Wednesday, February 06, 2019

Refleksi Diri Membangun Pribadi yang Hakiki


Memang, menyisakan waktu sejenak untuk menyendiri, menyepi dan bersembunyi dalam cangkang kehidupan kadang itu perlu. Bukan berarti menutup diri atau tidak mau berinteraksi dengan orang lain. Menyendiri dalam arti bahwa merefleksikan diri untuk mengenal diri sendiri akan kekurangan yang ada dalam diri kita, sehingga kita tidak congkak, sombong dan berbangga diri akan kelebihan yang kita miliki. Ingatlah bahwa hidup ini adalah nyata, bukan angan-angan semu apalagi imajinasi sesaat. Tatap dan jalanilah hidup ini dengan nada kebahagiaan dan optimisme, karena hidup dan kehidupan nyata ada di depanmu dan sedang kamu jalani.
(Mizanul Akrom)

Misunderstanding (kesalahpahaman) seseorang dalam menilai dan memahami sesuatu itu bisa saja terjadi, karena ia terlalu terburu-buru dalam mengambil suatu kesimpulan sesuai dengan apa yang ia lihat, emosional, atau bisa saja karena suasana hati dan gundah-gulana yang sedang menyelimutinya sebagai patokan kebenaran mutlak tanpa mempedulikan rasionalitas dan kebenaran orang lain. Kebenaran hakikatnya adalah sebuah pencarian, komunikasi, kejernihan hati-pikiran, dan lebih-lebih positive thinking sebegitu pentingnya sebagai dasar untuk menemukan kebenaran yang sesunggunguhnya.
(Mizanul Akrom)

Boleh saja kita mengagumi akan sesuatu, namun jangan berlebihan. Karena rasa kagum yang berlebih hanya akan membuat kita lupa diri. Belum tentu apa yang kita kagumi itu sesuai dengan apa yang kita lihat, kita rasakan, kita fikirkan, atau bahkan sesuai dengan pengharapan kita. Pengharapan yang berlebih akan sesuatu biasanya akan tumbuh rasa cinta yang berlebihan, dan kadang cintanya itu cinta buta yang membuat hatinya tertutup dan lupa segalanya. Jika cintanya tak terbalas, maka runtuh dan rusaklah cinta itu yang akan berbuah pada kebencian atas kekecewaan mendalam yang ia rasakan. Kagumilah akan sesuatu tentang keindahan, karena rasa kagum adalah naluri dan insting manusiwi, namun janganlah berlebihan.
(Mizanul Akrom)

Keragu-raguan merupakan keraguan. Jangan sesekali hidupmu itu engkau jalani dengan penuh ragu-ragu dan pesimisme. Karena bisa saja ketidakstabilan jalan hidupmu disebab-akibatkan oleh jalan pikiranmu yang terselimuti oleh rasa keragu-raguan dan kurang percaya diri. Hidup adalah tantangan yang harus engkau jalani dengan jiwa kesatria serta optimisme. Kematangan hidup dan kedewasaan seseorang sangat dipengaruhi oleh rasa percaya diri dalam mengemban tanggung jawab hidupnya dan jiwa kesatria dalam menjalani hidup dan menghadapi tantangan hidup.
(Mizanul Akrom)

Masa lalu mu adalah masa lalu mu. Jangan kau anggap bahwa masa lalu itu sebagai kehidupan yang kelam. Karena sesungguhnya bahwa masa lalu adalah proses perjalanan hidupmu di masa itu. Ambillah sisi positifnya sebagai titik pijak untuk menatap masa depan yang penuh hikmah dan pelajaran. Oleh karenanya, tataplah masa kini dengan senyuman dan kebahagiaan. Karena masa depan mu sedang menunggu mu penuh pengharapan bagaikan nyala bintang yang terang menerangi gelapnya malam.
(Mizanul Akrom)

Janganlah berlebihan mengagumi orang lain. Karena belum tentu apa yang kamu kagumi itu seindah dan sebesar imaginasi alam berfikir mu. Kagumi dan hormatilah dirimu sendiri yang sesungguhnya memiliki segudang potensi yang harus kamu kembangkan melebihi apa yang kamu kagumi atas orang lain.
(Mizanul Akrom)

Bersikalah secara adil dalam segala hal, karena banyak sekali prestasi yang harus kamu raih dalam hidup ini. Variasi positif dalam menjalani hidup adalah jalan terbaik untuk mengurangi sisa-sisa kelelahan mu saat ini. Karena, kesembuhan hati dan jiwa akan terobati manakala kita siap menerima keadaan. Dan ini merupakan bagian integral menuju pendewasaan diri. Dengan mengambil waktu untuk berproses hidup secara alamiah adalah bagian dari usaha mu untuk bisa berdamai dengan keadaan mu.
(Mizanul Akrom)

