Prawacana
Tak bisa dielakkan lagi
bahwa fiqh merupakan salah satu disiplin keilmuan inti dalam kajian keislaman. Fiqh
adalah penafsiran secara kultural tehadap ayat-ayat al-Qur’an. Dalam sejarah
intelektual Islam, syari’ah dibedakan dengan fiqh. Syariah adalah ajaran dasar
yang bersifat universal, permanen. Sedangkan yang Fiqh adalah ajaran non-dasar,
bersifat lokal, elastis dan tidak permanen. Fiqh adalah penafsiran kultural
terhadap syari’ah yang dikembangkan oleh ulama-ulama fiqh semenjak abad kedua
Hijriyah. Diantara para ulama fiqh tersebut ialah Imam Abu Hanifah, Imam Malik,
Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal yang juga dikenal sebagai Imam Madzab.
Walaupun mereka
dikenal sebagai ulama yang moderat, namun sejatinya mereka terikat dengan
kondisi sosial-budaya dimana tempat mereka hidup. Fiqh yang disusun dalam
masyarakat yang dominan laki-laki (male
dominated society), seperti di kawasan Timur Tengah ketika itu, sudah
barang tentu akan melahirkan fiqh bercorak patriarkhi.
Kitab-kitab fiqh yang telah dibukukan pada umumnya—kumpulan-kumpulan fatwa atau
catatan-catatan pelajaran seorang murid dari gurunya—yang ditulis secara
berkala sehingga menjadi sebuah kitab besar.
Dalam
perkembangannya, fiqh dinilai oleh beberapa kalangan tidak berpihak kepada
perempuan, mengingat banyak kasus‑kasus fiqh yang tertulis dalam literatur fiqh
ternyata lebih banyak menonjolkan peran laki-laki. Isu‑isu sensitif tentang
gender agaknya kurang begitu mengemuka di dalam khazanah fiqh madzhab, yang
menjadikan fiqh terkesan amat ‘maskulin’. Untuk itu, agenda penting yang layak
dikedepankan adalah, mengapa fiqh sangat diskriminatif terhadap perempuan?
Pertanyaan tersebut sulit untuk dijawab. Namun demikian, setelah ditelusuri lebih
mendalam tampak jelas akar persoalannya, yaitu sejarah awal pertumbuhan dan
perkembangan wacana fiqh. Dari sini dapat disimpulkan bahwa fiqh pada saat itu
adalah Fiqh patriarkhi, yaitu rumusan
fiqh yang penuh dominasi dan aturan dari kaum laki-laki.
Menyimak akar persoalan
sebagaimana di atas, tidak mengherankan jika banyak kalangan menilai bahwa fiqh
yang ada sekarang ini—selain penuh diskriminatif dan ketidakadilan—juga lebih
bersifat asimetris. Asimetris dalam pengertian bahwa secara
paradigmatik, fiqh selalu berpusat pada laki-laki, dan secara operasional,
kandunganyapun mengandung pengertian-pengertian kelelakian. Sementara secara
struktural mengandung kepentingan bagi laki-laki.
A.
Pengertian Fiqh Perempuan
Secara etimologi, fiqh perempuan sering
disebut dengan fiqh al-nisa’. Fiqh berasal dari kata faqiha-yafqahu-fiqhan
yang berarti pemahaman. Sementara itu, fiqh secara istilah berarti ilmu tentang hukum syara’ yang bersifat
praktis yang digali dari dalil-dalil yang terperinci. Nisa’ secara
etimologi berarti perempuan. Nisa’ adalah bentuk jamak dari mar’ah yang
berarti perempuan yang sudah matang atau dewasa.
Istilah lain yang digunakan untuk perempuan adalah imra’ah. Imra’ah berasal
dari kata mir’ah yang artinya cermin. Ini berarti bahwa pada umumnya
perempuan suka bercermin atau suka menghias di depan cermin. Term imra’ah ini
lebih tepat digunakan untuk menyebut perempuan yang masih gadis, perempuan muda
yang sudah bersuami dan janda, karena mereka suka menghias diri.
Dalam kamus bahasa Indonesia, perempuan diartikan
sebagai perempuan dewasa, yang dapat menstruasi, hamil dan melahirkan anak.
