut diturunkan, ini mencerminkan semangat keadilan. Artinya bahwa secara frontal ajaran Islam menentang tradisi jahiliyah yang berkaitan dengan perempuan. Ini merupakan gerakan emansipatif yang tiada tara pada masanya di saat perempuan terpuruk dalam kegelapan.

Sejarah menunjukan secara jelas bagaimana perempuan pada masa-masa Islam diturunkan mendapat penghargaan tinggi, justru terutama dari Nabi Muhammad Saw. Ini menunjukkan suatu revolusi besar dimana Nabi Muhammad Saw telah memrakarsai dan melakukan perubahan dalam masyarakat Makah secara menyeluruh. Secara bertahap Islam menjadi agama yang sangat mapan dengan ritualisasi yang sangat tinggi dan berani.

Dalam perspektif Islam, semua yang diciptakan Allah Swt berdasarkan kudratnya masing-masing. Para pemikir Islam mengartikan qadar di dalam al-Quran dengan ukuran-ukuran, sifat-sifat yang ditetapkan Allah Swt bagi segala sesuatu, dan itu dinamakan kudrat. Dengan demikian, laki-laki dan perempuan sebagai individu dan jenis kelamin memiliki kudratnya masing-masing. Syeikh Mahmud Syaltut mengatakan bahwa tabi’at kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan berbeda, namun dapat dipastikan bahwa Allah Swt lebih menganugerahkan potensi dan kemampuan kepada perempuan sebagaimana telah menganugerahkannya kepada laki-laki. Ayat al-Quran yang populer dijadikan rujukan dalam pembicaraan tentang asal kejadian perempuan adalah firman Allah dalam Surat an-Nisa ayat 1, yang artinya:
Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu, yang telah menciptakan kamu dari diri (nafs) yang satu, dan darinya Allah menciptakan pasangannya dan keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”.[11]

Yang dimaksud dengan nafs di sini, menurut mayoritas ulama tafsir adalah Adam dan pasangannya adalah istrinya yaitu Siti Hawa. Pandangan ini kemudian telah melahirkan pandangan negatif kepada perempuan dengan menyatakan bahwa perempuan adalah bagian laki-laki. Tanpa laki-laki perempuan tidak ada, dan bahkan tidak sedikit di antara mereka berpendapat bahwa perempuan (Hawa) diciptakan dari tulang rusuk Adam. Kitab-kitab tafsir terdahulu hampir bersepakat mengartikan demikian.

Kalaupun pandangan di atas diterima yang mana asal kejadian Hawa dari rusuk Adam, maka harus diakui bahwa ini hanya terbatas pada Hawa saja, karena anak cucu mereka baik laki-laki maupun perempuan berasal dari perpaduan sperma dan ovum. Maka dari itu, adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan tidak dapat disangkal karena memiliki kudrat masing-masing. Perbedaan tersebut paling tidak dari segi biologis.

Namun dapat dipastikan disini bahwa perbedaan yang ada tentu mengakibatkan fungsi utama yang harus mereka emban masing-masing. Di sisi lain, dapat pula dipastikan tiada perbedaan dalam tingkat kecerdasan dan kemampuan berfikir antara kedua jenis kelamin itu. Al-Quran memuji ulul albab, yaitu yang berzikir dan memikirkan tentang kejadian langit dan bumi. Zikir dan fikir dapat mengantar manusia mengetahui rahasia-rahasia alam raya. Ulul albab tidak terbatas pada kaum laki-laki saja, tetapi juga kaum perempuan, karena setelah al-Quran menguraikan sifat-sifat ulul albab ditegaskannya bahwa; “Maka Tuhan mereka mengabulkan permintaan mereka dengan berfirman; “Sesungguhnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupun perempuan”. (QS. Ali Imran: 195). Ayat ini menunjukkan bahwa kaum perempuan sejajar dengan laki-laki dalam potensi intelektualnya, mereka juga dapat berpikir, mempelajari kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati dari zikir kepada Allah serta apa yang mereka pikirkan dari alam raya ini.