Apa yang aku tahu selama ini, engkau adalah manusia yang kuat dan tangguh. Karena aku mengenal mu dan dalam keseharian hidup mu penuh dengan senyuman dan keceriaan, sehingga aku percaya bahwa engkau dilahirkan sebagai manusia kuat hingga melebihi apa yang orang lain lihat. Tapi, harus engkau pahami bahwa sekuat apapun manusia, sejatinya dalam dirinya tersimpan kesedihan, walaupun itu secuil. Karena kesedihan inilah pada akhirnya manusia itu akan rapuh dan patah juga. Mengapa? Karena tiada cinta yang hakiki selain cintanya Ibu kepada anaknya.
***
Memang, terkadang kita ingin terlihat super dan sempurna di mata orang lain, dan terkadang sikap seperti itu juga perlu, meskipun sebenarnya apa yang orang lain lihat tentang diri kita tidak sekuat apa yang kita rasakan. Maka dari itu, apa yang terjadi hari ini tetaplah engkau menjadi manusia yang aku kenal, yaitu sosok manusia yang kuat dan tangguh, meskipun dalam hatimu sedang rapuh. Mungkin keadaan mu saat ini adalah suatu keadaan yang harus engkau terima hari ini. Jika engkau harus menangis, menangislah seperlunya. Karena air mata tidaklah lebih kuat dari untaian do'a-do'a. 
(Mizanul Akrom)

Jangan kau maknai bahwa Cinta itu hanya sebatas suka ataupun kagum. Cinta adalah naluri jiwa yang suci yang harus engkau rawat dan engkau jaga dalam situasi dan kondisi apapun. Karena hubungan Cinta-kasih tanpa kau jaga, yang ada hanyalah malapetaka dan kehancuran dalam sebuah hubungan.
(Mizanul Akrom)

Jangan kau anggap bahwa respon cepat orang lain yang penuh manja atas cuitan/status centil dalam dunia maya mu itu kau anggap sebagai narasi konkret dan bentuk cinta, atau kepedulian hakiki teruntuk diri dan hatimu yang sedang galau. Bisa jadi, responsif orang lain yang ia tujukan kepada mu adalah karena kemiripan suasana hatinya yang sedang gundah gulana, butuh perhatian, dan kasih sayang, atau mungkin juga untuk menutupi isi hatinya yang memang tidak bahagia dalam kehidupannya.
Karena sejatinya bahwa cinta, kasih sayang, dan sikap peduli atas orang lain itu tampil dan mewujud di dunia nyata melalui tindakan konkret hingga tauladan kasih sayang, dan bukan tertempel di dunia maya lewat status/cuitan harian mu yang sifatnya semu, penuh kepalsuan atau berbagai unsur kepentingan dan pembodohan diri.
(Mizanul Akrom)

Segeralah bergegas diri dan melepaskan semua belenggu ketakutan dalam hidup mu. Janganlah bergantung pada orang lain, tapi jadilah dirimu sendiri, dan belajarlah untuk menjadi kuat dan mandiri. Yakinlah bahwa orang lain saja bisa bahagia, mengapa kita tidak! Pastinya juga kamu akan bahagia.
(Mizanul Akrom)

Tersungkur dalam bait do'a, dan melangitkan do'a itu untuk cinta. Karena sebaik-baiknya cinta adalah mencintai dengan cara yang baik. Kebaikan cinta terpancar dalam bait do'a, dan memunajatkan do'a itu teruntuk Sang Pencipta.
Diam ku bukan berarti ku tak mencintaimu. Diam ku bukan berarti mengurangi rasa cintaku padamu. Dan diam ku bukan berarti tidak memperjuangkan cinta mu. Diam ku adalah bentuk terdalam atas cinta ku padamu. Ku tak ingin mengobral cinta atas mu dan untuk orang lain. Biarlah cintaku ini kupersembahkan hanya untukmu. Dan biarlah hanya Tuhan yang tahu.
Teruntuk wanita yang singgah di hatiku, wanita yang akan melengkapi takdir ku. Semoga kita dipeluk oleh do'a yang sama. Dan sampai jumpa pada pertemuan kita yang akan direstui oleh siapa saja. 
(Mizanul Akrom)

Biarkanlah hati ini berlabuh dan berjalan sesuai dengan titik keteraturannya menuju dimensi yang teratur dengan menemukan titik akhir cintanya bukan karena bujukan, rayuan apalagi paksaan. 
Dan ingat... Tertawalah, jangan menunggu bahagia untuk tertawa, tapi tertawalah agar bahagia.
(Mizanul Akrom)

Kebahagiaan adalah hak setiap individu manusia. Namun, jangan selalu berharap bahwa kebahagiaan itu berasal dari orang lain. Karena sesungguhnya kebahagiaan itu berasal dari diri kita sendiri.
Untuk itu, temukanlah hidup yang lebih bahagia dengan melepaskan sejenak penat kehidupan. Jangan takut akan kesedihan, karena dengan kesedihan itulah sehingga manusia itu bisa merasakan kebahagiaan.
(Mizanul Akrom)

Boleh saja kamu membenci dengan sebenci-bencinya pada orang lain. Tapi, janganlah engkau sakit hati dan menggerutu penuh kebencian jika saja ada orang lain yang membencimu atau bahkan menyakitimu. 
(Mizanul Akrom)

Monday, February 04, 2019

FIQH PERSPEKTIF PEREMPUAN

FIQH PERSPEKTIF PEREMPUAN
Prawacana
Tak bisa dielakkan lagi bahwa fiqh merupakan salah satu disiplin keilmuan inti dalam kajian keislaman. Fiqh adalah penafsiran secara kultural tehadap ayat-ayat al-Qur’an. Dalam sejarah intelektual Islam, syari’ah dibedakan dengan fiqh. Syariah adalah ajaran dasar yang bersifat universal, permanen. Sedangkan yang Fiqh adalah ajaran non-dasar, bersifat lokal, elastis dan tidak permanen. Fiqh adalah penafsiran kultural terhadap syari’ah yang dikembangkan oleh ulama-ulama fiqh semenjak abad kedua Hijriyah. Diantara para ulama fiqh tersebut ialah Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal yang juga dikenal sebagai Imam Madzab.

