Prawacana
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
atau yang kita kenal dengan Indonesian
Moslem Student Movement, merupakan organisasi kemahasiswaan, keislaman dan
keindonesiaan yang tetap teguh berdiri menjadi garda terdepan Pembela Bangsa,
Penegak Agama. PMII akan selalu ambil bagian dalam tiap-tiap perubahan zaman,
akan senantiasa turut serta membangun bangsa melalui garis juang yang kita
miliki, dan tentu yang tidak kalah penting adalah menciptakan Islam Rahamatan lil ‘Alamin di bumi pertiwi
ini.
Tidak bisa dipungkiri bahwa PMII
mempunyai sumbangsih yang amat besar di negeri ini. Organisasi kemahasiswaan
ini, telah berhasil melahirkan pemimpin dan pemikir yang turut serta mewarnai
perjalanan bangsa ini. Jasa terbesar PMII kepada negeri ini, yaitu memperkokoh
wawasan dan solidaritas kebangsaan, serta memperkuat moderasi Islam. Itu semua tidak lain karena sejak awal, kader PMII telah dikenalkan dengan paradigma Ahlussunnah wal
Jama’ah sebagai modal dasar untuk mengukuhkan pandangan Islam moderat.
Saya secara pribadi merasa beruntung,
karena menjadi bagian dari keluarga besar PMII. Sebagai salahsatu kader PMII,
saya tidak mengalami bipolaritas antara
keindonesiaan dan keislaman, karena kedua identitas ini bisa melebur dan saling
menyempurnakan. Artinya bahwa menjadi warga negara Indonesia adalah keniscayaan, karena kita
lahir dari rahim bangsa ini. Sementara menjadi warga Muslim, merupakan suatu
pergulatan religius yang sangat kental dengan entitas kultural, yakni sebagai
warga Nahdlatul Ulama (NU). Nah, kader-kader PMII pada umumnya mereka adalah berlatarbelakang NU. Mereka tumbuh sebagai aktivis yang
menginternalisasi nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan dalam satu nafas
pergerakan, yang biasanya identik dengan membela hak-hak kaum miskin dan tertindas.
Selanjutnya, muncul sebuah partanyaan
besar tentang? Masih relevankah keberadaan PMII dalam konteks perkembangan
sosio-politik seperti saat ini? Pertanyaan seperti ini selalu menghantui saya
setiap kali bertemu dengan kader-kader PMII atau tiap kali ngopi bareng dengan ‘sharing santuy’ perihal ‘kaderisasi’ dan ‘nasib’ Organisasi Mahasiswa yang
mewadahi anak-anak desa, yang secara kultural dibesarkan dalam tradisi NU ini.
Pertanyaan berikutnya segera muncul
ketika kita sudah mulai mencoba meyakinkan diri bahwa PMII tetap relevan dalam
keadaan yang seperti sekarang ini, yaitu dalam bidang-bidang apa PMII tetap
relevan? Tentu jawaban atas pertanyaan ini muncul banyak perspektif. Ada yang
menginginkan agar PMII menjadi gerbong politik yang akan mengangkut kader-kader
Muda NU ke dalam kancah kekuasaan. Ada yang menginginkan PMII menjadi wadah
tempat membiakkan gagasan-gagasan kritis. Ada yang menginginkan PMII menjadi
semacam bumi yang menyemai bibit-bibit civil
society yang akan menjadi kekuatan pengimbang pemerintah. Ada juga yang
menginginkan agar PMII menjadi wadah tempat menjaga tradisi NU agar tetap
hidup, serta ada yang menginginkan PMII menjadi wadah silaturahim biasa; semacam
tempat untuk merawat rasa kangen dan kekeluargaan yang hangat.
Memang beragam perspektif ketika masuk
dalam bingkai pertanyaan antara masih relevan dan tidak relevannya PMII dalam konteks
hari ini. Jika memang relevan, dalam bidang-bidang manakah relevensinya dapat
diketemukan? Jika tidak menemukan relevansi, adakah alternatif lain untuk memperkokoh
pengorganisasian di tubuh PMII?