Adil Athi Abdullah, sebagaimana dikutip Aisyah Ismail, mengatakan bahwa perempuan
adalah makhluk Allah yang mulia pasangan dari lelaki, yang dilebihkan Allah dengan
ciri kehamilan, melahirkan dan menyusui, serta ketajaman kejiwaan seperti kasih
sayang yang tinggi, kesabaran dalam mendidik anak serta kelembutan jiwa.
Maka dari itu, dari
uraian dan penjelasan tersebut di atas fiqh perempuan adalah ilmu tentang hukum
syara’ yang berkaitan dengan perempuan yang
bersifat praktis dan digali dari dalil-dalil yang terperinci. Aisyah Ismail
menyebut bahwa fiqh perempuan setidaknya memuat dua hal. Pertama,
hukum-hukum praktis yang berkaitan dengan perempuan. Kedua, dalil-dalil
yang berkaitan dengan hukum praktis tersebut, misalnya dalil tentang
kepemimpinan perempuan.
Pendapat Aisyah yang menyebut fiqh perempuan
sebagai hukum praktis perempuan, senada dengan pendapat Husein Muhammad.
Seperti dinyatakan Muhammad, fiqh perempuan adalah bagian dari apa yang disebut
oleh Abu Hanifah sebagai fiqh asghar (fiqh kecil), sementara fiqh
akbar adalah ilmu tentang usuluddin atau aqidah.
Fiqh perempuan dalam pandangan Muhammad adalah masalah-masalah perempuan dalam pandangan
fiqh.
Ini senada dengan penulis lain yang menyebut bahwa fiqh perempuan sebagai
hukum-hukum fiqh yang berkaitan dengan perempuan.
Sementara itu, pendapat Aisyah yang menyebut
fiqh perempuan sebagai dalil-dalil perlu diklarifikasi lebih jauh. Karena dalil
itu ada yang tafshili (terperinci) dan ada yang ijmali (global).
Aisyah benar jika yang dimaksud adalah dalil terperinci yang menunjuk pada
salah satu dalil tertentu. Misalnya dalil tentang kepemimpinan perempuan. Namun,
jika yang dimaksud adalah dalil ijmali, maka yang demikian kurang tepat
karena dalil ijmali bukan domain fiqh, melainkan domain ushul fiqh.
Domain ushul fiqh adalah hukum kulli dan dalil ijmali.
Hukum kulli merujuk pada hukum-hukum yang masih global dan belum
menunjuk suatu barang. Misalnya hukum wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah.
Sementara itu, dalil ijmali adalah
merujuk pada dalil yang masih global seperti al-Qur’an, hadits, ijma’ dan qiyas.
B.
Pemikiran Fiqh yang Diskriminatif dan Pengaruhnya dalam
Kehidupan Perempuan dan Keluarga
Sesungguhnya latar belakang perlunya
konstruksi baru tentang fiqh adalah pandangan stereotype terhadap perempuan. Dan kebanyakan pandangan tersebut
dalam konteks perempuan dan keluarga. Untuk itu, perlunya mengingatkan kembali
akan kebutuhan wahyu dalam membangun wacana keperempuanan, baik untuk
kepentingan teori maupun aksi. Karena selama ini pandangan fiqh terhadap
perempuan telah mereduksi makna kesetaraan, sehingga upaya-upaya pelurusan
merupakan upaya membangun kembali fiqh perempuan diatas landasan wahyu.
Eksistensi perempuan dalam khasanah kitab
klasik, satu sisi kedudukan perempuan berada di bawah laki-laki, tetapi hal
tersebut tidak berlaku mutlak. Dari sudut tertentu, kitab kuning memandang perempuan
sejajar dengan laki-laki.
Perempuan tereduksi hanya sebatas obyek, dan hal tersebut didasarkan pada
bagaimana laki-laki dipandang sebagai pihak yang meminang, memberi mahar dan
pencari nafkah.
Tuntutan terhadap pemenuhan hak-hak
perempuan—khususnya hak-hak dalam perkawinan—tidak bermaksud untuk menggeser
posisi dan kedudukan laki-laki, tetapi lebih menekankan pada sebuah tatanan
yang harmonis dan seimbang, sehingga masing-masing dapat saling menyadari
posisinya dalam kedudukannya sebagai manusia yang mempunyai hak dan kewajiban.
