Saturday, February 29, 2020

PMII: Ada Di-Mana dan Mau Ke-Mana?


Prawacana
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia atau yang kita kenal dengan Indonesian Moslem Student Movement, merupakan organisasi kemahasiswaan, keislaman dan keindonesiaan yang tetap teguh berdiri menjadi garda terdepan Pembela Bangsa, Penegak Agama. PMII akan selalu ambil bagian dalam tiap-tiap perubahan zaman, akan senantiasa turut serta membangun bangsa melalui garis juang yang kita miliki, dan tentu yang tidak kalah penting adalah menciptakan Islam Rahamatan lil ‘Alamin di bumi pertiwi ini.
Tidak bisa dipungkiri bahwa PMII mempunyai sumbangsih yang amat besar di negeri ini. Organisasi kemahasiswaan ini, telah berhasil melahirkan pemimpin dan pemikir yang turut serta mewarnai perjalanan bangsa ini. Jasa terbesar PMII kepada negeri ini, yaitu memperkokoh wawasan dan solidaritas kebangsaan, serta memperkuat moderasi Islam. Itu semua tidak lain karena sejak awal, kader PMII telah dikenalkan dengan paradigma Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai modal dasar untuk mengukuhkan pandangan Islam moderat.
Saya secara pribadi merasa beruntung, karena menjadi bagian dari keluarga besar PMII. Sebagai salahsatu kader PMII, saya tidak mengalami bipolaritas antara keindonesiaan dan keislaman, karena kedua identitas ini bisa melebur dan saling menyempurnakan. Artinya bahwa menjadi warga negara Indonesia adalah keniscayaan, karena kita lahir dari rahim bangsa ini. Sementara menjadi warga Muslim, merupakan suatu pergulatan religius yang sangat kental dengan entitas kultural, yakni sebagai warga Nahdlatul Ulama (NU). Nah, kader-kader PMII pada umumnya mereka adalah berlatarbelakang NU. Mereka tumbuh sebagai aktivis yang menginternalisasi nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan dalam satu nafas pergerakan, yang biasanya identik dengan membela hak-hak kaum miskin dan tertindas.
Selanjutnya, muncul sebuah partanyaan besar tentang? Masih relevankah keberadaan PMII dalam konteks perkembangan sosio-politik seperti saat ini? Pertanyaan seperti ini selalu menghantui saya setiap kali bertemu dengan kader-kader PMII atau tiap kali ngopi bareng dengan ‘sharing santuy’ perihal ‘kaderisasi’ dan ‘nasib’ Organisasi Mahasiswa yang mewadahi anak-anak desa, yang secara kultural dibesarkan dalam tradisi NU ini.
Pertanyaan berikutnya segera muncul ketika kita sudah mulai mencoba meyakinkan diri bahwa PMII tetap relevan dalam keadaan yang seperti sekarang ini, yaitu dalam bidang-bidang apa PMII tetap relevan? Tentu jawaban atas pertanyaan ini muncul banyak perspektif. Ada yang menginginkan agar PMII menjadi gerbong politik yang akan mengangkut kader-kader Muda NU ke dalam kancah kekuasaan. Ada yang menginginkan PMII menjadi wadah tempat membiakkan gagasan-gagasan kritis. Ada yang menginginkan PMII menjadi semacam bumi yang menyemai bibit-bibit civil society yang akan menjadi kekuatan pengimbang pemerintah. Ada juga yang menginginkan agar PMII menjadi wadah tempat menjaga tradisi NU agar tetap hidup, serta ada yang menginginkan PMII menjadi wadah silaturahim biasa; semacam tempat untuk merawat rasa kangen dan kekeluargaan yang hangat.
Memang beragam perspektif ketika masuk dalam bingkai pertanyaan antara masih relevan dan tidak relevannya PMII dalam konteks hari ini. Jika memang relevan, dalam bidang-bidang manakah relevensinya dapat diketemukan? Jika tidak menemukan relevansi, adakah alternatif lain untuk memperkokoh pengorganisasian di tubuh PMII?
Ini jelas pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab, dan Saya sendiri tidak memiliki pretensi untuk menjawabnya, karena keberadaanya di luar struktur, juga tidak memiliki pretensi memberikan kata putus untuk pertanyaan ini. Maka dari itu, sudah saatnya kader-kader PMII hari ini untuk bangkit dari romantisme perjalanan PMII, dan membuka kran pemikiran baru atas realitas kehidupan hari ini, serta mampu memberikan gambaran cerdas terhadap situasi sosial-politik yang dihadapi saat ini, kemudian memberikan semacam signal atau indikasi atas kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, melalui responsifitas gerakan konkret maupun gerakan pemikiran. Sehingga, sudi kiranya PMII hari ini berusaha melakukan refleksi sekaligus introspeksi terhadap kondisi PMII kekinian. Maksud tujuannya adalah agar PMII melakukan kajian ulang tentang PMII sekarang dan PMII yang akan datang. Atau dalam pertanyaan kritisnya, PMII sekarang ada di mana dan mau ke mana?