Walaupun mereka dikenal sebagai ulama yang moderat, namun sejatinya mereka terikat dengan kondisi sosial-budaya dimana tempat mereka hidup. Fiqh yang disusun dalam masyarakat yang dominan laki-laki (male dominated society), seperti di kawasan Timur Tengah ketika itu, sudah barang tentu akan melahirkan fiqh bercorak patriarkhi. Kitab-kitab fiqh yang telah dibukukan pada umumnya—kumpulan-kumpulan fatwa atau catatan-catatan pelajaran seorang murid dari gurunya—yang ditulis secara berkala sehingga menjadi sebuah kitab besar.

Dalam perkembangannya, fiqh dinilai oleh beberapa kalangan tidak berpihak kepada perempuan, mengingat banyak kasus‑kasus fiqh yang tertulis dalam literatur fiqh ternyata lebih banyak menonjolkan peran laki-laki. Isu‑isu sensitif tentang gender agaknya kurang begitu mengemuka di dalam khazanah fiqh madzhab, yang menjadikan fiqh terkesan amat ‘maskulin’. Untuk itu, agenda penting yang layak dikedepankan adalah, mengapa fiqh sangat diskriminatif terhadap perempuan? Pertanyaan tersebut sulit untuk dijawab. Namun demikian, setelah ditelusuri lebih mendalam tampak jelas akar persoalannya, yaitu sejarah awal pertumbuhan dan perkembangan wacana fiqh. Dari sini dapat disimpulkan bahwa fiqh pada saat itu adalah Fiqh patriarkhi, yaitu rumusan fiqh yang penuh dominasi dan aturan dari kaum laki-laki.

Menyimak akar persoalan sebagaimana di atas, tidak mengherankan jika banyak kalangan menilai bahwa fiqh yang ada sekarang ini—selain penuh diskriminatif dan ketidakadilan—juga lebih bersifat asimetris. Asimetris dalam pengertian bahwa secara paradigmatik, fiqh selalu berpusat pada laki-laki, dan secara operasional, kandunganyapun mengandung pengertian-pengertian kelelakian. Sementara secara struktural mengandung kepentingan bagi laki-laki.

A.      Pengertian Fiqh Perempuan
Secara etimologi, fiqh perempuan sering disebut dengan fiqh al-nisa’. Fiqh berasal dari kata faqiha-yafqahu-fiqhan yang berarti pemahaman. Sementara itu, fiqh secara istilah berarti ilmu tentang hukum syara’ yang bersifat praktis yang digali dari dalil-dalil yang terperinci. Nisa’ secara etimologi berarti perempuan. Nisa’ adalah bentuk jamak dari mar’ah yang berarti perempuan yang sudah matang atau dewasa.[1] Istilah lain yang digunakan untuk perempuan adalah imra’ah. Imra’ah berasal dari kata mir’ah yang artinya cermin. Ini berarti bahwa pada umumnya perempuan suka bercermin atau suka menghias di depan cermin. Term imra’ah ini lebih tepat digunakan untuk menyebut perempuan yang masih gadis, perempuan muda yang sudah bersuami dan janda, karena mereka suka menghias diri.[2]

Dalam kamus bahasa Indonesia, perempuan diartikan sebagai perempuan dewasa, yang dapat menstruasi, hamil dan melahirkan anak.[3] Adil Athi Abdullah, sebagaimana dikutip Aisyah Ismail, mengatakan bahwa perempuan adalah makhluk Allah yang mulia pasangan dari lelaki, yang dilebihkan Allah dengan ciri kehamilan, melahirkan dan menyusui, serta ketajaman kejiwaan seperti kasih sayang yang tinggi, kesabaran dalam mendidik anak serta kelembutan jiwa.[4]

Maka dari itu, dari uraian dan penjelasan tersebut di atas fiqh perempuan adalah ilmu tentang hukum syara yang berkaitan dengan perempuan yang bersifat praktis dan digali dari dalil-dalil yang terperinci. Aisyah Ismail menyebut bahwa fiqh perempuan setidaknya memuat dua hal. Pertama, hukum-hukum praktis yang berkaitan dengan perempuan. Kedua, dalil-dalil yang berkaitan dengan hukum praktis tersebut, misalnya dalil tentang kepemimpinan perempuan.[5]