Aplikasi fiqh dalam rentang waktu yang
panjang dan melampui sosio-kultural dimana fiqh diformulasikan tanpa dibarengi
oleh analisis sosiologis yang memadai, dan menghilangkan keragaman sosok
perempuan yang khas dan tidak mungkin digeneralisasikan. Sehingga
mempertahankan fiqh klasik dengan menekankan posisi instrumentalnya telah
membawa stagnansi pemikiran terhadap problema kaum perempuan, yang dari masa ke
masa selalu direduksi hanya untuk kepentingan diluar dirinya. Di saat idiologi
gender patriarkhis bertalian dengan
kepentingan kapitalisme, perempuan disudutkan pada ‘peran ganda’ yang
membebani. Sejauh ini, Islam belum mampu memberikan solusi yang memadai, kecuali
hanya memberikan legitimasi teologis terhadap upaya-upaya domestifikasi yang
tidak selamanya menyelamatkan perempuan dari kesewenang-wenangan laki-laki.
Dalam upaya rekonstruksi fiqh perempuan,
Budhi Munawar-Rachman menyampaikan tiga kata kunci yang sangat penting, yaitu
representasi (dari filusuf Lyotard), dekonstruksi (dari Jacques Derrida), dan
keterkaitan pengetahuan dan kekuasaan.
Alat lain yang dapat membantu merekonstruksi fiqh perempuan, Munawar-Rachman
menambahkan adalah dengan analisis gender. Perspektif analisis gender ini dalam
disiplin keilmuan sosiologi yang lebih luas disebut feminisme. Kesadaran
feminislah yang justru sekarang ini diperlukan untuk melakukan upaya
rekonstruksi fiqh perempuan.
Analisis gender dalam memahami dan
menganalisis tentang apa yang adil dan apa yang tidak adil serta bagaimana
mekanisme ketidakadilan menjadi dasar agama. Dengan begitu, pamahaman atau penafsiran
terhadap ajaran keadilan prinsip dasar agama akan berkembang sesuai dengan
pemahaman atas realitas sosial, karena sesungguhnya prinsip dasar seruan agama
Islam. Maka dari itu, perempuan dalam Islam berkaitan dengan upaya membangun
kembali fiqh yang bernuansa pemberdayaan tanpa penindasan terhadap jenis
kelamin apapun.
Setelah Islam berkembang luas dan melampui
kurun waktu tertentu, maka dengan sendirinya kitab-kitab tersebut banyak
depersoalkan orang, terutama oleh kaum perempuan yang hidup diluar lingkup
masyarakat tersebut terhadap kitab-kitab fiqh, karena masyarakat sudah bertumbuh,
dan demikian beberapa ajaran fiqh itu sudah tidak relevan lagi untuk
diterapkan.
Dahulu hak-hak istimewa barhak diberikan
kepada kaum laki-laki mungkin dapat dibenarkan, karena tanggung jawab mereka
lebih besar, tetapi di beberapa tempat dalam kurun waktu terakhir ini peranan
perempuan di dalam masyarakat mengalami banyak kemajuan. Para feminis muslim
seperti Asghar Ali Engineer, Fatima Mernissi dan Amina Wadud Muhshin secara
terang-terangan menggugat kitab-kitab fiqh klasik. Bahkan Fatima Mernissi
menggugat sejumlah hadits, termasuk diantaranya hadits riwayat Bukhari
dan menilainya sebagai hadis misoginis.
Dalam perbincangan tentang perempuan dewasa
ini, konsep penciptaan perempuan menjadi isu yang sangat penting dan mendasar untuk
dibicarakan, karena konsep kesetaraan dan ketidaksetaraan laki-laki dan
perempuan berakar dari konsep penciptaan perempuan ini. Dalam pandangan Rifaat
Hasan, jika laki-laki tidak diciptakan setara menurut Allah Swt, maka
dikemudian hari tidak bisa berubah menjadi tidak setara. Begitu pula
sebaliknya, jika laki-laki dan perempuan telah diciptakan tidak setara oleh
Allah Swt, maka secara esensial dikemudian hari mereka tidak bisa menjadi
setara.