Ini jelas pertanyaan yang sangat sulit untuk
dijawab, dan Saya sendiri tidak memiliki pretensi
untuk menjawabnya, karena keberadaanya di luar struktur, juga tidak memiliki pretensi
memberikan kata putus untuk pertanyaan ini. Maka dari itu, sudah saatnya
kader-kader PMII hari ini untuk bangkit dari romantisme perjalanan PMII, dan
membuka kran pemikiran baru atas
realitas kehidupan hari ini, serta mampu memberikan gambaran cerdas terhadap
situasi sosial-politik yang dihadapi saat ini, kemudian memberikan semacam signal atau indikasi atas
kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, melalui responsifitas gerakan konkret
maupun gerakan pemikiran. Sehingga, sudi kiranya PMII hari ini berusaha
melakukan refleksi sekaligus introspeksi terhadap kondisi PMII kekinian. Maksud
tujuannya adalah agar PMII melakukan kajian ulang tentang PMII sekarang dan PMII
yang akan datang. Atau dalam pertanyaan kritisnya, PMII sekarang ada di mana
dan mau ke mana?
Anatomi Basis Intelektual dan Gerakan PMII
Ide lahirnya PMII, adalah bermula dari
hasrat yang kuat dari kalangan Mahasiswa NU, karena memang PMII itu lahir dari
Rahim organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia ini, yakni
Nahdalatul Ulama. Tepat lahirnya PMII pada tanggal 17 April 1960 di Kaliurang
Yogyakarta. Gagasan pemikiran yang dibawa oleh PMII, yakni; Pertama, mewujudkan adanya kedinamisan
sebagai organisasi mahasiswa khususnya, karena pada saat itu situasi politik
nasional diliputi oleh semangat revolusi. Kedua,
menampakkan identitas keislaman, sekaligus kelanjutan dari konsep NU yang
berhaluan paham Ahlussunnah wal Jama’ah, juga berdasarkan perjuangan para Walisongo
di pulau Jawa yang telah suskses dengan dakwahnya yang toleran dengan budaya
setempat dan akomodatif. Ketiga, memanifestasikan
nasionalisme sebagai semangat kebangsaan, karenanya nama Indonesia harus tetap
tercantum.[1]
Jika ditelisik dari setting sosial politik kelahiran PMII pada 1960, merupakan
momentum yang sangat penting bagi PMII untuk tumbuh secara subur dan mengambil
peranan aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di tambah lagi pada tahun
ini, di mana perguruan tinggi IAIN dibuka di seluruh Indonesia. Sementara dari
aspek sosio-kultural, para mahasiswa yang masuk ke IAIN adalah kebanyakan dari
NU, sedangkan yang dengan Masyumi masuk ke Universitas umum. Dengan kondisi
politik saat itu, adalah tentunya sangat kondusif bagi organisasi mahasiswa
untuk besikap dan mengambil peranan dalam politik praksis. Dengan semakin meningkatnya
organisasi mahasiswa, sehingga semakin terbuka pula untuk memerankan sebagai
kekuatan mobilitas sosial dalam bidang politik praksis. Memang, dalam
kenyataannya pada masa itu, di mana organisasi kemahasiswaan kebanyakan berafiliasi
dengan partai politik, termasuk di dalamnya juga PMII yang berafiliasi dengan
partai NU, adalah suatu kewajaran.
Historisitas PMII dari wajah
pergerakannya, memang selalu berfikir maju dan progresif. Karena, jikalau PMII
selalu berada dalam bayang-bayang politik praksis, maka PMII akan mengalami
stagnansi dan kemunduran, baik kemunduran gerakan maupun kemandulan intelektual,
juga sangat sempit ruang geraknya dalam hal untuk mengontrol kekuasaan. Dengan
alasan dan pertimbangan inilah, kemudian pada Mubes V tanggal 14 juli 1972 di
Murnajati-Malang, PMII memutuskan diri sebagai organisasi kemahasiswaan yang
independen. Peristiwa ini tertuang dalam
sebuah dokumen deklarasi, yaitu Deklarasi Murnajati, atau yang dikenal dengan
Manifest Independensi. Maksud dan tujuan dari Manifest independensi PMII ini adalah
agar gerakan PMII dapat lebih terbuka bagi setiap mahasiswa, serta leluasa
gerak maupun aktivitasnya.