Pendapat Aisyah yang menyebut fiqh perempuan sebagai hukum praktis perempuan, senada dengan pendapat Husein Muhammad. Seperti dinyatakan Muhammad, fiqh perempuan adalah bagian dari apa yang disebut oleh Abu Hanifah sebagai fiqh asghar (fiqh kecil), sementara fiqh akbar adalah ilmu tentang usuluddin atau aqidah.[6] Fiqh perempuan dalam pandangan Muhammad adalah masalah-masalah perempuan dalam pandangan fiqh.[7] Ini senada dengan penulis lain yang menyebut bahwa fiqh perempuan sebagai hukum-hukum fiqh yang berkaitan dengan perempuan.[8]

Sementara itu, pendapat Aisyah yang menyebut fiqh perempuan sebagai dalil-dalil perlu diklarifikasi lebih jauh. Karena dalil itu ada yang tafshili (terperinci) dan ada yang ijmali (global).[9] Aisyah benar jika yang dimaksud adalah dalil terperinci yang menunjuk pada salah satu dalil tertentu. Misalnya dalil tentang kepemimpinan perempuan. Namun, jika yang dimaksud adalah dalil ijmali, maka yang demikian kurang tepat karena dalil ijmali bukan domain fiqh, melainkan domain ushul fiqh.

Domain ushul fiqh adalah hukum kulli dan dalil ijmali.[10] Hukum kulli merujuk pada hukum-hukum yang masih global dan belum menunjuk suatu barang. Misalnya hukum wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah. Sementara itu, dalil ijmali adalah merujuk pada dalil yang masih global seperti al-Quran, hadits, ijma dan qiyas.

B.      Pemikiran Fiqh yang Diskriminatif dan Pengaruhnya dalam Kehidupan Perempuan dan Keluarga
Sesungguhnya latar belakang perlunya konstruksi baru tentang fiqh adalah pandangan stereotype terhadap perempuan. Dan kebanyakan pandangan tersebut dalam konteks perempuan dan keluarga. Untuk itu, perlunya mengingatkan kembali akan kebutuhan wahyu dalam membangun wacana keperempuanan, baik untuk kepentingan teori maupun aksi. Karena selama ini pandangan fiqh terhadap perempuan telah mereduksi makna kesetaraan, sehingga upaya-upaya pelurusan merupakan upaya membangun kembali fiqh perempuan diatas landasan wahyu.

Eksistensi perempuan dalam khasanah kitab klasik, satu sisi kedudukan perempuan berada di bawah laki-laki, tetapi hal tersebut tidak berlaku mutlak. Dari sudut tertentu, kitab kuning memandang perempuan sejajar dengan laki-laki.[11] Perempuan tereduksi hanya sebatas obyek, dan hal tersebut didasarkan pada bagaimana laki-laki dipandang sebagai pihak yang meminang, memberi mahar dan pencari nafkah.[12]

Tuntutan terhadap pemenuhan hak-hak perempuan—khususnya hak-hak dalam perkawinan—tidak bermaksud untuk menggeser posisi dan kedudukan laki-laki, tetapi lebih menekankan pada sebuah tatanan yang harmonis dan seimbang, sehingga masing-masing dapat saling menyadari posisinya dalam kedudukannya sebagai manusia yang mempunyai hak dan kewajiban.

Aplikasi fiqh dalam rentang waktu yang panjang dan melampui sosio-kultural dimana fiqh diformulasikan tanpa dibarengi oleh analisis sosiologis yang memadai, dan menghilangkan keragaman sosok perempuan yang khas dan tidak mungkin digeneralisasikan. Sehingga mempertahankan fiqh klasik dengan menekankan posisi instrumentalnya telah membawa stagnansi pemikiran terhadap problema kaum perempuan, yang dari masa ke masa selalu direduksi hanya untuk kepentingan diluar dirinya. Di saat idiologi gender patriarkhis bertalian dengan kepentingan kapitalisme, perempuan disudutkan pada ‘peran ganda’ yang membebani. Sejauh ini, Islam belum mampu memberikan solusi yang memadai, kecuali hanya memberikan legitimasi teologis terhadap upaya-upaya domestifikasi yang tidak selamanya menyelamatkan perempuan dari kesewenang-wenangan laki-laki.

Dalam upaya rekonstruksi fiqh perempuan, Budhi Munawar-Rachman menyampaikan tiga kata kunci yang sangat penting, yaitu representasi (dari filusuf Lyotard), dekonstruksi (dari Jacques Derrida), dan keterkaitan pengetahuan dan kekuasaan.[13] Alat lain yang dapat membantu merekonstruksi fiqh perempuan, Munawar-Rachman menambahkan adalah dengan analisis gender. Perspektif analisis gender ini dalam disiplin keilmuan sosiologi yang lebih luas disebut feminisme. Kesadaran feminislah yang justru sekarang ini diperlukan untuk melakukan upaya rekonstruksi fiqh perempuan.

Analisis gender dalam memahami dan menganalisis tentang apa yang adil dan apa yang tidak adil serta bagaimana mekanisme ketidakadilan menjadi dasar agama. Dengan begitu, pamahaman atau penafsiran terhadap ajaran keadilan prinsip dasar agama akan berkembang sesuai dengan pemahaman atas realitas sosial, karena sesungguhnya prinsip dasar seruan agama Islam. Maka dari itu, perempuan dalam Islam berkaitan dengan upaya membangun kembali fiqh yang bernuansa pemberdayaan tanpa penindasan terhadap jenis kelamin apapun.