Asghar Ali Engineer mengatakan bahwa secara
normatif al-Qur’an menegaskan konsep kesetaraan status antara laki-laki dan
perempuan. Lebih lanjut Asghar mengisyaratkan kesetaraan tersebut dalam dua hal:
Pertama, dalam pengertian yang umum, ini berarti penerimaan martabat
kedua jenis kelamin dalam ukuran yang setara. Kedua, orang harus mengetahui
bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak-hak yang setara dalam bidang
sosial, ekonomi dan politik; keduanya harus memiliki hak yang setara untuk
mengadakan kontrak perkawinan atau memutuskannya; keduanya harus memiliki hak
untuk memiliki dan mengatur harta miliknya tanpa campur tangan yang lain; keduanya
harus bebas memilih profesi atau cara hidup; keduanya harus setara dalam
tanggungjawab sebagaimana dalam kebebasan.
Seperti sudah diungkap di atas, sekalipun
secara normatif al-Qur’an memihak kepada kesetaraan status antara laki-laki dan
perempuan, tetapi secara kontekstual al-Qur’an memang menyatakan adanya
kelebihan tertentu kaum laki-laki atas kaum perempuan. Akan tetapi—dengan
mengabaikan konteksnya para fuqaha’—menurut Asghar hal ini sangat disayangkan, karena
berusaha memberikan status yang lebih unggul bagi laki-laki dalam pengertian
normatif. Sebagai misalnya masalah tentang status suami sebagai Qawwamun.
Dapat ditarik benang merah bahwa hak-hak
perampuan dalam perkawinan yang terdapat dalam fiqh perempuan adalah produk
budaya patriarkhi. Dominasi laki-laki
begitu besar dan menentukan dalam penyusunan kitab-kitab fiqh, khususnya yang
berkaitan dengan perempuan. Sehingga yang nampak dari fiqh tersebut adalah
wajah diskriminasi dan ketidakadilan. Karena itu adalah perlu upaya
rekonstruksi atas fiqh perempuan yang mempunyai semangat kesetaraan, dan ini
tidak lain adalah pesan yang disampaikan al-Qur’an.
C.
Membangun Fiqh Perempuan yang Berkeadilan Gender
Dalam realitasnya, terlihat gambaran yang paradoks
antara kesetaraan dalam tataran normatif dan ketidaksetaraan dalam konteks
tertentu (realitas sosialnya), seperti dalam aturan tentang kesaksian dan hak waris.
Perempuan diberi harga separo dari laki-laki; dalam kehidupan rumah tangga,
nikah, talaq dan ruju’, dan perempuan (istri) diletakkan sebagai obyek, dan laki-laki
(suami) sebagai subyeknya. Juga dalam kehidupan bersama, dimana status
laki-laki (suami) sebagai Qawwamun dan—dalam
Surat an-Nisâ’ ayat 34—perempuan diletakkan
dibawah dominasi dan kekuasaan laki-laki yang tidak berhak memimpin di rumah,
di masjid, atau bahkan di masyarakat.
Untuk membedah persoalan diskriminasi
perempuan dalam ajaran agama harus diarahkan pada kritik metodologi yang
dipakai oleh para mufassir dalam
memahami ayat yang semata-mata bersifat teologis dengan mengabaikan pendekatan
sosiologis. Seharusnya, para mufassir
menggunakan pandangan sosio-teologis. Meskipun demikian, al-Qur’an memang
berbicara tentang laki-laki yang memiliki kelebihan dan keunggulan sosial atas
perempuan. Tentu hal Ini harus dilihat dalam konteks sosialnya yang tepat.
Struktur sosial pada zaman Nabi tidaklah benar-benar mengikuti kesetaraan
laki-laki dan perempuan. Orang tidak dapat mengambil pandangan yang semata-mata
teologis dalam hal semacam ini, namun harus menggunakan pandangan
sosio-teologis. Bahkan al-Qur’an pun terdiri dari ajaran yang kontekstual dan
juga normatif. Tidak akan ada yang bisa efektif, jika mengabaikan konteksnya
sama sekali.
Gambaran umum perempuan dalam wacana
keislaman klasik terdokumentasi secara sitematis dalam kitab fiqh (hukum
Islam). Dari gambaran tersebut nampak perempuan digeneralisasikan sebagai
makhluk yang melebur ke dalam citra laki-laki—separo dari laki-laki—sebagai obyek dan makhluk domestik.