Jenis laki-laki dan perempuan sama di hadapan Allah. Memang ada ayat yang menegaskan bahwa; “Para laki-laki (suami) adalah pemimpin para perempuan (istri)” (QS. An-Nisa: 34), namun kepemimpinan ini tidak boleh mengantarnya kepada kesewenang-wenangan, karena dari satu sisi al-Quran memerintahkan untuk tolong menolong antara laki-laki dan perempuan, dan pada sisi lain al-Quran memerintahkan pula agar suami dan istri hendaknya mendiskusikan dan memusyawarahkan persoalan mereka bersama.[12]
Jika dipahami dalam segala dimensinya secara utuh, Islam itu sebagai way of life yang membangkitkan kesadaran akan amanah untuk menegakkan risalah keadilan dalam segala bidang, dan sebagai sokoguru perdaban dunia. Namun dalam perjalanannya, terjadi pergeseran pemahaman tentang Islam dalam persoalan teologis. Menurut Riffat, terdapat tiga asumsi teologis, dimana supra struktur superioritas laki-laki atas perempuan—yang mengimplikasikan ketidak-setaraan laki-laki dan perempuan—ditegakkan. Tiga asumsi tersebut adalah:
1.          Isu penciptaan manusia. Bahwa ciptaan Tuhan yang utama laki-laki bukan perempuan. Karena perempuan diyakini telah diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, karenanya secara ontologis bersifat derivatif dan sekunder. Menurut Riffat penciptaan Hawa dari tulang rusuk merupakan keyakinan yang berakar kokoh dari Injil dan bertentangan dengan al-Quran. Kalaupun terdapat hadist Nabi yang mendukung penciptaan perempuan dari tulang rusuk laki-laki, menurut analisisnya, adalah dho’if karena memiliki sejumlah perawi yang tidak bisa dipercaya.
2.         Perempuan adalah penyebab kejatuhan diusirnya manusia dari surga, dan bukannya laki-laki. Riffat menolak interpretasi yang selalu memojokkan wanita. Menurutnya, tidak ada konsep kejatuhan dalam al-Quran, karenanya tidak ada dosa asal.
3.         Perempuan diciptakan tidak saja dari laki-laki, tapi juga untuk laki-laki, yang membuat eksistensinya semata-mata bersifat instrumental dan tidak memiliki makna yang mendasar. Menurut Riffat, pendapat ini bertentangan dengan al-Quran yang menjelaskan bahwa manusia diciptakan hanya untuk mengabdi kepada Allah dan dengan sebaik-baik bentuk. Laki-laki dan perempuan setara di hadapan Allah.[13]

Dari ketiga asumsi tersebut, yang dianggap Riffat sebagai isu sentral adalah isu penciptaan manusia. Di mana secara filosofis maupun teologis adalah hal yang paling mendasar dalam konteks kesetaraan laki-laki-perempuan. Sebab, jika laki-laki dan perempuan telah diciptakan setara oleh Allah sebagai penentu nilai tertinggi, maka di kemudian hari tidak bisa berubah menjadi tidak setara. Di sisi lain, jika laki-laki dan perempuan diciptakan tidak setara oleh Allah, maka secara esensial di kemudian hari tidak bisa menjadi setara.

Dengan demikian, Islam memahami hubungan manusia dengan manusia lain maupun hubungan manusia dengan makhluk lain adalah hubungan antar obyek. Jika ada kelebihan manusia dari makhluk lainnya, maka ini adalah kelebihan yang potensial saja dan sifatnya untuk dipersiapkan bagi tugas dan fungsi kemanusiaan sebagai hamba (sama seperti jin, QS 51:56) dan khalifatullah (khusus manusia QS 2:30). Kelebihan yang disyaratkan sebagai kelebihan pengetahuan (konseptual) menempatkan manusia untuk memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari obyek makhluk lain dihadapan Allah. Akan tetapi kelebihan potensial ini bisa saja menjadi tidak berarti ketika tidak digunakan sesuai fungsinya atau bahkan menempatkan manusia lebih rendah dari makhluk yang lain (QS 7:179).

Secara normatif, pemihakan wahyu atas kesetaraan kemanusiaan laki- laki dan perempuan dinyatakan di dalam Al Qur’an surat 9:71. Kelebihan tertentu laki-laki atas perempuan dieksplisitkan al-Quran dalam kerangka yang konteksual (QS 4:34). Sehingga tidak kemudian menjadikan yang satu adalah subordinat yang lain. Dalam kerangka yang normatif inilah nilai ideal universal wahyu relevan dalam setiap ruang dan waktu. Sedangkan dalam kerangka konstektual, wahyu mesti dipahami lengkap dengan latar belakang konteksnya (asbabun nuzul-nya).

Syari’at adalah suatu wujud formal wahyu dalam kehidupan manusia yang menjadi ruh kehidupan masyarakat. Antara wahyu (normatif) dengan masyarakat (konteks) selalu ada hubungan dinamis sebagaimana al-Qur’an itu sendiri turun dengan tidak mengabaikan realitas masyarakat, tetapi dengan cara berangsur dan bertahap. Dengan proses yang demikian idealitas, Islam adalah idealitas yang realistis bukan elitis atau utopis karena jauhnya dari realitas konteks.

Maka dari itu, dapat dipahami disini bahwa terdapat dua faktor yang menghambat perjuangan gender:
1.          faktor internal yang merupakan faktor dari dalam diri perempuan itu sendiri, misalnya perempuan selalu mempersepsikan status dirinya berada di bawah status laki-laki, sehingga tidak mempunyai keberanian dan kepercayaan diri untuk maju.
2.         faktor ekternal yaitu faktor yang berada diluar diri perempuan itu sendiri, dan hal yang paling dominan adalah terdapatnya nilai-nilai budaya patriarki yang mendominasi segala kehidupan di dalam keluarga masyarakat, sehingga menomor duakan peran perempuan.