Setelah Islam berkembang luas dan melampui kurun waktu tertentu, maka dengan sendirinya kitab-kitab tersebut banyak depersoalkan orang, terutama oleh kaum perempuan yang hidup diluar lingkup masyarakat tersebut terhadap kitab-kitab fiqh, karena masyarakat sudah bertumbuh, dan demikian beberapa ajaran fiqh itu sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan.

Dahulu hak-hak istimewa barhak diberikan kepada kaum laki-laki mungkin dapat dibenarkan, karena tanggung jawab mereka lebih besar, tetapi di beberapa tempat dalam kurun waktu terakhir ini peranan perempuan di dalam masyarakat mengalami banyak kemajuan. Para feminis muslim seperti Asghar Ali Engineer, Fatima Mernissi dan Amina Wadud Muhshin secara terang-terangan menggugat kitab-kitab fiqh klasik. Bahkan Fatima Mernissi menggugat sejumlah hadits, termasuk diantaranya hadits riwayat Bukhari[14] dan menilainya sebagai hadis misoginis.

Dalam perbincangan tentang perempuan dewasa ini, konsep penciptaan perempuan menjadi isu yang sangat penting dan mendasar untuk dibicarakan, karena konsep kesetaraan dan ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan berakar dari konsep penciptaan perempuan ini. Dalam pandangan Rifaat Hasan, jika laki-laki tidak diciptakan setara menurut Allah Swt, maka dikemudian hari tidak bisa berubah menjadi tidak setara. Begitu pula sebaliknya, jika laki-laki dan perempuan telah diciptakan tidak setara oleh Allah Swt, maka secara esensial dikemudian hari mereka tidak bisa menjadi setara.

Asghar Ali Engineer mengatakan bahwa secara normatif al-Qur’an menegaskan konsep kesetaraan status antara laki-laki dan perempuan. Lebih lanjut Asghar mengisyaratkan kesetaraan tersebut dalam dua hal: Pertama, dalam pengertian yang umum, ini berarti penerimaan martabat kedua jenis kelamin dalam ukuran yang setara. Kedua, orang harus mengetahui bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak-hak yang setara dalam bidang sosial, ekonomi dan politik; keduanya harus memiliki hak yang setara untuk mengadakan kontrak perkawinan atau memutuskannya; keduanya harus memiliki hak untuk memiliki dan mengatur harta miliknya tanpa campur tangan yang lain; keduanya harus bebas memilih profesi atau cara hidup; keduanya harus setara dalam tanggungjawab sebagaimana dalam kebebasan.[15]

Seperti sudah diungkap di atas, sekalipun secara normatif al-Qur’an memihak kepada kesetaraan status antara laki-laki dan perempuan, tetapi secara kontekstual al-Qur’an memang menyatakan adanya kelebihan tertentu kaum laki-laki atas kaum perempuan. Akan tetapi—dengan mengabaikan konteksnya para fuqaha’—menurut Asghar hal ini sangat disayangkan, karena berusaha memberikan status yang lebih unggul bagi laki-laki dalam pengertian normatif. Sebagai misalnya masalah tentang status suami sebagai Qawwamun.

Dapat ditarik benang merah bahwa hak-hak perampuan dalam perkawinan yang terdapat dalam fiqh perempuan adalah produk budaya patriarkhi. Dominasi laki-laki begitu besar dan menentukan dalam penyusunan kitab-kitab fiqh, khususnya yang berkaitan dengan perempuan. Sehingga yang nampak dari fiqh tersebut adalah wajah diskriminasi dan ketidakadilan. Karena itu adalah perlu upaya rekonstruksi atas fiqh perempuan yang mempunyai semangat kesetaraan, dan ini tidak lain adalah pesan yang disampaikan al-Qur’an.

C.      Membangun Fiqh Perempuan yang Berkeadilan Gender
Dalam realitasnya, terlihat gambaran yang paradoks antara kesetaraan dalam tataran normatif dan ketidaksetaraan dalam konteks tertentu (realitas sosialnya), seperti dalam aturan tentang kesaksian dan hak waris. Perempuan diberi harga separo dari laki-laki; dalam kehidupan rumah tangga, nikah, talaq dan ruju’, dan perempuan (istri) diletakkan sebagai obyek, dan laki-laki (suami) sebagai subyeknya. Juga dalam kehidupan bersama, dimana status laki-laki (suami) sebagai Qawwamun dandalam Surat an-Nisâ’ ayat 34perempuan diletakkan dibawah dominasi dan kekuasaan laki-laki yang tidak berhak memimpin di rumah, di masjid, atau bahkan di masyarakat.