Kitab-kitab fiqh telah mengaburkan posisi sentral perempuan sebagai ‘keibuan’
yang penuh kewibawaan dan kebijaksanaan menjadi posisi ‘keistrian’ yang submissif
dan tergantung.
Menyimak akar persoalan seperti di atas, tidak
mengherankan jikalau banyak kalangan menilai fiqh yang ada sekarang ini—selain penuh diskriminatif dan ketidakadilan—juga lebih bersifat asimetris.
Asimetris dalam pengertian bahwa
secara paradigmatic fiqh selalu berpusat pada laki-laki, sehingga secara
operasional kandunganyapun mengandung pengertian-pengertian kelelakian,
sementara secara structural yaitu mengandung kepentingan laki-laki. Maka dari
itu, jika sosok perempuan yang tampil dalam kitab-kitab fiqh dihadapkan pada
realitas perempuan di Indonesia, maka yang terjadi adalah proses idealisasi
pada stereotype yang berangkat dari
gagasan abstrak, umum dan statis. Aplikasi fiqh dalam rentang waktu yang
panjang dan melampui sosio-kultural dimana fiqh diformulasikan, tanpa dibarengi
oleh analisis sosiologis yang memadai, sehingga menghilangkan keragaman sosok
perempuan yang khas dan tidak mungkin digeneralisasikan.
Untuk menjawab persoalan dan permasalahan di
atas, maka perlu kajian kritis guna mengakhiri bias dan dominasi dalam
penafsiran agama. Untuk itu, diperlukan suatu proses kolektif yang
mengkombinasikan studi, investigasi, analisis, sosial, pendidikan serta aksi
untuk membahas isu perempuan. Hal ini termasuk memberikan semangat dan
kesempatan perlawanan terhadap kaum perempuan guna mengembangkan tafsiran
ajaran agama yang tidak bias gender.
Meuleman, sebagaimana yang telah dikutip
Ruhaini, menandaskan bahwa upaya untuk mempertahankan fiqh klasik tanpa
mempertimbangkan perubahan zaman, golongan sosial dan tingkat pendidikan dan
konsep kesetaraan masyarakat sejatinya telah menafikkan perempuan sebagai
makhluk yang berkembang dan berubah sebagaimana laki-laki.
Sehingga mempertahankan fiqh klasik dengan menekankan posisi instrumentalnya
telah membawa stagnansi pemikiran terhadap problema kaum perempuan, yang dari
masa ke masa selalu direduksi hanya untuk kepentingan di luar dirinya. Di saat
ideologi gender patriarkhis bertalian
dengan kepentingan kapitalisme, perempuan disudutkan pada ‘peran ganda’ yang
membebani. Sejauh ini, Islam belum mampu memberikan solusi yang memadai, kecuali
hanya memberikan legitimasi teologis terhadap upaya-upaya domestifikasi yang
tidak selamanya menyelamatkan perempuan dari kesewenang-wenangan laki-laki.
Sudah waktunya diadakan reaktualisasi—bila tidak rekonstruksi—terhadap konsep-konsep Islam yang lebih
memberi peluang perempuan untuk hadir sebagai sosok yang dinamis, sopan dan
bermanfaat bagi agama dan masyarakat. Bukan sebagai makhluk yang terkurung di dinding
rumah dan tiap hari berjalan-jalan dari dapur, sumur dan kasur. Seharusnya
sosok perempuan dikembalikan pada perempuan-perempuan masa Nabi—yang sering terlupakan dalam fiqh—sebagai sosok yang dinamis, mandiri, sopan
dan terjaga akhlaqnya.