Anatomi Basis Intelektual dan Gerakan PMII
Ide lahirnya PMII, adalah bermula dari hasrat yang kuat dari kalangan Mahasiswa NU, karena memang PMII itu lahir dari Rahim organisasi kemasyarakatan Islam terbesar di Indonesia ini, yakni Nahdalatul Ulama. Tepat lahirnya PMII pada tanggal 17 April 1960 di Kaliurang Yogyakarta. Gagasan pemikiran yang dibawa oleh PMII, yakni; Pertama, mewujudkan adanya kedinamisan sebagai organisasi mahasiswa khususnya, karena pada saat itu situasi politik nasional diliputi oleh semangat revolusi. Kedua, menampakkan identitas keislaman, sekaligus kelanjutan dari konsep NU yang berhaluan paham Ahlussunnah wal Jama’ah, juga berdasarkan perjuangan para Walisongo di pulau Jawa yang telah suskses dengan dakwahnya yang toleran dengan budaya setempat dan akomodatif. Ketiga, memanifestasikan nasionalisme sebagai semangat kebangsaan, karenanya nama Indonesia harus tetap tercantum.[1]
Jika ditelisik dari setting sosial politik kelahiran PMII pada 1960, merupakan momentum yang sangat penting bagi PMII untuk tumbuh secara subur dan mengambil peranan aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di tambah lagi pada tahun ini, di mana perguruan tinggi IAIN dibuka di seluruh Indonesia. Sementara dari aspek sosio-kultural, para mahasiswa yang masuk ke IAIN adalah kebanyakan dari NU, sedangkan yang dengan Masyumi masuk ke Universitas umum. Dengan kondisi politik saat itu, adalah tentunya sangat kondusif bagi organisasi mahasiswa untuk besikap dan mengambil peranan dalam politik praksis. Dengan semakin meningkatnya organisasi mahasiswa, sehingga semakin terbuka pula untuk memerankan sebagai kekuatan mobilitas sosial dalam bidang politik praksis. Memang, dalam kenyataannya pada masa itu, di mana organisasi kemahasiswaan kebanyakan berafiliasi dengan partai politik, termasuk di dalamnya juga PMII yang berafiliasi dengan partai NU, adalah suatu kewajaran.
Historisitas PMII dari wajah pergerakannya, memang selalu berfikir maju dan progresif. Karena, jikalau PMII selalu berada dalam bayang-bayang politik praksis, maka PMII akan mengalami stagnansi dan kemunduran, baik kemunduran gerakan maupun kemandulan intelektual, juga sangat sempit ruang geraknya dalam hal untuk mengontrol kekuasaan. Dengan alasan dan pertimbangan inilah, kemudian pada Mubes V tanggal 14 juli 1972 di Murnajati-Malang, PMII memutuskan diri sebagai organisasi kemahasiswaan yang independen. Peristiwa ini  tertuang dalam sebuah dokumen deklarasi, yaitu Deklarasi Murnajati, atau yang dikenal dengan Manifest Independensi. Maksud dan tujuan dari Manifest independensi PMII ini adalah agar gerakan PMII dapat lebih terbuka bagi setiap mahasiswa, serta leluasa gerak maupun aktivitasnya.
Pada periode 1980-an, PMII yang mulai serius masuk dan malakukan pembinaan di perguruan tinggi, dan menemukan kesadaran baru dalam menentukan pilihan-pilihan serta corak gerakannya. Bisa dikatakan bahwa dari segi pengalaman dan konsolidasi internal, PMII sudah memasuki fase yang matang dan cukup dewasa. Bersamaan dengan khittah 1926 NU pada 1984 dan diterimanya Pancasila sebagai asas tunggal, PMII telah membuat pilihan-pilihan peran yang cukup strategis. Karena dalam konteks ini, PMII menentukan tiga hal penting, yakni: 1) PMII memberikan prioritas kepada upaya pengembangan intelektualitas; 2) PMII menghindari keterlibatannya dengan politik praksis, baik secara langsung maupun tidak, dan bergerak pada wilayah pemberdayaan civil society; dan, 3) memilih mengembangkan paradigma kritisisme terhadap negara.
Pada awal tahun 1980-an, PMII memainkan peran yang berangkat dari rumusan hasil reposisi dan reorientasi gerakannya. Pada periode inilah, kemudian rumusan Nilai Dasar Pergerakan (NDP) PMII lahir (pada Kongres ke-8 tahun 1985). Begitu juga gerakan intelektual berkembang secara simultan dan massif, gerakan kemasyarakatan melalui LSM, serta gerakan jalanan atau demonstrasi untuk melakukan kritik konstruktif terhadap negara.
Selanjutnya, disepanjang tahun 1990-an, PMII telah melahirkan diskursus tentang isu-isu penting, seperti Islam transformatif dan toleran, demokrasi dan pluralisme, civil society, Free Market of Ideas (FMI), Open Society, masyakarat komunikatif, teori kritik dan post modernism. Tentu saja di masa-masa sekarang dan yang akan datang, PMII diharapkan mampu memberi warna signifikan terhadap perjalanan bangsa ini.