Untuk membedah persoalan diskriminasi perempuan dalam ajaran agama harus diarahkan pada kritik metodologi yang dipakai oleh para mufassir dalam memahami ayat yang semata-mata bersifat teologis dengan mengabaikan pendekatan sosiologis. Seharusnya, para mufassir menggunakan pandangan sosio-teologis. Meskipun demikian, al-Qur’an memang berbicara tentang laki-laki yang memiliki kelebihan dan keunggulan sosial atas perempuan. Tentu hal Ini harus dilihat dalam konteks sosialnya yang tepat. Struktur sosial pada zaman Nabi tidaklah benar-benar mengikuti kesetaraan laki-laki dan perempuan. Orang tidak dapat mengambil pandangan yang semata-mata teologis dalam hal semacam ini, namun harus menggunakan pandangan sosio-teologis. Bahkan al-Qur’an pun terdiri dari ajaran yang kontekstual dan juga normatif. Tidak akan ada yang bisa efektif, jika mengabaikan konteksnya sama sekali.

Gambaran umum perempuan dalam wacana keislaman klasik terdokumentasi secara sitematis dalam kitab fiqh (hukum Islam). Dari gambaran tersebut nampak perempuan digeneralisasikan sebagai makhluk yang melebur ke dalam citra laki-lakiseparo dari laki-lakisebagai obyek dan makhluk domestik. Kitab-kitab fiqh telah mengaburkan posisi sentral perempuan sebagai ‘keibuan’ yang penuh kewibawaan dan kebijaksanaan menjadi posisi ‘keistrian’ yang submissif dan tergantung.

Menyimak akar persoalan seperti di atas, tidak mengherankan jikalau banyak kalangan menilai fiqh yang ada sekarang iniselain penuh diskriminatif dan ketidakadilanjuga lebih bersifat asimetris.[16] Asimetris dalam pengertian bahwa secara paradigmatic fiqh selalu berpusat pada laki-laki, sehingga secara operasional kandunganyapun mengandung pengertian-pengertian kelelakian, sementara secara structural yaitu mengandung kepentingan laki-laki. Maka dari itu, jika sosok perempuan yang tampil dalam kitab-kitab fiqh dihadapkan pada realitas perempuan di Indonesia, maka yang terjadi adalah proses idealisasi pada stereotype yang berangkat dari gagasan abstrak, umum dan statis. Aplikasi fiqh dalam rentang waktu yang panjang dan melampui sosio-kultural dimana fiqh diformulasikan, tanpa dibarengi oleh analisis sosiologis yang memadai, sehingga menghilangkan keragaman sosok perempuan yang khas dan tidak mungkin digeneralisasikan.

Untuk menjawab persoalan dan permasalahan di atas, maka perlu kajian kritis guna mengakhiri bias dan dominasi dalam penafsiran agama. Untuk itu, diperlukan suatu proses kolektif yang mengkombinasikan studi, investigasi, analisis, sosial, pendidikan serta aksi untuk membahas isu perempuan. Hal ini termasuk memberikan semangat dan kesempatan perlawanan terhadap kaum perempuan guna mengembangkan tafsiran ajaran agama yang tidak bias gender.

Meuleman, sebagaimana yang telah dikutip Ruhaini, menandaskan bahwa upaya untuk mempertahankan fiqh klasik tanpa mempertimbangkan perubahan zaman, golongan sosial dan tingkat pendidikan dan konsep kesetaraan masyarakat sejatinya telah menafikkan perempuan sebagai makhluk yang berkembang dan berubah sebagaimana laki-laki.[17] Sehingga mempertahankan fiqh klasik dengan menekankan posisi instrumentalnya telah membawa stagnansi pemikiran terhadap problema kaum perempuan, yang dari masa ke masa selalu direduksi hanya untuk kepentingan di luar dirinya. Di saat ideologi gender patriarkhis bertalian dengan kepentingan kapitalisme, perempuan disudutkan pada ‘peran ganda’ yang membebani. Sejauh ini, Islam belum mampu memberikan solusi yang memadai, kecuali hanya memberikan legitimasi teologis terhadap upaya-upaya domestifikasi yang tidak selamanya menyelamatkan perempuan dari kesewenang-wenangan laki-laki.[18]

Sudah waktunya diadakan reaktualisasibila tidak rekonstruksiterhadap konsep-konsep Islam yang lebih memberi peluang perempuan untuk hadir sebagai sosok yang dinamis, sopan dan bermanfaat bagi agama dan masyarakat. Bukan sebagai makhluk yang terkurung di dinding rumah dan tiap hari berjalan-jalan dari dapur, sumur dan kasur. Seharusnya sosok perempuan dikembalikan pada perempuan-perempuan masa Nabiyang sering terlupakan dalam fiqhsebagai sosok yang dinamis, mandiri, sopan dan terjaga akhlaqnya.