Dalam upaya rekonstruksi fiqh perempuan, terdapat
tiga kata kunci yang sangat penting, yaitu representasi
(dari filusuf Lyotard), dekonstruksi
(dari Jacques Derrida), dan keterkaitan pengetahuan dan kekuasaan (dari Michel
Foucault). Representasi adalah segala hal yang berkaitan dengan ide, gambaran, image, narasi, visual dan produk-produk
keilmuan (di sini: Fiqh Perempuan). Kata lain yang bisa dipakai dalam
menggambarkan representasi adalah ‘teks’. Sehingga, representasi adalah teks
itu sendiri. Sedangkan kenyataan sosial perempuan muslim adalah
intertekstualitas dari kitab-kitab fiqh tentang perempuan ini. Karena semua
teks tentang perempuan yang selama ini ada adalah representasi, misalnya
pemikiran keagamaan, mitos-mitos tentang perempuan yang disahkan secara
keagamaan, apalagi yang kemudian dianggap sebagai kodrat keagamaan yang sudah
‘dari sananya’. Untuk itu, dalam pandangan ilmu sosial tidak ada representasi
yang natural (bersifat kodrati). Setiap representasi (dan teks) adalah bersifat
kultural dan dikonstruksikan secara sosial (sosiality constructed). Representasi adalah buatan
manusia, maka diperlukan sikap kritis. Sebagai misal, segala fiqh tentang
perempuan yang sudah tidak cocok dengan visi zaman saat ini, menjadi bersifat
mungkin untuk dibedah dan dibongkar. Setelah dibongkar, maka fiqh tersebut
menjadi terbuka dan menolak segala norma yang dianggap sebagai ‘satu-satunya’
kebenaran.
Dalam proses rekonstruksi adalah pentingnya
pemahaman mengenai keterkaitan pengetahuan dengan kekuasaan (knowledge and power). Bahkan
setiap pengetahuan atau representasi—dalam hal ini fiqh perempuan—merupakan
kekuasaan. Tidak ada pengetahuan yang terlepas dari kekuasaan. Namun yang ada
adalah sebaliknya, dimana kekuasaan selalu terkait dengan pengetahuan yang
bermuatan kepentingan. Analisis ini membawa pertanyaan; kepentingan siapa yang
ada di dalam fiqh perempuan? Dan yang ada dalam kenyataan adalah fiqh perempuan
dikuasai oleh laki-laki. Alat lain yang dapat membantu merekonstruksi fiqh
perempuan adalah dengan analisis gender. Perspektif analisis gender ini dalam
disiplin keilmuan sosiologi yang lebih luas disebut dengan feminisme. Kesadaran
feminislah yang justru sekarang ini diperlukan untuk melakukan upaya
rekonstruksi fiqh perempuan.
Selanjutnya, dengan menekuni persoalan-persoalan
gender, ada beberapa permasalahan tafsiran keagamaan yang dianggap strategis
agar segera mendapat perhatian untuk dilakukan kajian.
Pertama, yang menyangkut persoalan
subordinasi kaum perempuan akibat penafsiran yang meletakkan kaum perempuan
dalam kedudukan dan martabat yang tidak subordinatif terhadap kaum laki-laki.
Padahal, pada dasarnya semangat hubungan laki-laki dan perempuan dalam Islam
bersifat adil (equal).
Kedua, Pemahaman yang bias gender, selain
meneguhkan subordinasi kaum perempuan, juga membawa akibat pada persoalan waris
dan kesaksian, dimana nilai kaum perempuan dianggap separo dari kaum laki-laki.
Untuk membahas ini diperlukan analisis konteks sosial terhadap struktur
sosio-kultural pada saat ayat tersebut diturunkan.
Ketiga, Segenap ayat yang berkenaan
dengan hak produksi dan reproduksi kaum perempuan. Dalam tradisi penafsiran
Islam yang tidak menggunakan perspektif gender, kaum perempuan sama sekali
tidak mendapat hak berproduksi maupun reproduksi, yakni untuk mengontrol organ reproduksi
mereka.
Metode pemikiran yang menawarkan
prinsip-prinsip umum dan fundamental sebagai landasan dalam merumuskan hukum
Islam mengakibatkan bangunan fiqh—yang
selama ini diyakini orang dan dijadikan pedoman oleh mayoritas umat Islam—layak mengalami perubahan. Termasuk di sini
adalah bangunan fiqh perempuan yang mencakup tentang hak-hak perempuan dalam
perkawinan.
Perubahan-perubahan tersebut adalah sebuah
keniscayaan jika dilihat dari perspektif perubahan sosial kemasyarakatan.
Karena masyarakat—dalam hal ini adalah
umat Islam—membutuhkan
jawaban-jawaban yang relevan dengan kompleksitas masalah yang setiap saat
mengalami perubahan. Dan upaya rekonstruksi fiqh perempuan untuk memberikan
jaminan keadilan dan kemaslahatan—umat
umumnya dan perempuan khususnya—telah lama diusulkan
oleh para cendekiawan, yang gambaran globalnya telah tersebut di atas.