Catatatan Kritis
Secara ekstrem, barangkali bisa dianggap bahwa klaim refleksi ini sebagai sebuah refleksi intelektual adalah agak berlebihan. Namun demikianlah adanya, karena Saya merasakan ada sesuatu yang hampa pada PMII ketika sering berbicara intelektualitas, namun pada saat yang sama, PMII justru tidak jelas identitasnya. Atau, kalaupun kita merasa bahwa identitas PMII sudah jelas, barangkali bisa merefleksikan perkembangan PMII dalam tahun-tahun terakhir ini yang dirasa kurang jelas apa yang telah dilakukan oleh PMII. Dasar klaim ini sesungguhnya sederhana saja, di mana bangsa ini kian tidak mampu memberi kepastian akan masa depannya. Terlalu banyak contoh untuk bisa disebut, untuk mengatakan bahwa bangsa Indonesia hari ini masih jauh—untuk bisa disebut—sebagai negara demokrasi.
Dari sini kita mencoba untuk merenung bersama, menundukkan kepala masing-masing demi tujuan ingin dan untuk menjelaskan secara jernih, juga upaya komprehensif dalam meneropong tantangan-tantangan hari ini dan yang akan datang. Tentu saja dengan sudut pandang dan kerangka intelektual yang kita miliki dengan gaya kepatuhan dan kepatutan yang kita miliki pula.
Hal ini memang ada semacam reduksi pemaknaan intelektual, karena hanya seseorang yang bergelut di bidang akademik tertentu. Saya setuju dengan argumen Gramsci yang mengatakan bahwa; demi sebuah perubahan ke arah yang lebih baik, maka harus dikatakan bahwa semua orang adalah intelektual, meski tidak semua orang—yang intelektual tersebut—memerankan fungsinya sebagai intelektual. PMII adalah intelektual, akan tetapi apakah PMII memerankan peran intelektual ini? Mari kita mengaca dan merefleksikan bersama-sama.
PMII sebagai organisasi yang mendasarkan diri pada pemihakan kebenaran, keadilan dan kejujuran, memang harus membenahi secara terus menerus setiap sektor bidang pekerjaannya. Pemosisian intelektualitas di PMII, sebanding dengan tradisi yang kita kemukakan setiap hari dalam nuansa wacana intelektual yang digelutinya, seperti juga kata Gramsci, yakni ‘intelektual organik’. Sebagai intelektual organik, tentu kita dituntut untuk tidak sekedar paham teori lantas selesai, namun jauh dari itu semua, bahwa kita harus mampu mengamalkan dan mengaplikasikannya pada realitas sosial yang ada. Dalam bahasa praksisnya, untuk membenahi ketimpangan-ketimpangan sosial yang memerlukan uluran tangan PMII. Meski tidak semua ketimpangan adalah tanggungjawab kita, akan tetapi kita tetap saja bertanggungjawab untuk menyadari dan memahami bahwa sebuah ketimpangan sosial memerlukan banyak perhatian. Di sinilah kita letakkan tanggungjawab kader PMII sebagai pilar perjuangan untuk perubahan terhadap realitas.
Kesadaran ini harus terbangun beriring dengan pembangunan demokrasi Indonesia. Kesadaran yang kritis dan utuh, seperti yang ditunjukan Paulo Freire, bahwa mesti ada kesadaran yang utuh, yang mengacu pada sebuah proses di mana kita bukanlah sebagai resipien umum saja, namun sebagai subyek yang mengetahui dan menyadari secara mendalam realitas sosio-kultural dan politik yang membentuk kehidupan bangsa ini. Kesadaran semacam ini jelas bukan kesadaran magis dan naif, namun kesadaran manusia yang kritis yang mampu menghasilkan solusi bagi setiap kesadaran yang salah arah dan salah kaprah. Kesadaran akan hal ini mengimplikasikan penempatan manusia yang telah sadar secara kritis pada realitas yang tidak lagi penuh dengan mitos dan dogma yang mengasingkan sisi rasionalitasnya.
Dalam usia yang secara psikologis dapat dianggap sudah cukup tua dan matang, PMII tidak lagi diharapkan meletakkan posisinya di ruang-ruang absurd. PMII hari ini—dengan demikian boleh jadi—merupakan refleksi terpenting untuk sedikit menoleh ke belakang, melihat apa yang pernah dilakukan, mengevaluasi, dan selanjutnya memformulasi ulang langkah-langkah strategis dan taktis. Maksud ini—akan pula hanya menjadi maksud dan sebuah ruang kosong—jika tidak mendapatkan topangan dari kompleksitas yang ada di organisasi ini, baik semangat kadernya maupun infrastrukturnya yang lain.
PMII dulu adalah sandaran utama untuk mengevaluasi dan menghadapi PMII hari ini dan hari-hari kemudian. Ini penting artinya, sebab kita tahu bahwa PMII adalah barang mati, sementara yang hidup adalah jiwa-jiwa yang ada di dalamnya. Di tangan dan otak kader progresif lah, PMII dihidupkan, ditumbuhkan, untuk kemudian berbuat dan membangun organisasi serta bangsanya, menuju bangunan peradaban yang beradab.