Selain itu juga interprestasi agama yang bias gender, kebijakan umum, peraturan perundang-undangan dan sistem serta aparatur hukum yang dikriminatif serta bias gender, baik di pusat maupun daerah. Selain dari pada itu, masih kuatnya budaya sebagian besar masyarakat yang menganggap bahwa perempuan kurang berkiprah diruang publik, ditambah dengan adanya ajaran agama yang dipahami secara keliru, sehingga membuat perjuangan perempuan untuk mencapai keadilan dan kesetaraan gender semakin sulit tercapai.

Konklusi
Pengertian Gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku, gender merupakan suatu konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Ketimpangan peran gender sebagai suatu permasalahan dalam dunia Islam, serta sisi gelap perilaku-perilaku yang di kaitkan dengan maskulin tidak bisa hanya didekati melalui prespektif perempuan saja, namun juga harus secara empati melihatnya dari sisi pria.

Berangkat dari posisi di atas, perempuan memiliki peran yang sangat strategis dalam mendidik ummat, memperbaiki masyarakat dan membangun peradaban dan mengantarkan masyarakat yang hidup di zamannya pada satu keunggulan peradaban. Wanita berperan dalam masyarakatnya dengan azzam yang tinggi untuk mengoptimalkan seluruh potensi yang ada pada diri mereka, sehingga kita tidak menemukan satu sisipun dari seluruh aspek kehidupan mereka terabaikan. Karena perempuan berperan dalam setiap waktu, ruang dan tatanan kehidupannya.


Referensi:

Abuddin Nata. (2006). Metodologi Studi Islam. Jakarta: Grafindo Persada, 2006.
Baharuddin Lopa. (1996). Al-Qur’an dan Hak-hak Asasi Manusia. Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa.
Hj. Mursyidah Thahir (ed.). (2000). Pemikiran Islam tentang Pemberdayaan Perempuan. Jakarta: PP Muslimat NU Kerjasama dengan Logos Wacana Ilmu.
Leonard Grob, Riffat Hasan dan Hain Gordon. (1993). ”Jihad fi Sabilillah; Wornan’s Faith Journey From Struggle to Struggle”, dalam buku Woman’s and Men’s Liberation. USA: Greenwood Press.
Menteri Agama RI. (1989). Al-Qur’an dan Terjemahnya. Semarang, Toha Putra Semarang.
Nasaruddin Umar. (2002). Qur’an untuk Perempuan. Jakarta: Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Teater Utan Kayu.
Salman Harun. (1999). Mutiara Al-Qur’an; Aktualisasi Pesan al-Qur’an dalam Kehidupan. Jakarta: Logos.
Syafiq Hasyim. (2001). Hal-hal yang Tak Terpikirkan; Tentang Isu-isu Keperempuanan dalam Islam. Bandung: Mizan.
www.republikaonline.com, diakses 27 Januari 2014.



[1] Menteri Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang, Toha Putra Semarang, 1989), hlm. 435.
[2] Nasaruddin Umar, Qur’an untuk Perempuan, (Jakarta: Jaringan Islam Liberal (JIL) dan Teater Utan Kayu, 2002), hlm. 27.
[3] Baharuddin Lopa, Al-Qur’an dan Hak-hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1996), hlm. 66-67.
[4] Nasaruddin Umar, op.cit., hlm. 27.
[5] Hj. Mursyidah Thahir (ed.), Pemikiran Islam tentang Pemberdayaan Perempuan, (Jakarta: PP Muslimat NU Kerjasama dengan Logos Wacana Ilmu, 2000), hlm. 35.
[6] Nasaruddin Umar, op.cit., hlm. 27.
[7] Ibid., hlm. 30.
[8] www.republikaonline.com, diakses 27 Januari 2014.
[9] Pada zaman jahiliyah, di antara kabilah-kabilah Arab ada yang merasa hina sekali ketika memperoleh anak perempuan, dan karena itu mereka segera mengubur bayi perempuan itu begitu muncul ke dunia. Lihat: Salman Harun, Mutiara Al-Qur’an; Aktualisasi Pesan al-Qur’an dalam Kehidupan, (Jakarta: Logos, 1999), hlm. 129.
[10] Syafiq Hasyim, Hal-hal yang Tak Terpikirkan; Tentang Isu-isu Keperempuanan dalam Islam, (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 18-19.
[11] Abuddin. Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2006) hlm. 23.
[12] Ibid., hlm. 142.
[13] Leonard Grob, Riffat Hasan dan Hain Gordon, ”Jihad fi Sabilillah; Wornan’s Faith Journey From Struggle to Struggle”, dalam buku Woman’s and Men’s Liberation, (USA: Greenwood Press, 1993), hlm. 20.
Previous Post
Next Post

Penulis yang mengabdikan tulisannya bagi amal jariyah pemikiran. Tokoh favorit sekaligus panutannya adalah Gus Dur