Pada periode 1980-an, PMII yang mulai
serius masuk dan malakukan pembinaan di perguruan tinggi, dan menemukan
kesadaran baru dalam menentukan pilihan-pilihan serta corak gerakannya. Bisa
dikatakan bahwa dari segi pengalaman dan konsolidasi internal, PMII sudah
memasuki fase yang matang dan cukup dewasa. Bersamaan dengan khittah 1926 NU
pada 1984 dan diterimanya Pancasila sebagai asas tunggal, PMII telah membuat
pilihan-pilihan peran yang cukup strategis. Karena dalam konteks ini, PMII
menentukan tiga hal penting, yakni: 1) PMII memberikan prioritas kepada upaya
pengembangan intelektualitas; 2) PMII menghindari keterlibatannya dengan
politik praksis, baik secara langsung maupun tidak, dan bergerak pada wilayah
pemberdayaan civil society; dan, 3) memilih mengembangkan
paradigma kritisisme terhadap negara.
Pada awal tahun 1980-an, PMII memainkan
peran yang berangkat dari rumusan hasil reposisi dan reorientasi gerakannya.
Pada periode inilah, kemudian rumusan Nilai Dasar Pergerakan (NDP) PMII lahir
(pada Kongres ke-8 tahun 1985). Begitu juga gerakan intelektual berkembang
secara simultan dan massif, gerakan kemasyarakatan melalui LSM, serta gerakan
jalanan atau demonstrasi untuk melakukan kritik konstruktif terhadap negara.
Selanjutnya, disepanjang tahun 1990-an,
PMII telah melahirkan diskursus tentang isu-isu penting, seperti Islam transformatif
dan toleran, demokrasi dan pluralisme, civil
society, Free Market of Ideas (FMI), Open
Society, masyakarat komunikatif, teori kritik dan post modernism. Tentu
saja di masa-masa sekarang dan yang akan datang, PMII diharapkan mampu memberi
warna signifikan terhadap perjalanan bangsa ini.
Catatatan Kritis
Secara ekstrem, barangkali bisa
dianggap bahwa klaim refleksi ini sebagai sebuah refleksi intelektual adalah agak
berlebihan. Namun demikianlah adanya, karena Saya merasakan ada sesuatu yang
hampa pada PMII ketika sering berbicara intelektualitas, namun pada saat yang
sama, PMII justru tidak jelas identitasnya. Atau, kalaupun kita merasa bahwa identitas
PMII sudah jelas, barangkali bisa merefleksikan perkembangan PMII dalam
tahun-tahun terakhir ini yang dirasa kurang jelas apa yang telah dilakukan oleh PMII.
Dasar klaim ini sesungguhnya sederhana saja, di mana bangsa ini kian tidak
mampu memberi kepastian akan masa depannya.
Terlalu banyak contoh untuk bisa disebut, untuk mengatakan bahwa bangsa Indonesia
hari ini masih jauh—untuk bisa disebut—sebagai negara demokrasi.
Dari sini kita mencoba untuk merenung
bersama, menundukkan kepala masing-masing demi tujuan ingin dan untuk menjelaskan
secara jernih, juga upaya komprehensif dalam meneropong tantangan-tantangan hari
ini dan yang akan datang. Tentu saja dengan sudut pandang dan kerangka
intelektual yang kita miliki dengan gaya kepatuhan dan kepatutan yang kita
miliki pula.
Hal ini memang ada semacam reduksi
pemaknaan intelektual, karena hanya seseorang yang bergelut di bidang akademik
tertentu. Saya setuju dengan argumen Gramsci yang mengatakan bahwa; demi sebuah
perubahan ke arah yang lebih baik, maka harus dikatakan bahwa semua orang
adalah intelektual, meski tidak semua orang—yang intelektual tersebut—memerankan
fungsinya sebagai intelektual. PMII adalah intelektual, akan tetapi apakah PMII
memerankan peran intelektual ini? Mari kita mengaca dan merefleksikan
bersama-sama.
PMII sebagai organisasi yang
mendasarkan diri pada pemihakan kebenaran, keadilan dan kejujuran, memang harus
membenahi secara terus menerus setiap sektor bidang pekerjaannya. Pemosisian
intelektualitas di PMII, sebanding dengan tradisi yang kita kemukakan setiap
hari dalam nuansa wacana intelektual yang digelutinya, seperti juga kata Gramsci,
yakni ‘intelektual organik’. Sebagai intelektual organik, tentu kita dituntut
untuk tidak sekedar paham teori lantas selesai, namun jauh dari itu semua, bahwa
kita harus mampu mengamalkan dan mengaplikasikannya pada realitas sosial yang
ada. Dalam bahasa praksisnya, untuk membenahi ketimpangan-ketimpangan sosial
yang memerlukan uluran tangan PMII. Meski tidak semua ketimpangan adalah
tanggungjawab kita, akan tetapi kita tetap saja bertanggungjawab untuk menyadari
dan memahami bahwa sebuah ketimpangan sosial memerlukan banyak perhatian. Di
sinilah kita letakkan tanggungjawab kader PMII sebagai pilar perjuangan untuk
perubahan terhadap realitas.