Catatan akhir
Pengelolaan dalam organisasi gerakan kebangsaan, khususnya organisasi PMII, adalah sebuah proses yang tiada henti. Oleh sebab itu, maka dalam sketsa interaksi dengan ruang dan waktu disekelilingnya, ia harus tampil dalam perwajahan yang komplit dan komperehensif, yakni harus ada tahapan-tahapan kerja pengkaderan dan pola gerakan yang jelas. Ia tidak boleh berpenampilan acak-acakan, reaksioner, ngebut namun nabrak sana-sini tak tentu arahnya. Dalam pada ini, refleksi yang mendalam atas pencandraan jati diri hingga turun pada apa yang akan dilakukan, kemudian dengan jati diri yang serupa itu, adalah sebuah kerja panjang dan tentunya membosankan, tapi harus dikerjakan.
Oleh karenanya, organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan yang berwawasan kebangsaan semacam PMII ini, berikutnya harus cerdas untuk menjemput berbagai isu strategis yang menentukan arah perjalanan bangsa ke depan, sekaligus mewarnai dengan kekhasan gayanya, memperjuangkan keadilan dalam wajah moral dan intelektual. Tanpa dibekali hal ini, bukan tidak mungkin keberadaan atau eksistensi PMII kian hari kian tidak bermakna, masyarakat pemuda dan mahasiswa akan dan menjadi jengah atas kehadiran PMII, sebab ia tidak mampu berbuat apa-apa. Atau lebih parah dari itu, ia justru akan menjadi energi penghilang kesempurnaan yang telah ada di masyarakat.[]


[1] Muh. Hanif Dhakiri & Zaini Rachman, Post Tradisionalisme Islam; Menyingkap Corak Pemikiran dan Gerakan PMII, (Jakarta, Isisindo Media, 2000), hlm. 18.
Previous Post
Next Post

Penulis yang mengabdikan tulisannya bagi amal jariyah pemikiran. Tokoh favorit sekaligus panutannya adalah Gus Dur