Dalam upaya rekonstruksi fiqh perempuan, terdapat tiga kata kunci yang sangat penting, yaitu representasi (dari filusuf Lyotard), dekonstruksi (dari Jacques Derrida), dan keterkaitan pengetahuan dan kekuasaan (dari Michel Foucault). Representasi adalah segala hal yang berkaitan dengan ide, gambaran, image, narasi, visual dan produk-produk keilmuan (di sini: Fiqh Perempuan). Kata lain yang bisa dipakai dalam menggambarkan representasi adalah ‘teks’. Sehingga, representasi adalah teks itu sendiri. Sedangkan kenyataan sosial perempuan muslim adalah intertekstualitas dari kitab-kitab fiqh tentang perempuan ini. Karena semua teks tentang perempuan yang selama ini ada adalah representasi, misalnya pemikiran keagamaan, mitos-mitos tentang perempuan yang disahkan secara keagamaan, apalagi yang kemudian dianggap sebagai kodrat keagamaan yang sudah ‘dari sananya’. Untuk itu, dalam pandangan ilmu sosial tidak ada representasi yang natural (bersifat kodrati). Setiap representasi (dan teks) adalah bersifat kultural dan dikonstruksikan secara sosial (sosiality constructed). Representasi adalah buatan manusia, maka diperlukan sikap kritis. Sebagai misal, segala fiqh tentang perempuan yang sudah tidak cocok dengan visi zaman saat ini, menjadi bersifat mungkin untuk dibedah dan dibongkar. Setelah dibongkar, maka fiqh tersebut menjadi terbuka dan menolak segala norma yang dianggap sebagai ‘satu-satunya’ kebenaran.

Dalam proses rekonstruksi adalah pentingnya pemahaman mengenai keterkaitan pengetahuan dengan kekuasaan (knowledge and power). Bahkan setiap pengetahuan atau representasi—dalam hal ini fiqh perempuan—merupakan kekuasaan. Tidak ada pengetahuan yang terlepas dari kekuasaan. Namun yang ada adalah sebaliknya, dimana kekuasaan selalu terkait dengan pengetahuan yang bermuatan kepentingan. Analisis ini membawa pertanyaan; kepentingan siapa yang ada di dalam fiqh perempuan? Dan yang ada dalam kenyataan adalah fiqh perempuan dikuasai oleh laki-laki. Alat lain yang dapat membantu merekonstruksi fiqh perempuan adalah dengan analisis gender. Perspektif analisis gender ini dalam disiplin keilmuan sosiologi yang lebih luas disebut dengan feminisme. Kesadaran feminislah yang justru sekarang ini diperlukan untuk melakukan upaya rekonstruksi fiqh perempuan.

Selanjutnya, dengan menekuni persoalan-persoalan gender, ada beberapa permasalahan tafsiran keagamaan yang dianggap strategis agar segera mendapat perhatian untuk dilakukan kajian.

Pertama, yang menyangkut persoalan subordinasi kaum perempuan akibat penafsiran yang meletakkan kaum perempuan dalam kedudukan dan martabat yang tidak subordinatif terhadap kaum laki-laki. Padahal, pada dasarnya semangat hubungan laki-laki dan perempuan dalam Islam bersifat adil (equal).

Kedua, Pemahaman yang bias gender, selain meneguhkan subordinasi kaum perempuan, juga membawa akibat pada persoalan waris dan kesaksian, dimana nilai kaum perempuan dianggap separo dari kaum laki-laki. Untuk membahas ini diperlukan analisis konteks sosial terhadap struktur sosio-kultural pada saat ayat tersebut diturunkan.

Ketiga, Segenap ayat yang berkenaan dengan hak produksi dan reproduksi kaum perempuan. Dalam tradisi penafsiran Islam yang tidak menggunakan perspektif gender, kaum perempuan sama sekali tidak mendapat hak berproduksi maupun reproduksi, yakni untuk mengontrol organ reproduksi mereka.

Metode pemikiran yang menawarkan prinsip-prinsip umum dan fundamental sebagai landasan dalam merumuskan hukum Islam mengakibatkan bangunan fiqhyang selama ini diyakini orang dan dijadikan pedoman oleh mayoritas umat Islamlayak mengalami perubahan. Termasuk di sini adalah bangunan fiqh perempuan yang mencakup tentang hak-hak perempuan dalam perkawinan.

Perubahan-perubahan tersebut adalah sebuah keniscayaan jika dilihat dari perspektif perubahan sosial kemasyarakatan. Karena masyarakatdalam hal ini adalah umat Islammembutuhkan jawaban-jawaban yang relevan dengan kompleksitas masalah yang setiap saat mengalami perubahan. Dan upaya rekonstruksi fiqh perempuan untuk memberikan jaminan keadilan dan kemaslahatanumat umumnya dan perempuan khususnyatelah lama diusulkan oleh para cendekiawan, yang gambaran globalnya telah tersebut di atas.

Dengan metode pemikirannya yang menjabarkan konsep qat’i dan zanni dengan tetap bermuara kepada nilai fundamen, yakni kemaslahatan dan keadilan, maka perlu pembaharuan terhadap pemikiran-pemikiran tentang fiqh perempuan. Penawaran yang dimaksud adalah bermula dari persoalan empirik perempuan di lingkungan umat Islam yang relatif ditempatkan dalam posisi subordinat laki-laki.

Setelah dirunut, ternyata lembaran-lembaran kitab fiqh turut memberikan andil dalam konstelasi tersebut. Sehingga upaya pembongkaran fiqh perempuan untuk membangun fiqh yang lebih berkeadilan gender adalah sangat signifikan.

Dari uraian dan penjelasan tersebut di atas, dapat ditarik secara sederhana beberapa poin penting yang mendesak untuk segera diselesaikan, diantaranya adalah yang menyangkut persoalan subordinasi kaum perempuan, persoalan waris dan kesaksian perlu diformulasikan rumusan-rumusan pemikirannya dari sudut pandang hukum Islam.