Dengan metode pemikirannya yang menjabarkan
konsep qat’i dan zanni dengan tetap bermuara kepada nilai
fundamen, yakni kemaslahatan dan keadilan, maka perlu pembaharuan terhadap
pemikiran-pemikiran tentang fiqh perempuan. Penawaran yang dimaksud adalah
bermula dari persoalan empirik perempuan di lingkungan umat Islam yang relatif
ditempatkan dalam posisi subordinat laki-laki.
Setelah dirunut, ternyata lembaran-lembaran
kitab fiqh turut memberikan andil dalam konstelasi tersebut. Sehingga upaya
pembongkaran fiqh perempuan untuk membangun fiqh yang lebih berkeadilan gender
adalah sangat signifikan.
Dari uraian dan penjelasan tersebut di atas,
dapat ditarik secara sederhana beberapa poin penting yang mendesak untuk segera
diselesaikan, diantaranya adalah yang menyangkut persoalan subordinasi kaum
perempuan, persoalan waris dan kesaksian perlu diformulasikan rumusan-rumusan
pemikirannya dari sudut pandang hukum Islam.
Konklusi
Keadaan
zaman menuntut adanya perubahan, begitu juga paradigma fiqh perempuan saat ini.
Fiqh perempuan klasik memang harus berubah seiring dengan perkembangan zaman
yang tak terelakkan. Jika fiqh perempuan masih mengacu pada realitas klasik dan
terus digunakan sekarang, ia akan tidak macth dengan situasi perubahan
dan perkembangan di zaman sekarang. Fiqih perempuan hari ini sudah saatnya
untuk mereformasi diri pada ranah epistemologisnya, metodologinya, dan terakhir
produk fiqh perempuannya. Ketiganya berjalan seiring dengan core utamanya,
yaitu memartabatkan perempuan. Dengan demikian, produk fiqh perempuan yang
lebih sesuai dengan perubahan tempat dan zaman. Sehingga diktum fiqh akan lebih
jelas keberpihakannya pada kemaslahatan perempuan, dan bukan pada yang lain.
Sudah
waktunya diadakan reaktualisasi dan rekonstruksi terhadap konsep-konsep Islam
yang lebih memberi peluang perempuan untuk hadir sebagai sosok yang dinamis,
sopan dan bermanfaat bagi agama dan masyarakat. Perempuan bukanlah sebagai
makhluk yang terkurung di dinding rumah dan tiap hari berjalan dari dapur, sumur
dan diatas kasur.
Referensi:
Ahmad
Warson al-Munawwir. (1997). Kamus al-Munawwir Arab Indonesia, Edisi II.
Surabaya: Pustaka Progresif.
Ainur
Rofiq (ed.). (2002). Mazhab Yogya; Menggagas Paradigma Ushul Fiqh
Kontemporer. Yogyakarta: Ar-Ruzz.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1994).
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
Eko Prasetyo & Suparman Marzuki (ed.).
(1997). Perempuan dalam Wacana Perkosaan. Yogyakarta: PKBI Yogyakarta.
Fatima Mernissi dan Riffat Hassan. (1995). Setara
di Hadapan Allah; Relasi Laki-Laki dan Perempuan dalam Tradisi Islam Pasca
Patriarkhi. Alih bahasa oleh Team LSPPA. Yogyakarta: LSPPA Yayasan
Prakarsa.
Kompas, 7 November, 1998.
Mansour Fakih, et. all. (1996). Membincang Feminisme. Surabaya: Risalah
Gusti.
Masdar F. Mas’udi. (1997). Islam dan
Hak-Hak Reproduksi Perempuan; Dialog Fiqih Pemberdayaan. Bandung: Mizan.
Nuruzzaman et. all. (2004). Islam Agama Ramah Perempuan. Yogyakarta:
LKiS.
Taj al-Din al-Subki. (tt.). Jam’
al-Jawami’. Surabaya: Pustaka al-Hidayah.
Umi Kulsum. (2007). Risalah Fiqh Wanita
Lengkap. Surabaya: Cahaya Muliah.