Kesadaran ini harus terbangun beriring
dengan pembangunan demokrasi Indonesia. Kesadaran yang kritis dan utuh, seperti
yang ditunjukan Paulo Freire, bahwa mesti ada kesadaran yang utuh, yang mengacu
pada sebuah proses di mana kita bukanlah sebagai resipien umum saja, namun sebagai subyek yang mengetahui dan
menyadari secara mendalam realitas sosio-kultural dan politik yang membentuk
kehidupan bangsa ini. Kesadaran semacam ini jelas bukan kesadaran magis dan naif,
namun kesadaran manusia yang kritis yang mampu menghasilkan solusi bagi setiap
kesadaran yang salah arah dan salah kaprah. Kesadaran akan hal ini mengimplikasikan
penempatan manusia yang telah sadar secara kritis pada realitas yang tidak lagi
penuh dengan mitos dan dogma yang mengasingkan sisi rasionalitasnya.
Dalam usia yang secara psikologis dapat
dianggap sudah cukup tua dan matang, PMII tidak lagi diharapkan meletakkan posisinya di
ruang-ruang absurd. PMII hari ini—dengan
demikian boleh jadi—merupakan refleksi terpenting untuk sedikit menoleh ke
belakang, melihat apa yang pernah dilakukan, mengevaluasi, dan selanjutnya memformulasi ulang langkah-langkah strategis dan taktis. Maksud ini—akan pula hanya
menjadi maksud dan sebuah ruang kosong—jika tidak mendapatkan topangan dari
kompleksitas yang ada di organisasi ini, baik semangat kadernya maupun
infrastrukturnya yang lain.
PMII dulu adalah sandaran utama untuk
mengevaluasi dan menghadapi PMII hari ini dan hari-hari kemudian. Ini penting artinya,
sebab kita tahu bahwa PMII adalah barang mati, sementara yang hidup adalah
jiwa-jiwa yang ada di dalamnya. Di tangan dan otak kader progresif lah, PMII
dihidupkan, ditumbuhkan, untuk kemudian berbuat dan membangun organisasi serta bangsanya,
menuju bangunan peradaban yang beradab.
Catatan akhir
Pengelolaan dalam organisasi gerakan
kebangsaan, khususnya organisasi PMII, adalah sebuah proses yang tiada henti.
Oleh sebab itu, maka dalam sketsa interaksi dengan ruang dan waktu
disekelilingnya, ia harus tampil dalam perwajahan yang komplit dan komperehensif, yakni harus ada
tahapan-tahapan kerja pengkaderan dan pola gerakan yang jelas. Ia tidak boleh berpenampilan acak-acakan, reaksioner,
ngebut namun nabrak sana-sini tak tentu arahnya. Dalam pada ini, refleksi yang
mendalam atas pencandraan jati diri hingga turun pada apa yang akan dilakukan, kemudian dengan jati diri yang serupa itu, adalah sebuah kerja panjang dan tentunya membosankan, tapi harus dikerjakan.
Oleh karenanya, organisasi kepemudaan dan
kemahasiswaan yang berwawasan kebangsaan semacam PMII ini, berikutnya harus
cerdas untuk menjemput berbagai isu strategis yang menentukan arah perjalanan
bangsa ke depan, sekaligus mewarnai dengan kekhasan gayanya, memperjuangkan
keadilan dalam wajah moral dan intelektual. Tanpa dibekali hal ini, bukan tidak
mungkin keberadaan atau eksistensi PMII kian hari kian tidak bermakna,
masyarakat pemuda dan mahasiswa akan dan menjadi jengah atas kehadiran PMII, sebab ia tidak
mampu berbuat apa-apa. Atau lebih parah dari itu, ia justru akan menjadi energi
penghilang kesempurnaan yang telah ada di masyarakat.[]
[1] Muh. Hanif Dhakiri & Zaini
Rachman, Post Tradisionalisme Islam;
Menyingkap Corak Pemikiran dan Gerakan PMII,
(Jakarta, Isisindo Media, 2000), hlm. 18.