Konklusi
Keadaan zaman menuntut adanya perubahan, begitu juga paradigma fiqh perempuan saat ini. Fiqh perempuan klasik memang harus berubah seiring dengan perkembangan zaman yang tak terelakkan. Jika fiqh perempuan masih mengacu pada realitas klasik dan terus digunakan sekarang, ia akan tidak macth dengan situasi perubahan dan perkembangan di zaman sekarang. Fiqih perempuan hari ini sudah saatnya untuk mereformasi diri pada ranah epistemologisnya, metodologinya, dan terakhir produk fiqh perempuannya. Ketiganya berjalan seiring dengan core utamanya, yaitu memartabatkan perempuan. Dengan demikian, produk fiqh perempuan yang lebih sesuai dengan perubahan tempat dan zaman. Sehingga diktum fiqh akan lebih jelas keberpihakannya pada kemaslahatan perempuan, dan bukan pada yang lain.

Sudah waktunya diadakan reaktualisasi dan rekonstruksi terhadap konsep-konsep Islam yang lebih memberi peluang perempuan untuk hadir sebagai sosok yang dinamis, sopan dan bermanfaat bagi agama dan masyarakat. Perempuan bukanlah sebagai makhluk yang terkurung di dinding rumah dan tiap hari berjalan dari dapur, sumur dan diatas kasur.



Referensi:

Ahmad Warson al-Munawwir. (1997). Kamus al-Munawwir Arab Indonesia, Edisi II. Surabaya: Pustaka Progresif.
Ainur Rofiq (ed.). (2002). Mazhab Yogya; Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer. Yogyakarta: Ar-Ruzz. 
Aisyah Ismail, Fiqh Perempuan Kekinian dan Keindonesian, dalam http://www.irwanlaw.com/artikel/dr-hj-. Diakses tanggal 18 Juni 2015
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1994). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
Eko Prasetyo & Suparman Marzuki (ed.). (1997). Perempuan dalam Wacana Perkosaan. Yogyakarta: PKBI Yogyakarta.
Fatima Mernissi dan Riffat Hassan. (1995). Setara di Hadapan Allah; Relasi Laki-Laki dan Perempuan dalam Tradisi Islam Pasca Patriarkhi. Alih bahasa oleh Team LSPPA. Yogyakarta: LSPPA Yayasan Prakarsa. 
Kompas, 7 November, 1998.
Mansour Fakih, et. all. (1996). Membincang Feminisme. Surabaya: Risalah Gusti. 
Masdar F. Mas’udi. (1997). Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan; Dialog Fiqih Pemberdayaan. Bandung: Mizan.
Nuruzzaman et. all. (2004). Islam Agama Ramah Perempuan. Yogyakarta: LKiS.
Taj al-Din al-Subki. (tt.). Jam’ al-Jawami’. Surabaya: Pustaka al-Hidayah.
Umi Kulsum. (2007). Risalah Fiqh Wanita Lengkap. Surabaya: Cahaya Muliah. 



[1] M. Amin Abdullah, Paradigma Alternatif Pengembangan Ushul Fiqh dan Dampaknya pada Fiqh Kontemporer, dalam Ainur Rofiq (ed.), Mazhab Yogya; Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2002), hlm. 117. 
[2] Ahmad Warson al-Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab Indonesia, Edisi II, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), 1417. 
[3] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 27-28. 
[4] Aisyah Ismail, Fiqh Perempuan Kekinian dan Keindonesian, dalam
[5] Ibid.
[6] Nuruzzaman et. all, Islam Agama Ramah Perempuan, (Yogyakarta: LKiS, 2004), hlm. 109-110. 
[7] Ibid.
[8] Umi Kulsum, Risalah Fiqh Wanita Lengkap, (Surabaya: Cahaya Muliah, 2007), hlm. v. 
[9] Taj al-Din al-Subki, Jam’ al-Jawami’, (Surabaya: Pustaka al-Hidayah, t.t.), hlm. 32-33. 
[10] Ibid.
[11] Masdar F. Mas’udi, Islam dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan; Dialog Fiqih Pemberdayaan, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 167. 
[12] Ibid., hlm. 158.
[13] Budhy Munawar-Rachman, Islam dan Feminisme; dari Sentralisme Kepada Kesetaraan, dalam Mansour Fakih et. all., Membincang Feminisme, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), hlm. 58.
[14] Fatima Mernissi dan Riffat Hassan, Setara di Hadapan Allah; Relasi Laki-Laki dan Perempuan dalam Tradisi Islam Pasca Patriarkhi, Alih bahasa oleh Team LSPPA, (Yogyakarta: LSPPA Yayasan Prakarsa, 1995), hlm. 49. 
[15] Asghar Ali Enginer, op. cit., hlm. 35. 
[16] Kompas, 7 November, 1998. 
[17] Siti Ruhaini Dzuhayatin, Marital Rape; Bahasan Awal dari Perspektif Islam, dalam Eko Prasetyo & Suparman Marzuki (ed.), Perempuan dalam Wacana Perkosaan, (Yogyakarta: PKBI Yogyakarta, 1997), hlm. 83. 
[18] Ibid., hlm. 84.